Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH VIROLOGI

LEPTOSPIROSIS

Disusun Oleh:
Rizki Ayu Sari
(AK.21.043)

PRODI D-III TEKNOLOGI LABORATORIUM MEDIS


POLITEKNIK BINA HUSADA
KENDARI
2023

0
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ..................................................................................................1


KATA PENGANTAR....................................................................................2
BAB I PENDAHULUAN ..............................................................................3
A. Latar belakang......................................................................................3
B. Rumusan Masalah.................................................................................6
C. Tujuan...................................................................................................6

BAB II PEMBAHASAN ................................................................................7


A. Definisi leptospirosis ...........................................................................7
B. Morfologi leptospirosis.........................................................................7
C. Pathogenesis leptospirosis ..................................................................8
D. Diagnosa..............................................................................................8
E. Pencegahan.........................................................................................10
F. Pengobatan..........................................................................................11
G. Komplikasi Leptospirosis.....................................................................12
BAB III PENUTUP ........................................................................................13
A. Kesimpulan...........................................................................................13
B. Saran ....................................................................................................13
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................14

1
KATA PENGANTAR

Dengan menyebu tnama Allah yang Maha Esa, Saya panjatkan puja dan puji
syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkanr ahmat, hidayah, dan inayah-
Nya kepada saya,sehingga saya dapat menyelesaikan Makalah ”Lestopirosis”.
Makalah ini telah Kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan
dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk
itu Kami menyampaikan banyak terimakasih kepada Dosen pengampuh mata
kuliahVirologi (T) Angriani Fusvita,S.Si.,M.Si pihak yang telah berkontribusi
dalam pembuatan makalahini.
Terlepas dari semua itu, Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada
kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena
itu dengan tangan terbuka Kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca
agar Kami dapat memperbaiki makalah ini.
Akhir kata Kami berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat
dan menambah ilmu terhadap pembaca.

Kendari, 17 September 2023

Penulis

2
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Leptospirosis adalah penyakit yang bersumber dari binatang(zoonosis)
yang bersifat akut .Bakteri Leptospirasp merupakan penyebab penyakit
leptospirosis yang hidup pada ginjal dan urin tikus merupakan penyebab
penyakit Leptospirosis (Priyambodo,2015).Manusia terinfeksi leptospirosis
setelah kontak secara langsung maupun tidak langsung dengan air kencing
hewan yang terinfeksi bakteri leptospira.Hewan reservoir yang dilaporkan
berperan terhadap penularan leptospirosis umumnya adalah hewan
peridomestik seperti tikus, sapi, dan anjing(KemenkesRI, 2015).
WHO(World Health Organization) tahun 2010 menyatakan bahwa angka
pelaporan kasus Leptospirosis diseluruh dunia sangat rendah. Penyebab dari
hal tersebut dikarenakan terdapatnya kesulitan dalam melakukan diagnosis
klinis dan ketidaktersediaan alat untuk mendiagnosis penyakitt ersebut
(WHO,2013).Daerah tropic yang memiliki iklim lembab memiliki kejadian
Leptospirosis mencapai>10kasus per100.000 penduduk pertahunnya.Daerah
di Indonesia yang ikut menjadi tempat persebaran penyakit ini adalah Pulau
Bali, Jawa, Sumatra Selatan, Sumatra Utara, Sumatra Barat, Riau,
Kalimantan Timur, Kalimantan Barat dan Nusa
Tenggara Barat (KemenkesR1, 2018).
Indonesia merupakan negara yang beriklim tropis. Hal ini menyebabkan
Indonesia sebagai Negara dengan kejadian leptospirosis yang tinggi dan
menduduki peringkat ketiga d idunia di bawah China dan India untuk
mortalitas.Pada tahun 2018 terdapat 889 kasus leptospirosis di Indonesia.Hal
ini mengalami penurunan dari tahun 2017 yang sebelumya berjumlah 908
kasus. Dari keseluruhan kasus leptospirosis yang ada di Indonesia terdapat 6
provinsi yang melaporkan adanya kasus leptospirosis diwilayahnya yaitu Dki
Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah,DI Yogyakarta, Jawa Timur dan Banten.

3
Penurunan kasus terjadi di Jawa Barat dan DI Yogyakarta.Namun di DKI
Jakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Banten terjadi kenaikan kasus yang
signifikan (KemenkesRI, 2018).
Pada tahun 2018 di Provinsi Jawa Tengah sendiri tercatat kasus
leptospirosis sebanyak 427 kasus dengan 89 diantaranya meninggal dunia.
Jumlah kasus tersebut mengalami peningkatan dibandingkan tahun 2017
dengan 409 orang terinfeksi leptospirosis dan 65 orang diantaranya meninggal
dunia (Dinkes Jateng, 2018).
Berdasarkan keseluruhan kasus leptospirosis yang ada di Jawa Tengah
tersebut, Kabupaten Demak merupakan kabupaten yang memiliki kasus
tertinggi di bandingkan kabupaten - kabupaten lain dengan jumlah kasus
leptospirosis sebanyak 92 kasus dengan 24 orang diantaranya dinyatakan
meninggal dunia. Jumlah kasus ini mengalami peningkatan dibandingkan
tahun 2017 yaitu sebanyak 34 kasus leptospirosis dengan 6 diantaranya
dinyatakan meninggal dunia (Dinkes Kabupaten Demak, 2018).Sedangkan
data kasus leptospirosis pada tahun 2019 bulan Januari – Agustus terdapat
sebanyak 64 penderita dengan 10 orang diantaranya dinyatakan meninggal
dunia (Dinkes Kabupaten Demak, 2019). Jumlah penderita sampai pada
Desember 2019 bertambah 16 penderita, sehingga jumlah kasus sampai
Desember 2019 adalah 80 penderita, dengan 17 penderita diantaranya
dinyatakan meninggal dunia (Dinkes Kabupaten Demak, 2019). Kecamatan
yang paling banyak terdapat kasus leptospirosis adalah kecamatan Bonang dan
kecamatan Demak. Kasus Leptospirosis yang selalu ada dari tahun ke tahun
dan jumlahnya cenderung meningkat meskipun beberapa intervensi pernah
dilakukan namun dirasa belum optimal. Intervensi yang pernah dilakukan oleh
Dinas Kesehatan dalam rangka penanggulangan Leptospirosis di kabupaten
Demak antara lain pertemuan dengan Pengendalian Faktor Resiko (PFR),
kerja sama dengan B2P2VRP Salatiga, pembuatan media promosi kesehatan
terkait penyakit Leptospirosis, kaporitisasi di daerah kasus yang dicurigai
sebagai sumber penularan di sekitar rumah tempat tinggal.

4
Kasus Leptospirosis yang selalu ada dari tahun ke tahun dan jumlahnya
cenderung meningkat meskipun beberapa intervensi pernah dilakukan namun
dirasa belum optimal. Intervensi yang pernah dilakukan oleh Dinas Kesehatan
dalam rangka penanggulangan Leptospirosis di kabupaten Demak antara lain
pertemuan dengan Pengendalian Faktor Resiko (PFR), kerja sama dengan
B2P2VRP Salatiga, pembuatan media promosi kesehatan terkait penyakit
Leptospirosis, kaporitisasi di daerah kasus yang dicurigai sebagai sumber
penularan di sekitar rumah tempat tinggal.
Faktor resiko yang diduga berperan dalam kejadian leptospirosis antara
lain orang dengan pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan dan melibatkan
kontak tubuh dengan lingkungan berair, adanya luka di tubuh serta kurangnya
perawatan ataupun perlindungan terhadap luka, keberadaan tikus ataupun
hewan ternak di sekitar rumah. Kasus leptospirosis sebagian besar menyerang
pada usia 15-69 tahun sehingga dapat mempengaruhi produktifitas dan 4
perekonomian dengan hilangnya hari kerja karena menderita penyakit
leptospirosis (Hadisaputro, 2014).
Menurut Supraptono, pendidikan akan mempengaruhi daya terima saat
pendidikan,penyuluhan dan sosialisasi pencegahan dan penanggulangan
leptospirosis. Pendidikan merupakan salah satu factor yang cukup penting
dalam penularan penyakit khususnya leptospirosis.Pendidikan masyarakat
yang rendah akan membawa ketidaksadaran terhadap berbagai risiko paparan
penyakit yang ada di sekitarnya.Semakin tinggi pendidikan masyarakat,akan
membawa dampak yang cukup signifikan dalam proses pemotongan jalur
transmisi penyakit leptospirosis (Supraptono, 2011).
Analisis deskripstif kasus penyakit Leptospirosis diharapkan dapat
mengidentifikasi karakteristik responden pada sebaran penyakit Leptospirosis
di Kabupaten Demak. Dari uraian latar belakang tersebut,peneliti tertarik
meneliti persebaran kejadian penyakit Leptospirosis di Kabupaten Demak.

5
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan leptospirosis?
2. Bagaimana karakteristik dari virus leptospirosis?
3. Bagaimana cara pencegahan dan penularan virus leptospirosis?
C. Tujuan
1. mahasiswa mampu mengetahui definisi dari virus leptospirosis
2. mahasiswa mampu mengetahui karakteristik dari leptospirosis
3. mahasiswa mampu mengetahui cara pencegahan dan penularan
leptospirosis

6
BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi leptospirosis
Leptospirosis merupakan penyakit zoonosis yang disebabkan oleh infeksi
bakteri yang berbentuk spiral dari genus Leptospira yang patogen dan dapat
menyerang manusia maupun hewan. Penularan leptospirosis pada manusia
ditularkan oleh hewan yang terinfeksi biasanya masuk melalui konjungtiva
atau kulit yang terluka. Pada kulit yang utuh, infeksidapat pula terjadi apabila
seseorang kontak dengan air, tanah, dan tanaman yang terkontaminasi urin
tikus atau hewan lain yang menderita leptospirosis. Leptospirosis dapat
menyerang manusia akibat kondisi seperti banjir, air bah, atau saat air
konsumsi sehari hari tercemar oleh urin hewan. Penemuan penderita
seringkali tidak terdiagnosis dengan baik karena gejala klinisnya menyerupai
hepatitis, demam enterik, meningitis, malaria, demam berdarah dan banyak
penyakit lainnya yang ditandai dengan demam, sakit kepala dan mialgia
(nyeriotot). Hal ini berakibat keterlambatan tatalaksana penderita yang dapat
memperburuk prognosis (prediksi baik buruknya kondisi pasien terkait
penyakit yang di deritanya). Meskipun sebenarnya penyakit ini pada
umumnya mempunyai prognosis yang baik (Gasem, 2002; Wijayanti, 2008;
Okatini et al., 2007; Judarwanto, 2009). International Leptospirosis Society
menyatakan bahwa Indonesia sebagai negara dengan insiden leptospirosis
yang cukup tinggi dan menduduki peringkat ketigamortalitas tertinggi di
dunia (16,7%) setelah Uruguay dan India. Di Indonesia factor lingkungan
selama ini di curigai sebagai factor risiko terinfeksi leptospirosis misalnya
daerah rawan banjir, banyaknya genangan air, lingkungan menjadi becek,
berlumpur, sanitasi lingkungan yang kurang baik, wilayah dengan populasi
tikus tinggi, serta banyak timbunan sampah yang menyebabkan mudahnya
Leptospira berkembang biak sehingga di khawatirkan akan terus terjadi bila
upaya penanggulangan leptospirosis tidak dilaksanakan secara komprehensif
(Kemenkes RI, 2017).

7
B. Morfologi leptospirosis
Leptospira adalah bakteri spiroketa, motil dan memiliki diameter tubuh
yang kecil sehingga sulit untuk dilihat di bawah mikroskop biasa (WHO,
2003). Leptospira memiliki struktur permukaan yang menunjukkan cirri
bakteri Gram-negatif maupun Gram-positif. Membran ganda dan
Lipopolisakarida (LPS) merupakan karakteristik bakteri Gram-negatif
sedangkan membransitoplasma dengan sel murein mengingatkan arsitektur
bakteri Gram-positif (Evangelista, dkk., 2010).
Bakteri ini merupakan bakteri gram negatif, berbentuk 10 11 pegas,
lansing, lentur, tumbuh lambat pada kondisi aerob, tumbuh optimum pada
suhu 28 C-30°C, dengan ukuran panjang 5-25 µm, diameter 0,1-0,3 µm, dan
panjang gelombang 0,5 µm. Bakteri Leptospira memiliki flagella internal
yang khas, sehingga dapat masuk kedalam jaringan. Lipopolisakarida (LPS)
merupakan antigen utama yang terlibat dalam klasifikasi serologis (Made,
2008).
C. Pathogenesis leptospirosis
Patogenesis leptospirosis dimulai dari penetrasi bakteri Leptospira
kejaringan masuk kedalam tubuh (Haake, 2016). Leptospira dapat
berproliferasi dan menyebar dalam aliran darah keseluruh tubuh kemudian
berproliferasi dalam organ – organ (Shakinah, 2015). Gejala fase awal
ditimbulkan karena kerusakan jaringan akibat bakteri Leptospira, tetapi gejala
fase kedua timbul akibat responimun pejamu (Setadi, 2001). Organ utama
yang terkena adalah ginjal, dengan inflamasi tubulointerstisialdifus dan
nekrosis tubular, paru biasanya kongesti dengan perdarahan intraal
veolarfokala taumasif, deposisi linear imunoglobulin dan komplemen pada
permukaan alveolar, serta hati yang menunjukkan kolestasis terkait perubahan
degenerative ringan pada hepatosit (Amin, 2016).
D. Diagnosa laboratorium
Diagnosis leptospirosis harus dipertimbangkan pada setiap pasien yang
mengalami onset mendadak demam, menggigil, sakitkepala, myalgia dan
penyakithati. Diagnosis leptospirosis akan lebih sulit bila pasien hadir dengan
gejala batuk, dyspnea, mual, muntah, sakitperut, diare, arthralgia dan

8
ruamkulit (WHO, 2003). Masa inkubasi berlangsung sekitar 1-2 minggu,
dengan rata-rata 2-30 hari. Fase akut atau fase septikemik berlangsung selama
sekitar 1 minggu kemudian dilanjutkan dengan fase imun yang ditandai
dengan adanya produk siantibodi (Musso dan Scola, 2013). Kecurigaan juga
akan semakin meningkat jika pasien memiliki riwayat rekreasi atau terpapar
terhadap hewan yang terinfeksi atau lingkungan yang berpotensi
terkontaminasi dengan urin hewan (WHO, 2003). Pada hewan, berat
ringannya gejala klinis tergantung dari jenis serovar bakteri Leptospira yang
menginfeksi dan spesies hewan yang terinfeksi (Kusmiyati, 2005). Pada
hewan yang merupakan host natural dari serovar tertentu biasanya tidak
menunjukkan gejala klinis kecuali terinfeksi oleh lebih dari 3 jenis serovar
bakteri Leptospira. Jika terinfeksi terjadi secara kronik dapat menyebabkan
masalah reproduksi, seperti aborsi dan infertile pada babi dan sapi (WHO,
2009).
Diagnosis leptospirosis secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi 4
yaitu bakteri ologis, mikroskospis, immunologis dan biologimolekular (Ika,
2011). Menurut Made (2008), pemeriksaan 20 laboraturium untuk
mendiagnosis leptospirosis dapat dikelompokkan berdasarkan pemeriksaan
bakteri Leptospira yaitu: pemeriksaan bakteri secara langsung dengan
mikroskop, isolasi bakteri hidup dan deteksi antigen bakteri, berdasarkan
pemeriksaan serologis: MAT dan Elisa, serta berdasarkan pemeriksaan
molekuler: PCR dan pemetaan molekul. Menurut WHO (2007) dalam
(Rahardianingtyas, 2012), diagnosis laboraturium leptospirosis dapat
dilakukan secara langsung maupun tidak langsung.
Metode pemeriksaan langsung dilakukan dengan cara mengisolasi agen
penyebab dan mengidentifikasi antigen Leptospira dalamjaringan dan
cairantubuhantara lain : pengamatan menggunakan mikroskop medangelap,
pewarnaan, isolasi leptospira secara langsung, inokulasike animal, DNA
hybrization, Polymerase Chain Reaction (PCR) dan metode tidak langsung
dengan cara mendeteksi adanya anti bodi spesifik yaitu : Macroscopic Slide
Agglutination Test (MSAT), Indirect Haemaglutination Test (IHA), Counter

9
Immune Electrophoresis (CIE), ELISA, leptoDipstik, Lepto Lateral Flow,
LeptoDridot dan MAT.
PCR dapat digunakan untuk mendeteksi DNA leptospira pada sampel yang
diperoleh dari hewan dan manusia (Aminah, dkk., 2012). Metode ini sangat
berguna untuk mendiagnosis leptospirosis terutama pada fase permulaan
penyakit atau fase akut sebelum anti boditerdeteksi (Musso dan Scola, 2013).
Namun, pemeriksaan ini memiliki keterbatasan yaitu tidak mampu mendeteksi
jenis serovar yang menginfeksi (Made, 2008). Pemeriksaan PCR juga dapat
memberikan hasil positif palsu Karena adanya inhibitor dalam sampel yang
akan diperiksa (WHO, 2009). Menurut Ika (2011), diagnosis leptospirosis
menggunakanLepto dipstick, Lepto lateral flow, dan Leptodri dot yang
merupakan motede tesdeteksi cepat hanya dapat digunakan apabila suatu
daerah telah dinyatakan sebagai daerah endemis.
E. Pencegahan
Beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk mengurangi angka kejadian
letpospirosis:
1. Mengembangkan strategi regional untuk pengawasan, diagnosis, dan
penurunan resiko leptospirosis
2. Pelatihan modul seharusnya dikembangkan pada empat sector;
3. Epigrup: Pengawasan, estimasi pokok penyakit, respon terhadap
outbreak, pengumpulan sampel di lapangan, transportasi, pencegahan dan
kontrol
4. Labgrup: diagnosis laboratorium, kualitaskontrol, kualitas pemeriksaan
5. Menejemenkasus: diagnosis klinis pada rumahsakit, investigasi kasus
induvidu, penatalaksanaan kasus ringan dan berat, kemoprofilaksis
6. Menejemen program: advokasi, edukasi kesehatan, kerja sama
intersektoral, pengembangan kebijakan dan proyek, media komunikasi,
penggerakan komunitas
7. Mengembangkan program pelatihan gabungan untuk kelompok
epidemiologi dan laboratorium dengan keterlibatan kesehatan masyarakat
dan ahli kesehatan hewan
8. Mengatur standar pelatihan untuk pelatih pada tingkat regional

10
9. Kontrolroden:
10. Identifikasispesies reservoir pada daerah yang terkena
11. Mendeliniasi daerah untuk kegiatan anti roden
12. Membatasi operasi untuk bulan-bulan sebelum musim hujan
13. Mengadopsi teknologi yang tepat untuk operasi anti roden
14. Membangun kesadaran masyarakat untuk melibatkan komunitas
F. Pengobatan
1. Pemberianobat-obatan
Jika gejala sudah timbul, dokter akan memberikan obat-obatan untuk
meredakan gejala dan mengatasi infeksi bakteri. Beberapa obat yang
akan diberikan adalah:

 Obat antibiotik, seperti penisilin, amoxicillin, ampicillin, doxycycline,


atau azithromycin
 Obat penurun demam dan nyeri, seperti paracetamol atau ibuprofen

2. Perawatan di rumahsakit
Perawatan di rumah sakit dilakukan bila infeksi telah berkembang makin
parah dan menyerang organ (penyakit Weil). Pada kondisiini, antibiotic
akan diberikan melalui infus.
 Infuscairan, untuk mencegah dehidrasi pada pasien yang tidak bias
minum banyak air
 Pemberian vitamin K, untuk mencegah perdarahan
 Pemasangan ventilator jika pasien mengalami gagal napas
 Pemantauan terhadap kerjajantung
 Transfusi darah jika terjadi perdarahan berat
 Cuci darah,untuk membantu fungsi ginjal

Kemungkinan sembuh dari penyakit Weil tergantung pada organ yang


terserang infeksi dan tingkat keparahannya. Pada pasien leptospirosis
yang parah, kematian bias terjadi Karena perdarahan atau akibat
komplikasi pada paru-paru atau ginjal.

11
G. Komplikasi Leptospirosis
Leptospirosis yang tidak diobati dengan baik dapat mengakibatkan penyakit
Weil. Komplikasi yang bias terjadi akibat penyakit Weil antara lain:
 Gagal ginjal akut
 Penurunan jumlah trombosit (trombositopenia)
 Perdarahan saluran cerna
 Perdarahan paru-paru
 Stroke perdarahan (stroke hemoragik)
 Gagalhati
 Penyakit Kawasaki
 Kerusakan otot (rhabdomyolysis)
 Radang mata yang parah(Uveitis)
 Penggumpalan darah yang tersebar di seluruh tubuh
 Gagal napas atau acute respiratory distress syndrome (ARDS)
 Infeksi menyebar kealiran darah (sepsis)
 Gagal jantung

12
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Leptospirosis merupakan penyakit zoonosis yang disebabkan oleh infeksi
bakteri yang berbentuk spiral dari genus Leptospira yang patogen dan dapat
menyerang manusia maupun hewan. Penularan leptospirosis pada manusia
ditularkan oleh hewan yang terinfeksi biasanya masuk melalui konjungtiva atau
kulit yang terluka. Pada kulit yang utuh, infeksidapat pula terjadi apabila
seseorang kontak dengan air, tanah, dan tanaman yang terkontaminasi urin
tikus atau hewan lain yang menderita leptospirosis.
Diagnosis leptospirosis harus dipertimbangkan pada setiap pasien yang
mengalami onset mendadak demam, menggigil, sakitkepala, myalgia dan
penyakithati. Diagnosis leptospirosis akan lebih sulit bila pasien hadir dengan
gejala batuk, dyspnea, mual, muntah, sakitperut, diare, arthralgia dan ruamkulit
(WHO, 2003).
B. Saran
Berdasarkan simpulan tersebut maka saran yang dapat disampaikan adalah:
Semoga makalah ini dapat menambah wawasan dan pengetahuan kita
tentang virus leptospirosis. Untuk meningkatkan kewaspadaan diri terhadap
kejadian Leptospirosis, masyarakat perlu untuk meningkatkan kesadaran akan
adanya luka dinkulit dan perawatan apabila terjadi luka tersebut sehingga dapat
menurunkan angka kejadian leptospirosis.

13
DAFTAR PUSTAKA

Priyambodo, S. 1995. Pengendalian Hama Tikus Terpadu. Jakarta:Penebar


Swadaya, Cetakan I
Kemenkes (2015). Diagnosis Laboratoris Leptospirosis. Indonesia: Balibangkes
World Health Organization. Human leptospirosis: guidance for diagnosis,
surveillance, and control [internet]. 2003. Available from:
Anies, Hadisaputro, S., Sakundarno, M., Suhartono. (2009). Lingkungan dan
Perilaku pada Kejadian Leptospirosis. Media Medika Indonesia, 43(6):
306-311
Wijayanti, K. (2008). Penegakan Diagnosa Leptospirosis. Dexa Media Surabaya,
21(1), 17–20.

14
1
5

15

Anda mungkin juga menyukai