C. Rumusan masalah
Penulis dalam makalah ini ingin menyampaikan beberapa permasalah yang
menjadi dasar penulisan makalah ini
a) Seberapa penting spiritual dalam kehidupan manusia?
b) Apa yang menjadi sumber spiritual manusia itu sendiri?
c) Bagaimana penerapan spiritual dalam ilmu kesehatan khususnya dalam makalah
ini keperawatan
D. Metode penulisan
Makalah ini disusun dengan menggunakan berbagai referensi yaitu dari
pengambilan data dari website atau blog-blog yang membahas tentang spiritual.
Metode penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
a. Pendahuluan: latar belakang,tujuan,rumusan masalah,dan metode penulisan.
b. Pengkajian
c. Penutup: kesimpulan dan saran
d. Daftar pustaka
PENGKAJIAN
A. Pengertian Spiritual
Definisi spiritual lebih sulit dibandingkan mendifinisikan agama/religion,
dibanding dengan kata religion, para psikolog membuat beberapa definisi
spiritual, pada
dasarnya spitual mempunyai beberapa arti, diluar dari konsep agama, kita
berbicara
masalah orang dengan spirit atau menunjukan spirit tingkah laku . kebanyakan
spirit
selalu dihubungkan sebagai factor kepribadian. Secara pokok spirit merupakan
energi
baik secara fisik dan psikologi,Menurut kamus Webster (1963) kata spirit berasal
dari kata benda bahasa latin ‘Spiritus” yang berarti nafas (breath) dan kata kerja
“Spirare” yang berarti bernafas.
Secara etimologi kata “sprit” berasal dari kata Latin “spiritus”, yang diantaranya
berarti “roh, jiwa, sukma, kesadaran diri, wujud tak berbadan, nafas hidup, nyawa
hidup.” Dalam perkembangannya, selanjutnya kata spirit diartikan secara lebih
luas lagi. Para filosuf, mengonotasian “spirit” dengan (1) kekuatan yang
menganimasi dan memberi energi pada cosmos, (2) kesadaran yang berkaitan
dengan kemampuan, keinginan, dan intelegensi, (3) makhluk immaterial, (4)
wujud ideal akal pikiran (intelektualitas, rasionalitas, moralitas, kesucian atau
keilahian).
Dilihat dari bentuknya, spirit menurut Hegel, paling tidak ada tiga tipe : subyektif,
obyektif dan obsolut. Spirit subyektif berkaitan dengan kesadaran, pikiran,
memori, dan kehendak individu sebagai akibat pengabstraksian diri dalam relasi
sosialnya. Spirit obyektif berkaitan dengan konsep fundamental kebenaran (right,
recht), baik dalam pengertian legal maupun moral. Sementara spirit obsolut yang
dipandang Hegel sebagai tingkat tertinggi spirit-adalah sebagai bagian dari nilai
seni, agama, dan filsafat.
Secara psikologik, spirit diartikan sebagai “soul” (ruh), suatu makhluk yang
bersifat nir-bendawi (immaterial being). Spirit juga berarti makhluk adikodrati
yang nir-bendawi. Karena itu dari perspektif psikologik, spiritualitas juga
dikaitkan dengan berbagai realitas alam pikiran dan perasaan yang bersifat
adikodrati, nir-bendawi, dan cenderung “timeless & spaceless”. Termasuk jenis
spiritualitas adalah Tuhan, jin, setan, hantu, roh-halus, nilai-moral, nilai-estetik
dan sebagainya. Spiritualitas agama (religious spirituality, religious spiritualness)
berkenaan dengan kualitas mental (kesadaran), perasaan, moralitas, dan nilai-nilai
luhur lainnya yang bersumber dari ajaran agama. Spiritualitas agama bersifat
Ilahiah, bukan bersifat humanistik lantaran berasal dari Tuhan.
Spiritual dalam pengertian luas merupakan hal yang berhubungan dengan spirit
,sesuatu yang spiritual memiliki kebenaran yang abadi yang berhubungan dengna
tujuan
hidup manusia, sering dibandingkan dengan Sesuatu yang bersifat duniawi, dan
sementara, Didalamnya mungkin terdapat kepercayaan terhadap kekuatan
supernatural
seperti dalam agama , tetapi memiliki penekanan terhadap pengalaman pribadi.
Spiritual
dapat merupakan eksperesi dari kehidupan yang dipersepsikan lebih tinggi, lebih
kompleks atau lebih terintegrasi dalam pandangan hidup seseorang,dan lebih dari
pada
hal yang bersifat indrawi. Salah satu aspek dari menjadi spiritual adalah memiliki
arah
tujuan, yang secara terus menerus meningkatkan kebijaksanaan dan kekuatan
berkehendak dari seseorang, mencapai hubungan yang lebih dekat dengan
ketuhanan dan alam semesta dan menghilangkan ilusi dari gagasan salah yang
berasal dari alat indra , perasaan, dan pikiran. Pihak lain mengatakan bahwa aspek
spiritual memiliki dua proses, pertama proses keatas yang merupakan tumbuhnya
kekuatan internal yang mengubah
hubungan seseorang dengan Tuhan , kedua proses kebawah yang ditandai dengan
peningkatan realitas fisik seseorang akibat perubahan internal. Konotasi lain
perubahan
akan timbul pada diri seseorang dengan meningkatnya kesadaran diri, dimana
nilai-nilai
ketuhanan didalam akan termanifestasi keluar melalui pengalaman dan kemajuan
diri,
Apakah ada perbedaan antara spiritual dan religious?
Spiritualitas ádalah kesadaran diri dan kesadaran individu tentang asal , tujuan
dan nasib. Agama ádalah kebenaran mutlak dari kehidupan yang memiliki
manifestasi fisik diatas dunia. Agama merupakan praktek prilaku tertentu yang
dihubungkan dengan kepercayaan yang dinyatakan oleh institusi tertentu yang
dihubungkan dengan kepercayaan yang dinyatakan oleh institusi tertentu yang
dianut oleh anggota-anggotanya. Agama memiliki kesaksian iman ,komunitas dan
kode etik, dengan kata lain spiritual memberikan jawaban siapa dan apa
seseorang itu (keberadaan dan kesadaran) , sedangkan agama memberikan
jawaban apa
yang harus dikerjakan seseorang (prilaku atau tindakan). Seseorang bisa saja
mengikuti
agama tertentu , namun memiliki spiritualitas . Orang – orang dapat menganut
agama yang sama, namun belum tentu mereka memiliki jalan atau tingkat
spiritualitas yang
sama
Spiritualitas adalah hubungannya dengan Yang Maha Kuasa dan Maha pencipta,
tergantung dengan kepercayaan yang dianut oleh individu.
Menurut Burkhardt (1993) spiritualitas meliputi aspek-aspek :
1) Berhubungan dengan sesuatau yang tidak diketahui atau ketidakpastian dalam
kehidupan,
2) Menemukan arti dan tujuan hidup,
3) Menyadari kemampuan untuk menggunakan sumber dan kekuatan dalam diri
sendiri,
4) Mempunyai perasaan keterikatan dengan diri sendiri dan dengan yang maha
tinggi.
Mempunyai kepercayaan atau keyakinan berarti mempercayai atau mempunyai
komitmen terhadap sesuatu atau seseorang. Konsep kepercayaan mempunyai dua
pengertian. Pertama kepercayaan didefinisikan sebagai kultur atau budaya dan
lembaga keagamaan seperti Islam, Kristen, Budha, dan lain-lain. Kedua,
kepercayaan didefinisikan sebagai sesuatu yang berhubungan dengan Ketuhanan,
Kekuatan tertinggi, orang yang mempunyai wewenang atau kuasa, sesuatu
perasaan yang memberikan alasan tentang keyakinan (belief) dan keyakinan
sepenuhnya (action), harapan (hope), harapan merupakan suatu konsep
multidimensi, suatu kelanjutan yang sifatnya berupa kebaikan, dan perkembangan,
dan bisa mengurangi sesuatu yang kurang menyenangkan. Harapan juga
merupakan energi yang bisa memberikan motivasi kepada individu untuk
mencapai suatu prestasi dan berorientasi kedepan. Agama adalah sebagai sistem
organisasi kepercayaan dan peribadatan dimana seseorang bisa mengungkapkan
dengan jelas secara lahiriah mengenai spiritualitasnya. Agama adalah suatu sistem
ibadah yang terorganisir atu teratur.
Definisi spiritual setiap individu dipengaruhi oleh budaya, perkembangan,
pengalaman hidup, kepercayaan dan ide-ide tentang kehidupan. Spiritualitas juga
memberikan suatu perasaan yang berhubungan dengan intrapersonal (hubungan
antara diri sendiri), interpersonal (hubungan antara orang lain dengan lingkungan)
dan transpersonal (hubungan yang tidak dapat dilihat yaitu suatu hubungan
dengan ketuhanan yang merupakan kekuatan tertinggi). Adapun unsur-unsur
spiritualitas meliputi kesehatan spiritual, kebutuhan spiritual, dan kesadaran
spiritual. Dimensi spiritual merupakan suatu penggabungan yang menjadi satu
kesatuan antara unsur psikologikal, fisiologikal, atau fisik, sosiologikal dan
spiritual.
B. Ajaran Spiritual : Sumber dan Coraknya
Dalam perjalanan sejarah peradaban manusia, tercatat bahwa tradisi keagamaan
merupakan sumber ajaran spiritual yang mengakar kuat dan mempengaruhi pola
kehidupan pemeluknya. Untuk memahami fenomena spiritualitas, agaknya perlu
memahami ajaran agama itu sendiri. Masing-masing agama memiliki ajaran
spiritual berbeda walau hakekatnya berkecenderungan tidak jauh berbeda. Secara
garis besar, dilihat dari sumber dan proses terjadinya spiritual atau nilai-nilai
spiritual yang diyakini dan diamalkan, paling tidak terdapat beberapa
tipe. The Encyclopedia of Religion menyebutkan tiga tipe ajaran spiritual
(spiritual discipline) yaitu :
Pertama, spiritual heteronomy. Dalam corak spiritual ini, pencari atau
pengamal spiritual cenderung menerima, memahami, meyakini atau mengamalkan
acuan spiritual (nilai-nilai spiritual) yang bersumber dari otoritas luar (external
authority). Pengamal ajaran spiritual heteronomik bersikap mentaati dan
menerima makna dan keabsahannya dalam wujud tindakan yang submisif dalam
arti tinggal menerima, meyakini dan mengamalkan saja, tanpa harus
merefleksikan atau merasionalisasi makna ajarannya.
Kedua, spiritual otonom, yakni bentuk spiritualitas yang bersumber dari
hasil refleksi diri sendiri. Corak spiritual ini bersifat “self-contained and
independent of external authority”, yakni dihasilkan dari dalam diri sendiri dan
terbebas dari otoritas luar. Spiritual otonom sesungguhnya merupakan nilai
spiritual yang dihasilkan oleh proses refleksi terhadap kemahabesaran Tuhan dan
ciptaannya.
Ketiga, spiritual interaktif, yakni nilai spiritual atau spiritual yang
terbentuk melalui proses interaktif antara dirinya sendiri dengan lingkungannya.
Dengan demikian, corak spiritual ini bukan mutlak karena faktor internal maupun
eksternal. Namun, lebih merupakan hasil dari proses dialektik antara potensi
ruhaniah (mental, perasaan, dan moral) di satu pihak dengan otoritas luar dalam
bentuk tradisi, folkways, dan tatanan dunia yang mengitarinya.
Bentuk-bentuk spiritual yang berkembang juga cenderung bervariasi. William K.
Mahony, mengkategorikan dua bentuk ajaan spiritual. Pertama, ajaran spiritual
esktatik, ajaran ini menganggap bahwa spiritual atau nilai-nilai spiritual dapat
diperoleh melalui pengalaman esktatik. Yakni praktik memperoleh kegembiraan
luar biasa (esktasi) dengan cara merampas (menjauhkan) diri dari bentuk
kesenangan jasmani agar terbebas dari kungkungan tubuh jasmaniahnya (physical
body). Kedua, ajaran spiritual konstraktif yang memandang bahwa untuk
memperoleh nilai dan tingkat spiritualitas (maqam) tidak harus mengekslusi atau
mengesampingkan realitas kesenangan hidup keseharian yang sesunguhnya.
Thomas a Kempis, seorang biarawan pada abad 15 pernah mengajarkan pada
muridnya tentang bagaimana cara memilki spirtualitas relijius yang tinggi. Ajaran
sederhananya, misalnya “Be simple, like the simple children of God, without
deception, without envy, without murmuring, and without suspicion”.
1. Menumbuhkan Kecerdasan Spiritual (Spiritual Quatient)
Menurut Jalaluddin Rahmat (2001), dalam kata pengantar pada buku SQ edisi
Indonesia mengatakan, Sejak 1969, ketika Journal of Transpersonal
Psychology terbit untuk pertama kalinya, psikologi mulai mengarahkan
perhatiannya pada dimensi spiritual manusia. Penelitian dilakukan untuk
memahami gelaja-gejala ruhaniah, seperti peak experience, pengalaman mistik,
ekstasi, kesadaran ruhaniah, kesadaran kosmis, aktualisasi transpersonal,
pengalaman spiritual, dan akhirnya kecerdasan spiritual. Dalam kerangka inilah,
Zohar mendefinisikan kecerdasan spiritual sebagai “kecerdasan yang bertumpu
pada bagian dalam diri kita yang berhubungan dengan kearifan di luar ego, atau
jiwa sadar. Inilah kecerdasan yang kita perlukan bukan hanya untuk mengetahui
nilai-nilai yang ada, melainkan juga untuk secara kreatif menemukan nilai-nilai
baru”.
Zohar juga mengatakan, SQ adalah kecerdasan untuk menghadapi dan
memecahkan persoalan makna dan nilai, yaitu kecerdasan untuk menempatkan
perilaku dan hidup kita dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya,
kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang lebih
bermakna dibandingkan dengan yang lain. SQ adalah landasan yang diperlukan
untuk memfungsikan IQ dan EQ secara efektif. Bahkan SQ merupakan
kecerdasan tertinggi kita. Akan tetapi seperti kata Jalaluddin Rahmat, Danah
Zohar masih terikat dalam pemikiran psikologi dari angkatan-angkatan sebelum
psikologi transpersonal.Sedangkan menurut Khalil Khavari (Khavari, 2000, h.
23)., “kecerdasan spiritual adalah fakultas dari dimensi nonmaterial kita-ruh
manusia. Inilah intan yang belum terasah yang kita semua milikinya. Kita harus
mengenalinya seperti apa adanya, menggosoknya hingga berkilap dengan tekad
yang besar dan menggunakannya untuk memperoleh kebahagiaan abadi. Seperti
dua bentuk kecerdasan lainnya, kecerdasan spiritual dapat ditingkatkan dan juga
diturunkan. Akan tetapi, kemampuan untuk ditingkatkan tampaknya tidak
terbatas”.
Danah Zohar menawarkan enam jalan untuk menumbuhkan kecerdasan
kecerdasan spiritual antara lain . Jalan I : Jalan Tugas; Jalan II : Jalan Pengasuhan;
Jalan III : Jalan Pengetahuan; Jalan IV : Jalan Perubahan Pribadi; Jalan V : Jalan
Persaudaraan; Jalan VI : Jalan Kepemimpinan yang Penuh Pengabdian.Yang pada
akhirnya semua jalan menuju dan berasal dari pusat yaitu kembali kedunia.
Menurut Jalaluddin Rahmat ada berbagai teknik untuk mengungkapkan makna;
tetapi ada lima situasi ketika makna membersit ke luar dan mengubah hidup kita-
menyusun hidup kita yang porak-poranda. Pertama, makna kita temukan ketika
kita menemukan diri kita (self discovery); kedua, makna muncul ketika kita
menentukan pilihan; ketiga, makna ditemukan ketika kita merasa istimewa, unik,
dan tak tergantikan oleh orang lain;keempat, makna membersit dalam tanggung
jawab; kelima, makna mencuat dalam situasi transendensi, gabungan dari keempat
hal diatas.
Dalam menumbuhkan spiritual dapat juga dengan memakai ESQ yang
diperkenalkan oleh AG Agustian, dengan ESQ seseorang mampu mengendalikan
emosinya karena di dalam dirinya mulai tumbuh “hot spot” (fitrah). Semakin baik
ESQ seseorang tentu kemampuan mengendalikan diri akan semakin baik pula.
Selain ESQ ada juga yang namanya Transenden Intelligency (TI) yang berarti
kecedasan ruhaniah. Menurut Toto Tasmara (2001) salah satu indicator
kecerdasan ruhaniah itu adalah taqwa. Orang yang bertaqwa menurut Tasmara
adalah orang yang bertanggung jawab, memegang amanah dan penuh rasa cinta.
Selain itu pada diri orang yang bertaqwa juga terdapat ciri : memiliki visi dan
misi, merasakan kehadiran Allah Swt, berzikir dan berdoa, sabar, cenderung
kepada kebaikan, memiliki empati, berjiwa besar, dan bersifat melayani.
2. Menumbuhkan Sifat Melayani
Pada masa pergerakan para pemimpin kita tidak mau bekerja pada pemerintahan
kolonial. Mereka para pemimpin pergerakan memilih usaha sendiri meskipun
dengan ruang yang sempit pada waktu itu. Faham kepemimpinan pergerakan
disikapi dan diamalkan sebagai kesempatan untuk melayani, bukan untuk
dilayani. Akan tetapi faham ini tidak berlanjut pada masa sesudahnya, para
birokrat ternyata bagaikan raja yang setiap saat harus siap untuk dilayani.
Masyarakat yang sudah susah dan miskin terpaksa harus melayani mental para
pemimpin yang rakus dan culas. Pelayanan kepada masyarakat yang seharusnya
mudah dipersulit dengan birokrasi yang dibuat sesukanya. Mengutip catatan Guru
Besar Ilmu Politik Universitas Airlangga Ramlan Surbakti mengenai fenomena
birokrasi di Indonesia, kewenangan besar dimiliki birokrat sehingga hampir
semua aspek kehidupan masyarakat ditangani birokrasi.
Kewenangan yang terlalu besar itu bahkan akhirnya menonjolkan peran birokrasi
sebagai pembuat kebijakan ketimbang pelaksana kebijakan, lebih bersifat
menguasai daripada melayani masyarakat. Akhirnya, wajar saja jika kemudian
birokrasi lebih dianggap sebagai sumber masalah atau beban masyarakat
ketimbang sumber solusi bagi masalah yang dihadapi masyarakat.Fenomena itu
terjadi karena tradisi birokrasi yang dibentuk lebih sebagai alat penguasa untuk
menguasai masyarakat dan segala sumber dayanya. Dengan kata lain, birokrasi
lebih bertindak sebagai pangreh praja daripada pamong praja. Bahkan kemudian
terjadi politisasi birokrasi. Pada rezim Orde Baru, birokrasi menjadi alat
mempertahankan kekuasaan.
Dengan perubahan paradigma yang akhir-akhir ini sering terdengar bahwa
kualitas pelayanan pada masyarakat merupakan salah satu masalah yang mendapat
perhatian serius oleh aparatur pemerintah. Hal ini dibuktikan dalam keputusan
MenPAN Nomer 81 Tahun 1993 kemudian dipertegas dengan inpres I/95,
kemudian disusul dengan Surat Edaran Menko-Wasbang/PAN No.
56/MK.WASPAN/6/98.Dalam manajemen pelayanan dikenal kepemimpinan-
pelayan yaitu pemimpin yang lebih dulu melayani. Disyaratkan kemampuan
menganalisis dan mengembangkan kemampuan logika dan analitis termasuk
mengenali ciri khas pemimpin-pelayan yang bisa ditiru. Spears (1999)
mengetengahkan ciri khas pemimpin-pelayan sebagai berikut :
1. Pemimpin-pelayan menyatakan tanggungjawab yang tidak terbatas
untuk orang lain, dengan jalan kita menerima orang lain apa adanya, kita
harus belajar memberikan empati;
2. Pemimpin-pelayan mengenal dirinya sendiri dengan baik, ciri khas
ini adalah sebuah komitmen seumur hidup, tetapi merupakan landasan
untuk menjadi pemimpin-pelayan;
3. Pemimpin-pelayan adalah pemegang wawasan yang
membebaskan, ciri khas ini adalah kunci dari kegiatan pelayanan yang
mendahulukan kepuasaan pelanggan karena mereka merasakan suatu nilai
lebih apabila bergabung dengan kita;
4. Pemimpin-pelayan adalah pemakai bujukan, ciri khas ini
pemimpin-pelayan berusaha untuk tidak mengendalikan orang lain,
pendekatan yang digunakan adalah berusaha mengembangkan pengertian;
5. Pemimpin-pelayan adalah pembangun masyarakat;
6. Pemimpin-pelayan menggunakan kekuasaan secara etis.
Dalam manajemen pelayanan juga dikenal layanan sepenuh hati. Layanan
sepenuh hati menurut Patricia patton dalam karyanya dalam edisi Indonesia
(1998) berjudul EQ-Pelayanan Sepenuh Hati, mengatakan bahwa layanan sepenuh
hati berasal dari dalam diri kita sendiri, bahwa sanubari merupakan tempat
bersemanyamnya emosi-emosi, watak, keyakinan-keyakinan, nilai-niai, sudut
pandang, dan perasaan-perasaan. Dan bahwa dalam melakukan pelayanan
sepenuh hati, ada tiga paradigma pengikat yang sejogianya dipahami oleh aparatur
pelayan. Paradigma tersebut 1) bagaimana memandang diri sendiri, 2) bagaimana
memandang orang lain, dan 3) bagaimana memandang pekerjaan.
3. Agama Sebagai Sumber Spiritualitas
Ada adagium yang mengatakan bahwa “agama boleh saja ditinggalkan orang, tapi
spiritual akan selalu hidup dan bersemanyam di hati setiap orang sampai kapan
pun”. Disini berarti terdapat pembedaan antara agama atau keagamaan dengan
spiritualitas. Agama berbicara tentang seperangkat nilai dan aturan perilaku yang
telah melalui proses kodifikasi. Sementara spiritual bermakna jiwa yang paling
dalam, hakiki, substance, masih suci dan belum terkotak-kotak, bebas merambah
kemana saja, dan didalamnya bersemayam sifat-sifat Ilahi (ketuhanan) yang
lembut dan mencintai.
Danah Zohar dan Ian Marshall mengatakan, “SQ tidak mesti berhubungan dengan
agama. Karena menurutnya sebagian orang, SQ mungkin menemukan cara
pengungkapan melalui agama formal tetapi beragama tidak menjamin SQ tinggi.
Banyak orang humanis dan ateis memiliki SQ sangat tinggi; sebaliknya, banyak
orang yang aktif beragama memiliki SQ sangat rendah. SQ adalah kesadaran yang
dengannya kita tidak hanya mengakui nilai-nilai yang ada, tetapi kita juga secara
kreatif menemukan nilai-nilai baru”.
Sedangkan Jalaluddin berpendapat, sepanjang zaman manusia bertanya, “siapakah
aku ?” Tradisi keagamaan menjawabnya dengan menukik jauh kedalam, “wujud
spiritual, ruh.” Praktek-praktek keagamaan mengajarkan kita untuk
menyambungkan diri kita dengan bagian diri kita yang terdalam. Psikologi
modern menjawab dengan menengok ke dalam (tidak terlalu dalam), self, ego,
eksistensi psikologis” dan psikoterapi adalah perjalanan psikologis untuk
menemukan diri ini. Psikologi transpersonal menggabungkan kedua jawaban ini.
Ia mengambil pelajaran dari semua angkatan psikologi dan kearifan perennial
agama.
Selanjutnya Jalaluddin menambahkan, agama-agama berbicara tentang kesadaran
spiritual yang luas dan multidimensi. Diri, eksistensi pikologis, hanyalah
penampakan luar dari esensi spiritual kita. Penjelasan psikologis yang hanya
berkutat pada penampakan luar jelas tidak memadai. Menyembuhkan ganguan
mental dengan menggarap diri lahiriah kita sama saja dengan mendorong mobil
mogok tanpa memperbaiki mesinnya.
Marsha Sinetar (2000, hal. 17) mendefinisikan “kecerdasan spiritual adalah
pikiran yang mendapat inspirasi, dorongan, dan efektivitas yang terinspirasi, the
is-ness atau penghayatan ketuhanan yang didalamnya kita semua menjadi bagian”.
PENUTUP
A. Kesimpulan
Penting bagi manusia untuk mempunyai keyakinan atau kepercayaan agar
manusia mempunyai kontrol dalam kehidupannya.Spiritual atau kepercayaan bisa
menumbuhkan kekuatan dari dalam diri manusia agar bisa bertahan dalam segala
keadaan apapun.spiritual juga bisa menumbuhkan kecerdasan emosional (EQ)
Keyakinan spiritual sangat penting bagi perawat karena dapat mempengaruhi
tingkat kesehatan dan perilaku self care klien. Keyakinan spiritual yang perlu
dipahami ,menuntun kebiasaan hidup sehari-hari gaya hidup atau perilaku tertentu
pada umumnya yang berhubungan dengan pelayanan kesehatan mungkin
mempunyai makna keagamaan bagi klien seperti tentang permintaan menu diet.
Sumber dukungan, spiritual sering menjadi sumber dukungan bagi seseorang
untuk menghadapi situasi stress. Dukungan ini sering menjadi sarana bagi
seseorang untuk menerima keadaan hidup yang harus dihadapi termasuk penyakit
yang dirasakan.
Sumber kekuatan dan penyembuhan,individu bisa memahami distres fisik yang
berat karena mempunyai keyakinan yang kuat. Pemenuhan spiritual dapat menjadi
sumber kekuatan dan pembangkit semangat pasien yang dapat turut mempercepat
proses kesembuhan.
Sumber konflik pada situasi tertentu dalam pemenuhan kebutuhan spiritual pasien,
bisa terjadi konflik antara keyakinan agama dengan praktik kesehatan seperti
tentang pandangan penyakit ataupun tindakan terapi. Pada situasi ini, perawat
diharapkan mampu memberikan alternatif terapi yang dapat diterima sesuai
keyakinan pasien.
B. Saran
perlu banyak pembelajaran tentang spiritualitas karena spiritual sangat penting
bagi manusia dalam berbagai hal. dalam ilmu kesehatan juga perlu
ditingkatkan agar seorang tenaga kesehatan tidak salah mengambil sikap atau
tindakan dalam menghadapi klien dengan gangguan spiritualitas. perhatian
spiritualitas dapat menjadi dorongan yang kuat bagi klien kearah penyembuhan
atau pada perkembangan kebutuhan dan perhatian spiritualitas. untuk itu seorang
perawat tidak boleh mangesampingkan masalah spiritualitas klien.
DAFTAR PUSTAKA
Dr.liza,2011.konsep spiritual.sang obsesi.
Jeany.blogs.spot.com-makalah konsep dasar spiritual. Rabu, 04 Januari 2012.
Kurniawan,bayu.blogs.spot.com-kebutuhan spiritual pasien. November 25, 2011