Anda di halaman 1dari 36

BAB I

PENDAHULUAN

Makan merupakan salah satu kegiatan biologis yang kompleks

yang melibatkan berbagai faktor fisik, psikologis, dan lingkungan

keluarga, khususnya ibu. Jika dilihat dari segi gizi anak, makan

merupakan upaya untuk memenuhi kebutuhan individu terhadap

berbagai macam zat gizi (nutrien) untuk berbagai keperluan

metabolisme berkaitan dengan kebutuhan untuk mempertahankan

hidup, mempertahankan kesehatan dan untuk pertumbuhan dan

perkembangan. Di samping itu, makan merupakan pendidikan agar

anak terbiasa kebiasaan makan yang baik dan benar dan juga untuk

mendapatkan kepuasan dan kenikmatan bagi anak maupun bagi

pemberinya terutama ibu.[1]

Kesulitan makan merupakan gejala ketidakmampuan secara wajar

dalam memenuhi kebutuhan zat gizi. Keluhan yang biasa disampaikan

berbagai macam di antaranya, penerimaan makanan yang tidak/kurang

memuaskan, makan tidak mau ditelan, makan terlalu sedikit atau tidak

nafsu makan, penolakan atau melawan pada waktu makan, kebiasaan

makan makanan yang aneh (pika), hanya mau makan jenis tertentu saja,

cepat bosan terhadap makanan yang disajikan, kelambatan dalam

1
tingkat keterampilan makan, dan keluhan lain. Dampak gangguan

makan misalnya karena sakit akut biasanya tidak menunjukkan dampak

yang berarti. Pada gangguan makan yang berat dan berlangsung lama

akan berdampak pada kesehatan dan tumbuh kembang anak.[1,2]

Pada bayi dan anak, makan merupakan kegiatan natural yang

terjadi sehari-hari. Namun pada kenyataannya, 25% anak-anak normal

dan 80% anak-anak dengan gangguan perkembangan dilaporkan

mempunyai masalah kesulitan makan. Salah satu gangguan

perkembangan pada anak yang berakibat pada kesulitan makan,

mempengaruhi tumbuh kembang anak dan sering dijumpai adalah palsi

serebralis atau cerebral palsy (CP).[3,4,5]

Palsi serebralis menurut arti katanya berasal dari cerebral yang

artinya berkenaan dengan otak, dan palsy yang artinya paralisis. Anak-

anak yang menderita palsi serebralis mengalami gangguan motorik,

baik motorik halus maupun kasar, gangguan sikap (postur), kontrol

gerak, gangguan kekuatan otot yang biasanya disertai gangguan

neurologik. Anak-anak yang menderita palsi serebralis juga sering

menderita penyakit lain seperti epilepsi, retardasi mental, gangguan

pengelihatan, dan gangguan pendengaran.[4,6]

2
Pada anak-anak dengan palsi serebralis, terjadi gangguan motorik,

diantaranya terjadi kekakuan otot yang secara permanen akan menjadi

kontraktur, terjadi gerakan abnormal, gangguan koordinasi otot bicara

(disartria), gangguan keseimbangan dan persepsi dalam. Gangguan

motorik tersebut mengakibatkan gangguan pemberian makanan,

gangguan mengunyah, tidak dapat menelan, refleks menjadi hiperaktif,

dan ketidakmampuan untuk mengontrol saat makan. Gangguan ini

memiliki efek yang signifikan terhadap pertumbuhan, perkembangan

dan status gizi. Faktor- faktor ini lah yang menyebabkan anak-anak

penderita palsi serebralis mengalami kekurangan gizi bahkan menderita

gizi buruk. Gizi yang buruk, pada akhirnya membuat anak rentan

terhadap infeksi, dan menyebabkan gagal tumbuh.[5,7,8]

Berikut diuraikan tentang referat kesulitan makan pada anak

cerebral palsy.

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 CEREBRAL PALSY/PALSI SEREBRALIS (CP)

A. DEFINISI PALSI SEREBRALIS

Palsi serebralis adalah terminologi yang digunakan untuk

mendeskripsikan kelompok penyakit kronik yang mengenai pusat

pengendalian pergerakan dengan manifestasi klinis yang tampak

pada beberapa tahun pertama kehidupan dan secara umum tidak

akan bertambah memburuk pada usia selanjutnya. Istilah cerebral

ditujukan pada kedua belahan otak, atau hemisphere, dan palsy

mendeskripsikan bermacam penyakit yang mengenai pusat

pengendalian pergerakan tubuh. Jadi, penyakit tersebut tidak

disebabkan oleh masalah pada otot atau jaringan saraf tepi,

melainkan terjadi perkembangan yang salah atau kerusakan pada

area motorik otak yang akan mengganggu kemampuan otak untuk

mengontrol pergerakan dan postur secara adekuat.[5,9]

Yang pertama kali memperkenalkan penyakit ini adalah

William John Little (1843), yang menyebutnya dengan istilah

Cerebral diplegia, sebagai akibat prematuritas atau asfiksia

4
neonatorum. Sir William Osler adalah orang yang pertama kali

memperkenalkan istilah Cerebral Palsy, dengan nama lain Static

Encephalopathies of Childhood. Sedangkan Sigmund Freud

menyebutnya dengan istilah Infantile Cerebral Paralysis.[10,11,12]

Palsi serebralis bukan merupakan penyakit yang menular

ataupun bersifat herediter. Sampai saat ini Palsi serebralis belum

dapat disembuhkan, walaupun penelitian ilmiah berlanjut untuk

menemukan terapi yang lebih baik dan metode

pencegahannya.[10,12,13]

B. EPIDEMIOLOGI

Palsi serebralis adalah salah satu penyebab disabilitas yang

paling sering pada anak-anak. Insidensinya bervariasi, tetapi

diperkirakan terjadi pada 2-3 setiap 1000 kelahiran hidup. Dan

pada tahun 2003 di Amerika Serikat didapatkan 20% dari anak-

anak dengan Palsi serebralis menderita gizi buruk.[14]

Asosiasi Cerebral Palsy dunia memperkirakan adanya

kurang lebih 500.000 penderita palsi serebralis di Amerika.

Disamping peningkatan dalam prevensi dan terapi penyebab palsi

serebralis, jumlah anak-anak dan dewasa yang terkena palsi

5
serebralis tampaknya masih tidak banyak berubah atau mungkin

lebih meningkat sedikit selama 30 tahun terakhir.[10,11,15]

Hal ini dikarenakan banyak bayi yang lahir prematur,

sehingga banyak bayi yang mengalami permasalahan

perkembangan sistem saraf atau penderita kerusakan

neurologis.[10]

C. ETIOLOGI PALSI SEREBRALIS

Palsi Serebralis dapat disebabkan faktor genetik ataupun

faktor lainnya. Apabila ditemukan lebih dari satu anak yang

menderita kelainan ini, maka kemungkinan besar disebabkan

faktor genetik. Sedangkan hal-hal lainnya yang diperkirakan

sebagai penyebab Palsi Serebralis adalah sebagai berikut:[11,12,16,17]

a. Prenatal: infeksi intrauterin (TORCH, herpes virus dan

sifilis), radiasi, trauma, asfiksia intrauterin (abrupsio

plasenta, plasenta previa, anoksia maternal, kelainan

umbilikus, perdarahan plasenta, ibu hipertensi, dan lian-lain),

toksemia gravidarum, DIC oleh karena kematian prenatal

pada salah satu bayi kembar, faktor metabolik (hipotiroid

sejak fetus), malformasi otak kongenital.

6
b. Perinatal: anoksia/hipoksia, perdarahan otak, trauma

(disproporsi sefalopelvik, sectio caesaria), prematuritas,

hiperbilirubinemia, bayi kembar.

c. Postnatal: trauma kepala, infeksi (meningitis/ensefalitis yang

terjadi 6 bulan pertama kehidupan), anoksia tumor otak,

cerebrovascular accidents (anomali, emboli, trombosis).

D. KLASIFIKASI PALSI SEREBRALIS

Klasifikasi Palsi Serebralis dapat dibuat berdasarkan:[10,11,12]

a) Berdasarkan tanda klinis topografis

1. Palsi Serebralis spastik (piramidal): merupakan 75%

kasus Palsi Serebralis. Tanda-tanda yang dapat dijumpai

adalah tipe upper motor neuron, dapat berupa

hiperrefleks, klonus, respon ekstensor Babinski pada

anak lebih dari 2 tahun, primitif refleks persisten, refleks

overflow seperti cross adductor.

Berdasarkan distribusi bagian tubuh yang terlibat:

a. Spastik monoplegia: gangguan spastik pada satu

anggota gerak atas atau bawah.

b. Spastik diplegia (10% - 30% kasus Palsi

Serebralis): keempat anggota gerak terkena,

7
anggota gerak bawah terkena lebih berat, gangguan

spastik / koordinasi ringan anggota gerak atas dan

gangguan spastik anggota gerak bawah.

c. Spastik triplegia: tiap anggota gerak mengalami

gangguan spastik, kasus klasik gangguan pada

kedua anggota gerak bawah dan satu anggota gerak

atas spastik.

d. Spastik kuadriplegia (9% - 43% kasus Palsi

Serebralis): keempat anggota gerak dan trunkus

terkena, ada yang polanya keempat anggota gerak

spastik dan tonus hipotonus atau seluruh tubuh

hipertonus.

e. Spastik hemiplegia (25% - 40% kasus Palsi

Serebralis): separuh sisi badan terkena, biasanya

lengan lebih terganggu dari tungkai.

2. Palsi Serebralis diskinetik (ekstrapiramidal) mempunyai

gejala karakteristik pola gerakan ekstrapiramidal.

Respon yang abnormal ini sekunder terhadap regulasi

tonus abnormal, kontrol postur terganggu dan

koordinasi kurang.

8
Berdasarkan gerakan yang ditimbulkannya:

a. Atetosis: gerakan lambat, gerakan involunter

terutama terjadi pada bagian distal ekstrimitas, otot

agonis dan antagonis aktif, intensitas meningkat

dengan emosi dan aktivitas dengan kemauan.

b. Khorea: gerakan mendadak, ireguler, gerakan

menghentak, biasanya mengenai kepala, leher, dan

ekstrimitas.

c. Khoreoatetosis: gerakan kombinasi antara khorea

dan atetosis.

d. Distonia: gerakan ritmis dengan tonus berubah-

ubah, umumnya di trunkus dan ekstremitas serta

postur abnormal.

e. Ataksia: gerakan tidak seimbang dan tidak

terkoordinasi, sering berhubungan dengan

nistagmus, dismetria dan pola jalan dengan dasar

lebar.

3. Palsi Serebralis campuran merupakan deskripsi dari

kombinasi tipe spastik dan diskinetik.

9
b) Berdasarkan derajat kemampuan fungsionalnya, Palsi

serebralis dapat digolongkan menurut Gross Motor Function

Classification System.[12,18]

a. Level I

Dapat berjalan tanpa hambatan, terdapat keterbatasan

ketrampilan motorik kasar yang lebih parah.

b. Level II

Dapat berjalan tanpa alat bantu, terdapat keterbatasan

berjalan diluar ruang dan masyarakat.

c. Level III

Dapat berjalan dengan alat bantu, terdapat keterbatasan

berjalan diluar ruang dan masyarakat

d. Level IV

Dapat mobilisasi sendiri dengan keterbatasan, dapat

menggunakan daya mobilitas diluar ruang dan dalam

masyarakat.

e. Level V

Mobilisasi sendiri sangat terbatas, bahkan dengan

penggunaan bantuan teknologi.

10
c) Menurut kecacatannya, dapat dikelompokkan menjadi:[11]

a. Ringan

Anak dapat berjalan tanpa alat bantu, tidak

membutuhkan pengawasan orang lain, jalannya cukup

stabil, dapat sekolah biasa, aktivitas kehidupan sehari-

hari (AKS) 100% dapat dilakukan sendiri.

b. Sedang

Anak berjalan dengan atau tanpa alat bantu, alat untuk

ambulasi ialah brace, tripod atau tongkat. Ketiak,

kaki/tungkai masih dapat berfungsi sebagai pengontrol

gaya berat badan, sebagian besar AKS dapat dilakukan,

dapat bersekolah.

c. Berat

Mampu untuk makan-minum sendiri, dapat duduk,

merangkak, atau mengesot. Dapat bergaul dengan

teman-temannya yang sebaya dan aktif. Perngertian

kejiwaan dan rasa keindahan masih ada, AKS perlu

bantuan, tetapi masih dapat bersekolah. Alat ambulasi

yang tepat ialah kursi roda.

11
d. Berat sekali

Tidak ada kemampuan untuk menggerakan tangan dan

kaki, kebutuhan hidup yang vital (makan/minum)

tergantung pada orang lain, tidak dapat berkomunikasi,

tidak dapat ambulasi, kontak kejiwaan dan rasa

keindahan tidak ada.

E. MASALAH UTAMA PENDERITA PALSI SEREBRALIS

Masalah utama yang dijumpai dan dihadapi pada anak yang

menderita Palsi serebralis antara lain:[5]

1. Kelemahan dalam mengendalikan otot tenggorokan, mulut,

dan lidah akan menyebabkan anak tampak selalu berliur.

Air liur dapat menyebabkan iritasi berat kulit dan

menyebabkan seseorang sulit diterima dalam kehidupan

sosial dan pada akhirnya akan menyebabkan anak terisolir

dalam kehidupan kelompoknya. Walaupun sejumlah terapi

untuk mengatasi drooling telah dicoba selama bertahun-

tahun, dikatakan tidak ada satupun yang berhasil. Obat-

obatan kholinergik dapat menurunkan aliran saliva tetapi

dapat menimbulkan efek samping yang bermakna, misalnya

mulut kering dan digesti buruk. Pembedahan walaupun

12
kadang-kadang efektif, akan membawa komplikasi, termasuk

memburuknya masalah menelan. Beberapa penderita berhasil

dengan teknik biofeedback yang dapat memberitahu

penderita saat drooling atau mengalami kesulitan untuk

mengendalikan otot yang akan membuat mulut tertutup.

Terapi tersebut tampaknya akan berhasil jika penderita

mempunyai usia 2-3 tahun, dimana dapat dimotivasi untuk

mengendalikan drooling, dan dapat mengerti bahwa drooling

akan menyebabkan seseorang secara sosial sulit diterima.

2. Kesulitan makan dan menelan, yang dipicu oleh masalah

motorik pada mulut, dapat menyebabkan gangguan nutrisi

yang berat

Nutrisi yang buruk, pada akhirnya dapat membuat

seseorang rentan terhadap infeksi dan menyebabkan gagal

tumbuh. Untuk membuat menelan lebih mudah, disarankan

untuk membuat makanan semisolid, misalnya sayur dan buah

yang dihancurkan. Poosisi ideal, misalnya duduk saat makan

atau minum dan menegakkan leher akan menurunkan resiko

tersedak. Pada kasus gangguan menelan berat dan malnutrisi,

13
klinisi dapat merekomendasikan penggunaan selang

makanan, atau gastrotomy.

3. Inkontinensia urin

Inkontinensia urin adalah komplikasi yang sering

terjadi. Inkontinensia urin ini disebabkan karena penderita

CP kesulitan mengedalikan otot yang selalu menjaga supaya

kandung kemih selalu tertutup. Inkontinensia urin dapat

berupa enuresis, dimana seseorang tidak dapat

mengendalikan urinasi selama aktivitas fisik (stress

inkonentia), atau merembesnya urine dari kandung kemih.

2.2 KESULITAN MAKAN PADA ANAK

Pada anak-anak dengan palsi serebralis, terjadi gangguan

motorik, diantaranya terjadi kekakuan otot yang secara permanen

akan menjadi kontraktur, terjadi gerakan abnormal, gangguan

koordinasi otot bicara (disartria), gangguan keseimbangan dan

persepsi dalam. Gangguan motorik tersebut mengakibatkan

gangguan pemberian makanan, gangguan mengunyah, tidak dapat

menelan, refleks menjadi hiperaktif, dan ketidakmampuan untuk

mengontrol saat makan.[5]

14
A. DEFINISI

Kesulitan makan adalah jika anak tidak mau atau menolak

untuk makan atau mengalami kesulitan mengkomsumsi makanan

atau minuman dengan jenis dan jumlah sesuai usia secara

fisiologis (alamiah dan wajar), yaitu membuka mulutnya tanpa

paksaan, menguyah, menelan hingga sampai terserap di

pencernaan secara baik tanpa paksaan dan tanpa pemberian

vitamin dan obat tertentu.[6]

Jika bayi atau anak menunjukan gangguan yang berhubungan

dengan makan atau pemberian makan akan segera mengundang

kekawatiran ibu. Keluhan yang biasa disampaikan diantaranya:[1]

- Penerimaan makanan yang tidak atau kurang memuaskan.

- Makan tidak mau ditelan.

- Makan terlalu sedikit atau tidak nafsu makan.

- Penolakan atau melawan pada waktu makan.

- Kebiasaan makan makanan yang aneh (pika).

- Hanya mau makan jenis tertentu saja.

- Cepat bosan terhadap makanan yang disajikan.

- Kelambatan dalam tingkat keterampilan makan.

- Dan keluhan lain.

15
B. EPIDEMIOLOGI

Sekitar 25% anak-anak normal dan 80% anak-anak dengan

gangguan perkembangan dilaporkan mempunyai masalah

kesulitan makan. Selain itu, 1-2% bayi dilaporkan mempunyai

masalah kesulitan makan serius yang berhubungan dengan

gangguan perkembangan.[3]

Dahulu kesulitan makan selalu dihubungkan dengan istilah

failure to thrive (gagal tumbuh), dimana gagal tumbuh

dibedakan menjadi gagal tumbuh dengan kelainan organik dan

gagal tumbuh dengan kelainan non organik. Tetapi tidak semua

anak dengan kesulitan makan mengalami gagal tumbuh.[3]

C. MANIFESTASI KLINIS

Gejala kesulitan makan pada anak adalah memuntahkan atau

menyemburkan makanan yang sudah masuk dimulut, makan

berlama-lama dan memainkan makanan; sama sekali tidak mau

memasukkan makanan ke dalam mulut atau menutup mulut rapat;

memuntahkan atau menumpahkan makanan, menepis suapan dari

orangtua; tidak menyukai banyak variasi makanan atau suka pilih-

pilih makan; dan kebiasaan makan yang aneh dan ganjil.

Komplikasi yang bisa ditimbulkan pada anak dengan kesulitan

16
makan adalah gangguan asupan gizi seperti kekurangan kalori,

protein, vitamin, mineral, dan anemia.[6]

D. ETIOLOGI DAN PATOFISIOLOGI

Masalah sulit makan pada anak sifatnya kompleks, dan perlu

dicermati faktor penyebabnya. Kesulitan makan pada anak

dibedakan menjadi 3 faktor yaitu hilang nafsu makan, gangguan

proses makanan dimulut (kelainan organik) dan pengaruh

psikologis. Kesulitan makan berupa berkurangnya nafsu makan

berkaitan dengan makin meningkatnya interaksi anak dengan

lingkungan karena semakin bertambahnya aktivitas mereka seperti

bermain dan berlari; mengkomsumsi makanan jajanan diluar

sehingga untuk nafsu makan yang disajikan oleh orangtua akan

berkurang dan anak juga lebih mudah terkena penyakit terutama

infeksi.[7,8]

Gangguan kesulitan makan yang terus menerus, pada

akhirnya akan berefek signifikan terhadap pertumbuhan,

perkembangan, dan status gizi, yang pada akhirnya dapat

menimbulkan kegagalan tumbuh.[5]

17
Pada dasarnya gagal tumbuh dibagi menjadi 2, yaitu karena

faktor organik dan faktor anorganik, yang disajikan pada tabel

1.[19]

Tabel 1. Penyebab Gagal Tumbuh Faktor Organik

18
Tabel 1. Penyebab Gagal Tumbuh Faktor Non Organik

Gangguan proses makan dimulut berkaitan dengan faktor

penyakit atau kelainan organik seperti alat pencernaan makanan di

traktus gastrointestinal. Kelainan organik dapat dikelompokkan

menjadi:[9]

a) Kelainan/penyakit gigi geligi dan unsur lain di rongga mulut

- Kelainan bawaan: labioschizis, labiognatoschizis,

labiognatopalatoschizis, makroglossi, dll.

- Penyakit infeksi: stomatitis, gingivitis, tonsillitis.

- Penyakit neuromuskuler: paresis, paralisis.

19
b) Kelainan/penyakit pada bagian lain saluran cerna

- Kelainan bawaan: atresia esophagus, achalasia, penyakit

Hirschpung, dll.

- Penyakit infeksi: akut/kronis.

- Diare akut, diare kronis, cacingan.

c) Penyakit infeksi pada umumnya

- Akut : infeksi saluran pernafasan.

- Kronis : tuberculosis paru (ekstraparu), malaria.

d) Penyakit/kelainan non infeksi

Penyakit bawaan diluar rongga mulut dan saluran cerna

seperti. Penyakit jantung bawaan, sindroma Down, cerebral

palsy, penyakit keganasan, dll.

Selain faktor organik, adanya faktor gangguan/kelainan

psikologis dapat menyebabkan kesulitan makan pada anak. Dasar

motivasi menjadi penting dalam memberikan makan pada anak,

hal ini sering tidak disadari oleh para ibu atau pengasuh anak yang

memberikan makanan tidak pada saat yang tepat, apalagi dengan

tindakan pemaksaan, ditambah dengan kualitas makan yang tidak

enak misalnya terlalu asin atau pedas dan dengan cara menyuapi

yang terlalu keras, memaksa anak untuk membuka mulut dengan

20
sendok. Semua hal ini menyebabkan kegiatan makan merupakan

kegiatan yang tidak menyenangkan bagi anak. Selain itu suasana

keluarga, khususnya sikap dan cara mendidik serta pola interaksi

antara orangtua dan anak yang menciptakan suasana emosi yang

tidak baik.[9]

Anak dengan cerebral palsy sering mengalami gangguan

makan dan kesulitan menelan (disfagia) sehingga meningkatkan

kemungkinan risiko aspirasi pada sistem pulmoner apabila

diberikan makanan secara oral. Gangguan pada cerebral palsy

terkait dengan gangguan sensorimotor, keterbatasan fungsi

motorik kasar dan halus dan defisit kognitif. Manifestasi

gastrointestinal yang dapat ditemukan pada anak dengan cerebral

palsy antara lain sulit menelan, regurgitasi, nyeri abdomen,

aspirasi pulmoner kronik dan konstipasi kronik. Disfagia

orofaringeal merupakan salah satu masalah yang paling sering

(93%) terjadi pada kasus cerebral palsy yang menyebabkan

terjadinya intake makanan/hidrasi yang tidak adekuat secara oral.

Disfagia orofaringeal dapat ditandai dengan masalah di beberapa

atau disemua fase menelan (deglutisi), baik pada fase oral, fase

faringeal maupun fase esophageal, meliputi gangguan penutupan

21
oleh mulut, gangguan fungsi lidah, gangguan daya dorong lidah,

keterlambatan inisiasi menelan dan penurunan motilitas faring dan

hipersalivasi. Disfagia orofaringeal terkait dengan lamanya durasi

waktu saat makan, gagal tumbuh dan status nutrisi serta

konsekuensi pada sistem respirasi.[8,9]

E. PENATALAKSANAAN

Penatalaksanaan kesulitan makan dapat mencakup 3 aspek

yaitu:[1,6,7]

1. Identifikasi faktor penyebab

Dapat dengan anamnesis yang teliti, pemeriksaan fisik,

bahkan mungkin diperlukan pemeriksaan penunjang. Pada

keadaan yang berat mungkin penyebabnya tidak hanya satu

faktor (multi faktorial).

2. Evaluasi tentang faktor dan dampak nutrisi

- Wawancara yang cermat, khususnya riwayat

pengelolaan makan, jenis makanan, jumlah makanan

yang dikonsumsi, makanan yang disukai dan yang tidak,

cara dan waktu pemberian makan, suasana makan dan

perilaku makan.

- Pemeriksaan fisik khusus untuk menilai status gizi.

22
- Pemeriksaan penunjang bila diperlukan.

- Pemeriksaan kejiwaan bila diperlukan.

3. Melakukan upaya perbaikan

a) Nutrisi

- Memperbaiki gangguan gizi yang telah terjadi.

- Memperbaiki kekurangan makanan yang

diperlukan misalnya jenis makanan, jumah

makanan, jadwal pemberian makan, perilaku dan

suasana makan.

- Mengoreksi keadaan defisiensi gizi yang

ditemukan. Sedapat mungkin diberikan dalam

bentuk makanan, bila tidak mungkin baru

diberikan dalam bentuk obat-obatan.

Prinsip asuhan nutrisi pada anak:[7]

1. Membuat diagnosis masalah nutrisi

Penentuan status gizi dilakukan berdasarkan berat badan

(BB) menurut panjang badan (PB) atau tinggi badan (TB)

(BB/PB atau BB/TB). Grafik pertumbuhan yang digunakan

sebagai acuan ialah grafik WHO 2006 untuk anak kurang dari

2 tahun dan grafik CDC 2000 untuk anak lebih dari 5 tahun.

23
Klasifikasi CDC 2000 (>2-
WHO 2006 ( 0-2 tahun)
Gizi 18 tahun)
Obesitas Z- Score (> +3) SD >120%
Overweight Z- Score (+2) (+3) SD 110-120 %
Gizi Baik Z- Score (-2) (+2) SD 90 110 %
Gizi Kurang Z- Score (-2) (-3) SD 70 90 %
Gizi Buruk Z- Score (> -3) SD < 70%

2. Menentukan kebutuhan nutrisi

RDA Umur BB TB Kalori Protein Cairan


(tahun) (kg) (cm) (kkal/kg) (g/kg) (ml/kg)
Bayi 0,0-0,5 6 60 108 2.2 140-160
0,5-1,0 9 71 98 1,5 125-145
Anak 1-3 13 90 102 1,23 115-125
4-6 20 112 90 1,2 90-110
7-10 28 132 70 1,0 70-85

Kebutuhan kalori idealnya ditentukan secara individual

menggunakan kalorimetri indirek, namun hal tersebut mahal dan

tidak praktis. Kebutuhan nutrien tertentu secara khusus dihitung

pada kondisi klinis tertentu. Untuk kemudahan praktek klinis,

kebutuhan kalori ditentukan berdasarkan:[6]

Kondisi sakit kritis (critical Illness)

REE (Resting Energy Expenditure) merupakan sejumlah

energi yang diperlukan untuk mempertahankan fungsi vital tubuh

24
tidak termasuk aktivitas dan pengolahan badan. Dihitung dengan

rumus menurut WHO:[6]

UMUR 0-3 TAHUN WHO

LAKI -LAKI REE 60,9 x BB (Kg) -54

PEREMPUAN REE 61 x BB (kg) - 51

Kebutuhan nutrisi pada anak sakit kritis dibedakan

berdasarkan kondisi stress yang disebut sebagai dukungan

metabolik dan non stress yang disebut sebagai dukungan nutrisi.

Selama periode stress metabolik, pemberian nutrisi berlebihan

(overfeeding) dapat meningkatkan kebutuhan metabolisme di paru

dan di hati dan dapat berakhir dengan meningkatnya angka

kematian. Komplikasi overfeeding meliputi kelebihan produksi

CO2 yang meningkatkan ventilasi, edema paru dan gagal nafas.

Oleh karena itu kebutuhan nutrisi pasien harus selalu

diperhitungkan agar tidak terjadi overfeeding atau underfeeding.[6]

Kebutuhan kalori serta protein pasien dapat diperhitungkan

sbb:[6]

a. Tentukan kebutuhan basal (REE atau BMR)

b. Tentukan faktor aktivitas dan faktor stress

Kebutuhan kalori total = REE faktor aktivitas faktor stress

25
c. Tentukan kebutuhan protein pasien (sesuai RDA)

Kebutuhan protein total = RDA faktor aktivitas faktor stress

Jenis Aktivitas Faktor Aktivitas


Non ambulatory, diintubasi, 0,8 0,9
disedasi
Tirah baring (bed rest) 1,0 1,15
Ambulatory ringan 1,2 1,3
Jenis stress Faktor stress
Kelaparan 0,7 0,9
Bedah 1,1 1,5
Sepsis /infeksi 1,2 1,8
Cedera kepala 1,3
Trauma 1,1 1,8
Gagal tumbuh 1,5 2,0
Luka bakar 1,5 2,5
Gagal jantung 1,2 1,3
Trauma 1,5 1,7
d. Evaluasi dan sesuaikan kebutuhan

3. Memilih alternatif tentang cara pemberian gizi

Pemberian makan secara oral merupakan cara

pemberian gizi yang alamiah dan ideal. Jika pasien tidak

dapat secara alamiah mengkomsumsi makanan padat, maka

dapat diberikan dalam bentuk makanan cair. Apabila tidak

memungkinkan, dalam pelaksanaan asuhan nutrisi terdapat

26
dua macam alternatif yaitu pemberian nutrisi secara enteral

dan parenteral.[6]

Nutrisi enteral terindikasi jika pemberian makanan per

oral dan keadaan lambung tidak memungkinkan atau tidak

dapat memenuhi kebutuhan gizi dengan syarat fungsi usus

masih baik, yang dapat melalui oral ataupun melalui pipa

makanan. Nutrisi parenteral baru dipertimbangkan jika

nutrisi enteral tidak memungkinkan, yaitu melalui vena

perifer atau vena sentral.[6]

4. Memilih alternatif bentuk sediaan gizi

Pada pemberian melalui oral bentuk makanan

disesuaikan dengan usia dan kemampuan oromotor pasien,

misalnya 0-6 bulan ASI dan/atau formula, 6 bulan-1 tahun

ASI dan/atau formula ditambah makanan pendamping, 1-2

tahun makanan keluarga ditambah ASI dan/atau susu sapi

segar, dan diatas 2 tahun makanan keluarga. Jenis sediaan

makanan untuk enteral disesuaikan dengan fungsi

gastrointestinal dan dapat dibagi dalam beberapa jenis,

yaitu:[6]

27
- Polimerik, yang terbuat dari makronutrien intak yang

ditujukan untuk fungsi gastrointestinal yang normal,

terbagi menjadi formula standar dan formula makanan

padat kalori

- Oligomerik (elemental), biasanya terbuat dari glukosa

polimer, protein terhidrolisat, trigliserida rantai sedang

(MCT, medium chain triglyceride)

- Modular, terbuat dari makronutrien tunggal

Pada pemberian parenteral, pemberian jenis preparat

sesuai dengan usia, perhitungan kebutuhan dan jalur aksis

intravena.[6]

5. Evaluasi/pengkajian respons

Pemantauan dan evaluasi meliputi pemantauan terhadap

akseptabilitas atau penerimaan makanan, dan toleransi

(reaksi simpang makanan).[6]

Reaksi simpang yang dapat terjadi pada pemberian

enteral antara lain adalah mual/muntah, konstipasi dan diare.

Pada pemberian parenteral dapat terjadi reaksi infeksi,

metabolik dan mekanis. Selain itu, diperlukan pemantauan

efektivitas berupa monitoring pertumbuhan. Pada pasien

28
rawat inap evaluasi dan monitoring dilakukan setiap hari,

dengan membedakan antara pemberian jalur oral/enteral dan

parenteral. Pada pasien rawat jalan evaluasi dilakukan sesuai

kebutuhan.[6]

4. Upaya mengobati faktor-faktor penyebab

Keberhasilan mengatasi masalah kesulitan makan juga

tergantung kepada keberhasilan upaya mengobati atau

melenyapkan faktor penyebab baik faktor organik maupun

faktor psikologis/gangguan kejiwaan.[1]

Pada kesulitan makan yang sederhana misalnya akibat

penyakit stomatitis atau tuberkulosis akan cepat dapat diatasi.

Tetapi untuk kesulitan makan yang berat misalnya pada

gangguan perkembangan neuromuskuler, kelainan bawaan

misalnya kelainan pada bibir sumbing atau celah langit-langit

perlu kerjasama dengan keahlian yang terlibat di antaranya

ahli bedah, rehabilitasi medik, psikolog, ahli gizi dan

sebagainya.[1]

Pedoman makan sebagai berikut:[6]

- Untuk memacu rasa lapar yang lebih kuat, orangtua

dianjurkan untuk memberi makan anak dalam interval waktu

29
34 jam dan tidak memberikan makanan kecil, susu, atau jus

diantara waktu makan.

- Orangtua sebaiknya memberikan makan pada anak dalam

porsi kecil untuk mencegah anak menjadi bosan.

- Orangtua dianjurkan untuk menjaga anak tetap tinggal di

kursi makan hingga acara makan berakhir.

- Waktu makan sebaiknya tidak melebihi 20 hingga 30 menit.

- Orangtua sebaiknya tidak memuji atau mengkritik anak

mengenai jumlah makanan yang dimakan.

- Selama waktu makan, sebaiknya tidak ada mainan atau

tayangan televisi yang dapat mengalihkan perhatian anak.

Makanan sebaiknya tidak digunakan sebagai hadiah atau

sebagai ekspresi kasih sayang orangtua.

- Sebaiknya anak tidak diperbolehkan melempar-lempar

makanan atau alat makan serta bermain dengan makanan.

- Pada anak yang lebih besar, dijaga agar kembali fokus ke

makanan apabila sebelumnya teralihkan oleh pembicaraan

saat makan

30
F. PROGNOSIS

Keberhasilan mengatasi masalah kesulitan makan juga

tergantung kepada keberhasilan upaya mengobati atau

melenyapkan faktor penyebab baik faktor organik maupun faktor

psikologis/gangguan kejiwaan.[7]

31
BAB III

KESIMPULAN

1. Palsi serebralis adalah terminologi yang digunakan untuk

mendeskripsikan kelompok penyakit kronik yang mengenai pusat

pengendalian pergerakan dengan manifestasi klinis yang tampak

pada beberapa tahun pertama kehidupan dan secara umum tidak

akan bertambah memburuk pada usia selanjutnya.

2. Pada anak-anak dengan palsi serebralis, terjadi gangguan motoric.

Gangguan motorik tersebut mengakibatkan gangguan pemberian

makanan, gangguan mengunyah, tidak dapat menelan, refleks

menjadi hiperaktif, dan ketidakmampuan untuk mengontrol saat

makan. Gangguan ini memiliki efek yang signifikan terhadap

pertumbuhan, perkembangan dan status gizi.

3. Kesulitan makan merupakan gejala ketidak mampuan secara wajar

dalam memenuhi kebutuhan zat gizi.

4. Penyebab kesulitan makan mungkin suatu penyakit tetapi

mungkin juga banyak faktor yang terlibat.

5. Kesulitan makan pada penderita palsi serebralis dapat mengalami

kekurangan gizi bahkan menderita gizi buruk. Gizi yang buruk,

32
pada akhirnya membuat anak rentan terhadap infeksi, dan

menyebabkan gagal tumbuh

6. Perlu dilakukan upaya gizi yang sesuai untuk memperbaiki

dampak kesulitan makan terhadap gangguan tumbuh kembang dan

gangguan gizi.

7. Perlu dilakukan upaya melenyapkan/mengobati penyebabnya dan

diperlukan pendekatan multi disiplin.

33
DAFTAR PUSTAKA

1. Sunarjo D. Kesulitan Makan Pada Anak. 2010: 1-9.

2. IDAI. Buku Ajar Nutrisi Pediatrik dan Penyakit Metabolik.

Jakarta: IDAI; 2011.

3. Chatoor I. Diagnosis and treatment of feeding disorder, in infant,

toddlers, and young children. Washington DC: Zero To Three;

2009.

4. Behrman, Kliegman, Nelson A. Ilmu Kesehatan Anak Nelson Vol

III. Edisi XV. Jakarta: EGC; 2010.

5. Darto Suharto. Cerebral Palsy diagnosis dan tata laksana

[intrenet]. c2006 [cited 2016 Agustus 11]. Available from:

www.pediatrik.com/pkb/061022021726-bvxh131.pdf.

6. IDAI. Rekomendasi IDAI Asuhan Nutrisi Pediatri. Jakarta: IDAI;

2011.

7. Soepardi S. Kesulitan Makan: survey di Unit Pediatri. Sari

Pediatri. 2009; 11(2).

8. Kanra. Infection and Anorexia. The Turkish Journal of Pediatrtic.

2006; 48 (-): 279-287.

9. Widodo J. Gangguan Proses Makan pada Anak. Pediatric

Nutrition Update. 2006

34
10. Karin NB, Kenneth SF. Cerebral Palsy. In: Kenneth FS. Pediatric

Neurology Principle and Practice. 2nd ed vol. St. Louis: Mosby;

1994. Hal 86 471.

11. Gilroy JMD. Cerebral Palsy. In: Basic Neurology. 2nd ed

International. 1992. Hal 64 - 66.

12. Wilson D. Cerebral Palsy. In: Turner A, Foster M, Jonhson SE,

Stewart AM. Occupational therapy and physical dysfunction. New

York: Churchill Livingstone; 1996.

13. Prevo AJH. Cerebral Palsy. In: Roeshadi DJ, Narendra MB,

Soebadi RD, Iswanto, Marlina eds. Dutch fondations for post

graduate courses in Indonesia; 20-22 November 1999. Surabaya:

Airlangga University School of Medicine Dr. Soetomo Teaching

Hospital; 1999.

14. Browne, Marian. Children with Cerebral Palsy [internet]. c2003

[cited 2016 Agustus 11]. Available from

http://www.caringforcerebralpalsy.com/index.html.

15. Sahetapy C. Hubungan antara aspek motorik dengan faktor latar

belakang Cerebral Palsy. Karya akhir, Lab Ilmu Penyakit Saraf FK

UNDIP/RSDK. Semarang: UNDIP; 1998.

35
16. Palisano R, Rosenbaum P, Walter S, Russel D, Wood E. Gross

Motor Function Classification System for Cerebral Palsy. Dev

Med Child Neurol; 1997.

17. Gage RJ. Diplegia and Quadriplegia. In: Gait analysis in Cerebral

Palsy. New York: Mac Keith Press; 1991. Hal 70- 151.

18. Gordon N, Mc Kinlay. Neurologicaly Handicapped Children

Treatment and Management in children with

Neurologicaldisorders. Book I. Oxford; 1987. Hal 60 75.

19. Mexitalia M. Kesulitan makan pada anak: diagnosis dan

tatalaksana. Simposium mengelola pasien anak dalam praktek

sehari-hari. Semarang; 2011.

36

Anda mungkin juga menyukai