Dosen Pengampu :
Ns. Pira Prahmawati, S.Kep, M.Kes
Alhamdulillah, puji dan syukur senantiasa Kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang
telah melimpahkan rahmat serta hidayah-Nya sehingga penyusun mendapatkan kemudahan
dalam menyelesaikan tugas Asuhan Keperawatan Leptospirosis ini tepat pada waktunya.
Kami sangat menyadari keterbatasan dan ilmu pengetahuan yang ada, sehingga hasil
tugas ini perlu adanya pengkajian dan pengembangan lagi. Maka kami harapkan kritik dan
sarannya.
Kami berharap semoga tugas ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan menambah
wawasan.
Penyusun
ii
DAFTAR ISI
COVER................................................................................................ i
KATA PENGANTAR........................................................................ ii
DAFTAR ISI....................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang............................................................................... 1
B. Tujuan............................................................................................ 1
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Leptospirosis................................................................ 2
B. Etiologi Leptospirosis.................................................................... 2
C. Patofisiologi Leptospirosis............................................................ 3
D. Manisfestasi Klinis........................................................................ 6
E. Komplikasi..................................................................................... 6
F. Pemeriksaan Penunjang................................................................. 6
G. Konsep Asuhan Keperawatan........................................................ 7
DAFTAR PUSTAKA
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Leptospirosis adalah penyakit infeksi akut yang dapa menyerang manusia maupun hewan
yang disebabkan kuman patogen dan digolongkan sebagai zoonosis. Penyakit ini masih
menjadi masalah kesehatan masyarakat, terutama di daerah beriklim tropis dan subtropis,
dengan curah hujan tinggi (kelembaban), khususnya di negara berkembang dimana kesehatan
lingkungannya kurang diperhatikan terutama, pembuangan sampah. International
Leptospirosis Society menyatakan Indonesia tsebagai negara insiden leptospirosis tinggi dan
peringkat tiga di dunia untuk mortalitas.
Angka kematian akibat leptospirosis tergolong tinggi, mencapai 5-40%. Infeksi ringan
jarang terjadi fatal dan diperkirakan 90% termasuk dalam kategori ini. Anak balita, orang
lanjut usia dan penderita “immunocompromised” mem[unyai resiko tinggi kematian.
Penderita berusia diatas 50 tahun beresiko lebih besar bisa mencapai 56%. Pada penderita
yang sudah mengalami kerusakan hati yang ditandai selaput mata berwarna kuning, resiko
kematian lebih tinggi.
B. Tujuan
1. Untuk mengetahui Leptospirosis
2. Untuk mengetahui etiologi Leptospirosis
3. Untuk mengetahui patofisiologi Leptospirosis
4. Untuk mengetahui manisfestasi klinis Leptospirosis
5. Untuk mengetahui komplikasi Leptospirosis
6. Untuk mengetahui pemeriksaan penunjang Leptospirosis
7. Untuk mengetahui dan memahami konsep asuhan keperawatan Leptospirosis
1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Leptospirosis
Leptospirosis adalah penyakit akibat bakteri Leptospira sp. yang dapat ditularkan dari
hewan ke manusia atau sebaliknya (zoonosis). Leptospirosis juga dikenal dengan nama
Penyakit Weil, Demam Icterohemorrhage, Penyakit Swineherd’s, Demam Pesawah
(Ricefield fever), Demam Pemotong Tebu (cane-cutter fever), Demam Lumpur, Jaundis
berdarah, Penyakit Stuttgart, Demam Canicolla, Penyakit kuning non-virus, penyakit air
merah pada anak sapi, dan tifus anjing.
Leptospirosis adalah penyakit hewan yang dapat menjangkiti manusia, termasuk penyakit
zoonosis yang paling sering di dunia. Leptospirosis juga dikenal dengan
nama flood fever atau demam banjir karena memang muncul karena banjir.
Menurut NSW Multicultural Health Communication Service (2003), Leptospirosis adalah
penyakit manusia dan hewan dari kuman dan disebabkan kuman Leptospira yang ditemukan
dalam air seni dan sel-sel hewan yang terkena.
B. Etiologi Leptospirosis
Leptospirosis disebabkan bakteri pathogen berbentuk spiralgenus Leptospira
family leptospiraceae dan ordo spirochaetales. Spiroseta berbentuk bergulung-gulung tipis,
motil, obligat, dan berkembang pelan anaerob. Genus Leptospira terdiri dari 2 spesies yaitu L
interrogans yang pathogen dan L biflexa bersifat saprofitik (Judarwanto, 2009).
1. Patogen L Interrogans
Terdapat pada hewan dan manusia. Mempunyai sub group yang masing-masing terbagi lagi
atas berbagai serotip yang banyak, diantaranya; L. javanica, L. cellodonie, L. australlis, L.
Panama dan lain-lain.
2. Non Patogen L. Biflexa
Menurut beberapa penelitian, yang paling tersering menginfeksi manusia adalah: L.
icterohaemorrhagiae dengan resorvoir tikus, L. canicola dengan resorvoir anjing,
L.pomona dengan reservoir sapi dan babi.
2
Leptospira dapat menginfeksi sekurangnya 160 spesies mamalia di antaranya tikus, babi,
anjing, kucing, rakun, lembu, dan mamalia lainnya. Hewan peliharaan yang paling berisiko
adalah kambing dan sapi. Resevoar utamanya di seluruh dunia adalah binatang pengerat dan
tikus.
C. Patofisiologi Leptospirosis
Kuman leptospira masuk ke dalam tubuh penjamu melalui luka iris/luka abrasi pada kulit,
konjungtiva atau mukosa utuh yang melapisi mulut, faring, osofagus, bronkus, alveolus dan
dapat masuk melalui inhalasi droplet infeksius dan minum air yang terkontaminasi. Meski
jarang ditemukan, leptospirosis pernah dilaporkan penetrasi kuman leptospira melalui kulit
utuh yang lama terendam air, saat banjir. Infeksi melalui selaput lendir lambung jarang
terjadi, karena ada asam lambung yang mematikan kuman leptospira. Kuman leptospira yang
tidak virulen gagal bermultiplikasi dan dimusnahkan oleh sistem kekebalan dari aliran darah
setelah 1 atau 2 hari infeksi. Organisme virulen mengalami mengalami multiplikasi di darah
dan jaringan, dan kuman leptospira dapat diisolasi dari darah dan cairan serebrospinal pada
hari ke 4 sampai 10 perjalanan penyakit.
Kuman leptospira merusak dinding pembuluh darah kecil; sehingga menimbulkan
vaskulitis disertai kebocoran dan ekstravasasi sel. Patogenitas kuman leptospira yang paling
penting adalah perlekatannya pada permukaan sel dan toksisitas selluler. Lipopolysaccharide
(LPS) pada kuman leptospira mempunyai aktivitas endotoksin yang berbeda dengan
endotoksin bakteri gram negatif, dan aktivitas lainnya yaitu stimulasi perlekatan netrofil pada
sel endotel dan trombosit, sehingga terjadi agregasi trombosit disertai trombositopenia.
Kuman leptospira mempunyai fosfolipase yaitu hemolisin yang mengakibatkan lisisnya
eritrosit dan membran sel lain yang mengandung fosfolipid.
3
Beberapa strain serovar Pomona dan Copenhageni mengeluarkan protein sitotoksin. In
vivo, toksin in mengakibatkan perubahan histopatologik berupa infiltrasi makrofag dan sel
polimorfonuklear. Organ utama yang terinfeksi kuman leptospira adalah ginjal dan hati. Di
dalam ginjal kuman leptospira bermigrasi ke interstisium, tubulus ginjal, dan lumen tubulus.
Pada leptospirosis berat, vaskulitis akan menghambat sirkulasi mikro dan meningkatkan
permeabilitas kapiler, sehingga menyebabkan kebocoran cairan dan hipovolemia. Ikterik
disebabkan oleh kerusakan sel-sel hati yang ringan, pelepasan bilirubin darah dari jaringan
yang mengalami hemolisis intravaskular, kolestasis intrahepatik sampai berkurangnya sekresi
bilirubin.
Conjungtival suffusion khususnya perikorneal; terjadi karena dilatasi pembuluh darah,
kelainan ini sering dijumpai pada patognomonik pada stadium dini. Komplikasi lain berupa
uveitis, iritis dan iridosiklitis yang sering disertai kekeruhan vitreus dan lentikular.
Keberadaan kuman leptospira di aqueous humor kadang menimbulkan uveitis kronik
berulang.
Kuman leptospira difagosit oleh sel-sel sistem retikuloendotelial serta mekanisme
pertahanan tubuh. Jumlah organisme semakin berkurang dengan meningkatnya kadar
antibodi spesifik dalam darah. Kuman leptospira akan dieleminasi dari semua organ kecuali
mata, tubulus proksimal ginjal, dan mungkin otak dimana kuman leptospira dapat menetap
selama beberapa minggu atau bulan.
4
5
D. Manisfestasi Klinis
1. Fase awal dikenal sebagai fase septisemik atau fase leptospiremik karena bakteri dapat
diisolasi dari darah, cairan serebrospinal dan sebagian besar jaringan tubuh. Fase awal
6
sekitar 4-7 hari, ditandai gejala nonspesifik seperti flu dengan beberapa variasinya.
Manifestasi klinisnya demam, menggigil, lemah dan nyeri terutama tulang rusuk, punggung
dan perut. Gejala lain adalah sakit tenggorokan, batuk, nyeri dada, muntah darah, ruam,
nyeri kepala frontal, fotofobia, gangguan mental, dan meningitis. Pemeriksaan fisik sering
mendapatkan demam sekitar 400C disertai takikardi. Subconjunctival suffusion, injeksi
faring, splenomegali, hepatomegali, ikterus ringan,mild jaundice, kelemahan otot,
limfadenopati dan manifestasi kulit berbentuk makular, makulopapular, eritematus, urticari,
atau rash juga didapatkan pada fase awal penyakit.
2. Fase kedua sering disebut fase imun atau leptospirurik karena sirkulasi antibody dapat
dideteksi dengan isolasi kuman dari urine, mungkin tidak dapat didapatkan lagi dari darah
atau cairan serebrospinalis. Fase ini terjadi pada 0-30 hari akibat respon pertahanan tubuh
terhadap infeksi. Gejala tergantung organ tubuh yang terganggu seperti selaput otak, hati,
mata atau ginjal. Gejala nonspesifik seperti demam dan nyeri otot mungkin lebih ringan
dibandingkan fase awal selama 3 hari sampai beberapa minggu. Sekitar 77% penderita
mengalami nyeri kepala terus menerus yang tidak responsif dengan analgesik. Gejala ini
sering dikaitkan dengan gejala awal meningitis selain delirium. Pada fase yang lebih berat
didapatkan gangguan mental berkepanjangan termasuk depresi, kecemasan, psikosis dan
demensia.
E. Komplikasi
Pada leptospira, komplikasi yang sering terjadi adalah iridosiklitis, gagal ginjal, miokarditis,
meningitis aseptik dan hepatitis. Perdarahan masif jarang ditemui dan bila terjadi selalu
menyebabkan kematian.
F. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium digunakan untuk konfirmasi diagnosis dan mengetahui
gangguan organ tubuh dan komplikasi yang terjadi.
1. Urine yang paling baik diperiksa karena kuman leptospira terdapat dalam urine sejak awal
penyakit dan akan menetap hingga minggu ke tiga. Cairan tubuh lainnya yang mengandung
leptospira adalah darah, cerebrospinal fluid (CSF) tetapi rentang peluang untuk isolasi
kuman sangat pendek Isolasi kuman leptospira dari jaringan lunak atau cairan tubuh
penderita adalah standar kriteria baku. Jaringan hati, otot, kulit dan mata adalah sumber
identifikasi kuman tetapi isolasi leptospira lebih sulit dan membutuhkan beberapa bulan.
2. Spesimen serum akut dan serum konvalesen dapat digunakan untuk konfirmasi diagnosis
tetapi lambat karena serum akut diambil 1-2 minggu setelah timbul gejala awal dan serum
konvalesen diambil 2 minggu setelah itu. Antibodi antileptospira diperiksa menggunakan
microscopic agglutination test (MAT).
3. Titer MAT tunggal 1:800 pada sera atau identifikasi spiroseta pada mikroskopi lapang
gelap dikaitkan dengan manifestasi klinis yang khas akan cukup bermakna.
7
4. Pemeriksaan complete blood count (CBC) sangat penting. Penurunan hemoglobin dapat
terjadi pada perdarahan paru dan gastrointestinal. Hitung trombosit untuk mengetahui
komponen DIC. Blood urea nitrogen dan kreatinin serum dapat meningkat pada anuri atau
oliguri tubulointerstitial nefritis pada penyakit Weil.
5. Peningkatan bilirubin serum dapat terjadi pada obstruksi kapiler di hati. Peningkatan
transaminase jarang dan kurang bermakna, biasanya <200 U/L. Waktu koagulasi akan
meningkat pada disfungsi hati atau DIC. Serum creatine kinase (MM fraction) sering
meningkat pada gangguan muskular.
6. Analisis CSF bermanfaat hanya untuk eksklusi meningitis bakteri. Leptospires dapat
diisolasi secara rutin dari CSF, tetapi penemuan ini tidak mengubah tatalaksana penyakit.
7. Pemeriksaan pencitraan foto polos paru dapat menunjukkan air space bilateral. Juga dapat
menunjukkan kardiomegali dan edema paru pada miokarditis. Perdarahan alveolar
dan patchy multiple infiltrate dapat ditemukan. Ultrasonografi traktus bilier dapat
menunjukkan kolesistitis akalkulus.
8. Perwarnaan silver staining dan immuno fluorescene dapat mengidentifikasi leptospira di
hati, limpa, ginjal, CNS dan otot. Selama fase akut pemeriksaan histology menunjukkan
organisma tanpa banyak infiltrate inflamasi.
1. Pengkajian
a. Identitas
Keadaan umum klien seperti umur dan imunisasi., laki dan perempuan tingkat
kejadiannya sama.
b. Keluhan utama
Timbul gejala demam yang disertai sakit kepala, mialgia dan nyeri tekan (frontal) mata
merah, fotofobia, keluahan gastrointestinal. Demam disertai mual, muntah, diare, batuk,
sakit dada, hemoptosis, penurunan kesadaran dan injeksi konjunctiva. Demam ini
berlangsung 1-3 hari.
c. Riwayat keperawatan
1) Imunisasi, riwayat imunisasi perlu untuk peningkatan daya tahan tubuh
2) Riwayat penyakit, influenza, hapatitis, bruselosis, pneuma atipik, DBD, penyakit
susunan saraf akut, fever of unknown origin.
3) Riwayat pekerjaan klien apakah termasuk kelompok orang resiko tinggi seperti
bepergian di hutan belantara, rawa, sungai atau petani.
4) Pemeriksaan dan observasi
d. Pemeriksaan fisik
Keadaan umum, penurunan kesadaran, lemah, aktvivitas menurun
Review of sistem :
8
1) Sistem pernafasan
Epitaksis, penumonitis hemoragik di paru, batuk, sakit dada
2) Sistem cardiovaskuler
Perdarahan, anemia, demam, bradikardia.
3) Sistem persyrafan
Penuruanan kesadaran, sakit kepala terutama dibagian frontal, mata merah,
fotofobia, injeksi konjunctiva, iridosiklitis
4) Sistem perkemihan
Oligoria, azometmia, perdarahan adernal
5) Sistem pencernaan
Hepatomegali, splenomegali, hemoptosis, melenana
6) Sistem muskoloskletal
Kulit dengan ruam berbentuk makular/makulopapular/urtikaria yang teresebar pada
badan. Pretibial.
e. Laboratorium
1) Leukositosis normal, sedikit menurun,
2) Neurtrofilia dan laju endap darah (LED) yang meninggiu
3) Proteinuria, leukositoria
4) Sedimen sel torak
5) BUN, ureum dan kreatinin meningkat
6) SGOT meninggi tetapi tidak melebihi 5 x normal
7) Bilirubin meninggi samapai 40 %
8) Trombositopenia
9) Hiporptrombinemia
10) Leukosit dalam cairan serebrospinal 10-100/mm3
11) Glukosa dalam CSS Normal atau menurun
2. Diagnosa Keperawatan
9
N Tujuan dan Criteria Hasil
Diagnosa Keperawatan Intervensi (NIC)
o (NOC)
10
panas
§ Diskusikan tentang
pentingnya pengaturan suhu
dan kemungkinan efek
negatif dari kedinginan
§ Beritahukan tentang indikasi
terjadinya keletihan dan
penanganan emergency
yang diperlukan
§ Ajarkan indikasi dari
hipotermi dan penanganan
yang diperlukan
§ Berikan anti piretik jika
perlu
11
§ Kurangi faktor presipitasi
nyeri
§ Pilih dan lakukan
penanganan nyeri
(farmakologi, non
farmakologi dan inter
personal)
§ Kaji tipe dan sumber nyeri
untuk menentukan
intervensi
§ Ajarkan tentang teknik non
farmakologi
§ Berikan analgetik untuk
mengurangi nyeri
§ Evaluasi keefektifan kontrol
nyeri
§ Tingkatkan istirahat
§ Kolaborasikan dengan dokter
jika ada keluhan dan
tindakan nyeri tidak
berhasil
§ Monitor penerimaan pasien
tentang manajemen nyeri
Analgesic Administration
§ Tentukan lokasi,
karakteristik, kualitas, dan
derajat nyeri sebelum
pemberian obat
§ Cek instruksi dokter tentang
jenis obat, dosis, dan
frekuensi
§ Cek riwayat alergi
§ Pilih analgesik yang
diperlukan atau kombinasi
dari analgesik ketika
pemberian lebih dari satu
§ Tentukan pilihan analgesik
tergantung tipe dan
beratnya nyeri
§ Tentukan analgesik pilihan,
rute pemberian, dan dosis
optimal
§ Pilih rute pemberian secara
IV, IM untuk pengobatan
nyeri secara teratur
§ Monitor vital sign sebelum
12
dan sesudah pemberian
analgesik pertama kali
§ Berikan analgesik tepat
waktu terutama saat nyeri
hebat
§ Evaluasi efektivitas
analgesik, tanda dan gejala
(efek samping)
13
dilakukan
§ Monitor interaksi anak atau
orangtua selama makan
§ Monitor lingkungan selama
makan
§ Jadwalkan pengobatan dan
tindakan tidak selama jam
makan
§ Monitor kulit kering dan
perubahan pigmentasi
§ Monitor turgor kulit
§ Monitor kekeringan, rambut
kusam, dan mudah patah
§ Monitor mual dan muntah
§ Monitor kadar albumin, total
protein, Hb, dan kadar Ht
§ Monitor makanan kesukaan
§ Monitor pertumbuhan dan
perkembangan
§ Monitor pucat, kemerahan,
dan kekeringan jaringan
konjungtiva
§ Monitor kalori dan intake
nuntrisi
§ Catat adanya edema,
hiperemik, hipertonik
papila lidah dan cavitas
oral.
§ Catat jika lidah berwarna
magenta, scarlet
14
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Leptospirosis adalah penyakit akibat bakteri Leptospira sp. yang dapat ditularkan dari
hewan ke manusia atau sebaliknya (zoonosis). Leptospirosis juga dikenal dengan nama
Penyakit Weil, Demam Icterohemorrhage, Penyakit Swineherd’s, Demam Pesawah
(Ricefield fever), Demam Pemotong Tebu (cane-cutter fever), Demam Lumpur, Jaundis
berdarah, Penyakit Stuttgart, Demam Canicolla, Penyakit kuning non-virus, penyakit air
merah pada anak sapi, dan tifus anjing.
Leptospirosis disebabkan bakteri pathogen berbentuk spiralgenus Leptospira
family leptospiraceae dan ordo spirochaetales.
Fase awal sekitar 4-7 hari, ditandai gejala nonspesifik seperti flu dengan beberapa
variasinya. Manifestasi klinisnya demam, menggigil, lemah dan nyeri terutama tulang rusuk,
punggung dan perut. Fase kedua terjadi pada 0-30 hari akibat respon pertahanan tubuh
terhadap infeksi. Gejala tergantung organ tubuh yang terganggu seperti selaput otak, hati,
mata atau ginjal. Gejala nonspesifik seperti demam dan nyeri otot mungkin lebih ringan
dibandingkan fase awal selama 3 hari sampai beberapa minggu.
B. Saran
Kelompok sadar bahwa pembuatan makalah ini masih jauh dari sempurna
sehingga kelompok berharap agar makalah ini menjadi motivasi bagi teman-teman untuk
membuat makalah yang lebih baik sehingga menambah wawasan bagi semua.
15
DAFTAR PUSTAKA
https://www.academia.edu/28571028/ASUHAN_KEPERAWATAN_LEPTOSPIROSIS
https://id.scribd.com/doc/91710521/Makalah-Leptospirosis#
https://id.scribd.com/doc/59449392/Askep-leptospirosis-AmRiE
16