Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH ZOONOSIS

JUDUL :
PENYAKIT LEPTOSPIROSIS

OLEH:
HERPRI A. BATUKH
(180701103)

PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS NUSA CENDANA
2020
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas
perkenanan-Nya penulis dapat menyelesaikan tugas makalah mata kuliah
Zoonosis dengan judul “Penyakit Leptospirosis”. Penulis mengucapkan limpah
terima kasih kepada dosen mata kuliah ini.
Penulis sangat berharap dengan adanya makalah ini dapat bermanfaat dan
memberikan edukasi kepada mahasiswa dan pembaca, namun dalam pembuatan
makalah ini tentu masih banyak kekurangan. Oleh karena itu, penulis
mengharapkan kritik dan saran dari pembaca guna memperbaiki makalah penulis
pada kesempatan lainnya.
Demikian yang dapat penulis sampaikan, semoga makalah ini dapat
bermanfaat untuk kita semua. Penulis yakin dalam pembuatan makalah ini masih
banyak kekurangan, saran dan kritik dari pembaca sangat dibutuhkan untuk
memperbaiki makalah ini.

Rote, 02 September 2020

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Leptospirosis merupakan penyakit zoonosis yang mempunyai dampak
besar terhadap kesehatan di dunia, khususnya di Negara beriklim subtropics dan
tropis. Namun lebih banyak terjadi di Negara beriklim tropis terlebih daerah
persawahan atau peternakan karena suhu lingkungan mendukung keberadaan
bakteri Leptospira.
Penyebab leptospirosis adalah bakteri Leptospira yang dapat menyerang
hewan dan manusia. Reservoir atau penyebab utama leptospirosis adalah tikus.
Penularan leptospirosis paling sering terjadi pada kondiai banjir yang
menyebabkan perubahan lingkungan seperti genangan air, timbunan sampah
sehingga bakteri leptospirosis mudah berkembang biak. Leptospirosis menjadi
suatu masalah di dunia karena angka kejadian yang tinggi, namun dilaporkan
rendah di beberapa Negara diakibatkan karena sulit dalam menentukan diagnosis
klinis dan tidak adanya alat untuk diagnosis.
Banyaknya kasus leptospirosis yang terjadi salah satunya diakibatkan oleh
sikap masyarakat yang kurang peduli terhadap penyakit tersebut. Selain itu,
masyarakat menganggap keberadaan tikus di rumah atau di lingkungan sekitar
mereka adalah hal yang wajar. Hal ini di sebabkan karena pengtahuan masyarakat
yang rendah mengenai penyakit leptospirosis.
Oleh karena itu, masyarakat perlu mendapatkan informasi yang benar
mengenai “Penyakit Leptospirosisí” agar pengetahuan yang ada dapat
menumbuhkan sikap yang tepat dalam mencegah tersebarnya penyakit
Leptospirosis.
B. Rumusan Masalah
1. Apa itu Laptospirosis dan penyebabnya ?
2. Apa saja gejala dan masa inkubasi Laptospirosis pada manusia dan
hewan?
3. Bagaimana pathofisiologi Laptospirosis pada manusia dan hewan ?
4. Bagaimana Diagnosis dan pemeriksaan Laptospirosis pada manusia dan
hewan ?
5. Apa sumber dan cara penularan Leptospirosis pada manusia dan hewan ?
6. Bagaimana pengobatan Leptospirosis pada manusia ?
7. Bagaimana pencegahan penyakit Program pemberantasan pada manusia
dan hewan ?
C. Tujuan, untuk mengetahui:
1. Pengertian dan penyebab Leptospirosis.
2. Gejala dan masa inkubasi Leptospirosis pada manusia dan hewan.
3. Patofisiologi Leptospirosis pada manusia dan hewan.
4. Diagnosis dan pemeriksaan Leptospirosis pada manusia dan hewan.
5. Sumber dan cara penularan Leptospirosis pada manusia dan hewan.
6. Pengobatan Leptospirosis pada manusia.
7. Pencegahan penyakit program pemberantas pada manusia dan hewan.
D. Manfaat
1. Bagi Instansi Kesehatan
Sebagai bahan masukan dan evaluasi dalam merencanakan pengendalian
penyakit Leptospirosis, program penyuluhan kesehatan serta evaluasi
program kesehatan terutama dalam mencegah Leptospirosis.
2. Bagi Instansi Pendidikan
Sebagai informasi tambahan yang dapat menambah pustaka penelitian
tentang penyakit Leptospirosis yang selanjutnya dapat dikembangkan.
3. Bagi Masyarakat
Sebagai informasi bagi masyarakat agar dapat meningkatkan pengetahuan
dan mempunyai sikap positif dalam mencegah penyakit Leptospirosis
sehingga mampu berperilaku untuk meningkatkan derajat kesehatan.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian dan Penyebab Leptospirosis
Leptospirosis adalah penyakit menular pada hewan dan manusia yang
disebabkan oleh Laptospira interrogans. Leptospirosis adalah penyakit yang
disebabkan oleh infeksi bakteri pathogen yang disebut Leptospira dan ditularkan
dari hewan kepada manusia (zoonosis).
Leptospirosis disebabkan oleh bakteri dari Genus Leptospira, Species Leptospira
interrogans. L.interrogans yang berbentuk spial berpilin . Suhu optimum untuk
perkembangbiakan antara 28℃-30℃.
B. Gejala dan Masa Inkubasi Leptospirosis pada Manusia dan Hewan
a. Gejala klinis pada manusia:
Gejala pada umumnya ditandai dengan nyeri kepala secara mendadak,
malaise, merasa kedinginan, nyeri otot, pada mata ditemukan episcleral injection,
dan leher terasa kaku. Kadang-kadang terjadi gangguan ginjal, muntah, batuk, dan
lemah. Demam mereda sekitar hari ke-9, namun seringkali kambuh. Bila semakin
parah dapat ditemukan nefritis, perdarahan petekhi dan purpurea. Masa inkubasi
Leptospirosis berkisar antara 2-26 hari, dengan rata-rata 10 hari. (Kusmiyati,
Noor, and Supar 2005)
Leptospirosis mempunyai dua fase penyakit yaitu:
1.: leptospira dapat dijumpai dalam darah. Gejala ditandai dengan nyeri kepala
daerah frontal, nyeri otot betis, paha, pinggang terutama saat ditekan. Gejala
ini diikuti hiperestesi kulit, demam tinggi, menggigil, mual, diare, bahkan
penurunan kesadaran. Pada sebagian penderita dapat ditemui fotofobia, rash,
urtikaria kulit, splenomegali, hepatomegali, dan limfadenopati. Gejala ini
terjadi saat hari ke 4-7. Jika pasien ditangani secara baik, suhu tubuh akan
kembali normal dan organ-organ yang terlibat akan membaik. Manifestasi
klinik akan berkurang bersamaan dengan berhentinya proliferasi organisme di
dalam darah. Fungsi organ-organ ini akan pulih 3-6 minggu setelah perawatan.
Pada keadaan sakit lebih berat, demam turun setelah hari ke-7 diikuti fase
bebas demam 1-3 hari, lalu demam kembali. Keadaan ini disebut sebagai fase
kedua atau fase imun.
2. Fase imun: berlangsung 4-30 hari, ditandai dengan peningkatan titer
antibodi, demam hingga 40°C disertai mengigil dan kelemahan umum. Pada
leher, perut, dan otot kaki dijumpai rasa nyeri. Perdarahan paling jelas saat
fase ikterik dimana dapat ditemukan purpura, petekie, epistaksis, dan
perdarahan gusi. Conjuntival injection dan conjungtival suffusion dengan
ikterus merupakan tanda patognomonik untuk leptospirosis. Meningitis,
gangguan hati dan ginjal akan mencapai puncaknya pada fase ini. Pada fase ini
juga terjadi leptospiuria yang dapat berlangsung 1 minggu sampai 1 bulan.
b. Gejala klinis pada hewan:
- Pada sapi ditandai dengan malaise, depresi, hilang nafsu makan,
kelemahan, konjuntivitis, anemia dan diare. Sedangkan pada sapi betina
yang bunting dapat menyebabkan abortus (keguguran), lahir-mati dan air
susu berwarna kuning serta menggumpal. Masa inkubasi berkisar antara 4-
7 hari, dengan rata-rata 10 hari.
- Pada babi ditandai dengan demam, anoreksia, kelemahan, konjuntivitis,
ikterus, hemoglobinuria, dan gangguan syaraf pusat (kejang-kejang).
Sedangkan pada babi bunting dapat mengakibatkan abortus, lahir-mati,
dan kematian neonatal. Masa inkubasi pada babi hampr sama dengan sapi.
C. Patofisiologi Leptospirosis
Leptospirosis masuk melalui luka di kulit atau menembus jaringan mukosa
seperti konjungtiva, nasofaring, dan vagina kemudian masuk ke dalam darah,
berkembang biak dan menyebar ke jaringan tubuh. Tubuh manusia akan
memberikan respon imunologik, baik secara seluler maupun humoral. Leptospira
berkembang biak terutama di ginjal serta akan bertahan dan disekresikan melalui
urine. Leptospirosis dapat bertahan di urine sekitar 8 hari setelah infeksi hingga
bertahun-tahun. Setelah fase leptospiremia (4-7 hari), leptospira hanya dijumpai
pada jaringan ginjal dan mata. Pada fase ini, leptospira melepaskan toksin yang
menyebabkan gangguan pada beberapa organ. Diathesis perdarahan umumnya
terbatas pada kulit dan mukosa, tetapi pada keadaan tertentu terjadi perarahan
saluran cerna atau organ vital yang dapat menyebabkan kematian.
Organ yang mengalami gangguan akibat toksin Leptospira ialah ginjal,
mata, hati, otot rangka, pembuluh darah, dan jantung. Bila leptospira masuk ke
dalam cairan serebrospinal (CSS) kemudian masuk selaput otak, dapat
menyebabkan meningitis yang merupakan komplikasi neurologik. Leptospira juga
ditemukan di antara sel-sel parenkim hati. Leptospira dapat menyebabkan
infiltrasi sel limfosit dan proliferasi sel Kupffer disertai kolestasis, yang
menyebabkan gejala ikterus. Kerusakan parenkim hati disebabkan karena
penurunan hepatic flow dan toksin yang dilepaskan oleh Leptospira. Leptospirosis
berat dapat menyebabkan pancreatitis akut, ditandai dengan peningkatan kadar
amilase dan lipase sertta nyeri perut.
D. Diagnosis Leptospirosis pada Manusia dan Hewan
a. Pada Manusia
Diagnosis pada manusia diagnosis dilakukan pada serum, plasma darah,
urin dan cairan serebrospinal. Diagnosis laboratorium leptospirosis pada manusia
didesain untuk mendeteksi Leptospira, antigen Leptospira atau asam nukleat
Leptospira pada cairan tubuh maupun jaringan.
Diagnosis kasus leptospirosis pada manusia dapat dilakukan pada saat
masa akut, transisi dari masa akut ke masa imun dan fase imun. Pada masa akut
diagnosis dilakukan dengan mengkultur bakteri Leptospira dari darah, urin dan
cairan serebrospinal; selain itu diagnosis dilakukan melalui PCR. Saat masa
transisi dari fase akut ke fase imun diagnosis dilakukan melalui uji ELISA IgM
dan dipstik. Pada saat fase imun diagnosis dilakukan melalui uji MAT, yang
merupakan standar penegakan diagnosis leptospirosis.
b. Pada Hewan
Diagnosis leptospirosis pada hewan dilakukan pada ginjal dan limpa.
Diagnosis laboratorium leptospirosis pada hewan didesain untuk mendeteksi
antibodi anti-leptospira. Adanya Leptospira di organ saluran genital, ginjal atau
urin yang memperlihatkan gejala klinis dapat digunakan untuk mendiagnosa
leptospirosis.
Mengisolasi Leptospira dengan cara membiakkan bakteri adalah metode
yang sangat sensitif, namun sering sulit dilakukan dan membutuhkan waktu yang
lama. Polymerase chain reaction (PCR) digunakan untuk mendeteksi keberadaan
leptospira di jaringan tubuh atau cairan tubuh. Metode biakan, PCR, dan
immunuofluorescence merupakan metode yang sensitif untuk mendeteksi
Leptospira serovar hardjo pada urin sapi.
Uji serologis di laboratorium digunakan untuk konfirmasi diagnosa
klinik, menentukan prevalensi kelompok dan melakukan studi epidemiologi.
Antibodi leptospira muncul beberapa hari setelah infeksi dan bertahan selama
beberapa minggu sampai beberapa bulan dan pada kasus tertentu sampai beberapa
tahun. Namun titer antibodi dapat turun hingga tidak terdeteksi, biasanya pada
hewan yang menderita leptospirosis kronik.
Ada dua uji serologis yang biasa digunakan yaitu Microscopic
Agglutination Test (MAT) dan Enzyme-Linked Immuno sorbentAssay (ELISA).
MAT merupakan uji serologis yang banyak digunakan. Pada MAT digunakan
antigen hidup dan diperlukan banyak serogrup sebagai antigen untuk hasil yang
optimum. Sensitivitas uji ini dapat lebih baik apabila menggunakan isolat lokal
daripada galur referens, tetapi galur referens sangat membantu dalam interpretasi
hasil antar laboratorium. Spesifisitas MAT sangat baik, karena tidak ada reaksi
silang dengan antibodi anti bakteri lain.
ELISA untuk mengukur IgG dan IgM Dengan ELISA, anti-leptospira IgM
dapat terdeteksi pada satu minggu setelah infeksi. Antibodi IgG dapat terdeteksi
mulai 2 minggu setelah infeksi dan bertahan sampai waktu yang lama. Anjing
penderita leptospirosis akut mempunyai titer antibodi IgM yang lebih tinggi
dibanding IgG.
E. Sumber dan Cara Penularan Leptospirosis pada Manusia dan Hewan
a. Pada Manusia
Sumber penularan pada manusia adalah urine hewan yang terinfeksi
leptospira. Cara penularannya Leptospira masuk ke dalam tubuh melalui kulit
yang terluka atau membran mukosa akibat dari kontak langsung maupun tidak
langsung dengan air atau tanah yang terkontaminasi bakteri Leptospira.
b. Pada Hewan
Sumber penularan pada hewan adalah urine dari hewan yang terinfeksi, air
atau tanah yang terkontaminasi dengan urine terinfeksi, jaringan dari hewan
terinfeksi, atau cairan tubuh hewan yang trifeksi leptospirosis.
Cara penularannya dapat terjadi secara kontak langsung maupun tidak langsung.
Kontak langsung yang terjadi adalah melalui inhalasi yaitu droplet urine terinfeksi
langsung masuk alveoli host lain. Sedangkan penularan secara tidak langsung
terjadi jika host terpapar dengan air atau tanah yang terkontaminasi dengan
leptospira .
F. Pengobatan Leptospira pada Manusia
Pengobatan leptospirosis tergantung pada tingkat keparahannya. Bagi
penderita leptospirosis ringan pengobatannya berupa tablet doksisiklin dengan
dosis 100 mg diminum dua kali sehari selama tujuh hari. Bagi penderita
leptospirosis sedang atau berat pengobatannya berupa penicillin G intravena
dengan dosis 1,5 MU setiap enam jam selama tujuh hari. Jika terjadi gagal ginjal
perlu dilakukan hemodialisa dan perlu dilakukan ventilasi pernafasan mekanis jika
terjadi perdarahan pada paru-paru. Bagi orang yang memiliki risiko tinggi terkena
leptospirosis, maka perlu diberikan doksisiklin oral sebagai profilaksis sebesar
200 mg per minggu selama terpapar risiko.(Widjajanti 2020).
G. Pencegahan Penyakit Program Pemberantas pada Manusia dan Hewan
A. Pencegahan dan pengendalian pada Manusia
Pemberian doksisiklin 200 mg/minggu dapat mencegah sekitar 95% pada
orang dewasa yang berisiko tinggi, pengontrolan lingkungan rumah dan
penggunaan alat pelindung diri terutama di daerah endemik. Pencegahan
dilakukan juga dengan menjaga kebersihan individu setelah beraktifitas di lokasi
yang berisiko terpapar leptospirosis, pendidikan kesehatan untuk menggunakan
alat pelindung diri bagi pekerja yang bekerja di lingkungan yang berisiko
leptospirosis, menjaga kebersihan kandang hewan peliharaan, membersihkan
habitat sarang tikus, pemberantas hewan pengerat dan pemberian kaporit atau
sodium hipoklorit pada air tampungan yang akan digunakan. (Widjajanti 2020).
Untuk mengurangi risiko terjadinya leptospirosis dapat dilakukan dengan
memperbaiki kondisi lingkungan yang buruk dan meningkatkan perilaku hidup
bersih dan sehat.
B. Pencegahan dan Pengendalian pada Hewan
Pada sapi biasanya digunakan vaksin hardjo-pomona. Vaksinasi pertama
pada saat padet berumur 4-6 bulan kemudian diikuti dengan vaksinasi ulang setiap
tahun. Pada babi biasanya digunakan vaksin Pomona-tarassovi. Vaksinasi
diberikan pada anak babi umur 3 bulan dan bab bunting. Babi bibit harus
divaksinasi setiap 6 bulan.
Untuk mencegah penyebaran infeksi dilakukan (Mulyani et al. 2016):
- Setelah diketahui terjadi letupan leptospirosis pada peternakan sapi, maka
catat suhu harian semua sapi pada peternakan tersebut, karantina sapi-sapi
dengan suhu 39.5℃ dan diobati dengan dihidrostreplomisin.
- Dekontaminasi atau musnahkan semua ekskreta, fetus abortus, dan
memban fetus.
- Dijaga agar air minum sapi tidak terkontaminasi dengan urin hewan yang
terinfeksi leptospirosis.
- Daerah-daerah berlumpur dieliminasi.
- Diusahakan agar kerumunan sapi ketika minum, makan, dan di kandang
tidak terlalu padat.
- Periksa secara srologis serum semua hewan pada saat leptospirosis terjadi
dan di ulangi sebulan kemudian, dan karantinakan hewan hewan yang
menunjukan kenaikan titer antibody antileptospira.
- Jangan memasukkan hewan baru ke dalam peternakan paling sedikit
selama 6 bulan, dan dijaga agar hewan yang tidak terinfeksi terisolasi dari
kelompok hewan terinfeksi selama 6-9 bulan setelah kasus leptospirosis
berakhir.
- Minimalkan atau cegah terjadinya kontak dengan jenis ternak lain tikus
dan hewan liar lainnya..
- Jika di gunakan inseminasi buatan, maka gunakan semen dari pejantan
yang bebas leptospirosis.
- Pemisahan antara hewan bunting dan tidak bunting.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Leptospirosis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi bakteri
pathogen yang disebut Leptospira dan ditularkan dari hewan kepada manusia
(zoonosis). Penyebab leptospirosis adalah bakteri Leptospira yang dapat
menyerang hewan dan manusia. Gejala pada manusia umumnya ditandai dengan
nyeri kepala secara mendadak, malaise, merasa kedinginan, nyeri otot, pada mata
ditemukan episcleral injection, dan leher terasa kaku. Kadang-kadang terjadi
gangguan ginjal, muntah, batuk, dan lemah. Masa inkubasi Leptospirosis berkisar
antara 2-26 hari, dengan rata-rata 10 hari. Sedangkan pada hewan seperti sapi.
ditandai dengan malaise, depresi, hilang nafsu makan, kelemahan, konjuntivitis,
anemia dan diare. Sedangkan pada sapi betina yang bunting dapat menyebabkan
abortus (keguguran), lahir-mati dan air susu berwarna kuning serta menggumpal.
Masa inkubasi berkisar antara 4-7 hari, dengan rata-rata 10 hari.
Pencegahan dilakukan juga dengan menjaga kebersihan individu setelah
beraktifitas di lokasi yang berisiko terpapar leptospirosis, pendidikan kesehatan
untuk menggunakan alat pelindung diri bagi pekerja yang bekerja di lingkungan
yang berisiko leptospirosis, menjaga kebersihan kandang hewan peliharaan,
membersihkan habitat sarang tikus, pemberantas hewan pengerat dan pemberian
kaporit atau sodium hipoklorit pada air tampungan yang akan digunakan.
Sedangkan pada hewan: setelah diketahui terjadi letupan leptospirosis pada
peternakan sapi, maka catat suhu harian semua sapi pada peternakan tersebut,
karantina sapi-sapi dengan suhu 39.5℃ dan diobati dengan dihidrostreplomisin;
dekontaminasi atau musnahkan semua ekskreta, fetus abortus, dan memban fetus;
dijaga agar air minum sapi tidak terkontaminasi dengan urin hewan yang
terinfeksi leptospirosis; daerah-daerah berlumpur dieliminasi; diusahakan agar
kerumunan sapi ketika minum, makan, dan di kandang tidak terlalu padat; periksa
secara srologis serum semua hewan pada saat leptospirosis terjadi dan di ulangi
sebulan kemudian, dan karantinakan hewan hewan yang menunjukan kenaikan
titer antibody antileptospira; jangan memasukkan hewan baru ke dalam
peternakan paling sedikit selama 6 bulan, dan dijaga agar hewan yang tidak
terinfeksi terisolasi dari kelompok hewan terinfeksi selama 6-9 bulan setelah
kasus leptospirosis berakhir; minimalkan atau cegah terjadinya kontak dengan
jenis ternak lain tikus dan hewan liar lainnya; jika di gunakan inseminasi buatan,
maka gunakan semen dari pejantan yang bebas leptospirosis; pemisahan antara
hewan bunting dan tidak bunting.
B. Saran
Dengan adanya makalah ini, penulis menyarankan:
a. Peyuluhan dan penyebarluasan informasi tentang penyakit Leptospirosis
sehingga masyarakat dapat mengetahuai dan dapat segera mengubungi
sarana kesehatan apabila di temukan gejala pnyakit tersebut.
b. Para klinis diharapkan dapat memberikan perhatian pada penyakit
Leptospirosis terutama di daerah-daerahyang sering terjadi banjir.
c. Masyarakat terutama di daerah persawahan, atau pada saat banjir untuk
menerapkan prosedur kesehatan untuk pencegahan Leptosppirosis.
DAFTAR PUSTAKA
Kusmiyati, Susan M Noor, and Supar. 2005. “Animal and Human Leptospirosis in
Indonesia.” Wartazoa 15(4): 213–19.
Mulyani, Guntari Titik et al. 2016. “The Study of Bovine Leptospirosis in Progo
Watershed, Yogyakarta.” Jurnal Kedokteran Hewan - Indonesian Journal of
Veterinary Sciences 10(1).
Widjajanti, Wening. 2020. “Epidemiologi, Diagnosis, Dan Pencegahan
Leptospirosis.” Journal of Health Epidemiology and Communicable
Diseases 5(2): 62–68.

Anda mungkin juga menyukai