Anda di halaman 1dari 4

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Penelitian

Beberapa tahun terakhir banyak penelitian yang mempelajari fisiologi tidur

dan gangguan-gangguan tidur, seperti Obstructive Sleep Apnea (OSA). Obstructive

sleep apnea memperbesar resiko terjadinya stroke pada laki-laki. Selain itu, menurut

penelitian, peningkatan resiko pada laki-laki juga diikuti dengan peningkatan

keparahan. Keparahan ini juga disebabkan kecenderungan laki-laki sudah mengalami

sleep apnea sejak usia muda namun dibiarkan dalam jangka lama tanpa ditangani. (1)

Prevalensi Obstructive sleep apnea di dunia mencapai 5 dari 100 penduduk di

amerika. (1) Pada pasien OSA terdapat penurunan fase tidur dalam. Pada OSA, episode

obstruksi dapat berhubungan dengan peningkatan kolapsnya jalan napas karena faktor

mekanis dan saraf. Faktor mekanis yang paling umum pada anak-anak adalah
(1)
hipertropi adenoide dan atau amandel, serta penyempitan lumen jalan napas.

Sekitar 2% dari anak-anak yang sehat memiliki pembesaran amandel dan adenoide

dapat menghalangi jalan napas. Etiologi Obstructive Sleep Apnea adalah keadaan

komplek yang sering mempengaruhi berupa neural, hormonal, muscular dan struktur

anatomi, contohnya kegemukan terutama pada tubuh bagian atas dipertimbangkan

sebagai resiko utama terjadinya Obstructive Sleep Apnea. Penambahan berat badan
(1)(2)
akan meningkatkan gejala-gejala Obstructive Sleep Apnea.

Tidur merupakan suatu keadaan reversible yang bermanifestasi berupa

penurunan kesadaran juga reaksi terhadap stimulus eksternal. Manusia dewasa

memerlukan tidur rata-rata 6-8 jam per hari. Tidur dapat terbagi atas 2 fase, yaitu

NREM (Non Rapid Eye Movement) sleep yang mengisi 75-80% fase tidur dan REM
(Rapid Eye Movement) sleep mengisi 20-25 % dari fase tidur. Pada dewasa normal,

kedua fase ini muncul dalam siklus yang semi reguler yang berlangsung sekitar 90-

120 menit dan muncul sebanyak 3-4 kali setiap malam. (1)(2) Fase tidur NREM terdiri

dari stase 1 sampai 4, dimana stase 3 dan 4 merupakan fase tidur dalam. Fungsi tidur

NREM masih merupakan dugaan beberapa teori telah diajukan salah satu teorinya

menyatakan bahwa penurunan metabolisme akan memfasilitasi peningkatan

penyimpanan glikogen. Teori lain memanfaatkan plastisitas neuron yang menyatakan

bahwa depolarisasi dan hiperpolarisasi dari osilasi akan berkonsolidasi dengan proses

memori dan menghilangkan sinaps yang berlebihan. Selama fase NREM permintaan

metabolik otak berkurang.(1)

Vitamin B12 di kenal juga bernama cobalamin. Vitamin B12 merupakan

vitamin yang larut dalam air. Cobalamin berfungsi dalam berbagai fungsi

metabolisme dalam tubuh manusia, seperti pembentukan serta pematangan sel darah

merah, membantu pematangan funsi sel saraf, pembentukan berbagai hormon di


(2)(4)
dalam tubuh termasuk pembentukan hormon melatonin. Melatonin merupakan

suatu hormon yang berfungsi dalam mengatur tidur manusia. Vitamin B12 dapat

ditemukan dalam berbagai macam makanan, seperti ikan, daging, telur, jamur.

Defisiensi vitamin B12 dapat menyebabkan anemia pernisiosa, depresi, alzheimer,

penurunan durasi tidur dalam dan kulit sensitif. Ketika ikatan vitamin B12 dengan

faktor intrinsik telah dikenali oleh reseptor spesifik di ileum terminal, dapat berdifusi

secara transpor aktif lalu mengikuti sirkulasi portal ke hepar. Lalu vitamin B12

dirubah menjadi transcobalamin dan berikatan dengan plasma transporter. (44)(46) Di

hepar melalui methionin syntase transkobalamin di pecah menjadi methionin dan

sianokobalamin, dimana methionin bersama ATP dan ion Mg membentuk SAM dan

tryptofan. Metabolisme SAM melalui mekanisme, pertama methylisasi dimana hasil


akhir dapat berfungsi untuk pembentukan hormon hormon didalam tubuh. Pada

malam hari tryptofan bersama tryptofan hidroksilase membentuk S-Hydroksitriptofan.

Lalu S-hidroksitriptofan membentuk serotonin, serotonin bersama SAM membentuk

N-asetilserotonin yang pada akhirnya menjadi melatonin. Melatonin merupakan

hormon alami yang dihasilkan dalam tubuh yang merupakan antioksidan poten.

Melatonin hormon yang mempengaruhi durasi tidur dalam.(2)(4)

Kurangnya data penelitian yang menghubungkan kadar B12 serum dengan

durasi fase tidur dalam pada pasien obstructive sleep apnea, ini yang membuat

peneliti tertarik untuk melakukan penelitian ini.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang diuraikan oleh penulis diatas, penulis

merumuskan pertanyaan penelitian apakah terdapat pengaruh kadar vitamin B serum

dengan durasi fase tidur pada penderita Obstructive Sleep Apnea?

1.3. Manfaat Penelitian

1.3.1 Bidang penelitian

A. Memberikan pengetahuan mengenai pengaruh kadar vitamin B serum dengan

durasi fase tidur dalam pada pasien Obstructive Sleep Apnea.

B. Memberikan pengetahuan mengenai faktor - faktor yang mempengaruhi durasi

fase tidur pada pasien obstructive sleep apnea.

C. Sebagai bahan informasi dan dijadikan sebagai rujukan untuk penelitian

selanjutnya.
1.3.2 Bidang Pelayanan Masyarakat

Memberikan informasi kepada masyarakat mengenai pengaruh kadar vitamin B serum

dengan durasi fase tidur dalam pada pasien Obstructive Sleep Apnea.

1.3.3 Bidang Pendidikan

A. Menambah wawasan tentang kadar vitamin B serum pada pasien Obstructive

Sleep Apnea dan hubungannya dengan durasi fase tidur.

B. Merupakan sarana proses pendidikan, khususnya dalam hal melakukan

penelitian dan meningkatkan pengetahuan bidang neurologi.

1.4. Tujuan Penelitian

a.Tujuan Umum

Mengetahui pengaruh kadar vitamin B serum dengan durasi fase tidur pada

penderita Obstructive Sleep Apnea.

b.Tujuan Khusus

Mengetahui pengaruh umur, jenis kelamin, lingkar leher, BMI, skor mallampati,

hipertensi, merokok, derajat OSA dengan durasi fase tidur dalam pada penderita

obstructive sleep apnea.

Anda mungkin juga menyukai