OLEH ; Kelompok 2
1.lilis Meyrinda
Faisal Fahri
Juwanda
Resta Agustin
Rizal Apriansyah
S1 KESEHATAN MASYARAKAT
STIKES AL-MA’ARIF BATURAJA
TAHUN AJARAN 2023/2024
ii
KATA PENGANTAR
Dengan mengucapkan puji syukur atas kehadirat Allah SWT karena atas
rahmat, hidayah, kesehatan dan kesempatan-Nya sehingga referat dengan judul
“Leptospirosis” ini dapat terselesaikan. Salam dan shalawat senantiasa tercurah
kepada baginda Rasulullah SAW, sang pembelajar sejati yang memberikan
pedoman hidup yang sesungguhnya.
Pada kesempatan ini, secara khusus penulis mengucapkan terima kasih dan
penghargaan yang setinggi-tingginya kepada dosen pembimbing dr.Hushaemah
Syam, Sp.A yang telah memberikan petunjuk, arahan dan nasehat yang sangat
berharga dalam penyusunan sampai dengan selesainya referat ini.
Penulis menyadari sepenuhnya masih banyak terdapat kelemahan dan
kekurangan dalam penyusunan referat ini, baik dari isi maupun penulisannya.
Untuk itu kritik dan saran dari semua pihak senantiasa penulis harapkan demi
penyempurnaan referat ini.
Demikian, semoga referat ini bermanfaat bagi pembaca secara umum dan
penulis secara khususnya.
Penulis
iii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR........................................................................................ii
DAFTAR ISI.......................................................................................................iii
Pencegahan ......................................................................................................... 19
iv
v
BAB 1
PENDAHULUAN
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI LEPTOSPIROSIS
Leptospirosis adalah suatu penyakit zoonosis yang disebabkan oleh
patogen spirochaeta, genus Leptospira. Spirochaeta ini pertama kali diisolasi
di Jepang oleh Inada setelah sebelumnya digambarkan oleh Adolf Weil tahun
1886. Weil menemukan bahwa penyakit ini menyerang manusia dengan
gejala demam, ikterus, pembesaran hati dan limpa, serta kerusakan ginjal.2
Leptospirosis adalah penyakit infeksi yang dapat menyerang manusia dan
binatang. Penyakit menular ini adalah penyakit hewan yang dapat
menjangkiti manusia. Termasuk penyakit zoonosis yang paling sering terjadi
di dunia. Leptospirosis juga dikenal dengan nama flood fever atau demam
banjir karena memang muncul dikarenakan banjir.3,6
Dibeberapa negara leptospirosis dikenal dengan nama demam
icterohemorrhagic, demam lumpur, penyakit swinherd, demam rawa,
penyakit weil, demam canicola (PDPERSI Jakarta, 2007). Leptospirosis
adalah penyakit infeksi yang disebabkan kuman leptospira patogen (Saroso,
2003).3,6
Leptospirosis adalah suatu penyakit zoonosis yang disebabkan oleh
mikroorganisme berbentuk spiral dan bergerak aktif yang dinamakan
Leptospira. Penyakit ini dikenal dengan berbagai nama seperti Mud fever,
Slime fever (Shlamnfieber), Swam fever, Autumnal fever, Infectious jaundice,
Field fever, Cane cutter dan lain-lain (WHO, 2003). 3,6
Leptospirosis atau penyakit kuning adalah penyakit penting pada manusia,
tikus, anjing, babi dan sapi. Penyakit ini disebabkan oleh spirochaeta
leptospira icterohaemorrhagiae yang hidup pada ginjal dan urine tikus
(Swastiko, 2009).3,6
Leptospirosis merupakan istilah untuk penyakit yang disebabkan oleh
semua leptospira tanpa memandang serotipe tertentu. Hubungan gejala klinis
3
dengan infeksi oleh serotipe yang berbeda membawa pada kesimpulan bahwa
suatu serotipe leptospira bertanggung jawab terhadap berbagai macam
gambaran klinis, sebaliknya suatu gejala seperti meningitis aseptik dapat
disebabkan oleh berbagai serotipe. Oleh karena itu lebih disukai untuk
menggunakkan istilah umum leptospirosis dibanding Weil’s Disease dan
demam kanikola.3
B. ETIOLOGI LEPTOSPIROSIS
Leptospira yang termasuk dalam ordo Spirochaeta, dapat menyebabkan
penyakit infeksius yang disebut leptospirosis. Leptospira merupakan
organisme fleksibel, tipis, berlilit padat, dengan panjang 5-15 μm, disertai
spiral halus yang lebarnya 0,1-0,2 μm. Salah satu ujung bakteri ini seringkali
bengkok dan membentuk kait.2,4,6
Leptospira memiliki ciri umum yang membedakannya dengan bakteri
lainnya. Sel bakteri ini dibungkus oleh membran luar yang terdiri dari 3-5
lapis. Di bawah membran luar, terdapat lapisan peptidoglikan yang fleksibel
dan helikal, serta membran sitoplasma. Ciri khas Spirochaeta ini adalah
lokasi flagelnya, yang terletak diantara membran luar dan lapisan
peptidoglikan. Flagela ini disebut flagela periplasmik. Leptospira memiliki
dua flagel periplasmik, masing-masing berpangkal pada setiap ujung sel.
Kuman ini bergerak aktif, paling baik dilihat dengan menggunakan
mikroskop lapangan gelap.2,4,6
4
Gambar 2. Bakteri Leptospira sp. menggunakan mikroskop elektron tipe
scanning
5
C. EPIDEMIOLOGI LEPTOSPIROSIS
Dalam tubuh tikus, leptospira akan menetap dan membentuk koloni serta
berkembang biak di dalam epitel tubulus ginjal tikus dan secara terus menerus
ikut mengalir dalam filtrat urin. Penyakit ini bersifat musiman, di daerah
beriklim sedang, masa puncak insiden dijumpai pada musim panas dan musim
gugur karena temperatur adalah faktor yang mempengaruhi kelangsungan
hidup leptospira, sedangkan di daerah tropis insiden tertinggi terjadi selama
musim hujan.3,6
6
D. PENULARAN LEPTOSPIROSIS
7
sekitar rumah (OR=10,34; p:0,004), kebiasaan tidak memakai alas kaki
(OR=24,04; p:0,001), kebiasaan mandi/cuci di sungai (OR=12,24; p:0,001),
tidak ada penyuluhan tentang leptospirosis (OR=4,94; p:0,022).7
8
gejala yang minimal, sementara pada kasus yang berat (severe case)
ditemukan manifestasi terhadap gangguan meningeal dan hepatorenal
yang dominan. Pada manifestasi meningeal akan timbul gejala
meningitis yang ditandai dengan sakit kepala, fotofobia, dan kaku
kuduk. Keterlibatan sistem saraf pusat pada leptospirosis sebagian
besar timbul sebagai meningitis aseptik. Pada fase ini dapat terjadi
berbagai komplikasi, antara lain neuritis optikus, uveitis, iridosiklitis,
dan neuropati perifer.10 Pada kasus yang berat, perubahan fase
pertama ke fase kedua mungkin tidak terlihat, akan tetapi timbul
demam tinggi segera disertai jaundice dan perdarahan pada kulit,
membrana mukosa, bahkan paru. Selain itu ini sering juga dijumpai
adanya hepatomegali, purpura, dan ekimosis. Gagal ginjal, oliguria,
syok, dan miokarditis juga bisa terjadi dan berhubungan dengan
mortalitas penderita.8,9
9
Menurut berat ringannya, leptospirosis dibagi menjadi ringan (nonikterik)
dan berat (ikterik). Ikterik merupakan indikator utama dari leptospirosis
berat.8,9
Pemeriksaan fisik yang khas adalah conjunctival suffusion dan nyeri tekan
di daerah betis. Gambaran klinik terpenting leptospirosis non-nikterik adalah
meningitis aseptik yang tidak spesifik sehingga sering terlewatkan
diagnosisnya. Sebanyak 80-90% penderita leptospirosis anikterik akan
mengalami pleositosis pada cairan serebrospinal selama minggu ke-2 penyakit
dan 50% diantaranya akan menunjukkan tanda klinis meningitis. Karena
penderita memperlihatkan penyakit yang bersifat bifasik atau memberikan
riwayat paparan dengan hewan, meningitis tersebut kadang salah didiagnosis
sebagai kelainan akibat virus.8,9
10
leptospirosis anikterik harus dipikirkan sebagai salah satu diagnosis banding,
terutama di daerah endemik leptospirosis seperti Indonesia.8,9
Bentuk leptospirosis yang berat ini pada mulanya dikatakan sebagai Leptospira ichterohaemorrhagiae, tetapi ternyata dapat
terlihat pada setiap serotipe leptospira yang lain. Manifestasi leptospirosis yang berat memiliki angka mortalitas sebesar 5-15%.
Leptospirosis ikterik disebut juga dengan nama Sindrom Weil. Tanda khas dari sindrom Weil yaitu jaundice atau ikterik, azotemia, gagal
ginjal, serta perdarahan yang timbul dalam waktu 4-6 hari setelah onset gejala dan dapat mengalami perburukan dalam minggu ke-2.
Ikterus umumnya dianggap sebagai indikator utama leptospirosis berat. Pada leptospirosis ikterik, demam dapat persisten sehingga fase
imun menjadi tidak jelas atau nampak overlapping dengan fase leptospiremia.8,9
11
Beratnya berbagai komponen sindrom Weil kemungkinan mencerminkan
beratnya vaskulitis yang mendasarinya. Ikterus biasanya tidak terkait dengan
nekrosis hepatoselular, dan setelah sembuh tidak terdapat gangguan fungsi hati
yang tersisa. Kematian pada sindrom Weil jarang disebabkan oleh gagal hati.8,9
F. PATOLOGI LEPTOSPIROSIS
12
d. Otot rangka : Pada otot rangka terjadi perubahan-perubahan berupa
lokal nekrotis, vakuolisasi dan kehilangan striata.
G. PATOGENESIS LEPTOSPIROSIS
13
adalah kerusakan dinding endotel pembuluh darah dan menimbulkan vaskulitis
serta merusak organ. Vaskulitis yang timbul dapat disertai dengan kebocoran dan
ekstravasasi sel.10
Organ utama yang terinfeksi kuman leptospira adalah ginjal dan hati. Di
dalam ginjal bakteri leptospira bermigrasi ke interstisium tubulus ginjal dan lumen
tubulus. Pada leptospirosis berat, vaskulitis akan menghambat sirkulasi mikro dan
meningkatkan permeabilitas kapiler, sehingga menyebabkan kebocoran cairan dan
hipovolemia. Hipovolemia akibat dehidrasi dan perubahan permeabilitas kapiler
salah satu penyebab gagal ginjal. Pada gagal ginjal tampak pembesaran ginjal
disertai edema dan perdarahan subkapsular, serta nekrosis tubulus renal.
Sementara perubahan yang terjadi pada hati bisa tidak tampak secara nyata.
Secara mikroskopik tampak perubahan patologi berupa nekrosis sentrolobuler
disertai hipertrofi dan hiperplasia sel Kupffer.10
14
Gambar 5. Leptospirosis pathway dan gambaran klinis10
H. DIAGNOSIS LEPTOSPIROSIS
1. Diagnosis Klinis
15
Leptospirosis dipertimbangkan pada semua kasus dengan riwayat
kontak terhadap binatang atau lingkungan yang terkontaminasi urin
binatang, disertai dengan gejala akut demam, menggigil, mialgia,
conjunctival suffusion, nyeri kepala, mual, atau muntah.20 Selain itu
penting juga untuk mempertimbangkan jenis pekerjaan penderita dan
riwayat adanya kontak dengan air sebelumnya.10
2. Diagnosis Laboratorium
a. Pemeriksaan mikrobiologik
b. Kultur
16
dan biasanya tampak 6-14 hari setelah inokulasi. Untuk kultur
harus dilakukan biakan multipel,10
c. Inokulasi hewan
d. Serologi
I. PENATALAKSANAAN LEPTOSPIROSIS
17
Leptospirosis terjadi secara sporadik, pada umumnya bersifat selflimited
disease dan sulit dikonfirmasi pada awal infeksi. Pengobatan harus dimulai segera
pada fase awal penyakit. Secara teori, Leptospira sp. adalah mikroorganisme yang
sensitif terhadap antibiotik.10
J. KOMPLIKASI LEPTOSPIROSIS
18
Terdapat beberapa komplikasi dari leptospirosis, diantaranya adalah gagal
ginjal akut (95% dari kasus), gagal hepar akut (72% dari kasus), gangguan
respirasi akut (38% dari kasus), gangguan kardiovaskuler akut (33% dari
kasus), dan pankreatitis akut (25% dari kasus)10
K. PROGNOSIS LEPTOSPIROSIS
Jika tidak ada ikterus, penyakit jarang fatal. Pada kasus dengan ikteru,
angka kematian 5 % pada umur di bawah 30 tahun, dan pada usia lanjut
mencapai 30-40%.10
L. PENCEGAHAN
-
Pencegahan hubungan dengan air atau tanah yang terkontaminasi Para
pekerja yang mempunyai risiko tinggi terinfeksi leptospira, misalnya
pekerja irigasi, petani, pekerja laboratorium, dokter hewan, harus memakai
pakaian khusus yang dapat melindungi kontak dengan air atau tanah yang
terkontaminasi leptospira. Misalnya dengan menggunakan sepatu bot,
masker, sarung tangan.
-
Melindungi sanitasi air minum penduduk Dalam hal ini dilakukan
pengelolaan air minum yang baik, dilakukan filtrasi dan deklorinai untuk
mencegah invasi leptospira.
-
Pemberian vaksin.10
BAB III
19
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
20
1. Wahyuningsih, Dwinur. 2016. Leptospirosis.
http://eprints.ums.ac.id/41309/5/BAB%20I.pdf, accessed on 19 November
2017
2. Lucy, Andani. 2014. Infeksi Tropis : Leptospirosis.
http://eprints.undip.ac.id/44817/3/BAB_II.pdf , accessed on 19 November
2017
3. Isselbacher, Braunwald, et all. 2002. Harrison : Prinsip-prinsip Ilmu
Penyakit Dalam Volume 2. Jakarta. EGC.
4. Soedarto. 2009. Penyakit Menular di Indonesia. Surabaya: Sagung Seto
5. Soedarto. 2012. Penyakit Zoonosis Manusia Ditularkan oleh Hewan.
Surabaya: Sagung Seto
6. Sudoyo, Aru W, dkk. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta :
Interna Publishing
7. Lucy, Andani. 2014. Infeksi Tropis : Leptospirosis.
http://eprints.undip.ac.id/44817/3/BAB_II.pdf , accessed on 19 November
2017
8. Sudoyo, Aru W, dkk. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta :
Interna Publishing
9. Lucy, Andani. 2014. Infeksi Tropis : Leptospirosis.
http://eprints.undip.ac.id/44817/3/BAB_II.pdf , accessed on 19 November
2017
10. Isselbacher, Braunwald, et all. 2002. Harrison : Prinsip-prinsip Ilmu
Penyakit Dalam Volume 2. Jakarta. EGC.
21