Anda di halaman 1dari 19

PAPER

DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT MATA


FAKULTAS KEDOKTERAN USU/RSUP H.ADAM MALIK MEDAN

NAMA : Rahmi Silviyani


NIM
: 100100175

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Juvenile Idiopathic Arthritis (JIA) merupakan penyakit kronis yang
merusak dan menghancurkan sendi-sendi tubuh. Kerusakan disebabkan oleh
peradangan yang merupakan respon normal dari sistem kekebalan tubuh.
Peradangan pada sendi menyebabkan nyeri, kekakuan, dan bengkak serta gejala
lainnya. Selain itu, peradangan sering mempengaruhi organ lain dari sistem tubuh.
Jika peradangan tidak dihambat atau dihentikan, akhirnya akan menghancurkan
sendi yang terkena dan jaringan lainnya. 1
Penyakit ini merupakan penyakit aktif yang dapat terus
berlangsung sampai usia dewasa.2 Sampai saat ini penyebab JIA
belum diketahui, namun bukti-bukti yang ada menunjukkan
pengaruh

faktor

genetik

dan

respons

autoimun

abnormal

sehingga terjadi inflamasi dan destruksi sendi yang progresif. 2


Insiden JIA diperkirakan 2 - 20 kasus per 100.000 anak dengan prevalensi
16 - 150 kasus per 100.000 anak diseluruh dunia. Juvenile Idiopathic Arthritis
(JIA) biasanya muncul sebelum usia 16 tahun. Namun onset penyakit juga dapat
terjadi lebih awal, dengan frekuensi tertinggi antara usia 1-3 tahun. Perempuan
lebih sering terkena dari pada laki-laki.3,4
Penderita JIA berisiko tinggi untuk menderita komplikasi mata.
Iridosiklitis kronis terjadi pada 15-30% pada suatu waktu selama 10 tahun
pertama penyakit. Kadang kala anak menampakkan gejala awal kemerahan, nyeri,
fotofobia, dan penurunan tajam peglihatan. Satu atau dua mata dapat terkena.10
Uveitis juga merupakan komplikasi tersering yang disebabkan oleh JIA ini.
Uveitis adalah inflamasi traktus uvea (iris,korpus siliaris,dan koroid) dengan
berbagai penyebabnya. Struktur yang berdekatan dengan jaringan uvea yang
mengalami inflamasi biasanya juga ikut mengalami inflamasi. 7 Penderita JIA

PAPER
DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT MATA
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/RSUP H.ADAM MALIK MEDAN

NAMA : Rahmi Silviyani


NIM
: 100100175

kurang dari 7 tahun dan tidak terdeteksi iridocyclitis harus menjalani pemeriksaan
ophtalmologic termasuk evaluasi slit-lamp dan pemeriksaan ANA-test.17
Angka kematian pada penderita JIA sedikit lebih tinggi dari pada anak
normal. Angka kematian tertinggi terjadi pada JIA sistemik. Juvenile Idiopathic
Arthritis (JRA) juga dapat berkembang menjadi penyakit lain, seperti Systemic
Lupus Erythematosus (SLE) atau skleroderma, yang memiliki angka kematian
yang lebih tinggi dari pada JIA pausiartikular atau poliartikular.1

PAPER
DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT MATA
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/RSUP H.ADAM MALIK MEDAN

NAMA : Rahmi Silviyani


NIM
: 100100175

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Juvenile Idiopathic Arthritis (JIA) adalah peradangan kronis autoimun
pada sendi yang onsetnya terjadi sebelum usia 16 tahun dan menetap lebih dari 6
minggu, setelah menyingkirkan penyebab lain.1
Uveitis adalah komplikasi yang sering terjadi pada JIA. Inflamasi
intraokular menginfeksi iris dan badan siliar (iridocyclitis), terkadang juga koroid
bisa terkena.13
Penderita JIA dengan tipe pausiartikuler berisiko tinggi untuk menderita
uveitis anterior. Uveitis merupakan peradangan pada traktus uvea (iris, kospus
siliaris, dan koroid) dengan berbagai penyebab. Struktus yang berdekatan dengan
jaringan uvea yang mengalami inflamasi biasanya juga ikut mengalami inflamasi.
Peradangan pada uvea dapat hanya mengenai bagian depan jaringan uvea atau iris
yang di sebut dengan iritis. Bila mengenai badan tengan disebut siklitis, dan bila
sudah mengenai iritis dan siklitis disebut iridosiklitis atau disebut dengan uveitis
anterior.17
2.2 Epidemiologi
Juvenile Idiopathic Arthritis (JIA) pada anak bukan penyakit yang jarang,
namun frekuensi sebenarnya tidak diketahui. Insiden JIA bervariasi antara 2
sampai 20 per 100.000 anak. JIA biasanya bermula sebelum usia 16 tahun. Namun
onset penyakit juga dapat terjadi lebih awal, dengan frekuensi tertinggi antara usia
1-3 tahun. Perempuan lebih sering terkena dari pada laki-laki.3,4
Insiden iridosiklitis pada penderita JIA sekitar 10-20 % dari seluruh
pasien JIA. Insidensi uveitis sekitar 15 per 100.000 orang, sekitar 75% merupakan
uveitis anterior. Berdasarkan klasifikasinya, sistemik memiliki keterlibatan mata
jarang; kurang dari 6% dari pasien dengan onset sistemik JIA memiliki uveitis,
tipe poliartikular hampir 40% dari kasus JIA tetapi hanya sekitar 10% pada

PAPER
DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT MATA
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/RSUP H.ADAM MALIK MEDAN

NAMA : Rahmi Silviyani


NIM
: 100100175

iridosiklitis, dan tipe pauciartikular termasuk sebagian besar (80% -90%) dari
pasien dengan JIA yang memiliki uveitis.17
JIA dilaporkan terjadi 81% pada anak-anak yang menderita Uveitis, dan
95% dari kasus tersebut adalah Uveitis Anterior. 14

2.3 Etiologi
Etiologi JIA belum banyak diketahui, diduga terjadi karena respon yang
abnormal terhadap infeksi atau faktor lain yang ada di lingkungan. Peran
imunogenetik diduga memiliki pengaruh yang sangat kuat.5,6
Juvenile Idiopathic Arthritis (JIA) merupakan penyakit autoimun dimana
sistem kekebalan tubuh secara keliru menyerang jaringan yang seharusnya
dilindungi. Namun, belum pernah ditemukan autoantibodi spesifik untuk JIA.
Penyebab yang mungkin adalah respon imun pejamu yang secara genetik rentan
terhadap suatu antigen (yang belum diketahui).7

2.4 Klasifikasi
Poliartikular
Juvenile Idiopathic Arthritis (JIA) tipe ini ditandai dengan keterlibatan
banyak sendi secara khas, yaitu 5 sendi, termasuk sendi kecil tangan. Biasanya
tipe ini terjadi pada 35% anak yang menderita JIA. Ada 2 subtipe JIA
poliartikular, yaitu poliartritis faktor reumatoid positif (20-30%) dan poliartritis
dengan faktor reumatoid negatif <5-10.6,9
Perjalanan penyakit ini bisa terjadi secara tiba-tiba dan berlangsung hebat,
atau secara progresif lambat yang akhirnya dapat menimbulkan kekakuan sendi,
pembengkakan dan kehilangan gerakan. Pada sendi yang terkena ditemukan
tanda-tanda terjadinya proses inflamasi, seperti nyeri, bengkak, panas, penurunan
fungsi tetapi jarang terlihat memerah. Bengkak terjadi akibat edema periartikular,
efusi sendi, dan penebalan sinovial. Nyeri jarang dikeluhkan pada anak yang lebih

PAPER
DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT MATA
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/RSUP H.ADAM MALIK MEDAN

NAMA : Rahmi Silviyani


NIM
: 100100175

kecil. Gejala klinis terlihat dari berkurangnya pergerakan pada sendi yang terkena.
Hal ini dapat merupakan akibat dari spasme otot sendi yang mengalami efusi dan
proliferasi sinovial.8
Manifestasi ekstra-artikular JIA poliartikular tidak sehebat manifestasi
yang tampak pada JIA tipe sistemik. Kebanyakan penderita dengan penyakit
poliartikular yang aktif menderita malaise, anoreksia, iritabilitas, dan anemia
ringan. Demam ringan, hepatosplenomegali ringan, dan limfadenopati dapat
dijumpai. Bisa terjadi perikarditis dan iridosiklitis tetapi jarang. Nodulus
reumatoid dapat terjadi pada titik tekanan. Hal ini biasanya dijumpai pada
penderita dengan hasil uji aglutinasi positif terhadap faktor reumatoid. Vaskulitis
reumatoid kadang-kadang terjadi pada penderita dengan faktor reumatoid positif
sebagaimana pada penyakit sjogren. 10
Pausiartikular
Pada pausiartikular, sendi yang terkena terbatas pada 4 sendi selama 6
bulan pertama sesudah timbulnya penyakit. Sendi yang terkena terutama sendi
besar, dan penyebarannya sering tidak simetris. Ada 2 subtipe dari pausiartikular
ini, yaitu tipe 1 terutama menyerang anak perempuan yang masih kecil pada saat
mulainya penyakit dan berisiko menderita iridosiklitis kronis. Tipe 2 terutama
menyerang anak laki-laki dengan usia yang lebih besar pada saat mulainya
penyakit dan lebih berisiko mengalami spondiloartropati. 5,8
Pausiartikular tipe 1 adalah tipe yang paling umum terjadi (30-40%).
Sebanyak 90% penderita memiliki tes ANA positif dan tidak disertai dengan
faktor reumatoid ataupun HLA 27. Sendi yang paling sering terkena adalah sendi
lutut, pergelangan kaki, dan siku. Kadang-kadang ada keterlibatan tersendiri pada
sendi lainnya, seperti sendi temporomandibular, satu jari kaki atau tangan,
pergelangan tangan, atau leher. Pinggul dan tulang lingkar panggul biasanya tidak
terkena dan tidak disertai sakroilitis. Gambaran klinis dan histologi sinovial sendi
yang terkena tidak dapat dibedakan dari gambaran klinis dan histologi JIA.6

PAPER
DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT MATA
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/RSUP H.ADAM MALIK MEDAN

NAMA : Rahmi Silviyani


NIM
: 100100175

Penderita dengan penyakit pausiartikuler tipe 1 berisiko tinggi untuk


menderita komplikasi mata. Iridosiklitis kronis terjadi pada 15-30% pada suatu
waktu selama 10 tahun pertama penyakit. Ciri khas iridosiklitis kronis JIA adalah
tidak disertai gejala atau tanda-tanda awal. Kadang kala anak menampakkan
gejala awal kemerahan, nyeri, fotofobia, dan penurunan tajam peglihatan. Satu
atau dua mata dapat terkena. Jika dimulai dari unilateral, mata yang lain biasanya
tetap tidak terlibat. Iridosiklitis kadang-kadang merupakan manifestasi JIA yang
ada tetapi biasanya iridosiklitis menyertai awal timbulnya keluhan sendi selama
berbulan-bulan sampai bertahun-tahun. Penderita dengan iridosiklitis biasanya
memiliki tes ANA yang positif. Tanda-tanda peradangan iris dan korpus siliaris
yang paling awal adalah bertambahnya jumlah sel serta jumlah protein dalam
kamera okuli anterior. Perubahan yang timbul hanya dapat dideteksi dengan
pemeriksaan slit lamp. Seringkali radang okuler tetap aktif selama bertahun-tahun.
Sekuelenya meliputi sinekia posterior, katarak dengan komplikasinya, glaukoma
sekunder, dan ptosis bulbi yang dapat berakibat kehilangan visus dan kebutaan
permanen. Oleh karena itu, pada anak dengan pausiartikular harus dilakukan
pemeriksaan slit lamp 3-4 kali setahun sekurang-kurangnya selama 5 tahun
pertama penyakit tanpa memandang aktivitas penyakit sendi. Manifestasi ekstraartikular lainnya pada JIA pausiartikular biasanya ringan, seperti demam ringan,
malaise, hepatomegali, limfedenopati sedang, dan anemia ringan. Hal ini bisa
dikaitkan dengan aktivitas penyakit yang aktif. Uveitis pada pasien ini cenderung
akut dan berulang. 17
Penyakit pausiartikular tipe 2 mengenai 10-15% penderita JIA terutama
anak laki-laki yang berusia lebih dari 8 tahun. Riwayat keluarga sering
menunjukan adanya anggota keluarga yang juga menderita artritis pausiartikular,
spondilitis ankilosa, dan penyakit reiter (iridosiklitis akut). Uji ANA biasanya
negatif. Pada tipe ini sendi yang sering terkena adalah sendi besar, terutama sendi
ekstremitas bawah. Nyeri tumit, fasiitis plantaris atau tendinitis achilles sering
ditemui. Kemungkinan juga dapat ditemukan radang pada tempat insersi tendon
pada tulang. Seiring berjalannya waktu, artritis pausiartikular tipe 2 ini

PAPER
DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT MATA
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/RSUP H.ADAM MALIK MEDAN

NAMA : Rahmi Silviyani


NIM
: 100100175

berkembang menjadi spondilitis ankilosa yang khas dengan keterlibatan spina


lumbodorsal, manifestasi sindroma reiter (hematuria atau piuria, uetritis,
iridosiklitis akut atau manifestasi mukokutan), atau adanya tanda-tanda penyakit
radang usus.6
Sistemik
Hanya terdapat 10% kasus tetapi keterlibatan mata jarang, kurang dari 6%
dari pasien dengan onset sistemik JIA memiliki uveitis.. Ditandai dengan fever
spikes dan mempunyai ciri ruam yang berwarna pink pucat, yang seringnya pada
badan dan ekstremitas proksimal. Demam, yang biasanya di bawah normal pada
pagi hari, terjadi paling minimal dalam 2 minggu. Selain dari ruam dan demam,
anak-anak biasanya mendapat visceral disease, seperti hepatosplenomegali,
limfadenopati, plevitis, dan perikarditis.

2.5 Patofisiologi
Terdapat 4 jenis patogenesis terjadinya JIA, yaitu :8
1. Berhubungan dengan molekul HLA dan non HLA
Gen HLA merupakan faktor genetik penting pada JIA karena fungsi utama
dari gen ini sebagai APC ke sel T. Hubungan antara HLA dengan JRA berbedabeda tergantung subtipe JRA.8
2. Mediator inflamasi pada kerusakan sendi
Patogenesis yang tepat tentang faktor reumatoid belum diketahui
sepenuhnya, diduga melibatkan aktivasi komplemen melalui pembentukan
komplek imun. Antinuclear antibody (ANA) dihubungkan dengan onset dini
terjadinya oligoartritis tetapi antibodi ini tidak spesifik untuk JRA.
3. Profil inflamasi khas pada penyakit tipe sistemik
Patogenesis dari JIA tipe sistemik berbeda-beda pada jenis JIA dalam berbagai
bagian seperti kurangnya keterkaitan antara tipe HLA serta tidak adanya

PAPER
DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT MATA
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/RSUP H.ADAM MALIK MEDAN

NAMA : Rahmi Silviyani


NIM
: 100100175

autoantibodi dan sel T reaktif. Penderita dengan penyakit tidak menunjukkan


tanda-tanda dari limfosit mediated antigen yang merupakan respon imun spesifik.
Tanda-tanda klinis dari JIA tipe sistemik juga dihubungkan dengan granulositosis,
trombositosis, dan peningkatan regulasi reaktan fase akut yang menandakan
aktivasi tidak terkontrol dari sistem imun didapat.7
Patogenesis JIA berhubungan dengan Uveitis masih belum diketahui.
Masih diasumsikan dikarenakan autoimun. Ini berhubungan dengan adanya
autoantibodi di serum pasien dengan JIA, dimana itu adalah respon positif dari
terapi imunosupresif. Anti-nuclear antobodies (ANA) adalah autoantibodi yang
sangat berhubungan dengan JIA. 15

2.6 Diagnosis
Kriteria diagnosis Juvenile Chronic Arthritis menurut European League
Against Rheumatism (EULAR) :2
1.
2.
3.
4.

Usia penderita < 16 tahun


Artritis pada satu sendi atau lebih
Lama sakit > 3 minggu
Tipe onset penyakit :
a. Poliartritis : > 4 sendi, faktor reumatoid negatif
b. Pausiartikular: < 5 sendi
c. Sistemik : artritis dengan demam
d. Artritis reumatoid juvenil : > 4 sendi, faktor reumatoid positif
e. Spondilitis ankilosing juvenil
f. Artritis psoriasis juvenil
Kriteria diagnosis pada uveitis dapat ditegakkan dengan cara anamnesa,

pemeriksaan oftalmologi dan penunjang.17


1. Anamnesis
Dilakukan dengan menanyakan riwayat kesehatan pasien, riwayat
penyakit terdahulu, serta riwayat penyakit sistemik yang pernah
diderita.
Keluhan yang biasanya timbul, antara lain :
- Nyeri dangkal

PAPER
DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT MATA
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/RSUP H.ADAM MALIK MEDAN

NAMA : Rahmi Silviyani


NIM
: 100100175

Fotofobia atau fotosensitif terhadap cahaya, terutama padacahaya

matahari yang dapat menambah rasa tidak nyaman pada mata.


- Kemerahan tanpa sekret mukopurulen
- Pandangan kabur (blurring)
2. Pemeriksaan Oftalmologi
- Visus biasanya normal atau dapat sedikit menurun.
- Tekanan Intraokular (TIO) pada mata yang meradang lebih rendah
-

daripada mata yang sehat.


Konjungtiva biasanya terlihat injeksi silier/perimbal atau injeksi

pada seluruh konjungtiva.


Kornea tampah udema stroma kornea.
Aqueous flare akibat dari keluarnya protein dari pembuluh darah
iris yang mengalami peradangan.

Gejala yang timbul dapat berupa nyeri ringan hingga sedang, fotofobia,
dan kabur, dan sering dijumpai dengan pasien tanpa keluhan. Seringkali, gejalagejala ini ditemukan secara kebetulan pada pemeriksaan kesehatan disekolah. 17
JIA dilaporkan terjadi 81% pada anak-anak yang menderita Uveitis, dan 95% dari
kasus tersebut adalah Uveitis Anterior. 14

Gambar 2.1 Juvenile Idiopathic Arthritis (JIA) dengan iridociklitis dan katarak.17

PAPER
DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT MATA
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/RSUP H.ADAM MALIK MEDAN

NAMA : Rahmi Silviyani


NIM
: 100100175

Gambar 2.2 Juvenile Idiopathic Arthritis (JIA) with chronic calcific band
keratopathy.17
Mata pasien JIA berhubungan dengan Uveitis biasanya terlihat normal
(tidak merah atau inflamasi) pada pemeriksaan eksternal dan ophtalmoscopy rutin.
Karena pasien dengan JIA masih muda, mereka tidak menyadari atau melaporkan
perubahan kecil penglihatan dimana itu adalah perkembangan lambat dari
inflamasi yang aktif. Komplikasi yang sering terjadi termasuk band yang
keratopati, katarak, glaukoma, puing-puing vitreous, edema makula, hypotony
kronis, dan penyakit paru-paru.17 Guidelines merekomendasikan anak-anak
dengan onset JIA kurang dari 7 tahun dan tidak terdeteksi iridocyclitis harus
menjalani pemeriksaan ophtalmologic termasuk evaluasi slit-lamp setiap 3-4
bulan jika mereka menderita JIA pausiartikular atau poliartikular dan ANA positif,
setiap 6 bulan jika JIA pausiartikular atau poliartikular dan ANA negatif, setiap 12
bulan jika menderita sistemik JIA. 16

2.7 Pemeriksaan Penunjang


Laboratorium
Tidak ada uji diagnostik yang spesifik. Pemeriksaan laboratorium dipakai
sebagai penunjang diagnosis. Bila ditemukan Anti Nuclear Antibody (ANA),
Faktor Reumatoid (FR) dan peningkatan C3 serta C4 maka diagnosis JRA
menjadi lebih sempurna.1

10

PAPER
DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT MATA
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/RSUP H.ADAM MALIK MEDAN

NAMA : Rahmi Silviyani


NIM
: 100100175

Selama penyakit aktif, LED dan CRP biasanya meningkat. Anemia pada
umumnya dijumpai, biasanya dengan angka retikulosit rendah dan uji Coomb
negatif. Selain itu ditemukan peningkatan sel darah putih. Trombositosis dapat
terjadi terutama pada penyakit. Analisis urin normal, selama terapi non-steroid
mungkin ditemukan sedikit eritrosit dan sel tubuler ginjal. Terdapat kenaikan
fraksi 2-dan gamma globulin dalam serum dan penurunan albumin. Salah satu
atau semua kadar imunoglobulin serum dapat naik.9
ANA ditemukan pada beberapa anak dengan penyakit faktor reumatoidnegatif (25%), faktor reumatoid positif (75%), atau pausiartikular tipe I (90%)
tetapi jarang, pada mereka yang dengan penyakit sistemik atau pausiartikuler tipe
II. Penemuan ANA tidak berkolerasi dengan keparahan penyakit.8
Faktor reumatoid ditemukan pada sekitar 5% anak JIA dan berkolerasi
dengan JIA yang mulai pada umur yang lebih tua. Hasil uji positif paling sering
dihubungkan dengan penyakit poliartikular, yang mulai pada akhir masa kanakkanak, artritis destruksi berat, dan nodulus reumatoid.9
Cairan sinovial pada JIA tampak seperti berawan dan biasanya berisi
jumlah protein yang naik. Jumlah sel dapat bervariasi dari 5000-80.000 sel/mm3;
sel-sel tersebut terutama netrofil. Kadar glukosa pada cairan sendi mungkin
rendah; kadar komplemen mungkin normal atau menurun.9
Faktor reumatoid adalah kompleks IgM-anti IgG pada dewasa dan mudah
dideteksi, sedangkan pada JIA lebih sering IgG-anti IgG yang lebih sukar
dideteksi laboratorium. Anti-Nuclear Antibody (ANA) lebih sering dijumpai pada
JIA. Kekerapannya lebih tinggi pada penderita wanita muda dengan oligoartritis
dengan komplikasi uveitis. Pemeriksaan imunogenetik menunjukkan bahwa HLA
B27 lebih sering pada tipe oligoartritis yang kemudian menjadi spondilitis
ankilosa. HLA B5 B8 dan BW35 lebih sering ditemukan di Australia.1
Radiologi
Pemeriksaan radiologi JIA dilakukan untuk mengetahui seberapa jauh
kerusakan yang terjadi pada keadaan klinis tertentu. Kelainan radiologik yang

11

PAPER
DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT MATA
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/RSUP H.ADAM MALIK MEDAN

NAMA : Rahmi Silviyani


NIM
: 100100175

terlihat pada sendi biasanya adalah pembengkakan jaringan lunak sekitar sendi,
pelebaran ruang sendi, osteoporosis, dan kelainan yang agak jarang seperti
formasi tulang baru periostal. Pada tingkat lebih lanjut (biasanya lebih dari 2
tahun) dapat terlihat erosi tulang persendian dan penyempitan daerah tulang
rawan.1
2.8 Penatalaksanaan
Dasar pengobatan JIA adalah suportif, bukan kuratif. Tujuan pengobatan
adalah mengontrol nyeri, menjaga kekuatan dan fungsi otot serta rentang gerakan
(range of motion), mengatasi komplikasi sistemik, memfasilitasi perkembangan
dan pertumbuhan yang normal. Karena itu pengobatan dilakukan secara terpadu
untuk mengontrol manifestasi klinis dan mencegah deformitas dengan melibatkan
dokter anak, ahli fisioterapi, latihan kerja, pekerja sosial, bila perlu konsultasi
pada ahli bedah dan psikiatri.3
Tujuan penatalaksanaan JIA ini tidak hanya sekedar mengatasi nyeri.
Banyak hal yang harus diperhatikan selain mengatasi nyeri, yaitu mencegah erosi
lebih lanjut, mengurangi kerusakan sendi yang permanen, dan mencegah
kecacatan sendi permanen. Modalitas terapi yang digunakan adalah farmakologi
maupun non farmakologi. Selain obat-obatan, nutrisi juga tak kalah penting. Pada
pasien JRA pertumbuhannya sangat terganggu baik karena konsumsi zat gizi yang
kurang atau menurunnya nafsu makan akibat sakit atau efek samping obat.6
Obat Anti Inflamasi Nonsteroid (OAINS)
Macam OAINS yang sering digunakan pada anak-anak:
a. Tolmetin
Tolmetin diberikan bersama makanan, dalam dosis 25-30 mg/kgBB/hari,
dibagi dalam 3 dosis.2,5
b. Naproksen
Naproksen efektif dalam tatalaksana inflamasi sendi dengan dosis 15-20
mg/kgBB/hari yang diberikan dua kali perhari bersama makanan. Dapat

12

PAPER
DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT MATA
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/RSUP H.ADAM MALIK MEDAN

timbul

efek

samping

berupa

NAMA : Rahmi Silviyani


NIM
: 100100175

ketidaknyamanan

epigastrik

dan

pseudoporfiria kutaneus yang ditandai dengan erupsi bulosa pada wajah,


tangan, dan meninggalkan jaringan parut. 2,5
c. Ibuprofen
Ibuprofen merupakan antiinflamasi derajat sedang dan mempunyai
toleransi yang baik pada dosis 35 mg/kgBB/hari, dibagi dalam 3-4 dosis
dan diberikan bersama makanan. 2,5
d. Diklofenak
Diklofenak dapat diberikan pada anak yang tidak dapat OAINS lain karena
adanya efek samping pada lambung. Dosis yang diberikan adalah 2-3
mg/kgBB/hari, dibagi dalam 3 dosis. 2,5
Analgetik
Walaupun bukan obat antiinflamasi, asetaminofen dalam 2-3 kali
pemberian dapat bermanfaat untuk mengontrol nyeri atau demam terutama pada
penyakit sistemik. Obat ini tidak boleh diberikan untuk waktu lama karena dapat
menimbulkan kelainan ginjal.3
Imunosupresan
Imunosupresan hanya diberikan dalam protokol eksperimental untuk
keadaan berat yang mengancam kehidupan, walaupun beberapa pusat reumatologi
sudah mulai memakainya dalam protokol baku. Obat yang biasa dipergunakan
adalah azatioprin, siklofosfamid, klorambusil, dan metotreksat. 2
Metotreksat mempunyai onset kerja cepat, efektif, toksisitas yang masih
dapat diterima, sehingga merupakan obat lini kedua dalam JRA. Keunggulan
penggunaan obat ini adalah efektif dan dosis relatif rendah, pemberian oral dan
dosis 1 kali per minggu. Indikasinya adalah untuk poliartritis berat, oligoartritis
yang agresif atau gejala sistemik yang tidak membaik dengan OAINS,
hidroksiklorokuin, atau garam emas. Dosis inisial 5 mg/m 2 luas permukaan
tubuh/minggu dapat dinaikkan menjadi 10 mg/m 2 luas permukaan tubuh/minggu

13

PAPER
DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT MATA
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/RSUP H.ADAM MALIK MEDAN

NAMA : Rahmi Silviyani


NIM
: 100100175

bila respon tidak adekuat setelah 8 minggu pemberian (dosis maksimal 30 mg/
m2). Lama pengobatan yang dianggap adekuat adalah 6 bulan. Asam folat 1
mg/hari sering diberikan bersama metotreksat untuk mengurangi toksisitas
mukosa gastrointestinal. Anak-anak dengan poliartritis berat yang tidak berespon
dengan metotreksat oral dapat digantikan dengan intramuskular atau subkutan. 2
Obat Antireumatik Kerja Lambat
Golongan ini terdiri dari obat antimalaria (hidroksiklorokuin), preparat
emas oral dan suntikan, penisilamin, dan sulfasalazin. Obat golongan ini hanya
diberikan untuk poliartritis progresif yang tidak menunjukan perbaikan dengan
OAINS. Hidroksiklorokuin dapat bermanfaat sebagai obat tambahan OAINS
untuk anak besar dengan dosis awal 6-7 mg/kgBB/hari, dan setelah 8 minggu
diturunkan menjadi 5 mg/kgBB/hari. Pemberian hidroksiklorokuin harus
didahului dengan pemeriksaan mata, khususnya keadaan retina, lapangan
pandang, dan warna. Oleh karena itu, penggunaan obat ini jarang diberikan pada
anak di bawah usia 4-7 tahun karena adanya kesulitan tindak lanjut pada
pemeriksaan mata. Bila setelah 6 bulan pengobatan tidak diperoleh perbaikan
maka hidroksiklorokuin harus dihentikan.3
Sulfasalazin tidak diberikan pada anak dengan hipersensitivitas terhadap
sulfa atau salisilat dan penurunan fungsi ginjal dan hati. Dosis dimulai dengan 500
mg/hari diberikan bersama makanan (untuk anak yang lebih kecil 12,5 mg/kgBB).
Dosis dinaikkan sampai 50 mg/kgB/hari (maksimal 2 gram). Monitor dilakukan
melalui pemeriksaan hematologi dan fungsi hati. Sulfasalazin dapat diberikan
sebagai langkah sementara sebelum menambah obat kedua selain OAINS, seperti
metotreksat. Sulfasalazin kadang-kadang diberikan sebagai antiinflamasi lini
kedua pada anak dengan tipe poliartritis atau oligoartritis persisten.3
Kortikosteroid
Diberikan bila terdapat gejala penyakit sistemik, uveitis kronik, atau untuk
suntikan intraartikular. Penggunaan kortikosteroid tunggal tidak dianjurkan untuk
menekan inflamasi sendi, namun dosis rendah dapat digunakan pada anak dengan

14

PAPER
DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT MATA
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/RSUP H.ADAM MALIK MEDAN

NAMA : Rahmi Silviyani


NIM
: 100100175

poliartritis berat yang tidak berespon dengan terapi lain. Dosis rendah prednison
(0,1-0,2 mg/kgBB) dapat digunakan sebagai agen jembatan dalam terapi inisial
anak yang sakit sedang atau berat yang sebelumnya menggunakan obat
antiinflamasi kerja lambat. Untuk gejala penyakit sistemik berat yang tak
terkontrol diberikan prednison 0,25-1 mg/kgBB/hari dosis tunggal (maksimal 40
mg) atau dosis terbagi pada keadaan yang lebih berat. Bila terjadi perbaikan klinis
maka dosis diturunkan perlahan dan prednison dihentikan. Efek samping yang
dapat terjadi pada pemakaian jangka panjang antara lain sindrom cushing,
penekanan pertumbuhan, fraktur, katarak, gejala gastrointestinal dan defisiensi
glukokortikoid.2
Kortikosteroid intra-artikular dapat diberikan pada oligoartritis yang tidak
berespon dengan OAINS atau sebagai bantuan dalam terapi fisik pada sendi yang
sudah mengalami inflamasi dan kontraktur. Kortikosteroid intra-artikular juga
dapat diberikan pada poliartritis dimana satu atau beberapa sendi tidak berespon
dengan OAINS. Namun, pemberian injeksi intra-artikular ini harus dibatasi,
misalnya 3 kali pada 1 sendi selama 1 tahun. Triamsinolon heksasetonid
merupakan obat pilihan dengan dosis 20-40 mg untuk sendi besar. 2
Fisioterapi dan Latihan Fisik
Latihan fisik bertujuan untuk meminimalisir nyeri, menjaga dan
mengembalikan fungsi dan mencegah deformitas dan disabilitas. Pada anak
dengan artritis aktif dianjurkan untuk beristirahat dan meningkatkan waktu tidur
saat malam hari. Pasien dengan JRA harus sedapat mungkin aktif, namun kegiatan
yang menyebabkan kelelahan berlebih dan nyeri pada sendi perlu dihindari. 2,5
Penatalaksanaan pada penderita JIA dengan uveitis dapat diberikan steroid
topikal dengan midriatik/siklopegik tetes adalah terapi andalan. Inflamasi sulit
untuk dikontrol. Meskipun demikian, beberapa sumber mengatakan hanya
menggunakan midriatik atau siklopegik tetes jika aktifitas selular hanya 1+ sel
atau kurang, dan hanya memakai kortikosteroid topikal terapi jika aktifitas selular
lebih dari itu. Pada kelompok pasien yang tidak respon steroid topikal, atau

15

PAPER
DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT MATA
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/RSUP H.ADAM MALIK MEDAN

NAMA : Rahmi Silviyani


NIM
: 100100175

membutuhkan terapi jangka panjang, disarankan untuk menggunakan Nonsteroidal immunosuppressives.

Seperti

contoh

: NSAIDs, chlorambucil,

azathioprine, dan methotrexate. Obat-obat tersebut dilaporkan efektif pada pasien


JIA. 16
Pengobatan katarak pada pasien dengan JIA memiliki tingkat komplikasi
yang tinggi setelah operasi katarak pada pasien dengan JIA terkait iridosiklitis,
karena kesulitan dalam mengendalikan respon inflamasi yang lebih agresif pada
anak-anak tersebut. Lensectomy dan vitrectomy melalui pars plana merupakan
tindakan yang dianjurkan. Pasien dengan band keratopati dapat dilakukan
penggoresan atau chelation dengan natrium Asam ethylenediaminetetraacetic
(EDTA) yang memungkinkan perbaikan sebelum dilakukan operasi katarak.
Glaukoma harus ditangani dengan terapi medis awal terlebih dahulu, meskipun
intervensi bedah sering diperlukan pada kasus yang berat.17
2.9 Prognosis
Pada kebanyakan kasus, JIA berespon secara lambat dan berangsur-angsur
terhadap terapi yang cocok. JIA biasanya sembuh sebelum dewasa. Pasien yang
menderita artritis hanya pada beberapa sendi memiliki prognosis lebih baik dari
pada mereka yang telah menderita penyakit artritis sistemik, yang sulit untuk
disembuhkan. Walaupun hal ini dapat menjadi masalah yang serius, namun hanya
sedikit orang yang meninggal karenanya.12

16

PAPER
DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT MATA
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/RSUP H.ADAM MALIK MEDAN

NAMA : Rahmi Silviyani


NIM
: 100100175

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Juvenile Idiopathic Arthritis (JIA) adalah peradangan kronis pada sendi
yang onsetnya terjadi sebelum usia 16 tahun dan menetap lebih dari 6 minggu.
Juvenil Idiopathic Arthritis (JIA) merupakan penyakit kronis yang merusak dan
menghancurkan sendi-sendi tubuh. Kerusakan disebabkan oleh peradangan yang
menyebabkan nyeri, kekakuan, dan bengkak pada sendi. Peradangan sering
mempengaruhi organ lain dari sistem tubuh.
Uveitis adalah komplikasi yang sering terjadi pada JIA. Inflamasi
intraokular menginfeksi iris dan badan siliar (iridocyclitis), terkadang juga koroid
bisa terkena. Gejala yang timbul dapat berupa nyeri ringan hingga sedang,
fotofobia, dan kabur, dan sering dijumpai dengan pasien tanpa keluhan.
Penderita JIA kurang dari 7 tahun dan tidak terdeteksi iridocyclitis harus
menjalani pemeriksaan ophtalmologic termasuk evaluasi slit-lamp setiap 3-4

17

PAPER
DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT MATA
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/RSUP H.ADAM MALIK MEDAN

NAMA : Rahmi Silviyani


NIM
: 100100175

bulan jika mereka menderita JIA pausiartikular atau poliartikular dan ANA positif,
setiap 6 bulan jika JIA pausiartikular atau poliartikular dan ANA negatif, setiap 12
bulan jika menderita sistemik JIA.
Modalitas terapi yang digunakan adalah farmakologi maupun non
farmakologi. Modalitas farmakologi diantaranya obat anti inflamasi nonsteroid
(OAINS), analgetik, imunosupresan, obat antireumatik kerja lambat, dan
kortikosteroid. Sedangkan modalitas non farmakologi yaitu fisioterapi, latihan
fisik, nutrisi, dan terapi bedah.
Pada kebanyakan kasus, JIA berespon secara lambat dan berangsur-angsur
terhadap terapi yang cocok. Prognosis jangka panjang sering tergantung pada
tingkat kerusakan pada saat diagnosis pertama. JIA biasanya sembuh sebelum
dewasa.
DAFTAR PUSTAKA
1. David

DS.

Juvenile

Idiopathic

Arthritis.

Diunduh

dari:

http://emedicine.medscape.com/article/1007276-overview#a0156, 2011.
2. Lovell DJ. Juvenile idiopathic arthritis. Dalam: Klippel JHSJ, Crofford LJ,
White PH, penyunting. Primer on the rheumatic disease. Edisi ke-13. New
York: Springer; 2008. hlm. 1428.
3. Akib AAP. Artritis Reumatoid Juvenil. Dalam: Akib AAP, Munasir Z,
Kurniati N, penyunting. Buku Ajar Alergi Imunologi Anak. Jakarta: IDAI.
2008; hal 322-44.
4. Khan P. Juvenile Idiopathic Arthritis, An Update on Pharmacotherapy.
Bulletin of the NYU Hospital for Joint Diseases 2011; 69(3): 264-76.
5. Pribadi A, Akib AAP, Taralan T. Profil Kasus Artritis Idiopatik Juvenil
(AIJ) Berdasarkan Klasifikasi International League Against Rheumatism
(ILAR). Jakarta : Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, RS Dr. Cipto Mangunkusumo. Sari Pediatri. 2008
6. Pribadi A, Akib AAP, Taralan T. Profil Kasus Artritis Idiopatik Juvenil
(AIJ) Berdasarkan Klasifikasi International League Against Rheumatism

18

PAPER
DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT MATA
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/RSUP H.ADAM MALIK MEDAN

NAMA : Rahmi Silviyani


NIM
: 100100175

(ILAR). Jakarta : Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran


Universitas Indonesia, RS Dr. Cipto Mangunkusumo. Sari Pediatri. 2008
7. Juvenille Rheumatoid Arthritis Canadian Rheumatology, Diunduh dari :
rheum.ca/images/documents/Handbook-6-JRA.pdf
8. Hahn YS, Kim JG. Pathogenesis and clinical manifestation of juvenile
reumathoid arthritis. Korean Journal of Pediatrics. 2010; 921-30.
9. Kliegman R, Stanton BF, Geme JW, Schor NF, Behrman RE, Arvin A.
Artritis Reumatoid Juvenil. Juvenile Idiopathic Arthritis. Dalam: Kliegman
Robert M ... [et al.]. Nelson Textbook of Pediatrics. 19th edition.
Philadelphia: Elsevier. 2011; 2671-2689.
10. Saxena N. Is the enthesitis-related arthritis subtype of juvenile idiopathic
arthritis a form of chronic reactive arthritis?. Oxford University Press on
behalf of the British Society for Rheumatology. 2006; 1129-32.
11. Akib AAP. Artritis Idiopatik Juvenil Kesepakatan Baru Klasifikasi dan
Kriteria Diagnosis Penyakit Artritis Pada Anak. Jakarta : Departemen Ilmu
Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, RS Dr. Cipto
Mangunkusumo. Sari Pediatri. 2003
12. Shiel, William C. Juvenile Rheumatoid Arthritis. Diunduh dari:
http://www.emedicinehealth.com/juvenile_rheumatoid_arthritis/article_em
.htm
13. Cassidy J, Kivlin J, Lindsley C, et.al. Opthalmologic Examinations in
Children With Juvenile Rheumatoid Arthritis. American Academy Of
Pediatrics. 2006
14. Benezra D, Cohen E, Cohen F.B,. Uveitis And Juvenile Idiopathic Arthritis
: A Cohort Study. Dove Medical Press. 2007
15. Samson, C.M., Juvenile Idiopathic Associated Uveitis. Diunduh dari :
http://www.uveitis.org/docs/dm/juvenile_idiopathic_arthritis_uveitis.pdf
16. Foster C.S., Juvenile Idiopathic Arthritis and Uveitis : What is it and what
its
effect
on
the
eye?.
Diunduh
dari
:
http://www.uveitis.org/docs/dm/juvenile_idiopathic_arthritis_and_uveitis.
pdf
17. Amerian Academy of Ophtalmology. Basic and Clinical Science course
2007-2008, Section 9: Intraocular inflammation and Uveitis. Singapore:
Amerian Academy of Ophtalmology 2007.

19

Anda mungkin juga menyukai