Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

LEPTOSPIROSIS
Tugas Mata Kuliah Epidemiologi Zoonosis

Disusun Oleh:

HASLINDA
21803052

Peminatan : Epidemiologi

Program Studi Kesehatan Masyarakat


Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Makassar
2021/2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami haturkan kehadirat Allah SWT, yang atas rahmat dan hidayah-Nya
sehingga saya dapat menyelesaikan penyusunan makalah tugas mata kuliah epidemiologi
zoonosis yang berjudul “Leptospirosis”.
Dalam Penyusunan makalah ini saya merasa masih banyak kekurangan baik pada
teknis penulisan maupun materi, mengingat akan kemampuan yang saya miliki. Untuk itu,
kritik dan saran dari semua pihak sangat saya harapkan demi penyempurnaan pembuatan
makalah ini.
Dalam penyelesaian tugas ini saya menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada pihak-pihak yang membantu dalam menyelesaikan tugas ini, khususnya
kepada Dosen pengampu yang telah memberikan tugas dan petunjuk kepada saya,
sehingga saya dapat menyelesaikan tugas ini.

MAKASSAR,09 Februari 2022

HASLINDA
DAFTAR ISI

SAMPUL

KATA PENGANTAR.................................................................................... i

DAFTAR ISI.................................................................................................. ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang...................................................................................
B. Rumusan Masalah..............................................................................
C. Tujuan ................................................................................................

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Leptospirosis ...................................................................


B. Penularan Leptospirosis.....................................................................
C. Patogenesis Leptospirosis..................................................................
D. Diagnosis Leptospirosis.....................................................................
E. Distribusi Epidemiologi Leptospirosis...............................................
F. Faktor Risiko Leptospirosis................................................................
G. Upaya Pencegahan dan Pengendalian Leptospirosis..........................

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan.........................................................................................
B. Saran...................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sejarah leptospirosis dimulai ketika tahun 1886, Weil menggambarkan penyakit
pada seorang laki-laki dengan gejala panas tinggi disertai dengan gejala saraf,
pembesaran hati, dan pembengkakan limpa. Secara klinis, leptospirosis pada manusia
mungkin telah dikenal di Jakarta sejak 1892 oleh Van der Scheer namun isolasinya
baru berhasil dilakukan pada 1922
Leptospirosis merupakan penyakit zoonosis menular yang dapat menimbulkan
wabah jika tidak dilakukan upaya pencegahan sedini mungkin (Kementrian Kesehatan
Republik Indonesia). Leptospirosis disebabkan oleh bakteri Leptospira yang dapat
menginfeksi manusia dan hewan. Kejadian leptospirosis biasanya dihubungkan
dengan bencana banjir, air pasang di daerah pantai, daerah rawa atau lahan gambut.
Penyakit ini disebabkan oleh bakteri Leptospira, dan menurut gejala klinis dibagi
menjadi bentuk berat/ikterik dan ringan/unikterik. Secara umum gejala umum yang
muncul adalah demam, nyeri kepala, nyeri otot, khususnya didaerah betis, paha, serta
gagal ginjal. Leptospirosis dikeluarkan melalui kontak dengan air, lumpur, tanaman
yang telah dicemarkan oleh air seni dari rodent (tikus) dan hewan lain yang
mengandung bakteri Leptospira.
Leptospirosis tersebar di seluruh dunia, tetapi paling umum didapati pada
daerah tropik dan sub tropik yang memiliki curah hujan tinggi. Leptospirosis dapat
muncul dengan berbagai gejala klinis. Mulai dari flu ringan hingga penyakit serius
dan menjadi fatal.
Leptospirosis adalah penyakit yang bersumber dari binatang (zoonosis) yang
bersifat akut. Bakteri Leptospira sp merupakan penyebab penyakit leptospirosis yang
hidup pada ginjal dan urin tikus merupakan penyebab penyakit Leptospirosis
(Priyambodo, 2015). Manusia terinfeksi leptospirosis setelah kontak secara langsung
maupun tidak langsung dengan air kencing hewan yang terinfeksi bakteri leptospira.
Hewan reservoir yang dilaporkan berperan terhadap penularan leptospirosis umumnya
adalah hewan peridomestik seperti tikus, sapi, dan anjing (Kemenkes RI, 2015).
B. Rumusan Masalah
1. Apakah yang di maksud dengan Leptospirosis?
2. Bagaimana cara Penularan Leptospirosis?
3. Bagaimana patogenesis leptospirosis?
4. Bagaimana diagnosis leptospirosis?
5. Bagaimana distribusi epidemiologi leptospirosis?
6. Apa saja faktor risiko leptospirosis?
7. Bagaimana upaya pencegahan dan pengendalian leptospirosis?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui apa itu Leptospirosis
2. Untuk mengetahui rantai penularan leptospirosis
3. Untuk mengetahui patogenesis leptospirosis
4. Untuk mengetahui diagnosis leptospirosis
5. Untuk mengetahui distribusi epidemiologi leptospirosis
6. Untuk mengetahui faktor risiko leptospirosis
7. Untuk mengetahui upaya pencegahan dan pengendalian leptospirosis
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Leptospirosis
Leptospirosis merupakan penyakit zoonosis yang disebabkan oleh bakteri
Leptospira dan ditularkan oleh tikus. Penyakit ini kebanyakan ditemukan di wilayah
tropis dan sub tropis pada musim penghujan. Leptospirosis terjadi karena adanya
interaksi yang kompleks antara pembawa penyakit, tuan rumah/pejamu dan
lingkungan. Bakteri Leptospira dapat menginfeksi manusia melalui luka yang ada di
kulit dan mukosa tubuhnya. Manusia dengan perilaku kesehatan yang buruk
berpotensi untuk terinfeksi bakteri ini. Demikian juga dengan sanitasi yang buruk
mendukung terjadinya kasus leptospirosis pada manusia. Diagnosis leptospirosis
dilakukan dengan Rapid Diagnostic Test, Polymerase Chain Reaction, Microscopic
Agglutination Test, dan lainnya. Pengobatan leptospirosis berupa doksisiklin dan
penisilin G intravena. Hemodialisis dan pemberian ventilasi pernafasan mekanis
diberikan jika terjadi gagal ginjal dan perdarahan pada paru-paru. Pencegahan
leptospirosis dilakukan dengan pencegahan pada hewan sebagai sumber infeksi, jalur
penularan dan manusia.
B. Penularan
1. Rantai penularan
Keterangan :
Bakteri leptospira yang berada pada tubuh hewan, salah satu contohnya yaitu Tikus.
Bakteri leptospira dikeluarkan melalui urin tikus kemudian mengkontaminasi air,
tanah lembab/becek, lumpur dll. Apabila manusia dengan luka terbuka atau secara
tidak sengaja terpapar lingkungan atau tempat yang telah terkontaminasi maka dapat
terjadi penularan bakteri leptospira pada manusia dan hewan lainnya. Selanjutnya
hewan yang telah terkontaminasi tersebut pun dapat mengkontaminasi lingkungan
serta manusia kembali. Maka terjadilah perputaran penularan bakteri leptospirosis dari
hewan, lingkungan dan manusia.
2. Cara penularan
Risiko manusia terinfeksi tergantung pada paparan terhadap faktor risiko.
Beberapa manusia memiliki risiko tinggi terpapar Leptospirosis karena
pekerjaannya, lingkungan dimana mereka tinggal atau gaya hidup. Kelompok
pekerjaan utama yang berisiko yaitu petani atau pekerja perkebunan, petugas pet
shop, peternak, petugas pembersih, saluran air, pekerja pemotongan hewan,
pengolah daging, dan militer. Kelompok lain yang memiliki risiko tinggi
terinfeksi Leptospirosis yaitu bencana alam seperti banjir dan peningkatan jumlah
manusia yang melakukan olahraga rekreasi air. Manusia dapat terinfeksi
Leptospirosis karena kontak secara lansung atau tidak langsung dengan urin
hewan yang terinfeksi Leptospira.
a. Penularan Langsung :
1) Melalui darah, Urin atau cairan tubuh lain yang mengandung kuman
Leptospira masuk kedalam tubuh pejamu
2) Dari hewan ke manusia merupakan penyakit akibat pekerjaan, terjadi
pada orang yang merawat hewan atau menangani organ tubuh hewan
misalnya pekerja potong hewan, atau seseorang yang tertular dari
hewan peliharaanya
3) Dari manusia ke manusia meskipun jarang dapat terjadi melalui
hubungan seksual pada masa konvalesen atau dari ibu penderita
Leptospirosis ke janin melalui sawar plasenta dan air susu ibu
b. Penularan tidak lansung
Terjadi melalui genangan air, sungai, danau, selokan saluran air dan
lumpur yang tercemar urin hewan.
C. Patogenesis
Di Indonesia, penularan kepada manusia paling sering melalui tikus. Bakteri
liptospira dapat bertahan di air tawar hingga 16 hari dan di tanah selama hampir 24
hari. Urine tikus terbawa banjir kemudian masuk ke tubuh manusia melalui
permukaan kulit yang terluka, selaput lendir mata dan hidung. Bisa juga melalui
makanan atau minuman yang terkontaminasi urine tikus yang terinfeksi lesptospira.
Leptospira yang masuk dalam tubuh manusia mengikuti peredaran darah dan
menyebar keseluruh tubuh. Infeksi leptospira akan menimbulkan kerusakan pembuluh
darah bagian dalam. Keadaan ini berpengaruh pada hati, ginjal, jantung, paru, sistem
saraf pusat dan mata.
Biasanya diperlukan waktu antara 1 hingga 2 minggu bagi orang yang terinfeksi
untuk mulai menunjukkan gejala, tetapi bisa memakan waktu hingga satu bulan.
D. Diagnosis
Diagnosis leptospirosis dapat dilakukan baik pada hewan maupun manusia. Pada
hewan diagnosis dilakukan pada ginjal dan limpa, sedangkan pada manusia diagnosis
dilakukan pada serum, plasma darah, urin dan cairan serebrospinal. Diagnosis
laboratorium leptospirosis melibatkan dua kelompok pengujian. Kelompok pertama
didesain untuk mendeteksi antibodi anti-leptospira, sedangkan kelompok kedua untuk
mendeteksi Leptospira, antigen Leptospira atau asam nukleat Leptospira pada cairan
tubuh maupun jaringan. Kultur dan Microscopic Agglutination Test (MAT) adalah
standar emas untuk diagnosis laboratorium dan yang paling banyak digunakan.
Beberapa cara skrining cepat penegakan diagnosis leptospirosis telah
dikembangkan, di antaranya Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA), uji
aglutinasi lateks, uji aliran lateral dan dipstik IgM, tapi sayangnya sensitivitas alat
tersebut masih sangat rendah terutama pada saat fase akut. Selain MAT, alat diagnosis
yang digunakan adalah Polymerase Chain Reaction (PCR) yang terbukti berguna
untuk mendiagnosis leptospirosis lebih awal sebelum dimulainya produksi antibodi,
sayangnya biaya operasional PCR ini sangat mahal, sehingga dirasa kurang efisien.
Diagnosis kasus leptospirosis pada manusia dapat dilakukan pada saat masa akut,
transisi dari masa akut ke masa imun dan fase imun. Pada masa akut diagnosis
dilakukan dengan mengkultur bakteri Leptospira dari darah, urin dan cairan
serebrospinal; selain itu diagnosis dilakukan melalui PCR. Saat masa transisi dari fase
akut ke fase imun diagnosis dilakukan melalui uji ELISA IgM dan dipstik. Pada saat
fase imun diagnosis dilakukan melalui uji MAT, yang merupakan standar emas
penegakan diagnosis leptospirosis berdasarkan rekomendasi dari WHO
E. Distribusi Epidemiologi
1. Person
Leptospirosis terjadi jika ada kontak antara manusia dengan hewan atau
lingkungan yang sudah terinfeksi bakteri Leptospira. Manifestasi leptospirosis ini
beragam mulai dari gejala demam, ikterus, pembesaran hati dan limpa, serta
kerusakan ginjal. Sedangkan hewan yang terinfeksi oleh leptospira belum tentu
tampak dalam kondisi sakit, karena bakteri ini bersifat komensal pada beberapa
jenis hewan termasuk tikus yang dikenal sebagai reservoir leptospirosis di
Indonesia.
2. Place
Persebaran leptospirosis berada di seluruh dunia dengan wilayah endemik yaitu
negara-negara yang beriklim subtropis atau tropis. Insiden leptospirosis di negara
beriklim tropis (hangat) pada umunya terjadi sebanyak 10-100 per 100.000
penduduk setiap tahunnya, sedangkan di negara beriklim sedang insiden
leptospirosis lebih sedikit terjadi yaitu 0,1 - 1 per 100.000 penduduk setiap
tahunnya
3. Time
Prevalensi dan insidensi leptospirosis di Indonesia selalu berubah setiap tahun.
Pada tahun 2012 dilaporkan terdapat 239 kasus leptospirosis. Sedangkan pada
tahun 2013, 2014, dan 2015 jumlah kasus leptospirosis di Indonesia secara
berturut-turut adalah 640, 545 dan 336 kasus. Angka kematian akibat leptospirosis
di Indonesia berkisar antara 2.5% sampai 16.4%.
Dalam skala nasional, jumlah kematian dan CFR menunjukkan penurunan
yaitu dari 148 dan 16,5% pada tahun 2018 menjadi 122 kematian dan 13,26%
pada tahun 2019 (Pusdatin, 2020).
Dalam skala nasional, jumlah kematian dan CFR menunjukkan penurunan
yaitu dari 148 dan 16,5% pada tahun 2018 menjadi 122 kematian dan 13,26%
pada tahun 2019 (Pusdatin, 2020), sedangkan pada tahun 2020 DKI Jakarta
menyumbang 208 kasus leptospirosis (Subdin Kesmas, 2021).
F. Faktor Risiko
1. Host (Tuan Rumah/Pejamu)
Host atau tuan rumah adalah manusia yang dapat terserang penyakit. Penyakit
Leptospira memiliki dua pejamu, yaitu binatang/mamalia dan manusia. Mamalia
yang menjadi pejamu ini dikenal dengan sebutan reservoir, berupa binatang buas
dan juga ternak, termasuk tikus. Di Indonesia, sumber penularan utama
leptospirosis adalah tikus.1 Tikus yang terinfeksi oleh bakteri Leptospira
terkadang tampak dalam keadaan sehat, karena bakteri ini bersifat komensal
terhadap binatang inangnya. Beberapa spesies tikus yang menjadi reservoir
leptospirosis di Indonesia di antaranya adalah Rattus tanezumi, Rattus norvegicus,
Bandicota indica, Rattus exculan, Mus musculus dan Suncus murinus.
Leptospirosis pada manusia menampakkan gejala yang bervariasi, mulai dari
gejala ringan sampai dengan berat, tergantung jenis serovar yang masuk ke dalam
tubuh manusia.17 Gejala klinis leptospirosis setelah masa inkubasi berupa
demam, menggigil, sakit kepala, nyeri otot, batuk, rasa tidak nyaman di badan,
muntah, nyeri pada perut, diare, sufusi konjungtiva, jaundice, urin berwarna
seperti teh, oliguria, anuria, batuk berdarah, perdarahan pada kulit, pusing dan
lesu.
Penyakit ini dapat menimbulkan kerusakan beberapa organ berupa kegagalan
hati akut, kegagalan ginjal akut, perdarahan pada paruparu, miokarditis dan
meningoencephalitis yang berakhir pada kematian.
Leptospirosis sebagian besar menyerang laki-laki pada usia produktif, bekerja
di luar rumah, memiliki kontak dengan tikus dan juga air yang terkontaminasi
dengan bakteri Leptospira. Sayangnya leptospirosis ini kurang dikenali, diabaikan
dan tidak dilaporkan, karena dianggap sebagai demam biasa, bahkan tenaga medis
biasanya kurang tepat dalam menegakkan diagnosis karena gejala penyakit ini
bervariasi dan tidak spesifik.
Gejala leptospirosis mirip sekali dengan demam dengue atau demam berdarah
dengue, malaria dan scrub thypus. 27 Untuk melakukan konfirmasi leptospirosis
diperlukan tes laboratorium atau menggunakan Rapid Diagnostic Test (RDT),
sayangnya tidak semua wilayah memiliki laboratorium yang memadai dan
tersedia RDT leptospirosis.
2. Agent (Pembawa Penyakit)
Agent atau pembawa penyakit adalah mikroorganisme infeksius atau patogen.
Pembawa leptospirosis adalah bakteri berbentuk spiral berpilin yang masuk dalam
genus Leptospira. Bakteri ini bersifat komensal pada hewan dan secara alamiah
memang berada di tubulus ginjal dan saluran kelamin hewan tertentu. Bakteri
Leptospira memiliki dua lapis membran, berbentuk spiral, lentur, tipis dengan
tebal 0,1 µm dan panjang 10-20 µm. Pada kedua ujungnya terdapat kait berupa
flagelum periplasmik. Bergerak maju mundur dan memutar sepanjang sumbunya.
Bakteri ini dapat hidup di dalam air tawar selama kurang lebih satu bulan dan
peka terhadap asam. Dalam air laut, air selokan dan air kemih yang pekat, bakteri
ini akan cepat mati.
Berdasarkan strainnya, bakteri Leptospira dibedakan menjadi strain yang
patogen dan nonpatogen. Leptospira patogen dikenal sebagai L. interrogans,
sedangkan yang non-patogen dikenal sebagai L. biflexa. Bakteri Leptospira
memiliki lebih dari 250 buah serovar patogen yang terbagi ke Widjajanti W.
Epidemiologi, diagnosis, dan pencegahan. Beberapa serovar yang ditemukan
selama ini di Indonesia antara lain adalah serovar hardjo, tarassovi, pomona,
australis, rachmati, bataviae, djasiman, icterohamorragie, hebdomadis, autumnalis,
dan canicola.
3. Environment (Lingkungan)
Environment atau lingkungan adalah faktor ekstrinsik yang dapat
mempengaruhi pembawa penyakit dan memberikan kesempatan pada pembawa
penyakit untuk menyebarkan penyakit, termasuk faktor fisik, biologi dan sosial
ekonomi. Penyakit leptospirosis ini biasanya terjadi pada wilayah tropis dan
subtropis yang memiliki curah hujan tinggi, udara yang hangat dan lembab serta
biasanya terjadi setelah banjir berlangsung.
Biasanya setelah banjir berakhir, manusia dan binatang akan terpapar oleh air
maupun tanah yang terkontaminasi bakteri Leptospira. Lingkungan dengan
genangan air di sekitar rumah berhubungan dengan kejadian leptospirosis, selain
itu, rumah dengan dinding dapur bukan dari tembok, tidak ada langit-langit di
rumah, tempat sampah terbuka, kondisi rumah yang tidak rapi juga berhubungan
dengan kejadian leptospirosis dan daerah yang rawan banjir.
Manusia dan binatang dapat terinfeksi oleh bakteri ini melalui kontak antara
kulit atau mukosa dengan air maupun tanah yang mengandung urin binatang yang
terinfeksi oleh bakteri ini. Infeksi juga dapat terjadi jika manusia mengkonsumsi
air ataupun makanan yang sudah terkontaminasi oleh bakteri Leptospira. Bakteri
Leptospira masuk ke dalam tubuh manusia melalui luka yang ada di kulit,
membran mukosa (hidung, mulut dan mata), atau bahkan melalui air minum.
Setelah masuk ke dalam tubuh manusia, bakteri ini berada di dalam darah dan
menyerang jaringan dan organ tubuh
G. Upaya Pencegahan dan Pengendalian
1. Pencegahan
Berdasarkan saran WHO, upaya pencegahan leptospirosis dapat dilakukan
dalam tiga cara, yaitu pada hewan sebagai sumber infeksi, jalur penularan dan
manusia.
a. Pada hewan sebagai sumber infeksi
Pencegahan dilakukan dengan memberikan vaksin kepada hewan yang
berpotensi tertular leptospirosis. Selain itu kebersihan kandang hewan
peliharaan juga perlu diperhatikan untuk mencegah terjadinya leptospirosis
pada hewan.
b. Pada jalur penularan
Pencegahan yang bisa dilakukan adalah dengan memutus jalur penularan.
Jalur penularan adalah lingkungan yang bisa menjadi tempat berkembang biak
dan hidup bakteri Leptospira. 41 Lingkungan dengan kondisi sanitasi yang
buruk menjadi faktor risiko terjadinya leptospirosis.
Kegiatan yang dapat dilakukan Widjajanti W. Epidemiologi, diagnosis, dan
pencegahan... 66 untuk mencegah leptospirosis adalah dengan menjaga
kebersihan lingkungan sekitar tempat tinggal, supaya tidak menjadi sarang
tikus, termasuk tempat penyimpanan air, penanganan sampah yang benar
sehingga tidak menjadi sarang tikus.
c. Pada manusia
Pencegahan yang bisa dilakukan dengan menjaga kebersihan individu
setelah beraktivitas di lokasi yang berisiko terpapar leptospirosis; pendidikan
kesehatan untuk menggunakan alat pelindung diri bagi pekerja yang bekerja di
lingkungan yang berisiko leptospirosis; menjaga kebersihan kandang hewan
peliharaan; membersihkan habitat sarang tikus; pemberantasan hewan
pengerat bila kondisi memungkinkan dan pemberian kaporit atau sodium
hipoklorit pada air tampungan yang akan digunakan oleh masyarakat. Selain
itu perlu juga dilakukan peningkatan kesadaran masyarakat akan bahaya
penyakit ini, terlebih bagi kelompok masyarakat yang memiliki risiko tinggi
dan juga penyedia pelayanan kesehatan.
Pembahasan Tantangan yang Dihadapi Penyakit Leptospira atau
leptospirosis ringan pada dasarnya tidak berbahaya jika mendapat pengobatan
dengan cepat dan tepat. Lain halnya dengan leptospirosis sedang dan/atau
berat yang perlu penanganan khusus. Permasalahan yang dihadapi adalah
gejala dan tanda leptospirosis ini sangat mirip dengan gejala dan tanda
penyakit demam dengue atau demam berdarah dengue, malaria dan scrub
thypus, sehingga membuat tenaga medis kurang tepat dalam melakukan
penegakkan diagnosis. Kurang tepat dalam menegakkan diagnosis berakibat
kurang tepat dalam pemberian pengobatan kepada pasien. Peningkatan
kemampuan tenaga medis untuk menegakkan diagnosis leptospirosis sangat
diperlukan, supaya penderita dapat segera ditangani dengan cepat dan tepat.
Selain itu alat untuk mendiagnosis leptospirosis secara cepat dan tepat juga
harus tersedia di pelayanan kesehatan primer masyarakat, misanya berupa
RDT.
Kebersihan diri dan lingkungan juga sangat berpengaruh terhadap
kejadian leptospirosis. Masyarakat dengan tingkat pendidikan rendah yang
bekerja dan beraktivitas di tempat yang berisiko terkena leptospirosis
cenderung untuk mengabaikan perilaku hidup bersih dan sehat. Padahal
perilaku hidup bersih dan sehat adalah kunci utama untuk mencegah terjadinya
leptospirosis. Peningkatan pengetahuan masyarakat untuk berperilaku hidup
bersih dan sehat menjadi tantangan utama untuk mencegah terjadinya
leptospirosis.
Masyarakat yang memiliki pengetahuan yang baik tentang leptospirosis
akan memiliki sikap yang baik juga dan diharapkan memiliki perilaku hidup
bersih dan sehat. Peningkatan pengetahuan dapat dilakukan dengan pemberian
sosialisasi kepada masyarakat tentang bahaya dan cara pencegahan
leptospirosis. Sosialisasi dapat dilakukan oleh petugas kesehatan maupun
kader kesehatan yang ada di masyarakat melalui ceramah, penempelan poster,
penyebaran leaflet.
2. Pengendalian
a. Membangun komitmen politis disetiap jenjang administrasi pemerintahan
dengan melaksanakan advokasi dan sosialisasi program pengendalian
Leptospirosis di daerah endemis agar tercapai tujuan pengendalian
Leptospirosis;
b. Peningkatan kapasitas sumber daya manusia;
c. Meningkatkan Sistem Kewaspadaan Dini (SKD) dan penanggulangan KLB
Leptospirosis;
d. Peningkatan surveilans epidemiologi pada manusia dan faktor risiko;
e. Penatalaksanaan kasus Leptospirosis secara dini sejak kasus suspek sesuai
dengan standar, di fasilitas pelayanan kesehatan dan di masyarakat;
f. Pengendalian faktor risiko;
g. Penguatan upaya prefentif dan promotif untuk peningkatan peran masyarakat;
h. Penguatan jejaring; Penguatan pelaksanaan monitoring dan evaluasi.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Penyakit ini disebabkan oleh bakteri Leptospira, dan menurut gejala klinis dibagi
menjadi bentuk berat/ikterik dan ringan/unikterik. Secara umum gejala umum yang
muncul adalah demam, nyeri kepala, nyeri otot, khususnya didaerah betis, paha, serta
gagal ginjal. Leptospirosis dikeluarkan melalui kontak dengan air, lumpur, tanaman
yang telah dicemarkan oleh air seni dari rodent (tikus) dan hewan lain yang
mengandung bakteri Leptospira.
Leptospirosis umumnya menyerang para petani, pekerja perkebunan, pekerja
tambang/selokan, pekerja rumah potong hewan dan militer. Di Indonesia, penyakit ini
termasuk re-emerging disease, sehingga sewaktu-waktu dapat muncul secara sporadik
serta berpotensi untuk menimbulkan Kejadian Luar Biasa (KLB).
Leptospirosis dapat menyebabkan kematian namun juga dapat diobati.
Penyebaran penyakit ini dapat meluas ke wilayah lainnya akibat air banjir ke beberapa
daerah dimana urine tikus yang mengandung kuman Leptospira mencemari air yang
menggenang. Munculnya penyakit Leptospira dipengaruhi faktor-faktor risiko antara
lain lingkungan yang terkontaminasi Leptospira, lingkungan kumuh dan kuranganya
fasilitas pembuangan sampah, maraknya habitat tikus ditempat pemukiman, daerah
persawahan dan lahan bergambut serta air tergenang yang dicemari oleh urine tikus
yang mengandung kuman Leptospira.
Hewan-hewan yang menjadi sumber penularan Leptospirosis adalah rodent
(tikus), babi, sapi, kambing, domba, kuda, anjing, kucing, serangga, burung,
insektivora (landak, kelelawar, tupai), sedangkan rubah dapat sebagai karrier dari
Leptospira.
B. Saran
Bakteri Leptospira bersifat komensal pada ginjal mamalia, termasuk tikus.
Manusia dapat terkena leptospirosis jika ada bakteri Leptospira yang masuk ke dalam
tubuhnya melalui luka pada kulit maupun mukosa tubuh. Lingkungan dengan sanitasi
yang buruk mendukung terjadinya leptospirosis. Pencegahan leptospirosis yang dapat
dilakukan dengan meminimalisir masuknya bakteri ini ke tubuh manusia dengan
memiliki perilaku hidup bersih dan sehat dan juga menjaga kesehatan lingkungan
sekitar.
DAFTAR PUSTAKA

Novie Ariani dan Tri Yunis Miko Wahyono. 2020. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Kejadian Leptospirosis di 2 Lokasi Survailans Sentinel Leptospirosis Provinsi Banten Tahun
2017-2019. Jurnal Epidemiologi Kesehatan Indonesia. 4(2) :

Ayu, Widiasih Dyah dan Setyawan Budiharta. 2012. Epidemiologi Zoonosis di Indonesia hlm
103-130. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada University Press

Kemenkes RI. 2017. Petunjuk Teknis Pengendalian Leptospirosis cetakan ke-3. Jakarta:
Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit

Widjajanti, Wening. 2019. Epidemiologi, Diagnosis dan Pencegahan Leptospirosis. Jawa


Tengah: Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Vektor dan Reservoir Penyakit Salatiga

Anda mungkin juga menyukai