Anda di halaman 1dari 24

FOCUSSED GROUP DISCUSSION

LEPTOSPIROSIS

Puja Ayu Misuari 20710130


Qurrotul Aini 20710136
Achmad Ikhsan 20710145
Putu Eka Widyantara 20710152
Nabila Aulia 20710184
Moh Adil 20710173
Luh Rani Virayani 20710191
Gharizah Alghazy Budiarto 20710211

BAGIAN ILMU KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS WIJAYA KUSUMA SURABAYA
2021
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, karena atas

rahmat dan karunia-Nya sehingga laporan FGD IKM dengan tema skenario penyakit

leptopirosis ini dapat tersusun hingga selesai. Tidak lupa kami juga mengucapkan

banyak terimakasih atas bantuan dari pihak yang telah ikut memberikan sumbangan

baik materi maupun pemikirannya.

FGD IKM dibuat agar para calon dokter muda dapat memecahkan masalah

dalam dunia kedokteran secara holistik, dimana FGD ini merupakan salah satu cara

memadukan berbagai disiplin ilmu kesehatan masyarakat untuk memecahkan

masalah kesehatan yang terjadi di masyarakat. Harapan kami semoga makalah ini

dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca.

Tim penyusun FGD telah bekerja dengan maksimal namun kiranya masih

banyak kekurangan dalam makalah ini, antara lain karena kurangnya referensi dan

pengalaman kami dalam kegiatan FGD yang pertama kali kami lakukan.

Kami ucapkan terimakasih atas bantuan dan saran yang telah diberikan hingga

tersusunnya makalah ini. Saran serta kritik sangat kami harapkan untuk perbaikan ke

depan.

Surabaya, 26 April 2021

Tim Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................................i
DAFTAR ISI..............................................................................................................ii
DAFTAR GAMBAR ................................................................................................iv
DAFTAR TABEL......................................................................................................v
BAGIAN 1..................................................................................................................vi
BAGIAN 2..................................................................................................................1
BAB I PENDAHULUAN....................................................................................1
A. Latar belakang.........................................................................................1
B. Rumusan Masalah....................................................................................3
C. Tujuan .....................................................................................................3
BAB II ANALISIS DAN PEMBAHASAN......................................................5
A. Skenario...................................................................................................5
B. Identifikasi Masalah ................................................................................6
C.Analisis Fishbone .....................................................................................6
D. Pembahasan.............................................................................................7
BAB III RENCANA PROGRAM.....................................................................12
A. Upaya Pencegahan...................................................................................12
B.Upaya Pengendalian Pasien dan Kontak..................................................15
C. Upaya Perbaikan Lingkungan..................................................................16
BAB IV PENYUSUNAN KEGIATAN PRIORITAS.......................................21
A. Tabel Skoring..........................................................................................12
A. Rencana Kegiatan Prioritas.....................................................................12
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN...............................................................21
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................21

DAFTAR GAMBAR
Gambar II.1. Fish Bone...............................................................................................6

DAFTAR TABEL
Tabel 3.1.Urutan Prioritas Kegiatan............................................................................15

Tabel 3.2.Plan Of Activity (POA) di Kecamatan B....................................................15

BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Menurut Setiawan (2008), leptospirosis adalah penyakit yang
disebabkan oleh infeksi bakteri patogen yang disebut Leptospira dan
ditularkan dari hewan kepada manusia (zoonosis). Penularan bisa terjadi
secara langsung akibat terjadi kontak langsung antara manusia (sebagai host)
dengan urin atau jaringan binatang yang terinfeksi dan secara tidak langsung
akibat terjadi kontak antara manusia dengan air, tanah atau tanaman yang
terkontaminasi urin dari binatang yang terinfeksi leptospira. Jalan masuk yang
biasa pada manusia adalah kulit yang terluka, terutama sekitar kaki, dan atau
selaput mukosa di kelopak mata, hidung, dan selaput lendir (Ramadhani,
2012).
Penyakit ini merupakan masalah kesehatan masyarakat di seluruh
dunia, khususnya negara-negara yang beriklim tropis dan sub tropis yang
memiliki curah hujan tinggi. Hal ini ditambah dengan kondisi lingkungan
buruk merupakan lahan yang baik bagi kelangsungan hidup bakteri patogen
sehingga memungkinkan lingkungan tersebut menjadi tempat yang cocok
untuk hidup dan berkembangbiaknya bakteri Leptospira (Okatini, 2007;
Ramadhani, 2010). Di Indonesia sendiri terdapat empat provinsi yang
melaporkan adanya kasus leptospirosis tahun 2014 yaitu DKI Jakarta, Jawa
Tengah, DI Yogyakarta, dan Jawa Timur. Dibandingkan tahun 2013, terdapat
penurunan jumlah kasus dari 640 kasus menjadi 519 kasus pada tahun 2014.
Penurunan kasus leptospirosis secara signifikan terjadi di Jawa Timur dengan
penurunan sekitar dua pertiga dibandingkan tahun sebelumnya. Namun di
DKI Jakarta dan Jawa Tengah terjadi kenaikan kasus bahkan merupakan
kasus tertinggi di kedua provinis tersebut dalam 5 tahun terakhir. (DKK
Semarang, 2016). Sedangkan di Kota Semarang dari tahun ke tahun sering
menjadi peringkat pertama kasus leptospirosis di Jawa Tengah. Pada tahun
2015 di Kota Semarang terdapat 56 kasus leptospirosis dan 8 diantaranya
meninggal. Tingkat kejadian leptospirosis tertinggi di Kota Semarang berada
di wilayah kerja Puskesmas Pegandan. (DKK Semarang, 2016).
Penularan leptospirosis terjadi akibat buruknya kondisi lingkungan di
pemukiman penduduk. Lingkungan yang buruk dapat meningkatkan
ketersediaan makanan, tempat berlindung, bersarang dan berkembang biak
tikus sebagai reservoir leptospirosis. Selain itu lingkungan yang buruk dapat
menyebabkan banjir yang bisa meningkatkan risiko terjadinya penyakit
leptospirosis. (Riyaningsih, 2012). Karakteristik individu seperti jenis
pekerjaan dan kebiasaan mencuci atau mandi di sungai juga dapat
meningkatkan risiko terjadinya penyakit leptospirosis. Individu yang bekerja
di sawah lebih berisiko terjangkit leptospirosis daripada yang bekerja di
kantor (Anies, 2009).
Dari skenario, didapatkan bahwa kecamatan B merupakan wilayah
dengan angka kejadian leptospirosis tertinggi, yaitu 12 kasus. Kecamatan B
juga termasuk daerah yang sering dilanda luapan air sungai yang mengalir
membelah menggenangi wilayah tersebut sehingga menggenangi
permukiman. Pembuangan air limbah juga masih hanya sebatas mengalirkan
ke selokan. Daerah yang tidak terkena banjir juga terkena luapan air selokan
saat musim hujan karena penataan pembuangan air kotor yang belum baik.
Masih banyak dijumpai bak sampah yang tidak tertutup dan tidak terawat
serta banyak warga yang belum memiliki bak sampah. Sebagian besar
penduduk masih berPendidikan SMP ke bawah dan dominan bekerja sebagai
petani, yang mana saat bekerja mereka biasa tidak menggunakan APD.
Kebiasaan mandi dan mencuci di sungai juga masih sering dilakukan
masyarakat setempat.

B. RUMUSAN MASALAH
Bagaimana cara menurunkan prevalensi penyakit leptospirosis di kecamatan
B?
C. TUJUAN
1. Tujuan Umum
Mengubah prilaku masyarakat tentang pentingnya PHBS dalam
menunrunkan angka terjadinya leptospirosis.
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui apakah letak geografis kecamatan B mempengaruhi
tingginya kasus leptospirosis di daerah tersebut.
b. Mengetahui apakah kurangnya peran serta instansi terkait akan
pentingnya PHBS masyarakat berpengaruh terhadap tingginya kasus
leptospirosis.
c. Mengetahui apakah kurangnya KIE dari puskesmas mempengaruhi
tingginya kasus leptospirosis.
d. Mengetahui apakah minimnya penrapahan PHBS masyarakat
berpengaruh terhadap tingginya kasus leptospirosis.
e. Mengetahui apakah rendahnya tingkat Pendidikan masyarakat
berpengaruh terhadap tingginya kasus leptospirosis di daerah tersebut.
BAB II
ANALISIS DAN PEMBAHASAN

A. Skenario
Keadaan Lingkungan dan Kejadian Leptospirosis
Leptospirosis adalah salah satu emerging infection disease di Indonesia, di
beberapa daerah belum mendapat prioritas dalam penanganannya. Penyakit
ini termasuk zoonosis dan sering terjadi di daerah yang mengalami banjir
dengan permukiman yang kurang sehat. Angka kematian di Indonesia cukup
tinggi, antara 2,5-16,45%. Pada usia lebih dari 50 tahun kematian mencapai
56% (Anies et al, 2009). Di Rumah Sakit Umum Kabupaten A tercatat
penderita leptospirosis sebanyak 62 pasien termasuk rujukan dari Puskesmas.
Penyakit tersebut terdistribusi di 9 Kecamatan. Wilayah Puskesmas B
merupakan wilayah dengan kejadian tertinggi di Kabupaten tersebut yaitu 12
kasus. Kecamatan B, termasuk daerah yang sering dilanda luapan air sungai
yang mengalir membelah wilayah tersebut sehingga menggenangi
permukiman. Pembuangan air limbah masih sebatas mengalirkannya ke
selokan. Area yang tidak terkena luapan banjir sungai juga terkena luapan air
selokan pada waktu musim hujan karena penataan pembuangan air kotor
yang belum baik. Masih banyak dijumpai tempat penyimpanan sampah yang
tidak bertutup dan tidak terawat, bahkan masih banyak dijumpai keluarga
yang belum memiliki bak sampah. Tikuspun dijumpai berkeliaran terutama
di malam hari. Lebih dari separuh penduduk masih berpendidikan SMP ke
bawah, sementara yang mengenyam pendidikan tinggi hanya sekitar 4-5%.
Kebiasaan mandi dan cuci di sungai merupakan hal yang sering dijumpai
sehari-hari. Sebagian besar penduduk (61%) bekerja sebagai petani atau
buruh tani, yang bekerja biasa tanpa alat pelindung diri terutama dalam
kontak dengan air. Puskesmas sebagai ujung tombak upaya kesehatan
masyarakat berupaya menanggulangi penyakit tersebut. Bagaimana
penyelenggaraannya?

B. Identifikasi Masalah
Dalam identifikasi masalah pada skenario ini diperoleh permasalahan
sebagai berikut :
a. Letak geografis wilayah.
b. Kurangnya peran serta instansi terkait akan pentingnya PHBS pada
masyarakat
c. Kurangnya KIE dari puskesmas.
d. PHBS masyarakat yang kurang, yaitu kebiasaan mandi dan cuci di
sungai, kurangnya penggunaan air bersih, kurangnya penggunaan APD,
dan kurangnya pemanfaatan tempat sampah.
e. Tingkat Pendidikan masyarakat yang rendah.

C. Analisis
1. Masukan
a. Kebiasaan mandi dan mencuci di sungai
Kebiasaan mandi dan mencuci di sungai pada masyarakat kecamatan
B masih sering dijumpai sehari-hari. Disini terlihat bahwa tingkat
kesadaran dan pengetahuan masyarakat tentang penyakit yang dapat
ditularkan memail kontak air kotor seperti leptospyrosis. Hal ini
sangat mendukung tingginya angka penularan leptospirosis karena
masyarakat secara langsung kontak dengan air sungai yang
terkontaminasi oleh urin hewan pembawa leptospira.
b. Kurangnya penggunaan air bersih
Kurangnya penggunaan air bersih dapat dilihat dari kebiasaan yang
dilakukan masyarakat yaitu sering mandi dan mencuci di sungai. Hal
tersebut disebabkan oleh karena tingkat Pendidikan dan kesadaran
masyarakat yang kurang akan bahaya yang dapat ditimbulakn dari
kebiasaan mandi dan mencuci di sungai.
c. Kurangnya penggunaan APD
Kesadaran masyarakat di kecamatan B yang sebagian besar bekerja
sebagai petani atau buruh tani akan pentingnya penggunaan APD
saat bekerja masih kurang. Dengan tidak digunakannya APD
tersebut akan meningkatkan resiko mereka terkena leptospirosis
dikarenakan memiliki kontak langsung dengan tanah dan air yang
terkontaminasi dengan urin hewan pembawa bakteri leptospirosis.
d. Kurangnya pemanfaatan tempat sampah
Di kecamatan B masih banyak dijumpai tempat penyimpanan
sampah yang tidak tertutup dan tidak terawat, selain itu masih
banyak keluarga yang tidak memiliki bak sampah. Disini terlihat
bahwa kesadaran pemanfaatan tempat sampah masih sangat kurang
dan kebiasaan membuang sampah sembarangan masih terjadi. Hal
terseut menyebabkan banyaknya tikus yang sering berkeliaran di
sekitar pemukiman warga. Hal ini akan mendukung tingginya tingkat
penularan leptospirosis karena tikus merupakan salah satu hewan
pembawa bakteri leptospirosis.
e. Tingkat pendidikan yang rendah
Lebih dari separuh penduduk di kecamatan B masih berpendidikan
SMP kebawah, sementara yang mengenyam Pendidikan tinggi hanya
sekitar 4-5%. Rendahnya tingkat pendidikan masyarakat dipengaruhi
oleh minat yang kurang dan pendanaan yang memadai. Hal ini akan
berpengaruh terhadapat tingkat pengetahuan dan kesadaran
masayarakat mengenai penyakit-penyakit yang dapat ditularkan
melalui kebiasaan-kebiasaan yang kurang baik.
2. Lingkungan
a. Kurangnya peran serta instansi terkait akan pentingnya PHBS
Peran serta isntansi pemerintahan di Kecamatan dan desa masih
kurang, seperti tidak adanya peraturan tentang pembuangan sampah
dan air limbah sembarangan Selain itu tidak adanya kebijakan dari
instansi pemerintahan setempat tentang solusi untuk menanggulangi
masalah sampah dan luapan air sungai yang sering menyebabkan
banjir di wilayah tersebut serta penataann pembuangan air kotor
yang belum baik. Selain tingkat kesadaran pemerintah daerah yang
kurang diperkirakan juga terdapat kendala dalam hal pendanaanya.
b. Letal wilayah
Kecamatan B, termasuk daerah yang sering dilanda luapan air sungai
yang mengalir membelah wilayah tersebut sehingga menggenangi
pemukiman warga. Selain itu saluran air dan saluran limbah juga
masih kurang memadai.
3. Proses
a. Kurangnya KIE dari puskesmas
Kurangnya pelaksanaan konseling, informasi dan edukasi dari pihak
puskesmas kedapa masyarakat terkait pentingnya prilaku hidup sehat
yang harus selalu diterapkan masyarakat. Akibat masyarakat akan
minim pengetahuin tentang pentingnya PHBS serta informasi
mengenai berbagai jenis penyakit yang dapat timbul akibat buruknya
PHBS.
Fish Bone

PROSES LINGKUNGAN

Letak
Tidak adanya tenaga pelaksana
Geografis

Kurangnya perhatian Kurangnya


terhadap PHBS di kesadaran Kurangnya peran serta
Letak wilayah
masyarakat instansi terkait akan
pentingnya PHBS

Kurangnya KIE dari


Saluran air dan saluran
puskesmas Kurangnya
pmbuangan limbah
kurang memadai dana
Masyarakat enggan
berobat walaupun
sudah bergejala Tingginya
kasus
Kurangnya leptospirosis di
pendidikan kecamatan B
Kebiasaan mandi Minat yang kurang
& cuci di sungai
Dana yang kurang
Kurangnya
kesadaran Tingkat pendidikan
Kurangnya penggunaan yang rendah
air bersih Kurangnya Kurangnya
kesadaran pendidikan
Kurangnya pendidikan
Kurangnya Kurangnya pemanfaatan
penggunaan APD tempat sampah

Fasilitas kurang memadai


Kurangnya kesadaran

MASUKAN
D. Pembahasan
Leptospirosis adalah penyakit zoonosis yang disebabkan oleh infeksi
Leptospira interrogans semua serotipe. Leptospirosis juga dikenal dengan nama
flood fever atau demam banjir karena sering menyebabkan terjadinya wabah pada
saat banjir. Menurut International Leptospirosis Society (ILS,2015), Indonesia
merupakan negara dengan insiden leptospirosis yang tinggi, serta menempati
peringkat ketiga di dunia untuk tingkat mortalitas. Hal ini sejalan dengan kasus
yang terjadi di kecamatan B dimana dalam skenario dijelaskan bahwa kecamatan
B merupakan daerah yang memiliki insiden leptospirosis paling tinggi diantara
daerah lainnya. Penularan leptospirosis dapat terjadi secara langsung akibat terjadi
kontak langsung antara manusia (sebagai host) dengan urin atau jaringan binatang
yang terinfeksi dan secara tidak langsung akibat terjadi kontak antara manusia
dengan air, tanah atau tanaman yang terkontaminasi urin dari binatang yang
terinfeksi leptospira. Jalan masuk yang biasa pada manusia adalah kulit yang
terluka, terutama sekitar kaki, dan atau selaput mukosa di kelopak mata, hidung,
dan selaput lendir (Ramadhani, 2012). Di kecamatan B sering terjadi banjir akibat
luapan air sungai yang membelah wilayah tersebut dan luapan air selokan sering
terjadi dan menyebabkan banjir, selain itu masih banyak ditemukan tempat
penyimpanan sampah yang tidak tertutup, tidak terawat serta masih banyak
keluarga yang tidak memiliki bak sampah. Hal itu dapat menjadi kontak secara
tidak lansung dalam penularan leptospirosis kepada masyarakat. Selain itu
kebisaan mandi dan mencuci disungai yang masih sering dilakukan masyarakat
serta para petani yang bekerja tanpa menggunakan APD menjadi factor
pendukung penularan leptospirosis secara langsung. Buruknya penerapan PHBS
oleh masyarakat didaerah tersebut juga disebabkan oleh tingkat Pendidikan yang
rendah sehingga pengetahuan tentang penyakit leptospirosis dan kesadaran akan
pentingnya PHBS rendah.
Berdasarkan saran WHO , upaya pencegahan leptospirosis dapat
dilakukan dalam tiga cara, yaitu pada hewan sebagai sumber infeksi, jalur
penularan dan manusia. Pada hewan sebagai sumber infeksi, pencegahan
dilakukan dengan memberikan vaksin kepada hewan yang berpotensi tertular
leptospirosis. Selain itu kebersihan kandang hewan peliharaan juga perlu
diperhatikan untuk mencegah terjadinya leptospirosis pada hewan. Pada jalur
penularan, pencegahan yang bisa dilakukan adalah dengan memutus jalur
penularan. Jalur penularan adalah lingkungan yang bisa menjadi tempat
berkembang biak dan hidup bakteri Leptospira. Lingkungan dengan kondisi
sanitasi yang buruk menjadi faktor risiko terjadinya leptospirosis. Kegiatan yang
dapat dilakukan untuk mencegah leptospirosis adalah dengan menjaga kebersihan
lingkungan sekitar tempat tinggal, supaya tidak menjadi sarang tikus, termasuk
tempat penyimpanan air, penanganan sampah yang benar sehingga tidak menjadi
sarang tikus. Pada manusia, pencegahan yang bisa dilakukan dengan menjaga
kebersihan individu setelah beraktivitas di lokasi yang berisiko terpapar
leptospirosis; pendidikan kesehatan untuk menggunakan alat pelindung diri bagi
pekerja yang bekerja di lingkungan yang berisiko leptospirosis; menjaga
kebersihan kandang hewan peliharaan; membersihkan habitat sarang tikus;
pemberantasan hewan pengerat bila kondisi memungkinkan dan pemberian
kaporit atau sodium hipoklorit pada air tampungan yang akan digunakan oleh
masyarakat. Selain itu perlu juga dilakukan peningkatan kesadaran masyarakat
akan bahaya penyakit ini, terlebih bagi kelompok masyarakat yang memiliki
risiko tinggi dan juga penyedia pelayanan Kesehatan (Widjajanti, 2019)
BAB III
PENYUSUNAN PROGRAM

A. Upaya Pencegahan
Upaya yang dilakukan mahasiswa FK UWKS untuk mencegah terjadinya peningkatan
kasus leptospirosis di kecamatan B adalah :
1. Meningkatkan peran serta instansi pemerintahan dengan program “Angkut Sampah”
Peningkatan peran serta instansi khususnya instansi pemerintahan setempat dapat
dilakukan dengan menegakan peraturan yang ketat terkait pembuangan sampah dan
limbah. Selain itu dapat dibuat program “Angkut Sampah” yang mana dalam program
tersebut berkoordinasi dengan pemeirntah desa untuk membuat minimal 2 bak
sampah besar di setiap gang, yang mana setiap warga di gang tersebut harus menaruh
sampah mereka dalam bak sampah besar yang sudah disediakan dan sampah-sampah
tersebut akan dikelola oleh petugas yang sudah ditunjuk oleh perangkat desa.
2. Mengadakan kegiatan penyuluhan kesehatan oleh petugas puskesmas
Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk meningkatkan pengetahuan
masyarakat tentang penyakit leptospirosis dan pentingnya PHBS adalah dengan
mengadakan penyuluhan kesehatan kepada masyarakat. Dalam hal ini puskesmas
bekerja sama dengan pihak kecamatan dan pihak desa untuk melakukan penyuluhan
berkala kepada masyarakat.
B. Upaya Pengendalian Pasien dan Kontak
1. Melakukan pendekatan kepada masyarakat melalui program “Home Visite”
Pendekatan yang dapat dilakukan engan melakukan program “Home Visite”. Yang
pertama adalah melakukan home visit ke rumah pasien yang sudah terkonfirmasi
leptospirosis untuk memantau perkembangan kondisi pasien dan kedisiplinan
terapinya. Yang kedua melakukan home visite ke rumah warga yang memiliki kontak
erat dengan pasien leptospirosis. Hal ini dilakukan untuk mecegah adanya warga yang
tidak memeriksakan diri ke puskesmas walaupun sudah bergejala.
C. Upaya Perbaikan Lingkungan
1. Pembangunan bendungan dan saluran limbah
Membangun saluran air seperti bendungan yang layak dan saluran limbah seperti
gorong-gorong yang lebih banyak sehingga dapat mencegah terjadinya banjir saat
musim hujan.
BAB IV
PENYUSUNAN KEGIATAN PRIORITAS
A. Tabel Skoring
Untuk menentukan kegiatan yang lebih efektif dan efisien dalam menurunkan
angka kejadian leptospirosis di Kecamatan B maka perlu disusun urutan prioritas
kegiatan dengan metode scoring sebagai berikut.
No Kegiatan Efektifitas Efisiensi Hasil
.
M I V C MxIxV
p¿
C
1 Meningkatkan peran serta instansi 4 4 3 4 12
pemerintahan dengan program
“Angkut Sampah”

2 Melakukan pendekatan kepada 3 3 2 3 6


masyarakat melalui program “Home
Visite”

3 Pembangunan bendungan dan saluran 2 3 2 2 6


limbah

Tabel III.1 Urutan Priorotas Kegiatan


Keterangan :
M : Magnitude, yaitu besarnya masalah yang bisa diatasi apabila
solusi/kegiatan ini dilaksa nakan (turunnya prevalensi dan besarnya
masalah lain).
I : Implementasi, yaitu sensitifnya dalam mengatasi masalah;
V : Viability, yaitu kelanggengan selesainya masalah apabila kegiatan ini
dilaksanakan.
C : Cost, biaya yang diperlukan untuk mengatasi masalah.
P : Hitunglah P (Prioritas kegiatan / pemecahan masalah) dengan rumus
pada kolom hasil.
Dari tabel tersebut dapat dilihat, nilai P yang paling tinggi adalah meningkatkan
peran serta instansi pemerintahan dengan program “Angkut Sampah” , yang mana menurut
kami dengan diadakannya program ini akan mampu mengatasi tingginya kejadian
leptospirosis di Kecamatan B.
Tabel III.2 Rencana Kegiatan Prioritas (Plan of Activity/POA) Pembangunan dan
Pelasanaan Program Angkut Sampah di Kecamatan B

NO KEGIATAN SASARAN TARGET VOLUME RINCIAN KEGIATAN LOKASI TENAGA JADWAL KEBUTUH
KEGIATAN PELAKS. PELAKSANA AN
PELAKSAN
AAN
1 Inventarisasi Seluruh 100% desa 3x inventa-risasi Mendata semua desa Kantor Kader Kecamatan, April 2021 (minggu I) Data dari Desa dan
sasaran, target, pemerintah yang terdaftar desa di camat Kepala Desa, dan kecamatan
desa-desa terkait kecamatan desa kader Kesehatan Alat tulis
LCD, laptop, microphone
1x sarana Penyuluhan kepada
penyuluhan penyuluhan kepala desa

2 Menyiapkan Kepala camat 100% tenaga Pembentukan Memilih dan Balai desa Kader Kecamatan, April 2021 (minggu II) Alat tulis, perlengkapan.
Team/kelom- 1 dokter/desa, siap di tiap satu Tim menetapkan tenaga Kepala Desa, dan Pertemuan/rapat
pok kerja 1 perawat/desa, desa program yang siap menjalankan kader Kesehatan
3kader “Angkut tugas pencegahan
esehatan/desa : Sampah” leptospirosis
Keoala desa sebagai
terkait pencegahan
6 petugas penyakit Pengarahan kepada Di Kantor Team Work
kebersihan/desa leptospirosis. Tim Camat Kec

3 Penyiapkan Dana 60% Dana dari Pengajuan Perencanaan biaya. Kantor Kepala desa Mei 2021 (minggu III) Dana dan perlengkapan
dana dan kecamatan proposal dana ke kecamatan administrasi keuangan.
perlengkapan kecamatan Pengajuan usulan. Dan Kantor
yang 40% dana dari untuk desa
diperlukan desa pembangunan Persetujuan dana Sarana pembangunan
bak sampah
Menyiapkan saranan
pembangunan dan
perlengkapan pekerja
4 Pelaksanaan Seluruh warga 80%warga 3x pelaksanaan Pembangunan 2 bak Disetiap Seluruh warga Mei 2021 (minggu IV) – Alat dan bahan
pembangunan dalam 2 minggu sampah umum di gang juni 2021 (minggu I) pembangunan bak
bak sampah . setiap gang Dan team work sampah.

6 Evaluasi dan Memonitor dan Kepala desa 1x monev ke Pelaksanaan monev. Desa-desa Kader kecamatan, Juni 2021 (minggu IV) Lembar rekapitulasi
monitoring mengeva-luasi beserta team setiap desa terkait kader desa, sampai monev untuk masing-
(monev) jumlah desa work dalam satu kader Puskesmas masing desa.
yang sudah minggu sebagai anggota
menerapkan Team Work.
program
“Angkut
Sampah”
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Permasalahan tingginya kasus leptospirosis di kecamatan B ditimbulkan akibat
seringnya daerah tersebut dilanda banjir. Banjir tersebut juga disebabkan dari berbagai
perilaku masyarakat setempat yang kurang baik seperti banyak keluarga yang tidak
memiliki bak sampah, banyak dijumpai tempat sampah yang tidak tertutup dan tidak
terawat sehingga sering dijumpai banyak tikus yang berkeliaran khususnya pada malam
hari. Tak hanya itu kebiasaan mandi dan mencuci di sungai juga masih sering dilakukan oleh
masyarakat, para petani pun sudah terbilang sangat biasa bekerja tanpa menggunakan alat
pelindung diri padahal mereka memiliki kontak langsung dengan tanah dan air. Sehingga dapat
disimpulkan tingginya kasus leptospirosis di Kecamatan B disebabkan oleh kurangnya
pelaksanaan PHBS oleh masyarakat.

B. Saran

Dilihat dari kasus yang terjadi maka diperlukan penerapan program Perilaku
Hidup Bersih dan Sehat (PHBS), yang dimana perilaku tersebut merupakan bentuk dari
upaya untuk memberikan pelajaran berupa pengalaman pada tiap individu, anggota
keluarga, sekumpulan, maupun pada masyarakat umum. Maka dari itu dibentuk program
“Angkut Sampah” dengan tujuan agar sampah dari tiap keluarga tidak menumpuk dan
dapat memicu datangnya tikus ke pemukiman warga, terlebih agar sampah tidak terbuang
ke selokan yang dapat menyebabkan tersumbatnya aliran selokan dan akan memperlama
waktu surutnya air ketika terjadi luapan air sungai. Selain itu perlu diadakan
pembangunan bendungan dan saluran limbah mengingat Kecamatan B sering dilanda
luapan air sungai yang membelah wilayah tersebut. Penyuluhan KIE dari pihak
puskesmas juga sangat penting dilakukan untuk menginkatkan pengetahuan masyarakat
pentignya PHBS dan pendekan kepada pasien melalui program home visite.
DAFTAR PUSTAKA

Anies, Hadisaputro, S., Sakundarno, M., Suhartono. (2009). Lingkungan dan Perilaku
pada Kejadian Leptospirosis. Media Medika Indonesia, 43(6): 306-311
Dinas Kesehatan Kota Semarang. (2016). Profil Kesehatan Kota Semarang Tahun 2015.
Semarang: Dinas Kesehatan Kota Semarang
International Leptospirosis Society (2015). Leptospirosis. Word Health Organization.
Retrieved from http://www.- leptonet.net/.
Okatini, M., Purwana, R., Djaja, I.M. (2007). Hubungan Faktor Lingkungan dan
Karakteristik Individu terhadap Kejadian Penyakit Leptospirosis di Jakarta 2003-
2005. Makara Kesehatan, 11(1): 17-24
Prihantoro ,Teguh., Siwiendrayanti, Arum. 2017. Karakteristik dan Kondisi Lingkungan
Rumah Penderita Leptospirosis di Wilayah Kerja Puskesmas Pegandan. Journal of
Health No.2
Rampengan, Novie H. 2016. Leptospirosis. Jurnal Biomedik (JBM), Volume 8, Nomor 3
(hlm. 143-150)
Ramadhani, T., Yunianto, B. (2012). Reservoir dan Kasus Leptospirosis di Wilayah
Kejadian Luar Biasa. Kesmas Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional, 7(4): 162-
168
Ramadhani, T., Yunianto, B. (2010). Kondisi Lingkungan Pemukiman yang Tidak Sehat
Berisiko terhadap Kejadian Leptospirosis (Studi Kasus di Kota Semarang).
Suplemen Media Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 20(1): 46-54
Riyaningsih, Hadisaputro, S., Suhartono. (2012). Faktor Risiko Lingkungan Kejadian
Leptospirosis di Jawa Tengah (Studi Kasus di Kota Semarang, Kabupaten Demak,
dan Pati). Jurnal Kesehatan Lingkungan Indonesia, 11(1): 87-94
Samekto, Marek.,dkk. 2019. Faktor-Faktor yang Berpengaruh terhadap Kejadian
Leptospirosis (Studi Kasus Kontrol di Kabupaten Pati). JEKK. 4 (1)
Setiawan, I.M. (2008). Pemeriksaan Laboratorium untuk Mendiagnosis Penyakit
Leptospirosis. Media Litbang Kesehatan, 18 (1): 44-52
Widjajanti, Wening. 2019. Epidemiologi, Diagnosis dan Pencegahan Leptospirosis.
JHECDs Vol. 5, No. 2 (Hal. 1-7)
WHO. Human Leptospirosis: Guidance for Diagnosis Surveilance and Control. Malta:
WHO; 2003.

Anda mungkin juga menyukai