Anda di halaman 1dari 71

LEPTOSPIROSIS

Rizka Humardewayanti
Penyakit Tropik Infeksi Fakultas Kedokteran UGM
Yogyakarta
2017
Nama lain

Mud / Swamp fever Japanese 7 day fever

Rice Field Fever Spirochete Jaundice

Canicola Fever Leptospiral Jaundice

Autumn Fever Swineherd’s Disease


LATAR BELAKANG

 Leptospirosis adalah penyakit bakterial zoonosis yang disebabkan oleh


patogen spirochaeta, genus Leptospira
 Penyebab morbiditas dan mortalitas di seluruh dunia
 Endemik di banyak komunitas kumuh di kota ataupun desa
 Dapat menyebabkan epidemi sporadik
 Beban sebenarnya penyakit ini hanya sedikit diketahui
 Sering tidak terdiagnosis karena tanda dan gejalanya sulit dibedakan dan
kurang tersedia laboratorium diagnostik
LATAR BELAKANG

 Diperkirakan 0,1 hingga 1 per 100.000 orang di daerah subtropis per tahun
menderita leptospirosis, 10 atau lebih per 100.000 orang di daerah tropis.
 2012 di Indonesia dilaporkan 239 kasus leptospirosis dengan 29 kasus kematian
(case fatality rate 12,13%).
 Menurut International Leptospirosis Society, Indonesia menduduki peringkat
ketiga di dunia untuk mortalitas.
 Dijumpai di Lampung, Riau, Bengkulu, Sumatera Utara, Sumatera Barat, DKI
Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, NTB, Bali, Sulawesi
Selatan, Sulawesi Utara, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Timur.
ETIOLOGI
 Leptosiprosis disebabkan spesies patogenik dari genus Leptospira ordo
spirochaeta aerob obligat.
 Organisme fleksibel, tipis, berlilit padat, panjang 5-15 µm, disertai spiral
halus yang lebarnya 0,1-0,2 µm, ujung bakteri bengkok dan membentuk kait
 Sel bakteri ini dibungkus oleh membran luar yang terdiri dari 3-5 lapis.
 Di bawah membran luar, terdapat lapisan peptidoglikan yang fleksibel dan
helikal, serta membran sitoplasma.
 Ciri khas Spirochaeta ini adalah lokasi flagelanya terletak
diantara membran luar dan lapisan peptidoglikan
(flagela periplasmik).
ETIOLOGI

 Leptospira memiliki dua flagel periplasmik, masing-masing berpangkal pada


setiap ujung sel  bergerak aktif
 Tumbuh paling baik pada keadaan aerob pada suhu 28-30ºC (hangat) dan pada
pH 7,4 serta lingkungan lembab, air segar yang tenang atau mengalir lambat
pada suhu sedang di musim panas serta di tanah yang lembap dan air di
daerah tropik, terutama pada musim hujan
 Media yang bisa digunakan adalah media semisolid yang kaya protein,
misalnya media Fletch atau Stuart
 Leptospira bersarang di tubulus ginjal pejamu mamalia dan keluar di urin
ETIOLOGI

 Berdasarkan spesifisitas biokimia dan serologi, Leptospira sp. dibagi menjadi:


 Leptospira interrogans - patogen dan
 Leptospira biflexa - tidak patogen (saprofit).
 Berdasarkan hibridisasi DNA : genus Leptospira yang sudah dikenali terdiri atas
12 yang patogenik atau mungkin patogenik dan 6 saprofitik.
 Berdasarkan aglutinasi menunjukkan terdapat lebih dari 200 serovar
patogenik dan 60 serovar saprofitik.
Sifat

 Leptospira sp dapat di-inaktivasi dengan


 1%sodium hypochlorite
 70% ethanol,
 glutaraldehyde,
 formaldehyde,
 detergents dan asam.
 Organisme ini sensitive dengan moist heat (121°C, minimal 15 menit) dan
juga mati dengan pasteurisasi.
Leptospira dibawah mikroskopik

Mikroskopik medan gelap

Panjang, tipis, dan Highly


Coiled
Sejarah

 1883 dikenal sebagai penyakit akibat kerja pada pekerja selokan


 1886 pertama kali didiskripsikan (oleh profesor Weil, di Heidelberg (1886) )
dengan manifestasi klinis pada laki laki (ikterik, demam, dan perdarahan
dengan keterlibatan ginjal)
 1907- Stimson mendiskripsikan lesi di tubulus renalis yang meninggal sehingga
disebut demam kuning/ yellow fever.
 1916 agen penyebab dapat diidentifikasi oleh Inada di Japan
 Noguchi mengusulkan nama ‘Leptospira’ (thin spirals) pada tahun 1918
 Di Indonesia, gambaran klinis leptospirosis dilaporkan pertama kali oleh Van
der Scheer di Jakarta tahun 1892, isolasinya dilakukan oleh Vervoot tahun
1922.
EPIDEMIOLOGI

 Leptospirosis merupakan zoonosis dengan distribusi luas di seluruh dunia,


terutama pada wilayah dengan iklim tropis dan subtropis.
 Angka kejadian leptospirosis di seluruh dunia belum diketahui secara pasti.
 Di daerah tropis dengan kelembaban tinggi angka kejadian leptospirosis
berkisar antara 10-100 per 100.000 sedangkan di daerah subtropis angka
kejadian berkisar antara 0,1-1 per 100.000 per tahun.
 Case fatality rate (CFR) leptospirosis dilaporkan berkisar antara <5% - 30%.
 Pada iklim sedang infeksi leptospira didapatkan terutama melalui paparan
rekreasional (mengendarai kano, berlayar, ski air) atau pekerjaan, atau hidup
di daerah kumuh.
 Di daerah tropik, paparan terutama melalui aktivitas pekerjaan seperti
bersawah.
EPIDEMIOLOGI

 Infeksi jarang dari kontak langsung dengan darah, urin, atau jaringan hewan
terinfeksi.
 Terdapat sekitar 160 spesies hewan yang menjadi tempat perlindungan
bakteri tersebut, reservoir yang paling penting adalah hewan pengerat
terutama tikus.
 Bakteri leptospira khususnya spesies L. icterohaemorrhagiae banyak
menyerang tikus besar seperti tikus wirok (Rattus norvegicus) dan tikus rumah
(Rattus diardii).
 Hewan peliharaan seperti kucing, anjing, kelinci, kambing, sapi, kerbau, dan
babi dapat menjadi hospes perantara dalam penularan leptospirosis.
 Klasifikasi serovar bermanfaat untuk tujuan epidemiologis dengan melihat
banyaknya hubungan reservoir-serovar yang tersebar secara geografis.
Transmisi

1. Kontak langsung dengan urin atau jaringan binatang yang terinfeksi


Melalui abrasi kulit, membrane mukosa intak
2. Kontak tidak langsung
Kulit yang tidak intak terkena tanah, air yang terinfeksi
Makan makanan dan minuman yang terkontaminasi
3. Droplet infection
Inhalasi droplet dari urine yang terinfeksi
Transmisi

Urin

jaringan Contam Survive Infeksi


Feces

Sumber
Lingkungan manusia
binatang
Kelompok risiko

Paparan pekerjaan
 Petani, penambang
 Dokter hewan, staf laboratorium, tentara
 Pekerja limbah
 Nelayan
Aktivitas rekreasi
 Berenang, berlayar, pelari marathon, berkebun
Reservoar

 Tikus
 (Rattus rattus, Rattus norvegicus, Mus musculus)
 Anjing
 Binatang domestic, jinak

 Leptospira dieksresi lewat urin


PATOGENESIS

 Bakteri masuk ke tubuh manusia melalui kulit yang lecet atau luka dan
mukosa, atau konjungtiva, bahkan dapat melalui kontak dengan kulit sehat
(intak) terutama bila kontak lama dengan air.
 Bakteri leptospira yang berhasil masuk ke dalam tubuh tidak menimbulkan
lesi pada tempat masuk bakteri.
 Hialuronidase dan atau gerak yang menggangsir (burrowing motility) telah
diajukan sebagai mekanisme masuknya leptospira ke dalam tubuh.
 Bakteri leptospira virulen akan mengalami multiplikasi di darah dan jaringan.
 Selama leptospiremia, leptospira mengeluarkan endotoksin yang dapat
merusak endotel kapiler menyebabkan vaskulitis yang sifatnya sistemik.
 Vaskulitis yang timbul dapat disertai dengan kebocoran dan ekstravasasi sel.
PATOGENESIS

 Aktivitas lainnya yaitu stimulasi perlekatan netrofil pada sel endotel dan
trombosit, sehingga terjadi agregasi trombosit disertai trombositopenia.
 Bakteri leptospira mempunyai fosfolipase yaitu suatu hemolisis yang
mengakibatkan lisisnya eritrosit dan membran sel lain yang mengandung
fosfolipid.
 Patogenesis terutama pada kasus berat, masih kurang dimengerti.
 Temuan mikroskopik utamanya adalah vaskulitis sistemik dengan cedera
endotel, sel endotel rusak dengan berbagai derajat pembengkakan dan
nekrosis.
PATOGENESIS

 Leptospira ditemukan di pembuluh darah berukuran medium dan besar serta


kapiler berbagai organ.
 Organ utama yang terkena adalah:
 ginjal, dengan inflamasi tubulointerstisial difus dan nekrosis tubular,
 paru, biasanya kongesti, dengan perdarahan intraalveolar fokal atau
masif, deposisi linear imunoglobulin dan komplemen pada permukaan
alveolar,
 hati, yang menunjukkan kolestasis terkait perubahan degeneratif ringan
pada hepatosit.
 miokarditis, meningoensefalitis, dan uveitis.
PATOGENESIS

 Setelah leptospira masuk ke dalam tubuh, terjadi respons imun baik seluler
maupun humoral (membentuk antibodi spesifik) yang bertujuan
menghilangkan leptospira.
 Terdapat tujuh antigen leptospira yaitu p32, p37, p41, p45, p48, p62, p78,
yang memicu respons humoral.
 p32 merupakan antigen yang paling poten dalam menimbulkan respons
humoral, sedangkan p37 tidak selalu diekspresikan oleh strain leptospira.
 IgM merupakan respons humoral utama terhadap lipopolisakarida dalam fase
akut dan konvalesen.
 IgG bersifat spesifik terhadap protein leptospira.
 Cedera vaskuler dapat disebabkan oleh efek toksik leptospira secara langsung
atau oleh respons imun.
MANIFESTASI KLINIS

 Bervariasi dari ringan (menyerupai penyakit lain seperti influenza) - parah


(Weil’s)
 Infeksi leptospira paling banyak adalah asimptomatik, tetapi pada 5-15% kasus
dapat berat atau fatal.
 Masa inkubasi leptospirosis 7-12 hari.
 Perjalanan penyakit secara klasik bifasik : fase bakteremik akut diikuti fase
imun; pada kasus berat kedua fase ini bergabung.
 Menurut berat ringannya : Ringan (non ikterik) dan Berat (ikterik).
Fever
Diagnosis Viral fever, Malaria, Typhus

Banding Ikterik
Malaria, Viral hepatitis, Sepsis

Gagal GInjal
Malaria, Hanta virus, Sepsis

Meningitis
Bacterial / Viral causes

Demam berdarah
Dengue, Hanta virus, Typhus
Gambaran klinis
90% kasus

Anicteric Icteric
Sering, ringan Jarang, berat
Kematian Kematian

10% kasus
< 2% 15%
MANIFESTASI KLINIS ANIKTERIK

 Fase akut dicirikan oleh demam awitan mendadak, menggigil, nyeri kepala
retroorbita, anoreksia, nyeri perut, mual, dan muntah.
 Demam sering melebihi 400C dan didahului kekakuan.
 Terdapat juga mialgia dengan karakteristik nyeri tekan betis, paha, abdomen,
dan regio paraspinal (lumbosakral), jika mengenai regio leher dan kuduk akan
menyerupai meningitis, nyeri tekan abdomen dapat menyerupai akut
abdomen.
 Pada kasus ringan demam akan menghilang setelah 3-9 hari.
 Injeksi konjungtiva biasanya muncul 2-3 hari setelah awitan demam dan
melibatkan konjungtiva bulbi
MANIFESTASI KLINIS ANIKTERIK

 Setelah beberapa hari (2-3 hari), pada beberapa pasien gejala kembali
muncul, disebut fase kedua atau fase imun.
 Pada fase ini muncul antibodi IgM, leptospira hilang dari darah, cairan
serebrospinal, dan jaringan, namun muncul di urin (leptospiruria).
 Gejala utama fase ini adalah meningitis pada 50% kasus.
 Dapat terjadi pula neuritis optik dan neuropati perifer.
 Uveitis biasanya merupakan manifestasi yang muncul belakangan, 4-8 bulan
setelah awitan penyakit
MANIFESTASI KLINIS IKTERIK

 Penyakit Weil merujuk pada leptospirosis berat dan mengancam nyawa,


dicirikan oleh ikterus, disfungsi ginjal, dan perdarahan.
 Meskipun ikterus merupakan tanda utama, kematian bukan disebabkan oleh
gagal hati.
 Mayoritas pasien memiliki hepatomegali dan nyeri ketok pada perkusi hati
menunjukkan penyakit masih aktif.
 Perdarahan kadang terjadi pada kasus anikterik tetapi paling sering pada
penyakit yang berat.
 Manifestasi perdarahan yang paling sering adalah purpura, petekie, epistaksis,
perdarahan gusi, dan hemoptisis minor.
MANIFESTASI KLINIS IKTERIK

 Kematian dapat terjadi akibat perdarahan subaraknoid dan perdarahan masif


saluran cerna.
 Adanya perdarahan konjungtiva sangat berguna untuk diagnostik, dan jika
disertai sklera ikterik dan injeksi konjungtiva, merupakan temuan yang sangat
sugestif untuk leptospirosis.
MANIFESTASI KLINIS Ensefalopati

 Gangguan kesadaran pada leptospirosis berat biasanya disebabkan oleh


ensefalopati uremikum, pada kasus anikterik biasanya disebabkan ensefalitis
aseptik.

 Aseptic Meningo-encephalitis
 jarang terjadi, jika terjadi pada fase imun
 CSF – proteins , lymphocytes 
 Kejang, Ensefalitis, myelitis dan polineuropati
MANIFESTASI KLINIS Disfungsi Ginjal

 Semua bentuk leptospirosis dapat menyebabkan disfungsi ginjal.


 Gambaran mulai dari yang ringan berupa proteinuria ringan dan abnormalitas
sedimen urin hingga berat berupa cedera ginjal akut.
 Yang sering ditemukan adalah gagal ginjal non-oliguria dengan hipokalemia
ringan (41-45% kasus).
 Anuria total dengan hiperkalemia merupakan tanda prognostik buruk.
 Faktor utama penyebab cedera ginjal akut pada leptospirosis adalah
nefrotoksisitas langsung dari leptospira dan respons imun yang diinduksi
toksin.
 Adanya leptospira di jaringan ginjal akan memicu proses nefritis interstisial
dan nekrosis tubular akut.
MANIFESTASI KLINIS Disfungsi Ginjal

 Pada leptospirosis berat akan dijumpai perubahan status hemodinamik seperti


sepsis.
 Akibat vasodilatasi sistemik, kadar aldosteron dan hormon antidiuretik akan
meningkat, sehingga terjadi vasokonstriksi ginjal dan penurunan diuresis.
 Bilirubin yang tinggi juga menurunkan filtrasi glomerulus dan kemampuan
pemekatan urin.
 Rabdomiolisis yang sering terjadi pada leptospirosis juga dapat menyebabkan
cedera ginjal melalui vasokonstriksi ginjal, obstruksi tubulus, dan toksisitas
langsung mioglobin.
Patofisiologi AKI pada Lepto
MANIFESTASI KLINIS Paru

 Komplikasi paru tersering sindrom perdarahan paru berat terkait leptospirosis


(severe pulmonary hemorrhagic syndrome/ SPHS) dan acute respiratory distress
syndrome (ARDS).
 Komplikasi ini dapat terjadi dengan atau tanpa ikterus ataupun gagal ginjal.
 Hemoptisis merupakan tanda utama, namun biasanya tidak jelas hingga pasien
diintubasi.
 Faktor risiko komplikasi paru adalah keterlambatan pemberian antibiotik dan
trombositopenia pada awitan penyakit
 Perdarahan paru terjadi akibat vaskulitis, juga dapat dikaitkan dengan
trombositopenia dan koagulopati konsumtif.
 Kematian akibat leptospirosis terjadi pada 10-15% kasus, biasanya akibat
perdarahan paru, gagal ginjal, atau gagal jantung dan aritmia akibat miokarditis.
Pneumonia Atypical
Gambaran jantung

Manifestasi jantung
 Hemorrhagic Myocarditis
 Cardiomyopathy / gagal jantung
 Aritmia, hipotensi/kematian
 Fibilasi atrial/defek pada system konduksi
Perubahan EKG
 Perubahan non spesifik dari ST-T
 Kompleks low voltage
Manifestasi lainnya

Manifestasi pada mata


 Komplikasi lanjut : perdarahan konjungtiva/injeksi conjungtiva
 Uveitis anterior, Iritis, Iridocyclitis, chorioretinitis
 Terjadi pada minggu ke-2 – 1 tahun (rerata 6 bulan)
LABORATORIUM

 Leukositosis dengan neutrofilia, trombositopenia,


 Creatinine phosphokinase yang tinggi.
 Bilirubin dapat sangat meningkat (bilirubin direk)
 Transaminase jarang melebihi 3 kali batas atas.
 Pemanjangan prothrombin time
 Pada gangguan fungsi ginjal ureum dan kreatinin akan meningkat,
 Didapatkan hematuria, piuria, proteinuria (biasanya kurang dari 1 g/24 jam),
dan berat jenis urin tinggi.
 Hipokalemia akibat kebocoran melalui ginjal dan hipomagnesemia.
DIAGNOSIS KLINIS

 Klinis
 Setiap pasien demam akut mempunyai riwayat, setidaknya 2 hari, tinggal
di daerah banjir atau memiliki risiko tinggi terpapar (berjalan kaki di
banjir atau air yang terkontaminasi, kontak dengan cairan dari hewan,
berenang di air banjir atau menelan air yang terkontaminasi dengan atau
tanpa luka)
 DAN
 menunjukkan setidaknya dua dari gejala berikut: mialgia, nyeri tekan
betis, injeksi konjungtiva, menggigil, nyeri perut, sakit kepala, ikterus,
atau oliguria.

 hendaknya dipertimbangkan sebagai tersangka kasus leptospirosis.


DIAGNOSIS LABORATORIUM

 Pemeriksaan mikroskopik, kultur, inokulasi hewan, dan serologi.


1. Mikroskopik
 Bakteri Leptospira sp. dapat dilihat jelas dengan mikroskop lapangan
gelap atau mikroskop fase kontras.
2. Kultur
 Sampel darah dan cairan serebrospinal pada hari ketujuh hingga
kesepuluh sakit
 Urin selama minggu kedua dan ketiga
 Baku emas, dapat mengidentifikasi serovar, tetapi butuh media khusus,
dengan waktu inkubasi beberapa minggu, dan membutuhkan mikroskop
lapangan gelap, sehingga tidak sesuai untuk perawatan individual.
DIAGNOSIS LABORATORIUM

3. Inokulasi hewan
 Teknik yang sensitif untuk isolasi leptospira meliputi inokulasi
intraperitoneal pada marmot muda. Dalam beberapa hari dapat
ditemukan leptospira di dalam cairan peritoneal; setelah hewan ini mati
(8-14 hari) ditemukan lesi hemoragik pada banyak organ.
4. Serologi
 Diagnosis laboratorium leptospirosis terutama didasarkan atas
pemeriksaan serologi.
 Respons antibodi IgM yang kuat, muncul sekitar 5-7 hari setelah awitan
gejala
 Ui komersial berbasis ELISA, aglutinasi latex dan teknologi uji cepat
imunokromatografik.
DIAGNOSIS LABORATORIUM

4. Serologi
 Sensitivitasnya rendah (63-72%) diambil < 7 hari.
 Sensitivitas meningkat menjadi >90%, diambil > 7 hari.
5. Macroscopic slide agglutination test -- rapid screening.
6. Pemeriksaan gold standart  Microscopic Agglutination Test (MAT) yang
menggunakan organisme hidup.
 Tes MAT ini mendeteksi antibodi pada tingkat serovar sehingga dapat digunakan
untuk mengidentifikasi strain Leptospira pada manusia dan hewan dan karena itu
membutuhkan sejumlah strain (battery of strains) Leptospira termasuk stock-
culture, disamping sepasang sera dari pasien dalam periode sakit akut dan 5-7 hari
sesudahnya
DIAGNOSIS LABORATORIUM

6. Microscopic Agglutination Test (MAT)


 Pemeriksaan MAT dikatakan positif jika terjadi serokonversi berupa kenaikan titer 4
kali atau ≥ 1:320 dengan satu atau lebih antigen tanpa kenaikan titer (untuk
daerah non endemik leptospirosis digunakan nilai ≥ 1:160).
 Uji hanya dilakukan di laboratorium rujukan
7. Pemeriksaan serodiagnosis leptospirosis yang lain adalah Macroscopic
Agglutination Test (MA Test), Microcapsule Agglutination Test (MCAT), rapid
latex agglutination assay (RLA assay), enzyme linked immune sorbent assay
(ELISA), immuno-fluorescent antibody test, dan immunoblot.
Interpretasi Tes

• Titer antibodi IgM >1/80 atau IgG 1/400


•  Titer menunjukkan infeksi saat ini
MAT
• Penurunan titer menunjukkan infeksi masa lampau
• Untuk konfirmasi sampel kedua menjadi penting

• Tersedia untuk infeksi saat ini


ELISA SAT • Antibodi IgM saja
Interpretasi Tes

ELISA/SAT MAT Interpretasi

Positive Positive Infeksi saat ini

Positive Negative Infeksi saat ini

Negative Positive Infeksi masa lampau

Negative Negative Bukan Leptospirosis

Tidak tersedia Kenaikan titer Infeksi saat ini


Hubungan waktu Tes

MAT

1 minggu 1 bulan 2 bulan 1 tahun 5 tahun

ELISA atau SAT


PendekatanDiagnosis

Gambaran
klinis

Fase
Fase Imun> 7
Leptospirema < 7
hari
hari

Kultur darah PCR ELISA MSAT

ulang MAT
Problems in Diagnosis
Diagnosis awal (minggu 1) Tes serologis (minggu 2)

No reliable test Serovar specific - MAT


Keterlambatan kultur (>
Reliable, infeksi saat ini
1 bulan)
Baku emas, penelitian
PCR mahal epidemiologis
SAT / ELISA (> 5 hari Rumit, membutuhkan SDM
Occur late, persist
Genus Specific
longer
DIAGNOSIS

 Mengingat sulitnya konfirmasi diagnosis leptospirosis, dibuatlah sistem skor


yang mencakup parameter klinis, epidemiologis, dan laboratorium  skore
Faine
 Berdasarkan kriteria Faine yang dimodifikasi, diagnosis presumtif
leptospirosis dapat ditegakkan jika: (i) Skor bagian A atau bagian A + bagian
B = 26 atau lebih; atau (ii) Skor bagian A + bagian B + bagian C = 25 atau
lebih. Skor antara 20 dan 25 menunjukkan kemungkinan diagnosis
leptospirosis tetapi belum terkonfirmasi.
WHO Guide - Faine’s Criteria
5 • Musim hujan

4 • Kontaminasi H20
2 • Nyeri kepala

2 • Demam 1 • Kontak binatang

2 • Temp > 390F 15 • ELISA IgM + ve


4 • Conjn. suffusion
15 • SAT positive
4 • Meningism
15 • MAT titer tinggi
4 • Nyeri otot

1 • Jaundice 25 • Kenaikan titer MAT

1 • Alb,  kreatinin Definite • Kultur positif


Skore Faine yang
dimodifikasi

Kriteria diagnosis menurut Faine ini mempunyai


beberapa kelemahan.
Pemberian nilai pada faktor-faktor epidemiologik
dalam kriteria diagnosis tersebut sangat subjektif dan
tidak spesifik. Hasil pemeriksaan serologik dalam
kriteria diagnosis tersebut menjadi kendala bagi klinisi
karena pemeriksaan serologik tersebut jarang tersedia
dan jika ada maka hasilnya diperoleh setelah beberapa
hari. Aplikasi kriteria diagnosis secara berlebihan
dapat menyesatkan para klinisi.

WHO SEARO
2009
KRITERIA DIAGNOSIS LEPTOSPIROSIS WHO
SEARO 2009

 Kasus suspect
 Demam akut (≥38,50C) dan/ atau nyeri kepala hebat dengan:
 Myalgia
 Kelemahan dan/atau
 Conjunctival suffusion, dan
 Riwayat terpajan dengan lingkungan yang terkontaminasi leptospira
KRITERIA DIAGNOSIS LEPTOSPIROSIS WHO
SEARO 2009

 Kasus probable (pada tingkat pelayanan kesehatan primer)


 Kasus suspect + 2 gejala di bawah ini:
 Nyeri betis
 Batuk dengan atau tanpa batuk darah
 Ikterik
 Manifestasi perdarahan
 Iritasi meningeal
 Anuria/oliguria dan atau proteinuria
 Sesak napas
 Aritmia jantung
 Rash di kulit
KRITERIA DIAGNOSIS LEPTOSPIROSIS WHO
SEARO 2009

 Kasus probable (pada tingkat pelayanan kesehatan sekunder dan tersier)


 Berdasarkan ketersediaan fasilitas laboratorium, kasus probable leptospirosis
adalah kasus suspect dengan IgM rapid test positif.
DAN/ ATAU
 Temuan serologik yang mendukung (contoh : titer MAT ≥200 pada suatu sampel)
DAN/ ATAU
 Ditemukan 3 dari di bawah ini:
 Temuan pada urin : proteinuria, pus, darah
 Neutrofilia relatif (>80%) dengan limfopenia
 Trombosit < 100.000/mm³
 Peningkatan bilirubin > 2 mg% ; peningkatan enzim hepar yang meningkat
moderat (serum alkali fosfatase, serum amilase, CPK)
KRITERIA DIAGNOSIS LEPTOSPIROSIS WHO
SEARO 2009

 Kasus confirm
 suatu kasus suspect atau probable dengan salah satu di bawah ini:
 Isolasi kuman leptospira dari spesies klasik
 Hasil PCR (+)
 Serokonversi dari negatif ke positif atau peningkatan 4 kali pada titer
MAT
 Titer MAT = 400 atau lebih pada sampel tunggal
 Apabila kapasitas laboratorium tidak dapat ditetapkan: Positif dengan 2
tes rapid diagnostik dapat dipertimbangkan sebagai kasus confirm.
TATA LAKSANA
Ringan – terapi awal Berat – terapi intensif

Terapi oral 7 - 10 hari Terapi i.v. 5 - 7 hari

Benzyl Penicillin 1,5 juta IU


Doxycycline 2x100 mg tiap 6 jam
Amoxicillin 4x500 mg atau 1
Ampicillin 4x0,5-1gr
gram setiap 8 jam
3rd gen Ceftriaxone 1 gr/24
Ampicillin 4x500-750 mg
jam
Azitromisin anhidrat inisial 1
gram selanjutnya 500 mg
Cefotaxime 3x1gr
setiap hari untuk 2 hari
berikutnya
Azitromisin anhidrat 500 mg
Terapi suportif
sekali sehari selama 5 hari
LEPTOSPIROSIS RINGAN

 Setiap kasus tersangka leptospirosis dengan


 tanda vital stabil,
 sklera anikterik,
 keluaran urin yang baik,
 tidak ada meningismus/ iritasi meningen; sepsis/syok sepsis; sulit
bernapas; atau ikterus, dan bisa mengonsumsi obat per oral
RAWAT JALAN
LEPTOSPIROSIS BERAT

 Kasus tersangka leptospirosis dengan


 tanda vital tidak stabil,
 ikterus atau sklera ikterik,
 nyeri perut,
 mual, muntah dan diare,
 oliguria/anuria,
 meningismus/iritasi meninges,
 sepsis/syok sepsis,
 perubahan status mental atau sulit bernapas dan hemoptisis
RAWAT INAP
Perhatian khusus

Perawatan intensif, Perawatan cardiac,


monitor liver

Balans cairan,
Transfusi trombosit
perdarahan

Disfungsi ginjal,
Komplikasi SSP
dialysis
TATALAKSANA

 Terapi suportif dengan perhatian pada keseimbangan cairan dan elektrolit


serta fungsi paru dan jantung sangat penting.
 Pasien yang menderita gagal ginjal diterapi dengan hemodialisis atau
hemodiafiltrasi jika tersedia.
 Transfusi darah dan produk darah mungkin diperlukan pada perdarahan berat.
 Transfusi trombosit dini dianjurkan jika trombosit kurang dari 50 ribu/mm3
atau pada turun bermakna dalam waktu singkat.
TATALAKSANA

 Perdarahan paru sering membutuhkan intubasi dan ventilasi mekanik segera.


Pasien SPHS memiliki bukti fisiologis dan patologis untuk ARDS, sehingga ventilasi
dengan volume tidal rendah dan post-expiratory end pressure tinggi.
 Dukungan pernapasan untuk mempertahankan oksigenasi jaringan yang adekuat
sangat penting karena pada kasus tidak fatal fungsi paru dapat sembuh sempurna.
 Penggunaan kortikosteroid pada ARDS masih diperdebatkan, beberapa studi
menunjukkan manfaat jika diberikan pada awal ARDS. Metilprednisolon diberikan
dalam 12 jam pertama awitan keterlibatan paru dengan dosis 1 g iv/hari selama 3
hari dilanjutkan prednisolon oral 1 mg/kgBB/hari selama 7 hari.
 Plasmaferesis dosis rendah (25 mL/kg) juga bermanfaat pada perdarahan paru
ringan. Dua siklus plasmaferesis berjarak 24 jam disertai siklofosfamid 20 mg/kg
setelah siklus pertama plasmaferesis dapat meningkatkan ketahanan hidup.
TATALAKSANA

 Hal lain yang perlu diperhatikan dalam manajemen kasus leptospirosis adalah
segera merujuk penderita leptospirosis bila adanya indikasi pada disfungsi
organ ginjal, hepar, paru, terjadi perdarahan dan gangguan saraf.
PENCEGAHAN

 Pencegahan primer adalah bagaimana agar orang sehat sebagai sasaran bisa
terhindar dari leptospirosis
 Pencegahan sekunder yang sasarannya adalah orang yang sudah sakit
leptospirosis, dicegah agar orang tersebut terhindar dari komplikasi yang
nantinya dapat menyebabkan kematian.
PENCEGAHAN

 Primer adalah bagaimana agar orang sehat sebagai sasaran bisa terhindar dari
leptospirosis
 Sekunder yang sasarannya adalah orang yang sudah sakit leptospirosis,
dicegah agar orang tersebut terhindar dari komplikasi yang nantinya dapat
menyebabkan kematian.
PENCEGAHAN PRIMER

Prinsip mengendalikan agar tidak terjadi kontak leptospira dengan manusia


 Pencegahan hubungan dengan air atau tanah yang terkontaminasi
 Para pekerja risiko tinggi terinfeksi leptospira harus memakai pakaian khusus. Misalnya
dengan menggunakan sepatu bot, masker, sarung tangan.
 Melindungi sanitasi air minum penduduk
 Pengelolaan air minum yang baik (filtrasi dan deklorinasi)
 Pemberian vaksin
 Vaksinasi diberikan sesuai dengan leptospira di tempat tersebut.
 Pencegahan dengan serum imun spesifik telah terbukti melindungi pekerja laboratorium.
 Vaksinasi terhadap hewan peliharaan efektif untuk mencegah leptospirosis.
 Infeksi leptospira hanya memberikan imunitas spesifik serovar, sehingga dapat terjadi
infeksi berikutnya oleh serovar berbeda.
 Banyaknya serovar menyebabkan vaksin spesifik serovar kurang bermanfaat.
PENCEGAHAN PRIMER

 Pencegahan dengan antibiotik kemoprofilaksis


 Doksisiklin 200 mg 1 kali seminggu dapat bermanfaat pada orang berisiko
tinggi untuk periode singkat, dimulai 1 - 2 hari sebelum paparan dan
dilanjutkan selama periode paparan.
 Pada orang yang sudah terpapar dengan leptospira, masih dapat diberikan
terapi profilaksis pasca-paparan; digunakan doksisiklin disesuaikan
berdasarkan risiko individu
PROFILAKSIS PASCA-PAPARAN
PENCEGAHAN PRIMER

 Pengendalian hospes perantara leptospira (tikus)


 Penggunaan racun tikus, pemasangan jebakan, penggunaan bahan
rodentisida, dan menggunakan predator roden.
 Usaha promotif
 edukasi, dimana antara daerah satu dengan daerah yang lain mempunyai
serovar dan epidemi leptospirosis yang berbeda.
 Diperlukan peningkatan kerja antar sektor yang dikoordinasikan oleh tim
penyuluhan kesehatan masyarakat Dinas Kesehatan setempat.
PENCEGAHAN SEKUNDER

 Pencegahan sekunder leptospirosis berupa pengobatan terhadap pasien yang


didiagnosis menderita leptospirosis.
 Salah satu hal yang menguntungkan dalam pengobatan ini ialah pengobatan
kausal tidak tergantung pada subgrup maupun serotipe leptospira
 Pengelolaan secara umum penderita leptospirosis sama dengan penyakit
sistemik akut yang lain.
PENUTUP

 Leptospirosis merupakan penyakit zoonosis yang sering tidak terdiagnosis.


 Tampilan klinisnya bervariasi mulai dari yang self limited hingga yang dapat
mengancam nyawa.
 Diagnosis dini dan pengobatan segera dengan antibiotik sangat penting untuk
mencegah morbiditas dan mortalitas.

Anda mungkin juga menyukai