Anda di halaman 1dari 26

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK PKMRS

FAKULTAS KEDOKTERAN JUNI 2021


UNIVERSITAS HASANUDDIN

RETARDASI MENTAL

Nurwardah Fatimah
C014202183

Residen Pembimbing
dr. Ade Nur Prihadi
dr. Rini Wulandari

Supervisor Pembimbing
Dr. dr. Martira Maddeppungeng, Sp.A (K)

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS HASANUDDIN

2021
ii
DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN ......................................................................... ii


DAFTAR ISI ............................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN .............................................................................. 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................... 5
2.1. Definisi .......................................................................................... 5
2.2. Epidemiologi ................................................................................. 5
2.3. Etiologi .......................................................................................... 6
2.4. Manifestasi Klinis .......................................................................... 9
2.5. Diagnosis .................................................................................... 10
2.6. Klasifikasi Retardasi Mental Anak............................................... 11
2.7. Tumbuh Kembang Anak Retardasi Mental ................................. 14
2.8. Tatalaksana ................................................................................ 15
BAB III KESIMPULAN .............................................................................. 18
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 19

iii
BAB I
PENDAHULUAN

Retardasi mental adalah keadaan dengan intelegensi yang

kurang sejak masa perkembangan. Biasanya terdapat perkembangan

mental yang kurang secara keseluruhan, tetapi gejala utama adalah

intelegensi yang terbelakang.Retardasi mental disebut juga oligofrenia

(oligo = kurang atau sedikit dan fren = jiwa) atau tuna mental.Ciri – ciri

dari retardasi mental yaitu sebelum anak menginjak usia 18 tahun

mempunyai ciri khas dengan keterbatasan substandar dalam berfungsi,

keterbatasan substandar yang dimanifestasikan dengan fungsi

intelektual secara signifikan berada di bawah rata-rata (misal IQ di

bawah 70) dan keterbatasan terkait dalam dua bidang keterampilan

adaptasi atau lebih missal komunikasi, perawatan diri, aktivitas hidup

sehari-hari, keterampilan sosial, fungsi dalam masyarakat, pengarahan

diri, kesehatan dan keselamatan, fungsi akademis, dan bekerja. (Muhith

A, 2019)

Retardasi mental adalah suatu keadaan perkembangan mental

yang terhenti atau tidak lengkap yang sering terjadi pada anak,

terutama ditandai oleh adanya gangguan selama masa perkembangan,

sehingga berpengaruh pada tingkat kecerdasan secara menyeluruh,

misalnya kemampuan kognitif, bahasa, motorik dan sosial. Anak

retardasi mental memperlihatkan fungsi intelektual dan kemampuan

dalam perilaku adaptif di bawah usianya sehingga anak yang

mengalami retardasi mental kurang mampu mengembangkan

1
keterampilan dan kebiasaan-kebiasaan yang dimiliki anak usianya.

(Pratiwi, I. C, 2017)

Ranah kognitif adalah ranah yang mencakup kegiatan mental

(otak) atau kemampuan intelektual, yang dibutuhkan untuk melakukan

berbagai aktifitas mental (berfikir, menalar dan memecahkan masalah)

(Robbins & Judge, 2009). Menurut Gunarsa (2008), perkembangan

dipengaruhi oleh faktor dalam (bawaan) dan faktor luar (lingkungan,

pengalaman, pengasuhan). Puspitasari, dkk. (2011) menambahkan

faktor yang dapat mempengaruhi kemampuan kognitif anak adalah

status gizi dan faktor sosiodemografi yaitu pola asuh, lama pendidikan

ibu, lama pendidikan ayah, stuktur keluarga, dan jumlah anak.

Prevalensi retardasi mental pada anak-anak di bawah umur 18

tahun di negara maju diperkirakan mencapai 0,5-2,5% , di negara

berkembang berkisar 4,6%. Insidens retardasi mental di negara maju

berkisar 3-4 kasus baru per 1000 anak dalam 20 tahun terakhir. Angka

kejadian anak retardasi mental berkisar 19 per 1000 kelahiran

hidup.Banyak penelitian melaporkan angka kejadian retardasi mental

lebih banyak pada anak laki-laki dibandingkan perempuan. (Sularyo TS,

2016)

Anak retardasi mental akan sangat tergantung pada peran serta dan

dukungan penuh dari keluarga. Dukungan dan penerimaan dari setiap

anggota keluarga akan memberikan energi dan kepercayaan dalam diri

anak retardasi mental untuk lebih berusaha meningkatkan setiap

2
kemampuan yang dimiliki, sehingga hal ini akan membantunya untuk

dapat hidup mandiri, lepas dari ketergantungan pada bantuan orang

lain.

Anita & Jannah (2012) mengemukakan stimulasi orangtua dapat

membantu dalam meningkatkan perkembangan anak. Orangtua

mempunyai pengaruh yang besar bagi perkembangan anak yang

mengalami retardasi mental. Pemberian stimulasi dapat dilakukan

dengan cara Latihan bermain. Anak yang memperoleh stimulus yang

terarah akan lebih cepat berkembang dibandingkan anak yang kurang

memperoleh stimulus.

Dampak yang dirasakan bagi penyandang retardasi mental ini

sebagaimana dikemukakan departemen sosial RI bidang

kesejahteraan sosial diantaranya hambatan fisik bagi anak retardasi

mental dalam melakukan kegiatan sehari-hari, gangguan keterampilan

kerja produktif, rawan kondisi ekonomi, dampak psikologis berupa rasa

malu, rendah diri, terisolasi dan kurang percaya diri serta hambatan

dalam melaksanakan fungsi sosial, yakni anak retardasi mental tidak

mampu bergaul, tidak mampu berkomunikasi secara wajar, tidak

mampu berpartisipasi dan lebih banyak tergantung pada orang lain

(Safrudin, 2015).

Dampak yang dirasakan oleh orang tua. Artinya orang yang paling

banyak menanggung beban akibat retardasi mental adalah orang tua

dan keluarga anak tersebut, khususnya bagi penyandang retardasi

3
mental berat (idiot) dan sangat berat. Secara psikologis, tidak jarang

orang tua yang menolak kehadiran anak retardasi mental dikarenakan

rasa malu dan bingung sehingga menjadikan orang tua enggan

berhubungan dengan masyarakatnya. Selain itu, ada pula orang tua

yang kehilangan kepercayaan akan mempunyai anak yang normal,

muncul perasaan bersalah, berdo’a telah melahirkan anak berkelainan

sehingga lahir praduga yang berlebihan seperti merasa ada tidak beres

tentang urusan keturunan, perasaan ini mendorong timbulnya suatu

perasaan depresi (Safrudin,2015).

Tujuan penulisan ini adalah untuk membahas retardasi mental

secara umum, dan akan dibahas tentang definisi, klasifikasi, etiologi,

diagnosis serta tatalaksana serta pencegahan retardasi mental.

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi

Retardasi Mental (RM) atau biasa disebut dengan keterbelakangan

mental atau disabilitas intelektual (DI) adalah suatu kelainan mental dimana

tingkat kecerdasan berada di bawah rata-rata orang normal lainnya

(umumnya IQ kurang dari 70) dan gangguan dalam keterampilan adaptif

yang terjadi sebelum anak menginjak usia 18 tahun. (Kurniawan, 2017)

Definisi retardasi mental menurut American Association on Mental

Retardation (AAMR) adalah fungsi intelektual umum secara bermakna di

bawah normal, disetai adanya keterbatasan pada dua fungsi adaptif atau

lebih, yaitu komunikasi, menolong diri sendiri, ketrampilan sosial,

mengarahkan diri, ketrampilan akademik, bekerja, menggunakan waktu

luang, kesehatan, dana atau keamanan, keterbatasan ini timbul sebelum

umur 18 tahun.(Sulistyarini T, 2015)

2.2. Epidemiologi

Prevalensi retardasi mental pada anak-anak di bawah umur 18 tahun di

negara maju diperkirakan mencapai 0,5-2,5% , di negara berkembang

berkisar 4,6%. Insidens retardasi mental di negara maju berkisar 3-4 kasus

baru per 1000 anak dalam 20 tahun terakhir. Angka kejadian anak retardasi

mental berkisar 19 per 1000 kelahiran hidup.(Sularyo TS, 2016)

5
Prevalensi retardasi mental sekitar 1% dalam satu 2 populasi, di

Indonesia 1-3 % penduduknya menderita retardasi mental.Insiden tertinggi

adalah masa anak-anak sekolah dengan puncak umur 10-14 tahun.

Retardasi mental mengenai 1,5 kali lebih banyak laki-laki dibandingkan

dengan perempuan. (Kuniawati, 2015)

2.3. Etiologi

Terjadinya retardasi mental tidak dapat dipisahkan dari tumbuh

kembang seorang anak. Seperti diketahui faktor penentu tumbuh kembang

seorang anak pada garis besarnya adalah faktor

genetik/heredokonstitusional yang menentukan sifat bawaan anak tersebut

dan faktor lingkungan. Yang dimaksud dengan lingkungan pada anak dalam

konteks tumbuh kembang adalah suasana (milieu) dimana anak tersebut

berada. Dalam hal ini lingkungan berfungsi sebagai penyedia kebutuhan

dasar anak untuk tumbuh kembang.(Sularyo TS, 2016)

Kebutuhan dasar anak untuk tumbuh kembang ini secara garis besar

dapat digolongkan menjadi 3 golongan, yaitu (Sularyo TS, 2016) :

• Kebutuhan fisis-biomedis (asuh)

- Pangan (gizi, merupakan kebutuhan paling penting)

- Perawatan kesehatan dasar (Imunisasi, ASI, penimbangan bayi

secara teratur, pengobatan sederhana, dan lain lain)

- Papan (pemukiman yang layak)

- Higiene, sanitasi

6
- Sandang

- Kesegaran jasmani, rekreasi

• Kebutuhan emosi/kasih sayang (asih).

Pada tahun tahun pertama kehidupan hubungan yang erat, mesra dan

selaras antara ibu dan anak merupakan syarat mutlak untuk menjamin

suatu proses tumbuh kembang yang selaras, baik fisis, mental maupun

sosial.

• Kebutuhan akan stimulasi mental (asah).

Merupakan cikal bakal proses pembelajaran (pendidikan dan pelatihan)

pada anak. Stimulasi mental ini membantu perkembangan mental-

psikososial (kecerdasan, ketrampilan, kemandirian, kreativitas,

kepribadian, moral-etika dan sebagainya). Perkembangan ini pada usia

balita disebut sebagai perkembangan psikomotor.

Kelainan/penyimpangan tumbuh kembang pada anak terjadi akibat

gangguan pada interaksi antara anak dan lingkungan tersebut, sehingga

kebutuhan dasar anak tidak terpenuhi. Keadaan ini dapat menyebabkan

morbiditas anak, bahkan dapat berakhir dengan kematian. Kalaupun

kematian dapat diatasi, sebagian besar anak yang telah berhasil tetap hidup

ini mengalami akibat menetap dari penyimpangan tersebut yang

dikategorikan sebagai kecacatan, termasuk retardasi mental. Jelaslah

bahwa dalam aspek pencegahan terjadinya retardasi mental praktek

pengasuhan anak dan peran orangtua sangat penting.(Sularyo TS, 2016)

7
Etiologi retardasi mental dapat terjadi mulai dari fase pranatal, perinatal

dan postnatal. Beberapa penulis secara terpisah menyebutkan lebih dari

1000 macam penyebab terjadinya retardasi mental, dan banyak

diantaranya yang dapat dicegah. Ditinjau dari penyebab secara langsung

dapat digolongkan atas penyebab biologis dan psikososial. Penyebab

biologis atau sering disebut retardasi mental tipe klinis mempunyai ciri-ciri

sebagai berikut: (Sularyo TS, 2016)

• Pada umumnya merupakan retardasi mental sedang sampai sangat

berat

• Tampak sejak lahir atau usia dini

• Secara fisis tampak berkelainan/aneh

• Mempunyai latar belakang biomedis baik pranatal, perinatal

maupun postnatal

• Tidak berhubungan dengan kelas sosial

Penyebab psikososial atau sering disebut tipe sosiokultural mempunyai

ciri-ciri sebagai berikut

• Biasanya merupakan retardasi mental ringan

• Diketahui pada usia sekolah

• Tidak terdapat kelainan fisis maupun laboratorium

• Mempunyai latar belakang kekurangan stimulasi mental (asah)

• Ada hubungan dengan kelas sosial

8
Melihat struktur masyarakat Indonesia, golongan sosio ekonomi rendah

masih merupakan bagian yang besar dari penduduk, dapat diperkirakan

bahwa retardasi mental di Indonesia yang terbanyak adalah tipe sosio-

kultural. (Sularyo TS, 2016)

Etiologi retardasi mental tipe klinis atau biologikal dapat dibagi dalam

1. Penyebab pranatal

• Kelainan kromosom

• Kelainan genetik /herediter

• Gangguan metabolik

• Sindrom dismorfik

• Infeksi intrauterin

• Intoksikasi

2. Penyebab perinatal

• Prematuritas

• Asfiksia

• Kernikterus

• Hipoglikemia

• Meningitis

• Hidrosefalus

• Perdarahan intraventrikular

3. Penyebab postnatal

• Infeksi (meningitis, ensefalitis)

• Trauma

9
• Kejang lama

• Intoksikasi (timah hitam, merkuri)

2.4. Manifestasi Klinis

Gejala klinis yang sering menyertai retardasi mental berdasarkan umur

adalah sebagai berikut (Soetjiningsih, 2013) :

1. Newborn

Sindrom dismorfik, mikrosefali, disfungsi system organ major.

2. Early infancy (2-4 bulan)

Gagal berinteraksi dengan lingkungan, gangguan

penglihatan atau pendengaran

3. Later infancy (6-12 bukan)

Keterlambatan motorik kasar.

4. Toddlers (2-3 tahun)

Keterlambatan atau kesulitan bicara.

5. Preschool (3-5 tahun)

Keterlambatan atau kesulitan berbicara; masalah perilaku termasuk

kemampuan bermain; keterlambatan perkembangan motorik halus:

menggunting, mewarnai, dan menggambar

6. School age (>5 tahun)

Kemampuan akademik kurang; masalah perilaku (perhatian,

kecemasan, nakal dan lainnya).

10
2.5. Diagnosis

kriteria diagnostik untuk anak retardasi metal menurut Diagnostic and

Statistical Manual V – TR (DSM V– TR) adalah sebagai berikut (Humris,

2014) :

1. Fungsi intelektual dibawah rata-rata (IQ 70 atau kurang) yang

diperiksa secara individual

2. Kekurangan atau gangguan dalam perilaku adaptif (kekurangan

individu untuk memenuhi tuntutan standar perilaku sesuai dengan

usianya dari lingkungan budayanya) dalam sedikitnya dua hal yaitu :

komunikasi, self care, kehidupan rumah tangga, ketrampilan

sosial/interpersonal, menggunakan sarana komunitas,

mengarahkan diri sendiri, keterampilan akademis fungsional,

pekerjaan, waktu senggang, kesehatan dan keamanan

3. Awitan terjadi sebelum 18 tahun

Untuk menegakkan diagnosis, sangat diperlukan anamnesis yang

baik, untuk mengetahui penyebab kelainan inorganik atau non-organik,

apakah kelainannya dapat diobati/tidak, dan apakah ada faktor

genetik/tidak. Dengan melakukan skrining perkembangan secara rutin

(misal dengan Denver II) _ yang kemudian dilanjutkan assesment

dengan Bayle Scale of Infant Development (BSID-II), Wechsler scale,

atau Vineland Adaptive Behavior Scale (VABS) _ diagnosis ini dapat

segera dibuat. Demikian pula anamnesis yang baik dari orangtua,

pengasuh, atau gurunya, sangat membantu dalam diagnosis kelainan

11
ini. Setelah anak umur 6 tahun, dapat dilakukan tes IQ (Wechsler scale).

Sering kali hasil evaluasi medis tidak khas dan tidak dapat disimpulkan.

Pada kasus seperti ini, apabila tidak ada kelainan pada sistem susunan

saraf pusat, diperlukan anamnesis yang teliti apakah ada kelainan

genetik pada keluarga; dan dicari masalah lingkungan/faktor non-

organik lainnya yang diperkirakan memengaruhi kelainan pada otak

anak. Selain itu, pada pemeriksaan fisik, dilakukan pemeriksaan yang

teliti terhadap kelainan-kelainan fisik yang sering menyertai retardasi

mental.

2.6. Klasifikasi

Berdasarkan The ICD-10 Classification of Mental and Behavioural

Disorders, WHO, Geneva tahun 1994 retardasi mental dibagi menjadi 4

golongan yaitu (WHO, 1998) :

• Mild retardation (retardasi mental ringan), IQ 50- 69

• Moderate retardation (retardasi mental sedang), IQ 35-49

• Severe retardation (retardasi mental berat), IQ 20- 34

• Profound retardation (retardasi mental sangat berat), IQ <20

Retardasi mental ringan

Retardasi mental ringan dikategorikan sebagai retardasi mental dapat

dididik (educable). Anak mengalami gangguan berbahasa tetapi masih

mampu menguasainya untuk keperluan bicara sehari-hari dan untuk

wawancara klinik. Umumnya mereka juga mampu mengurus diri sendiri

12
secara independen (makan, mencuci, memakai baju, mengontrol saluran

cerna dan kandung kemih), meskipun tingkat perkembangannya sedikit

lebih lambat dari ukuran normal. Kesulitan utama biasanya terlihat pada

pekerjaan akademik sekolah, dan banyak yang bermasalah dalam

membaca dan menulis. Dalam konteks sosiokultural yang memerlukan

sedikit kemampuan akademik, mereka tidak ada masalah. Tetapi jika

ternyata timbul masalah emosional dan sosial, akan terlihat bahwa mereka

mengalami gangguan, misal tidak mampu menguasai masalah perkawinan

atau mengasuh anak, atau kesulitan menyesuaikan diri dengan tradisi

budaya.(Sularyo TS, 2016)

Retardasi mental sedang

Retardasi mental sedang dikategorikan sebagai retardasi mental dapat

dilatih (trainable). Pada kelompok ini anak mengalami keterlambatan

perkembangan pemahaman dan penggunaan bahasa, serta pencapaian

akhirnya terbatas. Pencapaian kemampuan mengurus diri sendiri dan

ketrampilan motor juga mengalami keterlambatan, dan beberapa

diantaranya membutuhkan pengawasan sepanjang hidupnya. Kemajuan di

sekolah terbatas, sebagian masih bisa belajar dasardasar membaca,

menulis dan berhitung.(Sularyo TS, 2016)

Retardasi mental berat

Kelompok retardasi mental berat ini hampir sama dengan retardasi mental

sedang dalam hal gambaran klinis, penyebab organik, dan keadaan-

13
keadaan yang terkait. Perbedaan utama adalah pada retardasi mental berat

ini biasanya mengalami kerusakan motor yang bermakna atau adanya

defisit neurologis. (Sularyo TS, 2016)

Retardasi mental sangat berat

Retardasi mental sangat berat berarti secara praktis anak sangat terbatas

kemampuannya dalam mengerti dan menuruti permintaan atau instruksi.

Umumnya anak sangat terbatas dalam hal mobilitas, dan hanya mampu

pada bentuk komunikasi nonverbal yang sangat elementer.(Sularyo TS,

2016)

14
2.7. Tumbuh Kembang Anak Retardasi Mental
Tabel 1 Ciri-ciri perkembangan anak retardasi mental
Umur pra-sekolah Masa dewasa: 21
Tingkat Umur Sekolah:
:0-5 tahun, tahun atau lebih
Retardasi 6-20 tahunLatihan
Pematangan dan Kecukupan Sosial
Mental dan Pendidikan
Perkembangan dan Pekerjaan
Perkembangan
Perkembangan motorik dan
Retardasi berat:
motorik sedikit, dapat berbicara sedikit;
Kemampuan minimal
bereaksi terhadap Dapat mencapai
Berat Untuk berfungsi dalam
latihan terus mengurus diri
sekali Bidang sensori-
mengurus diri sendiri sendiri secara
motorik; Membutuhkan
secara minimal atau sangat terbatas;
perawatan
terbatas membutuhkan
perawatan.
Dapat mencapai
Sebagian dalam
Perkembangan motorik
Dapat berbicara mengurus diri
kurang; bicara
atau Belajar sendiri dibawah
maksimal;
berkomunikasi; pengawasan
pada umumnya tidak
Dapat dilatih dalam penuh; dapat
dapat dilatih untuk
Berat kebiasaan mengembangkan
mengurus diri-sendiri;
kesehatan dasar; secara minimal
keterampilan
dapat dilatih secara berguna
komunikasi tidak ada
sistemik dalam keterampilan
atau hanya
kebiasaan menjaga diri
sedikit
dalam lingkungan
yang terkontrol.
Dapat dilatih dalam
Dapat berbicara
keterampilan sosial
atau Belajar
dan pekerjaan; sulit Memerlukan
berkomunikasi;
mengalami pengawasan dan
kesadaran sosial
perkembangan Bimbingan bila
kurang; perkembangan
Sedang dalam bidang mengalami stress
motorik cukup; dapat
akademik setelah sosial atau stress
mengurus
kelas dua SD;dapat ekonomi yang
diri sendiri; dapat
berpergian sendiri ringan
diaturdengan
ketempat yang
pengawasan sedang.
sudah dikenal

15
Dapat Dapat belajar Biasanya dapat
mengembangkan keterampilan mencapai
keterampilan sosial akademik sampai keterampilan
dankomunikasi; kira-kira kelas enam sosial dan
keterbelakangan pada umur belasan pekerjaan yang
minimaldalam bidang tahun; dapat cukup mencari
sensomotorik; sering dibimbing ke arah nafkah, tetapi
Ringan
tidakdapat dibedakan konformitas sosial memerlukan
dari normal hingga bimbingan dan
usia tua bantuan bila
mengalami stress
sosial atau stress
ekonomi yang
luar biasa.
Freedman, AM.,H.I 2009.

2.8. Tatalaksana

Tatalaksana Medis

Obat-obat yang sering digunakan dalam pengobatan retardasi mental

adalah terutama untuk menekan gejala-gejala hiperkinetik. Metilfenidat

(ritalin) dapat memperbaiki keseimbangan emosi dan fungsi kognitif.

Imipramin, dekstroamfetamin, klorpromazin, flufenazin, fluoksetin kadang-

kadang dipergunakan oleh psikiatri anak. Untuk menaikkan kemampuan

belajar pada umumnya diberikan tioridazin (melleril), metilfenidat,

amfetamin, asam glutamat, gamma aminobutyric acid (GABA).(Sularyo TS,

2016)

16
Rumah Sakit/Panti Khusus

Penempatan di panti-panti khusus perlu dipertimbangkan atas dasar:

kedudukan sosial keluarga, sikap dan perasaan orangtua terhadap anak,

derajat retardasi mental, pandangan orangtua mengenai prognosis anak,

fasilitas perawatan dalam masyarakat, dan fasilitas untuk membimbing

orangtua dan sosialisasi anak. Kerugian penempatan di panti khusus bagi

anak retardasi mental adalah kurangnya stimulasi mental karena kurangnya

kontak dengan orang lain dan kurangnya variasi lingkungan yang

memberikan kebutuhan dasar bagi anak. (Sularyo TS, 2016)

Psikoterapi

Psikoterapi dapat diberikan kepada anak retardasi mental maupun kepada

orangtua anak tersebut. Walaupun tidak dapat menyembuhkan retardasi

mental tetapi dengan psikoterapi dan obat-obatan dapat diusahakan

perubahan sikap, tingkah laku dan adaptasi sosialnya.(Sularyo TS, 2016)

Anak RM sedang memiliki kemampuan mudah latih (trainable) dan sulit

didik (uneducable). Dengan demikian, proses pembelajarannya lebih

berfokus pada kegiatan melatih anak dengan keterampilan yang

memungkinkan mereka untuk dapat berfungsi pada lingkungan sosial.

Program pelatihan khusus yang diberikan pada anak RM sedang

dilaksanakan sesuai dengan batas kemampuan anak. Terapi bermain

merupakan pendekatan yang akan diujicobakan, hal tersebut dikarenakan

anak RM sedang pada umumnya akan mudah memahami suatu konsep

17
atau kemampuan jika dalam situasi belajarnya menggunakan jenis materi

yang konkret. Pelatihan yang diberikan bagi anak RM sedang ini lebih ke

arah permainan yang melatih bicara, keterampilan sederhana dalam

lingkup aspek kognitif, psikomotorik, dan aspek sosial adaptif. (Lisnawati,

L.,2014)

Konseling

Tujuan konseling dalam bidang retardasi mental ini adalah menentukan ada

atau tidaknya retardasi mental dan derajat retardasi mentalnya, evaluasi

mengenai sistem kekeluargaan dan pengaruh retardasi mental pada

keluarga, kemungkinan penempatan di panti khusus, konseling pranikah

dan pranatal.

Pendidikan

Pendidikan yang penting disini bukan hanya asal sekolah, namun

bagaimana mendapatkan pendidikan yang cocok bagi anak yang

terbelakang ini. Terdapat empat macam tipe pendidikan untuk retardasi

mental.(Sularyo TS, 2016)

• Kelas khusus sebagai tambahan dari sekolah biasa

• Sekolah luar biasa C

• Panti khusus

• Pusat latihan kerja (sheltered workshop)

18
Pencegahan

Pencegahan retardasi mental dapat primer (mencegah timbulnya retardasi

mental), atau sekunder (mengurangi manifestasi klinis retardasi mental).

Sebab-sebab retardasi mental yang dapat dicegah antara lain infeksi,

trauma, intoksikasi, komplikasi kehamilan, gangguan metabolisme,

kelainan genetik. (Sularyo TS, 2016)

19
BAB III

KESIMPULAN

 Retardasi Mental (RM) adalah suatu kelainan mental dimana tingkat

kecerdasan berada di bawah rata-rata orang normal lainnya (umumnya

IQ kurang dari 70) dan gangguan dalam keterampilan adaptif yang terjadi

sebelum anak menginjak usia 18 tahun

 Prevalens retardasi mental pada anak-anak di negara berkembang

berkisar 4,6%. Insidens retardasi mental di negara maju berkisar 3-4

kasus baru per 1000 anak dalam 20 tahun terakhir.

 Etiologi retardasi mental dapat terjadi mulai dari fase pranatal, perinatal

dan postnatal

 kriteria diagnostik untuk anak retardasi metal menurut Diagnostic and

Statistical Manual IV – TR (DSM IV– TR) adalah fungsi intelektual

dibawah rata-rata (IQ 70 atau kurang), kekurangan atau gangguan dalam

perilaku adaptif dan awitan terjadi sebelum 18 tahun

 Klasifikasi retardasi mental saat ini yang terbanyak dipakai adalah The

ICD-10 Classification of mental and Behavioural Disorders, WHO,

Geneva tahun 1994, yaitu : Mild retardation, Moderate retardation,

Severe retardation, Profound retardation.

• Mengingat besarnya beban yang ditanggung oleh penderita retardasi

mental, keluarga, dan masyarakat maka pencegahan terhadap timbulnya

retardasi mental dan diagnosis dini merupakan pilihan terbaik.

20
DAFTAR PUSTAKA

Humris, W. E., & Pleyte. (2014). Buku Ajar Psikiatri. Jakarta: Badan

Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Jannah, Miftakhul & Anita, Nur 2012.Pengalaman orangtua yang

mempunyai anak retardasi mental di kota pekalongan. Program

Studi Ilmu

Kuniawati, Ni Wayan. Pengaruh Terapi Bermain Cooperative Play:

Monopoli Terhadap Interaksi Sosial Anak Retardasi Mental Sedang

Di Sdlb Negeri Ci Denpasar. Fakultas Kedokteran Universitas

Udayana Denpasar;2015

Kurniawan, Y. I. dan Dwiyatmika, W. 2017. “Aplikasi Diagnosa Retardasi

Mental Pada Anak”. Prosiding SEMNAS Penguatan Individu di Era

Revolusi informasi, 336-343.

Lisnawati, L., Shahib, M. N., & Wijayanegara, H. (2014). Analisis

keberhasilan terapi bermain terhadap perkembangan potensi

kecerdasan anak retardasi mental sedang usia 7–12 tahun. Majalah

Kedokteran Bandung, 46(2), 73-82.

Muhith A, Eka V, Yani LY, Wahyuningrum T. Mekanisme Koping Keluarga

yang Memiliki Anak Retardasi Mental. Journal of Health Sciences.

2019;12(1):39-45.

21
Payne JS, Patton JR. Mental retardation. Columbus: Bell & Howell

Company,1981. h. 1-466. Dalam Sulayorno TS,2016

Pratiwi, I. C., Handayani, O. W. K., & Raharjo, B. B. (2017). Kemampuan

kognitif anak retardasi mental berdasarkan status gizi. Public Health

Perspective Journal, 2(1).

Safrudin. (2015). Pendidikan Seks Anak Berkebutuhan Khusus.

Yogyakarta: Grava Media.

Soetjiningsih dan Ranuh, G. Tumbuh Kembang Anak Ed 2. Jakarta: EGC;

2013

Sularyo TS, Kadim M. Retardasi mental. Sari Pediatri. 2016 Dec 6;2(3):170-

7.

Sulistyarini T, Saputra Y. Dukungan Sosial Keluarga Pada Anak Retardasi

Mental Sedang. Jurnal Stikes RS Baptis Kediri. 2015 Dec 10;8(2).

Syahda, S. (2018). Hubungan Dukungan Keluarga terhadap Kemandirian

Anak Retardasi Mental di Sdlb Bangkinang Tahun 2016. Jurnal

Basicedu, 2(1), 4348.

WHO. Primary prevention of mental neurological and psychosocial

disorders. Geneva, WHO 1998: h. 8-53 [Online]. Available:

https://www.who.int/mental_health/media/en/69.pdf. [Accessed 11

Juni 2021].

22
23

Anda mungkin juga menyukai