Anda di halaman 1dari 63

BAB I

Pendahuluan

1. A. Latar Belakang
Cerebral palsy adalah suatu gangguan atau kelainan yang terjadi pada suatu kurun
waktu dalam perkembangan anak, mengenai sel-sel motorik di dalam susunan saraf pusat,
bersifat kronik dan tidak progresif akibat kelainan atau cacat pada jaringan otak yang belum
selesai pertumbuhannya. Walaupun lesi serebral bersifat statis dan tidak progresif, tetapi
perkembangan tanda-tanda neuron perifer akan berubah akibat maturasi serebral. Yang
pertama kali memperkenalkan penyakit ini adalah William John Little (1843), yang
menyebutnya dengan istilah cerebral diplegia, sebagai akibat prematuritas atau afiksia
neonatorum. Sir William Olser adalah yang pertama kali memperkenalkan istilah cerebral
palsy, sedangkan Sigmund Freud menyebutnya dengan istilah Infantile Cerebral Paralysis.
Walaupun sulit, etiologi cerebral palsy perlu diketahui untuk tindakan pencegahan. Fisioterapi
dini memberi hasil baik, namun adanya gangguan perkembangan mental dapat menghalangi
tercapainya tujuan pengobatan.
WinthropPhelps menekankan pentingnya pendekatan multidisiplin dalam penanganan
penderita cerebral palsy, seperti disiplin anak, saraf, mata, THT, bedah tulang, bedah saraf,
psikologi, ahli wicara, fisioterapi, pekerja sosial, guru sekolah Iuar biasa. Di samping itu juga
harus disertakan peranan orang tua dan masyarakat.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi insidensi penyakit ini yaitu: populasi yang diambil,
cara diagnosis, dan ketelitiannya. Misalnya insidensi cerebral palsy di Eropa (1950) sebanyak
2,5 per 1000 kelahiran hidup, Gilory memperoleh 5 dan 1000 anak memperlihatkan defisit
motorik yang sesuai dengan cerebral palsy, 50 % kasus termasuk ringan sedangkan 10%
termasuk berat. Yang dimaksud ringan ialah penderita yang dapat mengurus dirinya sendiri,
sedangkan yang tergolong berat ialah penderita yang memerlukan perawatan khusus, 25 %
mempunyai intelegensi rata-rata (normal), sedangkan 30 % kasus menunjukkn IQ di bawah 70,
35 % disertai kejang, sedangkan 50 % menunjukan gangguan bicara. Laki-laki lebih banyak
dari pada wanita ( 1,4 : 1,0).
BAB II

Pembahasaan
1. A. Definisi
Cerebral palsy adalah ensefalopatistatis yang mungkin di definisikan sebagai kelainan
postur dan gerakan non-progresif, sering disertai dengan epilepsy dan ketidak normalan bicara,
penglihatan, dan kecerdasan akibat dari cacat atau lesi otak yang sedang
berkembang. ( Behrman : 1999, hal 67 – 70 )
Cerebral palsy ialah suatu gangguan nonspesifik yang disebabkan oleh abnormalitas
system motor piramida ( motor kortek, basal ganglia dan otak kecil ) yang ditandai dengan
kerusakan pergerakan dan postur pada serangan awal. ( Suriadi Skep : 2006, hal 23 – 27 ).
Cerebral palsy adalah kerusakan jaringan otak yang kekal dan tidak progresif, terjadi
pada waktu masih muda ( sejak dilahirkan ) serta merintangi perkembangan otak normal
dengan gambaran klinik dapat berubah selama hidup dan menunjukkan kelainan dalam sikap
dan pergerakan, disertai kelainan neurologist berupa kelumpuhan spastis, gangguan ganglia
basal dan sebelum juga kelainan mental. ( Ngastiyah : 2000, hal 54 – 56 ).
Jadi, Cerebral (otak) cpacry ( KeIumpuhan ) adalah suatu kelainan otak yang ditandai
dengan gangguan mengontrol hingga timbul kesulitan dalam bergerak dan meletakkan posisi
tubuh disertai gangguan fungsi tubuh lainnya akibat kerusakan / kelainan fungsi bagian otak
tertentu pada bayi / anak dapat terjadi ketika bayi dalam kandungan, saat lahir atau setelah
lahir, sering disertai dengan epilepsy dan ketidak normalan bicara, penglihatan, kecerdasan
kurang, buruknya pengendalian otot, kekakuan, kelumpuhan dan gangguan fungsi saraf
lainnya.

DERAJAT KEPARAHAN CEREBRAL PALSY


(Gross Motor Function Classification System/GMFCS)
Derajat I : berjalan tanpa hambatan, keterbatasan terjadi pada gerakan motorik kasar
yang lebih rumit.
Derajat II : berjalan tanpa alat bantu, keterbatasan dalam ber-jalan di luar rumah dan di
lingkungan masyarakat.
Derajat III : berjalan dengan alat bantu mobilitas, keterbatasan dalam berjalan di luar
rumah dan di lingkungan masyarakat.
Derajat IV : kemampuan bergerak sendiri terbatas, menggunakan alat bantu gerak yang
cukup canggih untuk berada di luar rumah dan di lingkungan masyarakat.
Derajat V : kemampuan bergerak sendiri sangat terbatas, walaupun sudah menggunakan
alat bantu yang canggih
B. Klasifikasi

Cerebral Palsy dibagi menjadi 4 kelompok :


1. Tipe spastic atau pyramidal ( 50% dari semua kasus CP, otot-otot menjadi kaku dan lemah.
Pada tipe ini gejala yang hampir selalu ada adalah :
a. Hipertoni ( fenomena pisau lipat )
b. Hiperrefleksi yang disertai klonus.
c. Kecenderungan timbul kontraktur.
d. Reflex patologis.
Secara topografi distribusi tipe ini adalah sebagai berikut :
a. Hemiplegia apabila mengenai anggota gerak sisi yang sama.
b. Spastic diplegia, mengenai keempat anggota gerak, anggota gerak atas sedikit lebih
berat.
c. Kuadriplegi, mengenai keempat anggota gerak, anggota gerak atas sedikit lebih
berat.
d. Monopologi, bila hanya satu anggota gerak.
e. Triplegi apabila mengenai satu anggota gerak atas dan dua anggota gerak bawah,
biasanya merupakan varian dan kuadriplegi.
2. Tipe disginetik ( koreatetoid, 20% dari semua kasus CP ), otot lengan, tungkai dan badan
secara spontan bergerak perlahan, menggeliat dan tak terkendali, tetapi bisa juga timbul
gerakan yang kasar dan mengejang. Luapan emosi menyebabkan keadaan semakin
memburuk, gerakan akan menghilang jika anak tidur.
3. Tipe ataksik, ( 10% dari semua kasus CP ), terdiri dari tremor, langkah yang goyah dengan
kedua tungkai terpisah jauh, gangguan koordinasi dan gerakan abnormal.
4. Tipe campuran ( 20% dari semua kasus CP ), merupakan gabungan dari 2 jenis diatas,
yang sering ditemukan adalah gabungan dari tipe spastic dan koreoatetoid. Berdasarkan
derajat kemampuan fungsional :
a. Ringan
Penderita masih bisa melakukan pekerjaan / aktivitas sehari-hari sehingga sama sekali
tidak atau hanya sedikit sekali membutuhkan bantuan khusus.
b. Sedang
Aktivitas sangat terbatas, penderita membutuhkan bermacam-macam bantuan khusus
atau pendidikan khusus agar dapat mengurus dirinya sendiri, dapat bergerak dan berbicara.
Dengan pertolongan secara khusus, diharapkan penderita dapat mengurus diri sendiri, berjalan
atau berbicara sehingga dapat bergerak, bergaul, hidup di tengah masyarakat dengan baik.
c. Berat
Penderita sama sekali tidak bisa melakukan aktifitas fisik dan tidak mungkin dapat
hidup tanpa pertolongan orang lain. Pertolongan atau pendidikan khusus yang diberikan sangat
sedikit hasilnya. Sebaiknya penderita seperti ini ditampung dengan retardasi mental berat, atau
yang akan menimbulkan gangguan social-emosional baik bagi keluarganya maupun
lingkungannya.

C. Etiologi
A.1Pranatal
 Infeksi yang terjadi pada masa kehamilan menyebabkan kelainan pada janin,
misalnya oleh lues, toksoplasmosis, rubela dan penyakit infeksi sitomegalik.
 Radiasi sinar X
 Malformasi Kongenital
 Asfiksia dalam kandungan (misalnya: solusio plasenta, plasenta previa, anoksi
maternal, atau tali pusat yang abnormal)
A.2Perinatal
a. Anoreksia/Hipoksia
Penyebab terbanyak ditemukan dalam masa perinatal ialah cidera otak. Keadaan inilah
yang menyebabkan terjadinya anoreksia. Hal demikian terdapat pada keadaan presentasi bayi
abnormal, disproporsi sefalopelvik, partus lama, plasenta previa, infeksi plasenta, partus
menggunakan bantuan alat tertentu dan lahir dengan seksio sesar.
b. Perdarahan otak
Perdarahan dan anoreksia dapat terjadi bersama-sama, sehingga sukar
membedakannya, misalnya perdarahan yang mengelilingi batang otak, mengganggu pusat
pernapasan dan peredaran darah sehingga terjadi anoreksia. Perdarahan dapat terjadi di ruang
subaraknoid dan menyebabkan penyumbatan CSS sehingga mangakibatkan hidrosefalus.
Perdarahan di ruang subdural dapat menekan korteks serebri sehingga timbul kelumpuhan
spastis.

c. Prematuritas

Bayi kurang bulan mempunyai kemungkinan menderita perdarahan otak lebih banyak
dibandingkan dengan bayi cukup bulan, karena pembulu darah, enzim, faktor pembekuan
darah dan lain-lain masih belum sempurna.

d. Ikterus
Ikterus pada masa neonatus dapat menyebabkan kerusakan jaringan otak yang kekal
akibat masuknya bilirubin ke ganglia basal, misalnya pada kelainan inkompatibilitas golongan
darah. Terjadi ikterus bila bilirubin dalam darah lebih dari 20 mg/dl.

e. Meningitis purulenta

Meningitis purulenta pada masa bayi bila terlambat atau tidak tepat pengobatannya
akan mengakibatkan gejala sisa berupa palsi serebral.

A.3Post natal / Pasca natal

a. Trauma Kapitis

b. Infeksi misalnya : meningitis bakterial, abses serebri, tromboplebitis,


ensefalomielitis.

c. Luka Parut pada otak pasca bedah.

Beberapa penelitian menyebutkan faktor prenatal dan perinatal lebih berperan dari pada
faktor pascanatal. Studi oleh nelson dkk ( 1986 ) menyebutkan bayi dengan berat lahir rendah,
asfiksia saat lahir, iskemia prenatal, faktor penyebab cerebral palsy. Faktor prenatal dimulai
saat masa gestasi sampai saat akhir, sedangkan faktor perinatal yaitu segala faktor yang
menyebabkan Cerebral palsy mulai dari lahir sampai satu bulan kehidupan. Sedangkan faktor
pascanatal mulai dari bulan pertama kehidupan sampai 2 tahun. ( Hagbreg dkk, 1975 ), atau
sampai 5 tahun kehidupan ( Blair dan Stanley, 1982 ), atau sampai 16 tahun ( Perlstein, Hod,
1964 )

D. Faktor Resiko

Faktor-faktor resiko yang menyebabkan kemungkinan terjadinya CP semakin besar


antara lain adalah :

1. Letak sungsang.
2. Proses persalinan sulit
Masalah vaskuler atau respirasi bayi selamaa persalinan merupakan tanda awal yang
menunjukkan adanya masalah kerusakan otak atau otak bayi tidak berkembang secara
normal. Komplikasi tersebut dapat menyebabkan kerusakan otak permaanen.
3. Apgar score rendah.
Apgar score yang rendah hingga 10 – 20 menit setelah kelahiran.
4. BBLR dan prematuritas.
Resiko CP lebih tinggi diantara bayi dengan berat lahir
5. Kehamilan ganda.
6. Malformasi SSP.
Sebagian besar bayi-bayi yang lahir dengan CP memperlihatkan malformasi SSP yang
nyata, misalnya lingkar kepala abnormal (mikrosefali). Hal tersebut menunjukkan bahwa
masalah telah terjadi pada saat perkembangan SSP sejak dalam kandungan.
7. Perdarahaan maternal atau proteinuria berat pada saat masa akhir kehamilan.
Perdarahan vaginal selama bulan ke 9 hingga 10 kehamilan dan peningkatan jumlah
protein dalam urine berhubungan dengan peningkatan resiko terjadinya CP pada bayi.
8. Hipertiroidism maternal, mental retardasi dan kejang.
9. Kejang pada bayi baru lahir.

E. Manifestasi klinis

Manifestasi klinik Cerebral palsy bergantung pada lokalisasi dan luasnya jaringan otak
yang mengalami kerusakan, apakah pada korteks serebri, ganglia basalis atau serebelum.
Dengan demikian secara klinik dapat dibedakan 3 bentuk dasar gangguan motorik pada
Cerebral palsy, yaitu : spastisitas, atetosis dan ataksia.

1. Spastisitas
Terdapat peninggian tonus otot dan refleks yang disertai dengan klonus dan reflek
Babinski yang positif. Tonus otot yang meninggi itu menetap dan tidak hilang meskipun
penderita dalam keadaan tidur. Peninggian tonus ini tidak sama derajatnya pada suatu
gabungan otot, karena itu tampak sifat yang khas dengan kecenderungan terjadi kontraktur,
misalnya lengan dalam aduksi, fleksi pada sendi siku dan pergelangan tangan dalam pronasi
serta jari-jari dalam fleksi sehingga posisi ibu jari melintang di telapak tangan.

Tungkai dalam sikap aduksi, fleksi pada sendi paha dan lutut, kaki dalam flesi plantar
dan telapak kaki berputar ke dalam. Tonic neck reflex dan refleks neonatal menghilang pada
waktunya. Kerusakan biasanya terletak di traktus kortikospinalis. Bentuk kelumpuhan
spastisitas tergantung kepada letak dan besarnya kerusakan yaitu monoplegia/ monoparesis.
Kelumpuhan keempat anggota gerak, tetapi salah satu anggota gerak lebih hebat dari yang
lainnya; hemiplegia/ hemiparesis adalah kelumpuhan lengan dan tungkai dipihak yang sama;
diplegia/ diparesis adalah kelumpuhan keempat anggota gerak tetapi tungkai lebih hebat
daripada lengan; tetraplegia/ tetraparesis adalah kelimpuhan keempat anggota gerak, lengan
lebih atau sama hebatnya dibandingkan dengan tungkai. Golongan spastitis ini meliputi 3 – ¾
penderita cerebral palsy. Bentuk kelumpuhan spastitis tergantung kepada letak dan besarnya
kerusakan, yaitu:

a. Monoplegia/ Monoparesis
Kelumpuhan keempat anggota gerak, tetapi salah satu anggota gerak lebih hebat dari
yang lainnya.

b. Hemiplegia/ Diparesis

Kelumpuhan lengan dan tungkai dipihak yang sama.

c. Diplegia/ Diparesis
Kelumpuhan keempat anggota gerak, tetapi tungkai lebih hebat daripada lengan.

d. Tetraplegia/ Tetraparesis

Kelumpuhan keempat anggota gerak, tetapi lengan lebih atau sama hebatnya
dibandingkan dengan tungkai

2. Tonus otot yang berubah


Bayi pada golongan ini, pada usia bulan pertama tampak fleksid (lemas) dan berbaring
seperti kodok terlentang sehingga tampak seperti kelainan pada lower motor neuron.
Menjelang umur 1 tahun barulah terjadi perubahan tonus otot dari rendah hingga tinggi. Bila
dibiarkan berbaring tampak fleksid dan sikapnya seperti kodok terlentang, tetapi bila
dirangsang atau mulai diperiksa otot tonusnya berubah menjadi spastis, Refleks otot yang
normal dan refleks babinski negatif, tetapi yang khas ialah refleks neonatal dan tonic neck
reflex menetap. Kerusakan biasanya terletak di batang otak dan disebabkan oleh afiksia
perinatal atau ikterus.

3. Koreo-atetosis
Kelainan yang khas yaitu sikap yang abnormal dengan pergerakan yang terjadi dengan
sendirinya (involuntary movement). Pada 6 bulan pertama tampak flaksid, tetapa sesudah itu
barulah muncul kelainan tersebut. Refleks neonatal menetap dan tampak adanya perubahan
tonus otot. Dapat timbul juga gejala spastisitas dan ataksia, kerusakan terletak diganglia basal
disebabkan oleh asfiksia berat atau ikterus kern pada masa neonatus.

4. Ataksia
Ataksia adalah gangguan koordinasi. Bayi dalam golongan ini biasanya flaksid dan
menunjukan perkembangan motorik yang lambat. Kehilangan keseimbangan tampak bila
mulai belajar duduk. Mulai berjalan sangat lambat dan semua pergerakan canggung dan kaku.
Kerusakan terletak di serebelum.

5. Gangguan pendengaran
Terdapat 5-10% anak dengan cerebral palsy. Gangguan berupa kelainan neurogen
terutama persepsi nadi tinggi, sehingga sulit menangkap kata-kata. Terdapat pada golongan
koreo-atetosis.

6. Gangguan bicara
Disebabkan oleh gangguan pendengaran atau retradasi mental. Gerakan yang terjadi
dengan sendirinya dibibir dan lidah menyebabkan sukar mengontrol otot-otot tersebut
sehingga anak sulit membentuk kata-kata dan sering tampak anak berliur.

7. Gangguan mata
Gangguan mata biasanya berupa strabismus konvergen dan
kelainan refraksi.padakeadaan asfiksia yang berat dapat terjadi katarak.
8. Paralisis
Dapat berbentuk hemiplegia, kuadriplegia, diplegia, monoplegia, triplegia.
Kelumpuhan ini mungkin bersifat flaksid, spastik atau campuran.

9. Gerakan involunter
Dapat berbentuk atetosis, khoreoatetosis, tremor dengan tonus yang dapat bersifat
flaksid, rigiditas, atau campuran.

10. Kejang
Dapat bersifat umum atau fokal.

11. Gangguan perkembangan mental


Retardasi mental ditemukan kira-kira pada 1/3 dari anak dengan cerebral palsy
terutama pada grup tetraparesis, diparesis spastik dan ataksia. Cerebral palsy yang disertai
dengan retardasi mental pada umumnya disebabkan oleh anoksia serebri yang cukup lama,
sehingga terjadi atrofi serebri yang menyeluruh. Retardasi mental masih dapat diperbaiki bila
korteks serebri tidak mengalami kerusakan menyeluruh dan masih ada anggota gerak yang
dapat digerakkan secara volunter. Dengan dikembangkannya gerakan-gerakan tangkas oleh
anggota gerak, perkembangan mental akan dapat dipengaruhi secara positif.

12. Problem emosional terutama pada saat remaja.


Dari manifestasi klinis diatas tadi, terdapat ciri-ciri dari cerebral palsy, yaitu :

 Perkembangan motor kasar dan motor halus yang lambat


 Tindakan yang sepatutnya hilang masih kekal
 Berjalan dengan menjinjit atau kaki diseret
 Ketidaknormalan bentuk otot
 Lekukan pada spinal “jawbone” kepala kecil
 Penangkapan
 Sawan
 Percakapan komunikasi
 Deria yang lemah
 Kerencatan akal
 Masalah pembelajaran
 Masalah tingkah laku

F. Patofisiologi

Adanya malformasi pada otak, penyumbatan pada vaskuler, atropi, hilangnya neuron
dan degenerasi laminar akan menimbulkan narrower gry, saluran sulci dan berat otak rendah.
Anoxia merupakan penyebab yang berarti dengan kerusakan otak, atau sekunder dari penyebab
mekanisme yang lain. CP (Cerebral Palsy) dapat dikaitkan dengan premature yaitu spastic
displegia yang disebabkan oleh hypoxic infarction atau hemorrhage dalam ventrikel.
Type athetoid / dyskenetik disebabkan oleh kernicterus dan penyakit hemolitik pada
bayi baru lahir, adanya pigmen berdeposit dalam basal ganglia dan beberapa saraf nuclei
cranial. Selain itu juga dapat terjadi bila gangsal banglia mengalami injury yang ditandai
dengan idak terkontrol; pergerakan yang tidak dosadari dan lambat. Type CP
himepharetic,karena trauma pada kortek atau CVA pada arteri cerebral tengah. Cerebral
hypoplasia; hipoglicemia neonatal dihubungkan dengan ataxia CP.
Spastic CP yang paling sering dan melibatkan kerusakan pada motor korteks yang
paling ditandai dengan ketegangan otot dan hiperresponsif. Refleks tendon yang dalam akan
meningkatkan dan menstimulasi yang dapat menyebabkan pergerakan sentakan yang tiba-tiba
pada sedikit atau semua ektermitas. Ataxic CP adanya injury dari serebelum yang mana
mengatur koordinasi, keseimbangan dan kinestik. Akan tampak pergerakan yang tidak
terkoordinasi pada ekstremitas aras bila anak memegang / menggapai benda. Ada pergerakan
berulang dan cepat namun minimal. Rigid / tremor / atonic CP ditandai dengan kekakuan pada
kedua otot fleksor dan ekstensor. Type ini mempunyai prognosis yang buruk karena ada
deformitas multiple yang terkait dengan kurangnya pergerakan aktif. Secara
umum cortical dan antropy cerebral menyebabkan beratnya kuadriparesis dengan retardasi
mental dan microcephaly.

G. Gejala

Gejala biasanya timbul sebelum anak berumur 2 tahun dan pada kasus yang berat,bisa
muncul pada saat anak berumur 3 bulan.
Gejalanya bervariasi,mulai dari kejanggalan yang tidak tampak nyata sampai kekakuan
yang berat,yang menyebabkan bentuk lengan dan tungkai sehingga anak harus memakai kursi
roda. Gejalanya selalu mengiringi tipe dari cerebral palsy. Gejala lain yang mungkin muncul
adalah :

 Kecerdasan dibawah normal


 Keterbelakangan mental
 Kejang/epilepsy (trauma pada tipe spastik)
 Gangguan menghisap atau makan
 Pernafasan yang tidak teratur
 Gangguan perkembangan kemampauan motorik (misalnya menggapai sesuatu, duduk ,
berguling ,merangkak , berjalan)
 Gangguan berbicara (disatria)
 Gangguan penglihatan
 Gangguan pendengaran
 Kontraktur persendian
 Gerakan menjadi terbatas

H. Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis lengkap tentang riwayat kehamilan,


perinatal dan pascanatal, dan memperhatikan faktor risiko terjadinya cerebral palsy. Juga
pemeriksaan fisik lengkap dengan memperhatikan perkembangan motorik dan mental dan
adanya refleks neonatus yang masih menetap.

Pada bayi yang mempunyai risiko tinggi diperlukan pemeriksaan berulang kali, karena
gejaladapat berubah, terutama pada bayi yang dengan hipotoni, yang menandakan
perkembangan motorik yang terlambat; hampir semua cerebral palsy melalui fase hipotoni.

Pemeriksaan penunjang lainnya yang diperlukan adalah foto polos kepala, pemeriksaan
pungsi lumbal. Pemeriksaan EEG terutama pada penderita yang memperlihatkan gejala
motorik, seperti tetraparesis, hemiparesis, atau karena sering disertai kejang. Pemeriksaan
ultrasonografi kepala atau CT Scan kepala dilakukan untuk mencoba mencari etiologi.

Pemeriksaan psikologi untuk menentukan tingkat kemampuan intelektual yang akan


menentukan cara pendidikan ke sekolah biasa atau sekolah luar biasa.

I. Diagnosis pembanding

1. Mental subnormal
2. Retardasi motorik terbatas
3. Tahanan volunter terhadap gerakan pasif
4. Kelainan persendian
5. Cara berjalan yang belum stabil
6. Gerakan normal
7. Berjalan berjinjit
8. Pemendekan kongenital pada gluteus maksimus, sastrak nemius atau hamstring
9. Kelemahan otot-otot pada miopati, hipotoni atau palsy erb
10. Lain penyebab dari gerakan involunter
11. Penyakit-penyakit degeneratif pada susunan saraf
12. Kelainan pada medala spinalis
13. Sindrom lain

J. Pemeriksaan penunjang

 Pemeriksaan mata dan pendengaran segera dilakukan setelah diagnosis sebral palsi di
tegakkan.
 Fungsi lumbal harus dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan penyebabnya suatu proses
degeneratif. Pada serebral palsi. CSS normal.
 Pemeriksaan EKG dilakukan pada pasien kejang atau pada golongan hemiparesis baik yang
disertai kejang maupun yang tidak.
 Foto rontgen kepala.
 Penilaian psikologis perlu dikerjakan untuk tingkat pendidikan yang dibutuhkan.
 Pemeriksaan metobolik untuk menyingkirkan penyebab lain dari reterdasi mental.

K. Penatalaksanaan

Pada umumnya penanganan penderita CP meliputi :

a. Medik
Pengobatan kausal tidak ada, hanya simtomatik. Pada keadaan ini perlu kerja sama
yang baik dan merupakan suatu tim dokter anak, neurolog, psikiater, dokter mata, dokter THT,
ahli ortopedi, psikolog, fisioterapi, occupatiional therapist, pekerja sosial, guru sekolah luar
biasa dan orangtua pasien.

b. Aspek non medis yang dilakukan


Untuk mengatasi kecacatan motorik yang disertai kecacatan mental memerlukan
pendidikan yang khusus. Kesembuhan dalam arti regenerasi otak yang sehat dapat diraih
dengan pengobatan dan perawatan yang tepat.
c. Fisioterapi
Tindakan ini harus segera dimulai secara intensif. Orang tua turut membantu program
latihan dirumah. Untuk mencegah kontraktur perlu diperhatikan posisi pasien pada waktu
istirahat atau tidur. Bagi pasien yang berat dianjurkan untuk sementara tinggal dipusat latihan.
Fisioterapi ini dilakukan sepanjang pasien hidup.

d. Tindakan bedah
Bila terdapat hipertonus otot atau hiperspastisitas, dianjurkan untuk dilakukan
pembedahan otot, tendon atau tulang untuk reposisi kelainan tersebut. Pembedahan stereotatik
dianjurkan pada pasien dengan pergerakan koreotetosis yang berlebihan.

Bertujuan untuk mengurangi spasme otot, menyamakan kekuatan otot yang antagonis,
menstabilkan sendi-sendi dan mengoreksi deformitas. Tindakan operasi lebih sering dilakukan
pada tipe spastik dari pada tipe lainnya. Juga lebih sering dilakukan pada anggota gerak bawah
dibanding -dengan anggota gerak atas. Prosedur operasi yang dilakukan disesuaikan dengan
jenis operasinya, apakah operasi itu dilakukan pada saraf motorik, tendon, otot atau pada
tulang.

e. Obat-obatan
Pasien cereebral palsy (CP) yang dengan gejala motorik ringan adalah baik, makin
banyak gejala penyertaannya dan makin berat gejala motoriknya makin buruk prognosisnya.
Bila di negara maju ada tersedia institute cerebral palsy untuk merawat atau untuk menempung
pasien ini.

Pemberian obat-obatan pada CP bertujuan untuk memperbaiki gangguan tingkah laku,


neuro-motorik dan untuk mengontrol serangan kejang.

Pada penderita CP yang kejang. pemberian obat anti kejang memberikan hasil yang
baik dalam mengontrol kejang, tetapi pada CP tipe spastik dan atetosis obat ini kurang
berhasil. Demikian pula obat muskulorelaksan kurang berhasil menurunkan tonus otot pada CP
tipe spastik dan atetosis. Pada penderita dengan kejang diberikan maintenanceanti kejang yang
disesuaikan dengan karakteristik kejangnya, misalnya luminal, dilantin dan sebagainya. Pada
keadaan tonus otot yang berlebihan, obat golongan benzodiazepine, misalnya : valium, librium
atau mogadon dapat dicoba. Pada keadaanchoreoathetosis diberikan artane. Tofranil
(imipramine) diberikan pada keadaan depresi. Pada penderita yang hiperaktif dapat
diberikan dextroamphetamine 5 – 10 mg pada pagi hari dan 2,5 – 5 mg pada waktu tengah
hari.

f. Tindakan keperawatan
Mengobservasi dengan cermat bayi-nayi baru lahir yang beresiko ( baca status bayi
secara cermat mengenai riwayat kehamilan/kelahirannya . Jika dijumpai adanya kejang atau
sikap bayi yang tidak biasa pada neonatus segera memberitahukan dokter agar dapat dilakukan
penanganan semestinya.

Jika telah diketahui bayi lahir dengan resiko terjadi gangguan pada otak walaupun
selama di ruang perawatan tidak terjadi kelainan agar dipesankan kepada orangtua/ibunya jika
melihat sikap bayi tidak normal supaya segera dibawa konsultasi ke dokter.

g. Occupational therapy
Ditujukan untuk meningkatkan kemampuan untuk menolong diri sendiri, memperbaiki
kemampuan motorik halus, penderita dilatih supaya bisa mengenakan pakaian, makan, minum
dan keterampilan lainnya.

h. Redukasi dan rehabilitasi.


Dengan adanya kecacatan yang bersifat multifaset, seseorang penderita CP perlu
mendapatkan terapi yang sesuai dengan kecacatannya. Evaluasi terhadap tujuan perlu dibuat
oleh masing-masing terapist. Tujuan yang akan dicapai perlu juga disampaikan kepada orang
tua/famili penderita, sebab dengan demikian ia dapat merelakan anaknya mendapat perawatan
yang cocok serta ikut pula melakukan perawatan tadi di lingkungan hidupnya sendiri.
Fisioterapi bertujuan untuk mengembangkan berbagai gerakan yang diperlukan untuk
memperoleh keterampilan secara independent untuk aktivitas sehari-hari. Fisioterapi ini harus
segera dimulai secara intensif. Untuk mencegah kontraktur perlu diperhatikan posisi penderita
sewaktu istirahat atau tidur. Bagi penderita yang berat dianjurkan untuk sementara tinggal di
suatu pusat latihan. Fisioterapi dilakukan sepanjang hidup penderita. Selain fisioterapi,
penderita CP perlu dididik sesuai dengan tingkat inteligensinya, di Sekolah Luar Biasa dan bila
mungkin di sekolah biasa bersama-sama dengan anak yang normal. Di Sekolah Luar Biasa
dapat dilakukan speech therapy dan occupational therapy yang disesuaikan dengan keadaan
penderita. Mereka sebaiknya diperlakukan sebagai anak biasa yang pulang ke rumah dengan
kendaraan bersama-sama sehingga tidak merasa diasingkan, hidup dalam suasana normal.
Orang tua janganlah melindungi anak secara berlebihan dan untuk itu pekerja sosial dapat
membantu di rumah dengan melihat seperlunya.

L. KOMPLIKASI
1. Ataksi
2. Katarak
3. Hidrosepalus
4. Retardasi Mental
IQ di bwh 50, berat/beban dari otak motoriknya IQ rendah, dengan suatu ketegangan IQ yang
lebih rendah.

5. Strain/ ketegangan
Lebih sering pada qudriplegia dan hemiplegia

6. Pinggul Keseleo/ Kerusakan


Sering terjadi pada quadriplegia dan paraplegia berat.

7. Kehilangan sensibilitas
Anak-anak dengan hemiplegia akan kehilangan sensibilitas.

8. Hilang pendengaran
Atrtosis sering terjadi terpasang, tetapi bukan pada anak spaskis.

9. Gangguan visual
Bermata juling, terutama pada anak-anak prematur dan quadriplegia.

10. Kesukaran btuk bicara


Penyebab: disartria, Retardasi mental, hilang pendengaran, atasi kortikal, gangguan emosional
dan mungkin sebab gejala lateralisasi pada anak hemiplagia.

11. Inkontinensia
RM, dan terutama oleh karena berbagai kesulitan pada pelatihan kamar kecil.

12. Penyimpangan Perilaku


Tidak suka bergaul, dengan mudah dipengaruhi dan mengacaukan
ketidaksuburan/kemandulan.

M. PENCEGAHAN
Pencegahan merupakan usaha yang terbaik. CP dapat dicegah dengan jalan
menghilangkan faktor etiologik kerusakan jaringan otak pada masa prenatal, natal dan post
natal. Sebagian daripadanya sudah dapat dihilangkan, tetapi masih banyak pula yang sulit
untuk dihindari. “Prenatal dan perinatal care” yang baik dapat menurunkan insidens CP.
Kernikterus yang disebabkan “haemolytic disease of the new born” dapat dicegah dengan
transfusi tukar yang dini, “rhesus incompatibility” dapat dicegah dengan pemberian
“hyperimmun anti D immunoglobulin” pada ibu-ibu yang mempunyai rhesus negatif.
Pencegahan lain yang dapat dilakukan ialah tindakan yang segera pada keadaan hipoglikemia,
meningitis, status epilepsi dan lain-lain.

N. PROGNOSIS
Prognosis bergantung pada banyak faktor, antara lain : Berat ringannya CP, cepatnya
diberi pengobatan, gejala-gejala yang menyertai CP, sikap dan kerjasama penderita,
keluarganya dan masyarakat. Menurut Nelson WE dkk (1968), hanya sejumlah kecil penderita
CP yang dapat hidup bebas dan menyenangkan, namun Nelson KB dkk (1981) dalam
penyelidikannya terhadap 229 penderita CP yang.didiagnosis pada usia 1 tahun, ternyata
setelah berumur 7 tahun 52% di antaranya telah bebas dari gangguan motorik. Dilaporkan pula
bahwa bentuk CP yang ringan, monoparetik, ataksik, diskinetik dan diplegik yang lebih
banyak mengalami perbaikan. Penyembuhan juga lebih banyak ditemukan pada golongan anak
kulit hitam dibanding dengan kulit putih. Di negara maju, misalnya diInggris dan Scandinavia,
terdapat 20–25% penderita CP bekerja sebagai buruh harian penuh dari 30–50% tinggal di”
Institute Cerebral Palsy”.

Makin banyak gejala penyerta dan makin berat gangguan motorik, makin buruk
prognosis. Umumnya inteligensi anak merupakan petunjuk prognosis, makin cerdas makin
baik prognosis. Penderita yang sering kejang dan tidak dapat diatasi dengan anti kejang
mempunyai prognosis yang jelek. Pada penderita yang tidak mendapat pengobatan, perbaikan
klinik yang spontan dapat terjadi walaupun lambat. Dengan seringnya anak berpindah-pindah
tempat, anggota geraknya mendapat latihan bergerak dan penyembuhan dapat terjadi pada
masa kanak-kanak. Makin cepat dan makin intensif pengobatan maka hasil yang dicapai makin
lebih baik. Di samping faktor-faktor tersebut di atas, peranan orang tua/keluarga dan
masyarakat juga ikut menentukan prognosis. Makin tinggi kerjasama dan penerimaannya maka
makin baik prognosis.
BAB III

Penutup

A. KESIMPULAN

Cerebral (otak) parcy ( KeIumpuhan ) adalah suatu kelainan otak yang ditandai dengan
gangguan mengontrol hingga timbul kesulitan dalam bergerak dan meletakkan posisi tubuh
disertai gangguan fungsi tubuh lainnya akibat kerusakan / kelainan fungsi bagian otak tertentu
pada bayi / anak dapat terjadi ketika bayi dalam kandungan, saat lahir atau setelah lahir, sering
disertai dengan epilepsy dan ketidak normalan bicara, penglihatan, kecerdasan kurang,
buruknya pengendalian otot, kekakuan, kelumpuhan dan gangguan fungsi saraf lainnya.
Cerebral palsy dapat disebabkan oleh prenatal, perinatal dan post natal da nada berbagai
macam klasifikasi pada cerebral palsy. Pencegahan merupakan usaha yang terbaik. CP dapat
dicegah dengan jalan menghilangkan faktor etiologik kerusakan jaringan otak pada masa
prenatal, natal dan post natal. Sebagian daripadanya sudah dapat dihilangkan, tetapi masih
banyak pula yang sulit untuk dihindari.

B. SARAN
Setelah membaca makalah ini, diharapkan pembaca dapat memahami pengertian dan
etiologi dari Cerebral palsy. Dengan demikian, diharapkan nantinya dapat melakukan
pencegahan dan pengobatan terhadap Cerebral palsy.
ASUHAN KEPERAWATAN

I. ANALISA DATA
NO DATA MASALAH ETIOLOGI
1 DS: Ibu pasien mengatakan pasien panas Hipertermia Peningkatan produksi
DO: Suhu tubuh anak 38,2ºC, N : 158
panas
x/menit, RR 38x/ menit, akral
hangat, mukosa bibir kering
2 DS: Ibu pasien mengatakan Hambatan Gangguan
Perkembangan anaknyaterhambat tumbuh neuromuskular
DO: Anak belum mampu
kembang
melaksanakan pencapaian tugas pada
perkembangan personal sosial
(mencuci tangan), motorik halus,
(meniru garis vertikal), bahasa (anak
belum mampu berbicara), motorik
kasar (belum mampu berjalan).
3 DS: Ibu pasien mengatakan bahwa Hambatan Defek anatomis
anaknya mengalami kesulitan komunikasi
dalam komunikasi.
verbal
DO: Pasien tampak mengalami
kesulitan dalam komunikasi
verbal, hasil pemeriksaan DDST
bagian bahasa anak belum
mampu mengkombinasikan dua
kata. Hasilnya adalah “suspect” .
4 DS: Ibu pasien mengatakan anaknya Hambatan Hambatan
kesulitan menggerakkan kaki. mobilitas isik perkembangan
DO: kekuatan tonus otot lemah
4 4
1 1
II. Diagnosa Keperawatan dan Prioritas Masalah
1. Hipertermia berhubungan dengan peningkatan produksi panas (Wong, 2004)
2. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan perkembangan terhambat
(Nanda, 2007)
3. Hambatan komunikasi verbal berhubungan dengan defek anatomis
(Nanda, 2012)
4. Hambatan tumbuh kembang berhubungan dengan gangguan
neuromuskular (Nanda, 2012)
III. Intervensi Keperawatan

NO TUJUAN & RASIONAL


INTERVENSI
DX KRITERIA HASIL
1 Setelah dilakukan a. berikan selimut pendingin a. untuk menurunkan suhu
asuhan keperawatan atau tipis tubuh anak dengan cara
selama 3x24 jam, konduksi
diharapakan pasien b. lakukan kompres hangat
mampu pada anak b. untuk menurunkan suhu
mempertahankan suhu tubuh anak dengan cara
tubuh dalam batas evaporasi
normal, dengan kriteria c. pantau suhu tubuh anak
hasil: c. untuk mencegah
secara berkala pendinginan tubuh yang
a. suhu tubuh anak
dalam batas normal (36- berlebihan
37.5°C) d. untuk menyerap keringat
b. mukosa bibir anak d. anjurkan pada keluarga
lembab pasien agar memberikan
c. akral tidak panas/ minum air putih sedikit tapi
hangat sering

e. kolaborasi pemberian e.obat penurun panas/


antipiretik sesuai terapi menurunkan suhu dari
pusat hipotalamus

2 Setelah dilakukan a. Berikan sebanyak mungkin a. untuk mempertahankan


asuhan keperawatan kebebasan bergerak dan rasa otonomi
selama 3x24 jam, dorong aktivitas normal
diharapakan pasien b. meningkatkan kemampuan
mampu menunjukkan b. Ajarkan dan bantu / tolak ukur dari
tingkat mobilitas, pasien dalam proses pertumbuhan
dengan kriteria hasil: perpindahan yang aman
a. Melakukan c. mungkinuntuk
perpindahan c. Ubah posisi ditempat menurunkan perasaan
tidur bila immobilisasi
b. Ambulasi : berjalan
d. Ajarkan dan dukung pasien d. mencegah terjadinya
c. Melakukan aktifitas dalam latihan ROM aktit / kontraktur dan
sehari-hari secara pasif untuk mempertahankan meningkatkan kekuatan
mandiri atau meningkatkan kekutan otot
d. Menyangga berat atau ketahanan otot e. lebih mudah menentukan
badan pendidikan kesehatan
e. Kaji kebutuhan pasien akan yang tepat
pendidikan kesehatan

3 Setelah dilakukan a. Anjurkan kunjungan a. untuk mengurangi ansietas


asuhan keperawatan keluarga secara teratur anak
selama 3x24 jam, untuk memberi stimulasi
diharapakan pasien pada komunikasi b. memberikan waktu pada
mampu menunjukkan anak untuk memahami
komunikasi, dengan b. Bicara perlahan, jelas dan pembicaraan
kriteria hasil: tenang, menghadap kearah
a. Anak mampu pasien c. menguatkan bicara dan
mendorong pemahaman
bertukar pesan
secara akurat dengan c. Gunakan kartu baca, bahasa d. untuk memudahkan
orang lain tubuh, dan gambar untuk
memfasilitasi komunikasi nonverbal
b. Menggunakan bahasa komunikasidua arah yang
e. agar anak tidak
tertulis, berbicara, optimal
mempelajari kebiasaan
nonverbal komunikasi yang buruk.
d. bantu keluarga mendapatkan
c. Menggunakan bahasa alat elektronik (microphone)
isyarat
e. Beritahu ahli terapi wicara
dengan lebih dini.

4 Setelah dilakukan a. kaji tingkat tumbuh a. mengetahui tingkat


asuhan keperawatan kembang anak tumbuh kembang anak
selama 3x24 jam, secara dini untuk
diharapakan anak akan b. ajarkan untuk intervensi menentukan intervensi
menunjukkan tingkat awal dengan terapi rekreasi yang tepat
pertumbuhan dan p dan aktivitas sekolah
erkembangan sesuai b. mengelompokkan anak
c. berikan aktivitas yang dengan kelompok usia akan
dengan usia, dengan
sesuai, menarik, dan dapat menstimulasi proses tumbuh
kriteria hasil:
dilakukan oleh anak. kembang anak
a. melakukan
ketrampilan sesuai d. Rencanakan bersama anak c. aktivitas yang menarik
dengan usia aktivitas dan sasaran yang akan menambah kemauan
b. mampu melakukan memberikan kesempatan untuk anak untuk mencapai
ADL secara mandiri keberhasilan aktivitas tersebut
c. menunjukkan
peningkatan dalam e. Berikan pendkes stimulasi d. untuk mendorong
berespon tumbuh kembang anak pada kerjasama dan citra diri yang
keluarga positif

e. untuk memperkuat
stimulasi tumbuh dan
kembang anak
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Congenital Talipes Equino Varus (CTEV) yang juga dikenal sebagai ‘club-foot’ adalah suatu
gangguan perkembangan pada ekstremitas inferior yang sering ditemui, tetapi masih jarang dipelajari.
CTEV dimasukkan dalam terminologi “sindromik” bila kasus ini ditemukan bersamaan dengan
gambaran klinik lain sebagai suatu bagian dari sindrom genetik. CTEV dapat timbul sendiri tanpa
didampingi gambaran klinik lain, dan sering disebut sebagai CTEV “idiopatik”. CTEV sindromik
sering menyertai gangguan neurologis dan neuromuskular, seperti spina bifida maupun spinal
muskular atrofi. Tetapi bentuk yang paling sering ditemui adalah CTEV “idiopatik”, dimana pada
bentuk yang kedua ini ekstremitas superior dalam keadaan normal.

Club-foot ditemukan pada hieroglif Mesir dan dijelaskan oleh Hipokrates pada 400 SM.
Hipokrates menyarankan peawatan dengan cara memanipulasi kaki dengan lembut untuk kemudian
dipasang perban. Sampai saat ini, perawatan modern juga masih mengandalkan manipulasi dan
immobilisasi. Manipulasi dan immobilisasi secara serial yang dilakukan secara hati-hati diikuti
pemasangan gips adalah metode perawatan modern non operatif. Kemungkinan mekanisme
mobilisasi yang saat ini paling efektif adalah metode Ponseti, dimana penggunaan metode ini dapat
mengurangi perlunya dilakukan operasi. Walaupun demikian, masih banyak kasus yang membutuhkan
terapi operatif.

1.2 Rumusan masalah

1. Bagaimana struktur tulang dan otot ?


2. Apa saja jenis- jenis tulang rawan, tulang, otot rangka dan pembagiannya?
3. Bagaimana perkembangan tulang rawan otot dan tulang ?
4. Bagaimana perkembangan terjadinya lengkung kaki sesuai usia
5. Apa Definisi & Klasifikasi CTEV ?
6. Apa Etiologi CTEV ?
7. Bagaimana Patofisiologi CTEV ?
8. Bagaimana Pemeriksaan dignosis CTEV ?
9. Bagaimana Penatalaksanaan CTEV
10. Apa saja Komplikasi dan prognosis CTEV ?
1.3 Tujuan dan Manfaat

Tujuan menyusun makalah ini adalah:

1. Untuk mengetahui definisi penyakit CTEV


2. Untuk mengetahui epidemiologi CTEV
3. Untuk mengetahui klasifikasi CTEV
4. Untuk mengetahui etiologi dan faktor resiko CTEV
5. Untuk mengetahui patofisiologi dari CTEV
6. Untuk mengetahui manifestasi klinis dari CTEV
7. Untuk mengetahui cara menegakkan diagnosis CTEVdengan anamnesis, pemeriksaan
fisik, dan pemeriksaan penunjang
8. Untuk mengetahui diagnosis banding dari CTEV
9. Untuk mengetahui penatalaksanaan CTEV
10. Untuk mengetahui komplikasi CTEV
11. Untuk mengetahui prognosis CTEV
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 STRUKTUR TULANG DAN OTOT RANGKA


Tulang
Secara makroskopik:
• spongiosa (kanselosa)
• kompak (padat)
Permukaan luar tulang dilapisi
• selubung fibrosa (periosteum);
• lapis tipis jaringan ikat
(endosteum) melapisi rongga
sumsum & meluas ke dlm
kanalikuli tulang kompak
Secara mikroskopis :
• Sistem havers
• Lamella
• Lacuna
• Kanalikuli

Otot
Tendon
• Hampir semua otot rangka menempel pada tulang. Tendon: jaringan ikat fibrosa (tdk elastis)
yang tebal dan berwarna putih yg menghubungkan otot rangka dengan tulang.
Fascia
• Sel otot à serat otot (endomysium) à fascicle à fasciculus (perimysium) à fascia
(epimysium) à otot rangka (organ)
Setiap 1 serat otot dilapisi oleh jaringan elastik tipis yg disebut sarcolemma.
Protoplasma serat otot yg berisi materi semicair disebut sarkoplasma.
Di dalam matriks serat otot terbenam unit fungsional otot berdiameter 0,001 mm yg disebut
miofibril.
Miofibril (diameter 1-2mm)
• Di bawah mikroskop, miofibril akan tampak spt pita gelap & terang yang bersilangan.
• Pita gelap (thick filament) dibentuk oleh miosin
• Pita terang (thin filament) dibentuk oleh aktin,troponin & tropomiosin)
Sarkomer
1 sarkomer tdd:
- filamen tebal,
- filamen tipis,
- protein yg menstabilkan posisi filamen tebal & tipis, &
- protein yg mengatur interaksi antara filamen tebal & tipis.
• Pita gelap (pita/ bands A~anisotropic); pita terang (pita/bands I~isotropic)
• Filamen tebal tdp di tengah sarkomer Pita A, tdd 3 bgn: garis M; zona H; dan zona overlap
• Filamen tebal tdp pd pita I;garis Z mrp batas antara 2 sarkomer yg berdekatan & mengandung
protein Connectins yg menghubungkan filamen tipis pd sarkomer yg berdekatan.
Retikulum Sarkoplasma
• Jejaring kantung dan tubulus yang terorganisir pada jaringan otot
• Tdd tubulus-tubulus yg sejajar dg miofibril, yg pd garis Z dan zona H bergabung membentuk
kantung (lateralsac) yang dekat dengan sistem tubulus transversal (Tubulus T).
• Tempat penyimpanan ion Ca2+.
• Tubulus T à saluran untuk berpindahnya cairan yang mengandung ion.
• Tubulus T dan retikulum sarkoplasma berperan dalam metabolisme, eksitasi, dan kontraksi
otot.

2.2 Jenis-jenis tulang rawan, tulang, otot rangka, dan pembagiannya


Variasi komposisi komponen matriks ekstrasel (ECM) à 3 jenis tulang rawan, yang beradaptasi
dengan kebutuhan biomekanis setempat.
 3 jenis TR
 Hialin
 Bentuk TR terbanyak
 Embrio: sebagai model kerangka bagi kebanyakan tulang yang seiring dengan
pertumbuhan akan digantikan oleh tulang melalui proses (osifikasi endokondral)
 Dewasa: kebanyakan telah diganti dengan tulang. Kecuali TR permukaan sendi,
ujung iga, hidung, laring, trakea dan bronki
 Mengandung serat kolagen tipe II

 Elastik
 Serupa TR hialin, namun memiliki lebih banyak serat elastic (fibra elastica)
 Bersifat sangat lentur, terdapat di telinga luar, dinding tuba auditorius, epiglottis dan
laring

 Fibrokartilago
o Berkas – berkas serat kolagen kasar yang padat dan tidak teratur dalam jumlah
besar
o Terdiri atas lapisan matriks TR diselingi lapisan serat kolagen tipe I padat

o Memberikan daya regang, menahan beban dan ketahanan terhadap kompresi

o Terdapat di diskus intervertebralis, simfisis pubis dan sendi tertentu


pl
a
gast
nt
rocn
ar
emi s
is
us o
Tricep le
Fib
ula
s u Fib
ris
surae s ula
(p
muscl ris
er
es: (p
on
er
eu
M.gas on
s)
trocn eu
lo
emius s)
ng
M.sol br
us
evi
eus s
2.3 DEFINISI2,4,9
Congenital Talipes Equino Varus adalah fiksasi dari kaki pada posisi adduksi, supinasi dan varus.
Tulang calcaneus, navicular dan cuboid terrotasi ke arah medial terhadap talus, dan tertahan dalam
posisi adduksi serta inversi oleh ligamen dan tendon. Sebagai tambahan, tulang metatarsal pertama
lebih fleksi terhadap daerah plantar.
2.4 EPIDEMIOLOGI1,2,4,6
Insiden dari CTEV bervariasi, bergantung dari ras dan jenis kelamin. Insiden CTEV di
Amerika Serikat sebesar 1-2 kasus dalam 1000 kelahiran hidup. Perbandingan kasus laki-laki dan
perempuan adalah 2:1. Keterlibatan bilateral didapatkan pada 30-50% kasus.
2.5 KLASIFIKASI1,4,10
Terdapat banyak klasifikasi dalam pembagian CTEV, tetapi belum terdapat satu klasifikasi
yang digunakan secara universal. Pembagian yang sering digunakan adalah postural atau posisional,
serta fixed rigid. Clubfeet postural atau posisional bukan merupakan clubfeet yang sebenarnya.
Sedangkan clubfeet jenis fixed atau rigid dapat digolongkan menjadi jenis yang fleksibel (dapat
dikoreksi tanpa operasi) dan resisten (membutuhkan terapi operatif, walaupun hal ini tidak sepenuhnya
benar menurut pengalaman dr. Ponseti).
Beberapa jenis klasifikasi lain yang dapat ditemukan, antara lain :
a. Pirani
b. Goldner
c. Di Miglio
d. Hospital for Joint Diseases (HJD)
e. Walker

2.6 ETIOLOGI1,2,4,6
Etiologi yang sebenarnya dari CTEV tidak diketahui dengan pasti. akan tetapi banyak teori
mengenai etiologi CTEV, antara lain :
a. faktor mekanik intra uteri
adalah teori tertua dan diajukan pertama kali oleh Hipokrates. Dikatakan bahwa kaki bayi
ditahan pada posisi equinovarus karena kompresi eksterna uterus. Parker (1824) dan Browne
(1939) mengatakn bahwa adanya oligohidramnion mempermudah terjadinya penekanan dari
luar karena keterbatasan gerak fetus.
b. defek neuromuskular
beberapa peneliti percaya bahwa CTEV selalu dikarenakan adanya defek neuromuskular, tetapi
banyak penelitian menyebutkan bahwa tidak ditemukan adanya kelainan histologis dan
eektromiografik.
c. defek plasma sel primer
Irani & Sherman telah melakukan pembedahan pada 11 kaki dengan CTEV dan 14 kaki
normal. Ditemukan bahwa pada kasus CTEV leher dari talus selalu pendek, diikuti rotasi
bagian anterior ke arah medial dan plantar. Mereka mengemukakan hipotesa bahwa hal
tersebut dikarenakan defek dari plasma sel primer.
d. perkembangan fetus yang terhambat
e. herediter
Wynne dan Davis mengemukakan bahwa adanya faktor poligenik mempermudah fetus
terpapar faktor-faktor eksterna (infeksi Rubella, penggunaan Talidomide).
f. hipotesis vaskular
Atlas dkk (1980), menemukan adanya abnormalitas pada vaskulatur kasus-kasus CTEV.
Didapatkan adanya bloking vaskular setinggi sinus tarsalis. Pada bayi dengan CTEV
didapatkan adanya muscle wasting pada bagian ipsilateral, dimana hal ini kemungkinan
dikarenakan berkurangnya perfusi arteri tibialis anterior selama masa perkembangan.

2.7 PATOFISIOLOGI2
Beberapa teori yang mendukung patogenesis terjadinya CTEV, antara lain:
a. terhambatnya perkembangan fetus pada fase fibular
b. kurangnya jaringan kartilagenosa talus
c. faktor neurogenik
telah ditemukan adanya abnormalitas histokimia pada kelompok otot peroneus pada pasien
CTEV. Hal ini diperkirakan karena adanya perubahan inervasi intrauterine karena penyakit
neurologis, seperti stroke. Teori ini didukung dengan adanya insiden CTEV pada 35% bayi
dengan spina bifida.
d. Retraksi fibrosis sekunder karena peningkatan jaringan fibrosa di otot dan ligamen.
Pada penelitian postmortem, Ponsetti menemukan adanya jaringan kolagen yang sangat
longgar dan dapat teregang pada semua ligamen dan struktur tendon (kecuali Achilees).
Sebaliknya, tendon achilles terbuat dari jaringan kolagen yang sangat padat dan tidak dapat
teregang. Zimny dkk, menemukan adanya mioblast pada fasia medialis menggunakan
mikroskop elektron. Mereka menegemukakan hipotesa bahwa hal inilah yang menyebaban
kontraktur medial.
e. Anomali pada insersi tendon
Inclan mengajukan hipotesa bahwa CTEV dikarenakan adanya anomali pada insersi tendon.
Tetapi hal ini tidak didukung oleh penelitian lain. Hal ini dikarenakan adanya distorsi pada
posisi anatomis CTEV yang membuat tampak terlihat adanya kelainan pada insersi tendon.
f. Variasi iklim
Robertson mencatat adanya hubungan antara perubahan iklim dengan insiden epidemiologi
kejadian CTEV. Hal ini sejalan dengan adanya variasi yang serupa pada insiden kasus
poliomielitis di komunitas. CTEV dikatakan merupakan keadaan sequele dari prenatal
poliolike condition. Teori ini didukung oleh adanya perubahan motor neuron pada spinal cord
anterior bayi-bayi tersebut.

2.5 GAMBARAN KLINIK1,3,4

Cari riwayat adanya CTEV atau penyakit neuromuskuler dalam keluarga. Lakukan
pemeriksaan keseluruhan agar dapat mengidentifikasi ada tidaknya kelainan lain. Periksa kaki
dengan bayi dalam keadaan tengkurap, sehingga dapat terlihat bagian plantar. Periksa juga dengan
posisi bayi supine untuk mengevaluasi adanya rotasi internal dan varus.

Deformitas yang serupa dapat ditemui pada myelomeningocele dan arthrogryposis.


Pergelangan kaki berada dalam posisi equinus dan kaki berada dalam posisi supinasi (varus) serta
adduksi.

Tulang navicular dan kuboid bergeser ke arah lebih medial. Terjadi kontraktur pada jaringan
lunak plantar pedis bagian medial. Tulang kalkaneus tidak hanya berada dalam posisi equinus,
tetapi bagian anteriornya mengalami rotasi ke arah medial disertai rotasi ke arah lateral pada
bagian posteriornya.

Tumit tampak kecil dan kosong. Pada perabaan tumit akan terasa lembut (seperti pipi). Sejalan
dengan terapi yang diberikan, maka tumit akan terisi kembali dan pada perabaan akan terasa lebih
keras (seperti meraba hidung atau dagu).

Karena bagian lateralnya tidak tertutup, maka leher talus dapat dengan mudah teraba pada
sinus tarsalis. Normalnya leher talus tertutup oleh navikular dan badan talus. Maleolus medial
menjadi susah diraba dan pada umumnya menempel pada navikular. Jarak yang normal terdapat
antara navikular dan maleolus menghilang. Tulang tibia sering mengalami rotasi internal.

2.8 GAMBARAN RADIOLOGIS6,8

 Radiographi

Gambaran radiologis dari CTEV adalah adanya kesejajaran antara tulang talus dan kalkaneus.
Posisi kaki selama pengambilan foto radiologis memiliki arti yang sangat penting. Posisi
anteroposterior (AP) diambil dengan kaki fleksi terhadap plantar sebesar 30º dan posisi tabung 30°
dari keadaan vertikal. Posisi lateral diambil dengan kaki fleksi terhadap plantar sebesar 30º.

Gambaran AP dan lateral juga dapat diambil pada posisi kaki dorsofleksi dan plantar fleksi penuh.
Posisi ini penting untuk mengetahui posisi relatif talus dan kalkaneus.

Mengukur sudut talokalkaneal dari posisi AP dan lateral. Garis AP digambar melalui pusat dari
aksis tulang talus (sejajar dengan batas medial) serta melalui pusat aksis tulang kalkaneus (sejajar
dengan batas lateral). Nilai normalnya adalah antara 25-40°. Bila ditemukan adanya sudut kurang
dari 20° maka dikatakan abnormal.

Garis anteroposterior talokalkaneus hampir sejajar pada kasus CTEV. Seiring dengan terapi yang
diberikan, baik dengan casting maupun operasi, maka tulang kalkaneus akan berotasi ke arah
eksternal, diikuti dengan talus yang juga mengalami derotasi. Dengan begitu maka akan terbentuk
sudut talokalkaneus yang adekuat.

Garis lateral digambar melalui titik tengah antara kepala dan badan tulang talus serta sepanjang
dasar tulang kalkaneus. Nilai normalnya antara 35-50°, sedang pada CTEV nialinya berkisar antara
35° dan negatif 10°.

Sudut dari dua sisi ini (AP and lateral) ditambahkan untuk mengetahui indeks talokalkaneus,
dimana pada kaki yang sudah terkoreksi akan memiliki nilai lebih dari 40°.

Garis AP dan lateral talus normalnya melalui pertengahan tulang navikular dan metatarsal
pertama.

Pengambilan foto radiologis lateral dengan kaki yang ditahan pada posisi maksimal dorsofleksi
adalah metode yang paling dapat diandalkan untuk mendiagnosa CTEV yang tidak dikoreksi.

2.9 TERAPI2,3,4,5,9

2.9.1 Terapi Medis

Tujuan dari terapi medis adalah untuk mengoreksi deformitas yang ada dan mempertahankan
koreksi yang telah dilakukan sampai terhentinya pertumbuhan tulang.

Secara tradisional, CTEV dikategorikan menjadi dua macam, yaitu :

 CTEV yang dapat dikoreksi dengan manipulasi, casting dan pemasangan gips.
 CTEV resisten yang memberikan respon minimal terhadap penata laksanaan dengan
pemasangan gips dan dapat relaps ccepat walaupun sepertinya berhasil dengan terapi
manipulatif. Pada kategori ini dibutuhkan intervensi operatif.

Saat ini terdapat suatu sistem penilaian yang dirancang oleh prof. dr. Shafiq Pirani, seorang
ahli ortopaedist di Inggris. Sistem ini dinamakan The Pirani Scoring System. Dengan
menggunakan sistem ini, kita dapat mengidentifikasi tingkat keparahan dan memonitor
perkembangan suatu kasus CTEV selama koreksi dilakukan.

Sistem ini terdiri dari 6 kategori, masing-masing 3 dari hindfoot dan midfoot. Untuk hindfoot,
kategori terbagi menjadi tonjolan posterior/posterior crease (PC), kekosongan tumit/emptiness
of the heel (EH), dan derajat dorsofleksi yang terjadi/degree of dorsiflexion (DF). Sedangkan
untuk kategori midfoot, terbagi menjadi kelengkungan batas lateral/curvature of the lateral
border (CLB), tonjolan di sisi medial/medial crease (MC) dan tereksposnya kepala lateral
talus/uncovering of the lateral head of the talus (LHT).

Cara untuk menghitung Pirani Score adalah sebagai berikut :

a. Curvature of the Lateral Border of the foot (CLB)


Batasan lateral dari kaki normalnya lurus. Adanya batas kaki yang nampak melengkung menandakan
terdapatnya kontraktur medial.

Lihat pada bagian plantar pedis dan letakkan batangan/penggaris di bagian lateral kaki. Normalnya,
batas lateral kaki nampak lurus, mulai dari tumit sampai ke kepala metatarsal kelima. Apabila
didapatkan batas lateral kaki lurus, maka skor yang diberikan adalah 0.

Pada kaki yang abnormal, batas lateral nampak menjauhi garis lurus tersebut. Batas lateral yanng
nampak melengkung ringan diberi nilai 0,5 (lengkungan terlihat di bagian distal kaki pada area sekitar
metatarsal).
Kelengkungan batas lateral kaki yang nampak jelas diberi nilai 1 (kelengkungan tersebut nampak
setinggi persendian kalkaneokuboid).

B. Medial crease of the foot (MC)


Pada keadaan normal, kulit pada daerah telapak kaki akan memperlihatkan garis-garis halus.
Lipatan kulit yang lebih dalam dapat menandakan adanya kontraktur di daerah medial. Pegang kaki
dan tarik dengan lembut saat memeriksa.

Lihatlah pada lengkung dari batas medial kaki. Normalnya akan terlihat adanya garis-garis halus pada
kulit telapak kaki yang tidak merubah kontur dari lengkung medial tersebut. Pada keadaan seperti ini,
maka nilai dari MC adalah 0.
Pada kaki yang abnormal, maka akan nampak adanya satu atau dua lipatan kulit yang dalam. Apabila
hal ini tidak terlalu banyak mempengaruhi kontur lengkung medial, maka nilai MC adalah sebesar 0,5.

Apabila lipatan ini tampak dalam dan dengan jelas mempengaruhi kontur batas medial kaki, maka
nilai MC adalah sebesar 1.

C. Posterior crease of the ankle (PC)

Pada keadaan normal, kulit pada bagian tumit posterior akan memperlihatkan lipatan kulit
multipel halus. Apabila terdapat adanya lipatan kulit yang lebih dalam, maka hal tersebut
menunjukkan adanya kemungkinan kontraktur posterior yang lebih berat. Tarik kaki dengan
lembut saat memeriksa.
Pemeriksa melihat ke tumit pasien. Normalnya akan terlihat adanya garis-garis halus yang tidak
merubah kontur dari tumit. Lipatan-lipatan ini menyebabkan kulit dapat menyesuaikan diri, sehingga
dapat meregang saat kaki dalam posisi dorsofleksi. Pada kondisi ini, maka nilai untuk PC adalah 0.

Pada kaki yang abnormal, maka akan didapatkan satu atau dua lipatan kulit yang dalam. Apabila
lipatan ini tidaak terlalu mempengaruhi kontur dari tumit, maka nilai dari PC adalah sebesar 0,5.
Apabila pada pemeriksaan ditemukan lipatan kulit yang dalam di daerah tumit dan hal tersebut
merubah kontur tumit, maka nilai dari PC adalah sebesar 1.

D. Lateral part of the Head of the Talus (LHT)

Pada kasus CTEV yang tidak diterapi, maka pemeriksa dapat meraba kepala Talus di bagian lateral.
Dengan terkoreksinya deformitas, maka tulang navikular akan turun menutupi kepala talus, kemudian
hal tersebut akan membuat menjadi lebih sulit teraba, dan pada akhirnya tidak dapat teraba sama
sekali. Tanda “turunnya navikular menutupi kepala talus” adalah pengukur besarnya kontraktur di
daerah medial.

Penatalaksanaan non operatif

Dengan penatalaksanaan tradisional non operatif, maka pemasangan splint dimulai pada bayi berusia
2-3 hari. Urutan dari koreksi yang akan dilakukan adalah sebagai berikut :

1. Adduksi dari forefoot


2. Supinasi forefoot
3. Equinus

Usaha-usaha untuk memperbaiki posisi equinus di awal masa koreksi dapat mematahkan kaki pasien,
dan mengakibatkan terjadinya rockerbottom foot. Tidak boleh dilakukan pemaksaan saat melakukan
koreksi. Tempatkan kaki pada posisi terbaik yang bisa didapatkan, kemudian pertahankan posisi ini
dengan cara menggunakan “strapping” yang diganti tiap beberapa hari sekali, atau dipertahankan
menggunakan gips yang diganti beberapa minggu sekali. Hal ini dilanjutkan hingga dapat diperoleh
koreksi penuh atau sampai tidak dapat lagi dilakukan koreksi selanjutnya.

Posisi kaki yang sudah terkoreksi ini kemudian dipertahankan selama beberapa bulan. Tindakan
operatif harus dilakukan sesegera mungkin saat nampak adanya kegagalan terapi konservatif, yang
antara lain ditandai dengan deformitas yang menetap, deformitas berupa rockerbottom foot atau
kembalinya deformitas segera setelah koreksi dihentikan.

Setelah pengawasan selama 6 minggu biasanya dapat diketahui jenis deformitas CTEV, apakah
termasuk yang mudah dikoreksi atau tipe yang resisten. Hal ini dikonfirmasi dengan menggunakan X-
ray dan dilakukan perbandingan penghitungan orientasi tulang. Dari laporan didapatkan bahwa tingkat
kesuksesan dengan menggunakan metode ini adalah sebesar 11-58%.

Metode Ponseti

Metode ini dikembangkan oleh dr. Ignacio Ponseti dari Universitas Iowa. Metode ini dikembangkan
dari penelitian kadaver dan observasi klinik yang dilakukan oleh dr. Ponseti. langkah-langkah yang
harus diambil adalah sebagai berikut :

1. Deformitas utama yang terjadi pada kasus CTEV adalah adanya rotasi tulang kalkaneus ke
arah intenal (adduksi) dan fleksi plantar pedis. Kaki berada dalam posisi adduksi dan plantar
pedis mengalami fleksi pada sendi subtalar. Tujuan pertama adalah membuat kaki dalam posisi
abduksi dan dorsofleksi. Untuk mendapatkan koreksi kaki yang optimal pada kasus CTEV,
maka tulang kalkaneus harus bisa dengan bebas dirotasikan kebawah talus. Koreksi dilakukan
melalui lengkung normal dari persendian subtalus. Hal ini dapat dilakukan dengan cara
meletakkan jari telunjuk operator di maleolus medialis untuk menstabilkan kaki dan kemudian
mengangkat ibu jari dan diletakkan di bagian lateral dari kepala talus, sementara kita
melakukan gerakan abduksi pada forefoot dengan arah supinasi.
2. Cavus kaki akan meningkat bila forefoot berada dalam posisi pronasi. Apabila ditemukan
adany cavus, maka langkah pertama dalam koreksi kaki adalah dengan cara mengangkat
metatarsal pertama dengan lembut, untuk mengoreksi cavusnya. Setelah cavus terkoreksi,
maka forefoot dapat diposisikan abduksi seperti yang tertulis dalam langkah pertama.
3. Saat kaki diletakkan dalam posisi pronasi, hal tersebut dapat menyebabkan tulang kalkaneus
berada di bawah talus. Apabila hal ini terjadi, maka tulang kalkaneus tidak dapat berotasi dan
menetap pada posisi varus. Seperti tertulis pada langkah kedua, cavus akan meningkat. Hal ini
dapat menyebabkan tejadinya bean-shaped foot. Pada akhir langkah pertama, maka kaki akan
berada pada posisi abduksi maksimal tetapi tidak pernah pronasi.
4. Manipulasi dikerjakan di ruang khusus setelah bayi disusui. Setelah kaki dimanipulasi, maka
langkah selanjutnya adalah memasang long leg cast untuk mempertahankan koreksi yang
telah dilakukan. Gips harus dipasang dengan bantalan seminimal mungkin, tetapi tetap
adekuat. Langkah selanjutnya adalah menyemprotkan benzoin tingtur ke kaki untuk
melekatkan kaki dengan bantalan gips. Dr. Ponsetti lebih memilih untuk memasang bantalan
tambahan sepanjang batas medial dan lateral kaki, agar aman saat melepaskan gips
menggunakan gunting gips. Gips yang dipasang tidak boleh sampai menekan ibu jari kaki atau
mengobliterasi arcus transversalis. Posisi lutut berada pada sudut 90° selama pemasangan
gips panjang. Orang tua bayi dapat merendam gips ini selama 30-45 menit sebelum dilepas.
Dr. Ponsetti memilih melepaskan gips dengan cara menggunakan gergaji yang berosilasi
(berputar). Gips ini dibelah menjadi dua dan dilepas, kemudian disatukan kembali. Hal ini
dilakukan untuk mengetahui perkembangan abduksi forefoot, selanjutnya hal ini dapat
digunakan untuk mengetahui dorsofleksi serta megetahui koreksi yang telah dicapai oleh kaki
ekuinus.
5. Adanya usaha untuk mengoreksi CTEV dengan paksaan melawan tendon Achilles yang kaku
dapat mengakibatkan patahnya midfoot dan berakhir dengan terbentuknya deformitas berupa
rockerbottom foot. Kelengkungan kaki yang abnormal (cavus) harus diterapi secara terpisah,
seperti yang digambarkan pada langkah kedua, sedangkan posisi ekuinusnya harus dapat
dikoreksi tanpa menyebabkan patahnya midfoot..
Secara umum dibutuhkan 4-7 kali pemasangan gips untuk mendapatkan abduksi kaki yang
maksimum. Gips tersebut diganti tiap minggu. Koreksi yang dilakukan (usaha untuk membuat
kaki dalam posisi abduksi) dapat dianggap adekuat bila aksis paha dan kaki sebesar 60°
Setelah dapat dicapai abduksi kaki maksimal, kebanyakan kasus membutukan dilakukannya
tenotomi perkutaneus pada tendon Achilles. Hal ini dilakukan dalam keadaan aspetis. Daerah
lokal dianestesi dengan kombinasi antara lignokain topikal dan infiltrasi lokal minimal
menggunakan lidokain. Tenotomi dilakukan dengan cara membuat irisan menggunakan pisau
Beaver (ujung bulat). Luka post operasi kemudian ditutup dengan jahitan tunggal
menggunakan benang yang dapat diabsorbsi. Pemasangan gips terakhir dilakukan dengan kaki
yang berada pada posisi dorsofleksi maksimum, kemudian gips dipertahankan hingga 2-3
minggu.

6. Langkah selanjutnya setelah pemasangan gips adalah pemakaian sepatu yang dipasangkan
pada lempengan Dennis Brown. Kaki yang bermasalah diposisikan abduksi (rotasi ekstrim)
hingga 70°. with the unaffected foot set at 45° of abduction. Sepatu ini juga memiliki
bantalan di tumit untuk mencegah kaki terselip dari sepatu. Sepatu ini digunakan 23 jam sehari
selama 3 bulan, kemudian dipakai saat tidur siang dan malam selama 3 tahun.
7. Pada kurang lebih 10-30% kasus, tendon dari titbialis anterior dapat berpindah ke bagian
lateral Kuneiformis saat anak berusia 3 tahun. Hal ini membuat koreksi kaki dapat bertahan
lebih lama, mencegah adduksi metatarsal dan inversi kaki. Prosedur ini diindikasikan pada
anak usia 2-2.5 tahun, dengan cara supinasi dinamik kaki. Sebelum dilakukan operasi tersebut,
pasangkan long leg cast untuk beberapa minggu.

2.9.2 TERAPI OPERATIF2,8

a. Insisi

Beberapa pilihan untuk insisi, antara lain :

 Cincinnati : jenis ini berupa insisi transversal, mulai dari sisi anteromedial (persendian
navikular-kuneiformis) kaki sampai ke sisi anterolateral (bagian distal dan medial sinus tarsal),
dilanjutkan ke bagian belakang pergelangan kaki setinggi sendi tibiotalus.
 Insisi Turco curvilineal medial atau posteromedial : insisi ini dapat menyebabkan luka terbuka,
khususnya pada sudut vertikal dan medial kaki. Untuk menghindari hal ini, beberapa operator
memilih beberapa jalan, antara lain :
o Tiga insisi terpisah - insisi posterior arah vertikal, medial, dan lateral
o Dua insisi terpisah - Curvilinear medial dan posterolateral
Banyak pendekatan bisa dilakukan untuk bisa mendapatkan terapi operatif di semua kuadran.
Beberapa pilihan yang dapat diambil, antara lain :

 Plantar : Plantar fascia, abductor hallucis, flexor digitorum brevis, ligamen plantaris panjang
dan pendek
 Medial : struktur-struktur medial, selubung tendon, pelepasan talonavicular dan subtalar,
tibialis posterior, FHL, dan pemanjangan FDL
 Posterior : kapsulotomi persendian kaki dan subtalar, terutama pelepasan ligamen talofibular
posterior dan tibiofibular, serta ligamen kalkaneofibular
 Lateral : struktur-struktur lateral, selubung peroneal, pesendian kalkaneokuboid, serta
pelepasan ligamen talonavikular dan subtalar

Pendekatan manapun yang dilakukan harus bisa menghasilkan paparan yang adekuat. Struktur-struktur
yang harus dilepaskan atau diregangkan adalah sebagai berikut :

 Tendon Achilles
 Pelapis tendon dari otot-otot yang melewati sendi subtalar.
 Kapsul pergelangan kaki posterior dan ligamen Deltoid.
 Ligamen tibiofibular inferior
 Ligamen fibulocalcaneal
 Kapsul dari sendi talonavikular dan subtalar.
 Fasia plantar pedis dan otot-otot intrinsik

Aksis longitudinal dari talus dan kalkaneus harus dipisahkan sekitar 20° dari proyeksi lateral.
Koreksi yang dilakukan kemudian dipertahankan dengan pemasangan kawat di persendian
talokalkaneus, atau talonavikular atau keduanya. Hal ini juga dapat dilakukan menggunakan gips.
Luka paska operasi yang terjadi tidak boleh ditutup dengan paksa. Luka tersebut dapat dibiarkan
terbuka agar membentuk jaringan granulasi atau bahkan nantinya dapat dilakukan cangkok kulit.

Penatalaksanaan dengan operasi harus mempertimbangkan usia dari pasien :

1. Pada anak kurang dari 5 tahun, maka koreksi dapat dilakukan hanya melalui prosedur jaringan
lunak.
2. Untuk anak lebih dari 5 tahun, maka hal tersebut membutuhkan pembentukan ulang
tulang/bony reshaping (misal, eksisi dorsolateral dari persendian kalkaneokuboid [prosedur
Dillwyn Evans] atau osteotomi tulang kalkaneus untuk mengoreksi varus).
3. Apabila anak berusia lebih dari 10 tahun, maka dapat dilakukan tarsektomi lateralis atau
arthrodesis.).

Harus diperhatikan keadaan luka paska operasi. Apabila penutupan kulit paska operasi sulit dilakukan,
maka lebih baik luka tersebut dibiarkan terbuka agar dapat terjadi reaksi ganulasi, untuk kemudian
memungkinkan terjadinya penyembuhan primer atau sekunder. Dapat juga dilakukan pencangkokan
kulit untuk menutupi defek luka paska operasi. Perban hanya boleh dipasang longgar dan harus
diperiksa secara reguler.
Follow-up pasien

Pin untuk fiksator ini biasanya dilepas setelah 3-6 minggu. Satelah itu tetap diperlukan pemasangan
perban yang dipasangkan dengan sepatu Dennis Brown selama 6-12 bulan.

2.9 KOMPLIKASI2,7,8

 Infeksi (jarang)
 Kekakuan dan keterbatasan gerak : adanya kekakuan yang muncul di awal berhubungan
dengan hasil yang kurang baik.
 Nekrosis avaskular talus : sekitar 40% kejadian nekrosis avaskular talus muncul pada tehnik
kombinasi pelepasan medial dan lateralis.

Dapat terjadi overkoreksi yang mungkin dikarenakan :

 Pelepasan ligamen interoseus dari persendian subtalus


 Perpindahan tulang navikular yang berlebihan ke arah lateral
 Adanya perpanjangan tendon

2.10 DIAGNOSA BANDING2,3,4,8

 Postural clubfoot – disebabkan karena posisi fetus dalam uterus. Jenis abnormalitas kaki
seperti ini dapat dikoreksi secara manual oleh pemeriksa. Postural clubfoot memberi respon
baik dengan pemasangan gips serial dan jarang relaps.
 Metatarsus adductus (atau varus) – adalah suatu deformitas dari tulang metatarsal saja.
Forefoot mengarah pada garis tengah tubuh, atau berada pad aposisi addkutus. Abnormalitas
ini dapat dikoreksi dengan manipulasi dan pemasangan gips serial.

2.11 PROGNOSIS2,5,6

 Kurang lebih 50% dari kasus CTEV pada bayi baru lahir dapat dikoreksi tanpa tindakan
operatif. dr Ponseti melaporkan tingkat kesuksesan sebesar 89% dengan menggunakan
tehniknya (termasuk dengan tenotomi tendon Achilles). Peneliti lain melaporkan rerata tingkat
kesuksesan sebesar 10-35%. Sebagian besar kasus melaporkan tingkat kepuasan setinggi 75-
90%, baik dari segi penampilan maupun fungsi kaki.
 Hasil yang memuaskan didapatkan pada kurang lebih 81% kasus. Faktor utama yang
mempengaruhi hasil fungsional adalah rentang gerakan pergerakan kaki, dimana hal tersebut
dipengaruhi oleh derajat pendataran kubah dari tulang talus. Tiga puluh delapan persen dari
pasien dengan kasus CTEV membutuhkan tindakan operatif lebih lanjut (hampir 2/3 nya
adalah prosedur pembentukan ulang tulang).
 Rerata tingkat kekambuhan deformitas mencapai 25%, dengan rentang antara 10-50%.
 Hasil terbaik didapatkan pada anak-anak yang dioperasi pada usia lebih dari 3 bulan (biasanya
dengan ukuran lebih dari 8 cm).

2.10 KOMPLIKASI DAN PROGNOSIS

• Kekakuan dan keterbatasan gerak


• Nekrosis avaskular talus (40%)
• Overkoreksi
• Perpindahan tulang navikular yang berlebihan ke arah lateral
• Adanya perpanjangan tendon
• Dekubitus
• Pembuluh darah mungkin rusak akibat oprasi

Kurang lebih 50% kasus CTEV bayi baru lahir dapat dikoreksi tanpa tindakan operatif.

Teknik ponseti (termasuk tenotomi tendon Achilles) dilaporkan memiliki tingkat kesuksesan
sebesar 89%

38% pasien CTEV membutuhkan tindakan opratif lebih lanjut.

Rata-rata tingkat kekambuhan deformitas mencapai 25%.

Hasil terbaik didapatkan pada anak-anak yang dioprasi pada usia lebih dari 3 bulan (biasanya
dengan ukuran lebih dari 8cm)

Tergantung usia saat ditatalaksana. Semakin fleksible dan semakin muda ditatalaksana maka
prognosis akan semakin baik.

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Congenital Talipes Equino Varus (CTEV) yang juga dikenal sebagai ‘club-foot’ adalah
suatu gangguan perkembangan pada ekstremitas inferior yang sering ditemui, tetapi masih jarang
dipelajari. CTEV dimasukkan dalam terminologi “sindromik” bila kasus ini ditemukan bersamaan
dengan gambaran klinik lain sebagai suatu bagian dari sindrom genetik. CTEV dapat timbul sendiri
tanpa didampingi gambaran klinik lain, dan sering disebut sebagai CTEV “idiopatik”. CTEV
sindromik sering menyertai gangguan neurologis dan neuromuskular, seperti spina bifida maupun
spinal muskular atrofi. Tetapi bentuk yang paling sering ditemui adalah CTEV “idiopatik”, dimana
pada bentuk yang kedua ini ekstremitas superior dalam keadaan normal.

Penanganan dimulai dengan koreksi deformitas, mempertahankan koreksi sampai


keseimbangan otot normal tercapai, observasi dan follow up untuk mencegah kembalinya terjadi
deformitas. Pemasangan gips serial dianjurkan segera dilakukan setelah kelahiran.

3.2 Saran
Dalam pembuatan makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu meminta kritik
dan saran yang membangun dari pembaca. Semoga makalah yang kami buat dapat bermanfaat
bagi pembaca.

ASUHAN KEPERAWATAN
PENGKAJIAN

1.1 Identitas Klien


Nama : An Y

Umur : 5 hari.

Jenis Kelamin : Laki - laki

Agama : Islam

Suku/ Bangsa : Indonesia

Pendidikan : -

Pekerjaan : -

Penghasilan :-.

Alamat : Dukuh Setro Ruwansa

MRS tgl/ jam : 01 Juni 2021 / 07.00

Ruangan : Anggrek
No. Reg : 001256

Dx. Medis : CTEV

Identitas Penanggung Jawab

Nama : NY

B
Alamat : Dukuh Setro Ruwasan
Agama : Islam
Suku : Jawa
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Pendidikan : SMA
Nama Suami : Tn Z
Pekerjaan suami : PNS
guru
4 Keluhan Utama :
Kelainan pada kaki anak R yang masuk ke arah dalam dan terlihat kaku saat
menggerakkan kaki.
5 Riwayat Penyakit Sekarang
Ny B datang ke RSUA untuk memeriksakan anak R yang sampai sekarang (5 hari
kelahirannya) ketika menggerakkan kaki terlihat kaku dan kaki terlihat masuk ke
dalam. Ny B cemas dengan keadaan anaknya sehingga memeriksakan anaknya ke
RSUA.
6 Riwayat penyakit keluarga
Dalam keluarga Ny B tidak ada yang menderita kelainan seperti ini. Anak pertama
Ny B juga normal.
7 Riwayat Antenatal, Natal Dan Postnatal
1. Antenatal
Selama hamil Ny B ANC di puskesmas Tanah Kali Kedinding. Ny B tidak merokok,
tidak pernah mengkonsumsi alkohol, hanya minum obat-obatan dari puskesmas saat
ANC. Ny B juga tidak menderita penyakit apapun selama hamil.
2. Natal
Ny S melahirkan anak R di bidan desa secara spontan dengan usia kehamilan
38minggu. Anak R langsung menangis ketika lahir, berat badan 2900gram dengan
panjang 50cm.
3. Pola aktivitas
Anak R ketika menggerakkan kaki terlihat kekakuan dalam menggerakkan.
4. Pola istirahat
Sehari-hari anak R tidur sekitar 12 jam.
5. Pola kebersihan diri
Sehari-hari anak R mandi diseka dua kali sehari dengan menggunakan air hangat.
ANALISA DATA

NAMA : An.Y RUANG: Anggrek

UMUR : 5 hari NO.REG: 001256

NO ANALISIS DATA ETIOLOGI PROBLEM

1. DO: Klien terlihat kesulitan untuk CTEV Rasa nyaman (Nyeri)


berjalan

Forefoot Adduction
DS : Ibu klien mengatakan bentuk Hindfoot Varus
kaki anaknya berbeda Equinus ankle

Anatomi tulang
abnormal

Bentuk kaki tidak


abnormal

Gangguan
menggerakkan kaki

Cidera fisik

Nyeri

2. CTEV Resiko tinggi


DO : Penggunaan gips pada kaki
klien kerusakan integritas
kulit
DS : ibu klien mengtakan kaki klien
terlihat lecet
Fore foot Adduction
hind foot vanus
equinus ankle

Anatomi tulang
abnormal

Bentuk kaki tidak


normal

Tindakan pemasangan
gips

Vaskulansasi jaringan
manurun

CTEV
3. Kerusakan mobilitas
fisik
Fore foot adduction
DO : Kaki klien terlihat hind foot vanus
kaku,pergerakan kaki tidak beebas equinus ankle
dan kaki terlihat masuk kearah dalam

DS: ibu klien mengatakan keluhan


Anatomi tulang
anaknya yang baru lahir 5 hari yang
abnormal
lalu kakinya terlihat kaku dan masuk
ke arah dalam

Keruskan
muskoloskeletal

Pergerakkan kaki
terbatas kerusakan
mobilitas fisik
4. CTEV Ansietas

Fore foot adduction


hind foot varus
equinud ankle

Anatomi tulang
abnormal

DO : keadaan kaki An Y tersebut


abnormal sejak lahir Bentuk kaki tidak
abnormal
DS: Ibu klien mengatakan merasa
cemas dengan keadaan anaknya

Ansietas
RUMUSAN DIAGNOSA

NAMA : An. Y RUANG: Anggrek

UMUR : 5 hari NO.REG: 001256

NO RUMUSAN DIAGNOSA TANGGAL TANGGAL TTD


DITEMUKAN TERATASI

Gangguan rasa nyaman (Nyeri)


berhubungan dengan cidera fisik
1.

Resiko tinggi kerusakan integritas kulit


2. berhubungan dengan gips

Kerusakan mobilitas fisik berhubungan


3. dengan kerusakan muskuloskeletal

Ansietas berhubungan dengan


abnormalitas kaki pada anak
4.
INTERVENSI

NAMA : A.n Y RUANG : Anggrek

UMUR : 5 hari NO. REG 001256

TGL/ DX. KEP TUJUAN INTERVENSI RASIONAL TTD


JAM

Gangguan Tujuan : - Berikan posisi yang - Mengurangi


rasa nyaman,gunakan bantal untuk ketegangan ekstermitas
nyaman - Ketidaknyamanan yang menyongkong area depeden. yang di gips
dialami pasien tidak ada atau - Bila perlu batasi aktivitas - Untuk mencegah nyeri
(Nyeri) minimal yang melelahkan - Udara dingin dapar
Kriteria Hasil : - Hilangkan rasa gatal dibawah mengurangu rasa gatal
gips dengan udara dingin yang - Karena substansi ini
- Anak tidak menunjukkan bukti ditiupkan dari spuit mempunyai
– bukti ketidaknyamanan asepto,fan,atau pengering kecenderungan untuk
- Ketidaknyamanan minor dapat rambut. “menggumpal” dan
ditoleransi - Hindari menggunakan bedak menimbulkan iritasi
atau lotion dibawah gips

- Pastikan bahwa semua tepi


gips halus dan bebas dari
proyeki pengiritasi
- Tepi gips yang tidak
halus dapat mengiritasi
kulit

55
Tujuan : - Jangan membiarkan anak - Untuk mencegah
memasukkan sesuatu kedalam trauma kulit
Resiko - Pasien tidak mengalami iritasi gips - Untuk mendorong
tinggi kulit kepatuhan
kerusakan Kriteria hasil : - Karena kulit yang tidak
- Waspadai anak yanglebih bersih dapat memicu
integritas
- Tidak ditemukannya tanda – besar untuk tidak timbulnya iritasi
kulit tanda kerusakan integritas memasukkan benda – benda - Karena kulit dapat
kulit kedalam gips ,jelaskan teriritasi akibat adanya
mengapa ini penting air di dalam gips
- Karena gips akan
mengeras dengan kulit
- Jaga agar kulit yang terpajan terdeskuamasi dan
tetap bersih dan bebas dari sekresi sebasca
iritasi

- Lindungi gips selama mandi,


kecuali jika gips sintetik tahan
terhadap air.

- Selama gips dilepas,rendam - Untuk meningkatkan


dan basuh kulit dengan mobilitas
perlahan - Untuk membantu
melatih ekstermitas
dengan bantuan
- Dorong untuk ambulasi penompong berat
sesegera mungkin badan
- Untuk melatih dan
meningkatkan
mobilisasi

56
- Ajarkan penggunaan alat - Untuk melatih otot
mobilisasi seperti kurk untuk yang tidak sakit
Kerusakan Tujuan : kaki yang di gips - Untuk
mobilitas mempertahankan
fisik - Pasien mempertahankan fleksibilitas dan fungsi
penggunaan otot pada area - Dorong anak dengan alat sendi
yang tidak sakit ambulasi untuk berambulasi
Kriteria hasil : segera setelajh kondisi
umumnya memungkinkan
- Ekstermitas yang tidak sakit
tetap mempertahankan tonus
otot yang baik - Dorong aktivitas bermain dan
- Anak melakukan aktivitas pengalihan
yang sesuai dengan usia dan
kondisi anak - Menghilangkan rasa
- Dorong anak untuk takut dan mendorong
menggunakan sendi – sendi di kerja sama
atas dan di bawah gips

- Jelaskan apa yang terjadi pada


An.T termasuk faktor
penyebab dan solusi yang
akan dilaksanakan pihak RS

Tujuan :
Ansietas
- Ibu pasien tidak cemas

57
Kriteria hasil :

- Tidak ada ekspresi takut dari


ibu pasien

58
IMPLEMENTASI

NAMA : An Y RUANG : Anggrek

UMUR : 5 hari NO. REG 001256

NO DX. KEP TGL/JAM IMPLEMENTASI TTD


1. Gangguan rasa 01 Februari  Memberikan posisi
2024/
nyaman (nyeri) yang nyaman,
07.30 WIB
gunakan bantal untuk
menyokong area
dependen.
 Menghilangkan rasa
gatal dibawah gips
dengan udara dingin
yang ditiupkan dari
spuit asepto, fan, atau
pengering rambut.
2. Resiko tinggi 01 Februari  Mempastikan bahwa
2024/
kerusakan semua tepi gips halus
08.30 WIB
integritas kulit dan bebas dari
proyeksi pengiritasi.
 Memperhatikan anak
yang lebih besar untuk
tidak memasukkan
benda-benda kedalam
gips, dan jelaskan
karena ini sangat
penting.
 Menjaga agar kulit
yang terpajan tetap
bersih dan bebas dari

59
iritan.
 Melindungi gips
selama mandi, kecuali
jika gips sintetik tahan
terhadap air.
3. Kerusakan 01 Februari  Mendorong untuk
2024/
mobilitas fisik ambulasi sesegera
09.30 WIB
mungkin.
 Mengajarkan
penggunaan alat
mobilisasi seperti kurk
untuk kaki yang di
gips.
 Mendorong anak
dengan alat ambulasi
untuk berambulasi
segera setelah kondisi
umumnya
memungkinkan.
 Mendorong aktivitas
bermain dan
pengalihan.
 Mendorong anak
untuk menggunakan
sendi-sendi di atas dan
di bawah gips.
4. Ansietas  Menjelaskan apa yang
01 Februari
2024 terjadi pada An. T
10.30 WIB termasuk faktor
penyebab dan solusi
yang akan
dilaksanakan pihak
RS.

60
EVALUASI KEPERAWATAN
NAMA :An. Y RUANG :Anggrek

UMUR :9 Bulan NO. REG 001256

NO DX. KEP TGL/JAM EVALUASI TTD


1. Gangguan rasa 01 02 2024 S : Pasien mengatakan

nyaman (nyeri) 11.00 WIB masih nyeri


O : Pasien terlihat meringis
kesakitan
A : Masalah teratasi
sebagian
P : Intervensi dilanjutkan
2. Resiko tinggi 01 02 2024 S : Pasien mengatakan
kerusakan 11.30 WIB nyeri saat memakai gips
integritas kulit O : Pasien terlihat
mengalami iritasi kulit
A : Masalah teratasi
sebagian
P : Intervensi dilanjutkan
3. Kerusakan 01 02 2024/ S : Pasien mengatakan
mobilitas fisik 12.00 WIB terasa nyeri disaat
mobilitas fisik
O : Pasien terlihat meringis
kesakitan
A : Masalah teratasi
sebagian
P : Intervensi dilanjutkan
4. Ansietas 01 02 2024 S : Pasien mengatakan

61
12.30 WIB nyeri pada kaki
O : Pasien terlihat
menahan rasa sakit
A : Masalah teratasi
P : Intervensi dihentikan

62
\

DAFTAR PUSTAKA

1. Meidzybrodzka, Z. 2002. Congenital Talipes Eqinovarus (clubfoot): disorder of the foot but not the
hand. www.anatomisociety.com [29 juli 2008].
2. Patel, M. 2007. Clubfoot. www.emedicine.com [29 juli 2008].
3. Harris, E. 2008. Key Insight To Treating Talipes Equinovarus. www.podiatry.com [29 juli 2008].
4. Nordin, S. 2002. Controversies In Congenital Clubfoot: Literature Review. www.mjm.com [29 juli
2008].
5. Pirani, S. 1991. A Relible & Valid Method of Assesing the Amount of Deformity in the Congenital
Clubfoot Deformity. www.ubc.com [2 juli 2008].
6. Anonym. 2006. Brith Defect Risk Factor Series: Talipes Equinovarus (clubfoot). www.statehealth.com
[2 juli 2008].
7. Anonym. 2005. Clubfoot Deformity. www.dubaibone.com [5 juli 2008].
8. Hussain, S. et al. 2007 Gomal Journal of Medical Sciences July – Dec 2007, Vol. 5, No. 2. Turco’s
Postero – Medial Release for Congenital Talipes Equinovarus. www.gjm.com [5 juli 2008].
9. Soule, R. E. 2008. Treatment of Congenital Talipes Equinovarus in Infancy and Early Chlidhood.
www.jbjs.com [5 juli 2008].
10. Kler, J. et al. 2005 Treatment Methods of Congenital Talipes Equinovarus-three case reports.
www.jpn-online.com [7 juli 2008].
11. Yeung EHK. et al. 2005 Radiografic Assesment of Congenital Talipes Equinovarus: Strapping versus
Forced Dorsoflexion. www.jos.com [7 juli 2008].

63

Anda mungkin juga menyukai