Anda di halaman 1dari 35

BAB II

TINJAUAN TEORI

A. Konsep Dasar Leptospirosis

1. Pengertian

Leptospirosis adalah suatu penyakit zoonosis yang disebabkan oleh

mikroorganisme, yaitu Leptospira tanpa memandang bentuk spesifik

serotipnya. Penyakit ini dapat berjangkit pada laki-laki atau perempuan

semua umur. Banyak ditemui didaerah tropis, dan biasanya penyakit ini

juga dikenal dengan berbagai nama seperti mud fever, slime fever, swamp

fever, autumnal fever, infectious jaundice, filed fever, cane cutre fever dan

lain-lain (Mansjoer dkk, 2014).

Leptospirosis adalah penyakit hewan yang dapat menjangkiti manusia,

termasuk penyakit zoonosis yang paling sering di dunia. Leptospirosis juga

dikenal dengan nama flood fever atau demam banjir karena memang

muncul karena banjir. Di beberapa negara leptospirosis dikenal dengan

nama demam icterohemorrhagic, demam lumpur, penyakit Stuttgart,

penyakit Weil, demam canicola, penyakit swineherd, demam rawa atau

demam lumpur (Judarwanto, 2009)

Leptospirosis adalah penyakit manusia dan hewan dari kuman dan

disebabkan kuman Leptospira yang ditemukan dalam air seni dan sel-sel

hewan yang terkena. Leptospirosis adalah penyakit infeksi yang

disebabkan oleh kuman leptospira patogen.(Gasem, 2008)

9
10

2. Etiologi

Menurut Rusmini, (2011) Leptospirosis disebabkan bakteri pathogen

berbentuk spiral genus Leptospira, family leptospiraceae dan ordo

spirochaetales. Spiroseta berbentuk bergulung-gulung tipis, motil, obligat,

dan berkembang pelan anaerob. Genus Leptospira terdiri dari 2 spesies

yaitu L interrogans yang pathogen dan L biflexa bersifat saprofitik.

a. Patogen L Interrogans

Terdapat pada hewan dan manusia. Mempunyai sub group yang

masing-masing terbagi lagi atas berbagai serotip yang banyak,

diantaranya; L. javanica, L. cellodonie, L. australlis, L. Panama dan

lain-lain.

b. Non Patogen L. Biflexa

Menurut beberapa penelitian, yang paling tersering menginfeksi

manusia adalah: L. icterohaemorrhagiae dengan resorvoir tikus, L.

canicola dengan resorvoir anjing, L. pomona dengan reservoir sapi dan

babi.

Leptospira dapat menginfeksi sekurangnya 160 spesies mamalia di

antaranya tikus, babi, anjing, kucing, rakun, lembu, dan mamalia

lainnya. Hewan peliharaan yang paling berisiko adalah kambing dan

sapi. Resevoar utamanya di seluruh dunia adalah binatang pengerat dan

tikus.
11

3. Patofisiologi

Transmisi
infeksi leptospira ke manusia dapat melalui berbagai

cara, yang tersering adalah melalui kontak dengan air atau tanah yang

tercemar bakteri leptospira. Bakteri masuk ke tubuh manusia melalui kulit

yang lecet atau luka dan mukosa, bahkan dalam literatur disebutkan bahwa

penularan penyakit ini dapat melalui kontak dengan kulit sehat (intak)

terutama bila kontak lama dengan air. Selain melalui kulit atau mukosa,

infeksi leptospira bisa juga masuk melalui konjungtiva. Bakteri

leptospira yang berhasil masuk ke dalam tubuh tidak menimbulkan lesi

pada tempat masuk bakteri. Hialuronidase dan atau gerak yang

menggangsir (burrowing motility) telah diajukan sebagai mekanisme

masuknya leptospira ke dalam tubuh Selanjutnya bakteri leptospira virulen

akan mengalami multiplikasi di darah dan jaringan. Sementara leptospira

yang tidak virulen gagal bermultiplikasi dan dimusnahkan oleh sistem

kekebalan tubuh setelah 1 atau 2 hari infeksi. Leptospira virulen

mempunyai kemampuan motilitas yang tinggi, lesi primer adalah

kerusakan dinding endotel pembuluh darah dan menimbulkan vaskulitis

serta merusak organ. Vaskulitis yang timbul dapat disertai dengan

kebocoran dan ekstravasasi sel.

Patogenitas leptospira yang penting adalah perlekatannya pada

permukaan sel dan toksisitas selular. Lipopolysaccharide (LPS) pada

bakteri leptospira mempunyai aktivitas endotoksin yang berbeda dengan


12

endotoksin bakteri gram negatif, dan aktivitas lainnya yaitu stimulasi

perlekatan netrofil pada sel endotel dan trombosit, sehingga terjadi

agregasi trombosit disertai trombositopenia. Bakteri leptospira

mempunyai fosfolipase yaitu suatu hemolisis yang mengakibatkan lisisnya

eritrosit dan membran sel lain yang mengandung fosfolipid.

Organ utama yang terinfeksi kuman leptospira adalah ginjal dan

hati. Di dalam ginjal bakteri leptospira bermigrasi ke interstisium tubulus

ginjal dan lumen tubulus. Pada leptospirosis berat, vaskulitis akan

menghambat sirkulasi mikro dan meningkatkan permeabilitas kapiler,

sehingga menyebabkan kebocoran cairan dan hipovolemia. Hipovolemia

akibat dehidrasi dan perubahan permeabilitas kapiler salah satu penyebab

gagal ginjal. Pada gagal ginjal tampak pembesaran ginjal disertai edema

dan perdarahan subkapsular, serta nekrosis tubulus renal. Sementara

perubahan yang terjadi pada hati bisa tidak tampak secara nyata. Secara

mikroskopik tampak perubahan patologi berupa nekrosis sentrolobuler

disertai hipertrofi dan hiperplasia sel Kupffer. (Gasem, 2008)


13

4. Pathway

Sumber: Sylvia, (2010); NANDA (2015)


14

5. Manifestasi Klinis

Menurut Rusmini (2011) manifestasi Klinis pada leptospirosis

berkaitan dengan penyakit febril umum dan tidak cukup khas untuk

menegakkan diagnosis. Secara khas penyakit ini bersifat bifasik, yaitu

fase leptospiremi/ septikemia dan fase imun.

a. Fase leptospiremi atau septicemia

Masa inkubasi dari leptospira virulen adalah 7-12 hari, rata-rata

10 hari. Untuk beberapa kasus, dapat menjadi lebih singkat yaitu 2

hari atau bahkan bisa memanjang sampai 30 hari Fase ini ditandai

adanya demam yang timbul dengan onset tiba-tiba, menggigil, sakit

kepala, mialgia, ruam kulit, mual, muntah, conjunctival suffusion, dan

tampak lemah.

Demam tinggi dan bersifat remiten bisa mencapai 40ºC

sebelum mengalami penurunan suhu tubuh. Conjunctival suffusion

merupakan tanda khas yang biasanya timbul pada hari ke-3 atau ke-4

.
sakit. Selama fase ini, leptospira dapat dikultur dari darah atau

cairan serebrospinal penderita. Tes serologi menunjukkan hasil yang

negatif sampai setidaknya 5 hari setelah onset gejala.

Pada fase ini mungkin dijumpai adanya hepatomegali, akan tetapi

splenomegali kurang umum dijumpai. Pada hitung jumlah platelet,

ditemukan adanya penurunan jumlah platelet dan trombositopeni

purpura. Pada urinalisis ditemukan adanya proteinuri, tetapi kliren

kreatinin biasanya masih dalam batas normal sampai terjadi nekrosis


15

tubular atau glomerulonephritis.

b. Fase imun

Fase kedua ini ditandai dengan leptospiuria dan berhubungan

dengan timbulnya antibodi IgM dalam serum penderita. Pada kasus

yang ringan (mild case) fase kedua ini berhubungan dengan tanda dan

gejala yang minimal, sementara pada kasus yang berat (severe case)

ditemukan manifestasi terhadap gangguan meningeal dan hepatorenal

yang dominan.

Pada manifestasi meningeal akan timbul gejala meningitis yang

ditandai dengan sakit kepala, fotofobia, dan kaku kuduk. Keterlibatan

sistem saraf pusat pada leptospirosis sebagian besar timbul sebagai

meningitis aseptik. Pada fase ini dapat terjadi berbagai komplikasi,

antara lain neuritis optikus, uveitis, iridosiklitis, dan neuropati

Perifer.

Pada kasus yang berat, perubahan fase pertama ke fase kedua

mungkin tidak terlihat, akan tetapi timbul demam tinggi segera disertai

jaundice dan perdarahan pada kulit, membrana mukosa, bahkan paru.

Selain itu ini sering juga dijumpai adanya hepatomegali, purpura, dan

ekimosis. Gagal ginjal, oliguria, syok, dan miokarditis juga bisa

terjadi dan berhubungan dengan mortalitas penderita.

Menurut berat ringannya, leptospirosis dibagi menjadi ringan (non-

ikterik) dan berat (ikterik). Ikterik merupakan indikator utama dari

leptospirosis berat.
16

a. Leptospirosis ringan (non-ikterik)

Sebagian besar manifestasi klinik leptospirosis adalah anikterik,

dan ini diperkirakan mencapai 90% dari seluruh kasus leptospirosis

di masyarakat. Gejala leptospirosis timbul mendadak ditandai dengan

viral- like illness, yaitu demam, nyeri kepala, dan mialgia. Nyeri

kepala bisa berat, mirip yang terjadi pada infeksi dengue, disertai nyeri

retro orbital dan fotofobia. Nyeri otot diduga terjadi karena adanya

kerusakan otot sehingga kreatinin fosfokinase (CPK) pada sebagian

besar kasus meningkat, dan pemeriksaan CPK ini dapat membantu

penegakan diagnosis klinik leptospirosis. Dapat juga ditemukan

nyeri perut, diare, anoreksia, limfadenopati, splenomegali, rash

makulopapular, kelainan mata (uveitis, iridosiklitis), meningitis

aseptik dan conjunctival suffusion.

Pemeriksaan fisik yang khas adalah conjunctival suffusion dan nyeri

tekan di daerah betis. Gambaran klinik terpenting leptospirosis non-

nikterik adalah meningitis aseptik yang tidak spesifik sehingga sering

terlewatkan diagnosisnya. Sebanyak 80-90% penderita leptospirosis

anikterik akan mengalami pleositosis pada cairan serebrospinal

selama minggu ke-2 penyakit dan 50% diantaranya akan

menunjukkan tanda klinis meningitis. Karena penderita

memperlihatkan penyakit yang bersifat bifasik atau memberikan

riwayat paparan dengan hewan, meningitis tersebut kadang salah

didiagnosis sebagai kelainan akibat virus. Pasien dengan leptospirosis


17

non-ikterik pada umumnya tidak berobat karena keluhan bisa sangat

ringan. Pada sebagian pasien, penyakit ini bisa sembuh sendiri (self-

limited) dan biasanya gejala kliniknya menghilang dalam waktu 2

sampai 3 minggu. Karena gambaran kliniknya mirip dengan penyakit

demam akut yang lain, maka pada setiap kasus dengan keluhan

demam akut, leptospirosis anikterik harus dipikirkan sebagai salah

satu diagnosis banding, terutama di daerah endemik leptospirosis

seperti Indonesia.

b. Leptospirosis berat (ikterik)

Bentuk leptospirosis yang berat ini pada mulanya dikatakan

sebagai Leptospira ichterohaemorrhagiae, tetapi ternyata dapat

9
terlihat pada setiap serotipe leptospira yang lain. Manifestasi

leptospirosis yang berat memiliki angka mortalitas sebesar 5-15%.

Leptospirosis ikterik disebut juga dengan nama Sindrom Weil.

Tanda khas dari sindrom Weil yaitu jaundice atau ikterik, azotemia,

gagal ginjal, serta perdarahan yang timbul dalam waktu 4-6 hari

setelah onset gejala dan dapat mengalami perburukan dalam

minggu ke-2. Ikterus umumnya dianggap sebagai indikator utama

leptospirosis berat. Pada leptospirosis ikterik, demam dapat persisten

sehingga fase imun menjadi tidak jelas atau nampak overlapping

dengan fase leptospiremia.


18

Tabel 2.1 Perbedaan gambaran klinik leptospirosis anikterik dan

ikterik

Sindroma, Fase Gambran Klinik Spesimen


Laboratorium
Leptospirosis
anikterik Demam tinggi, nyeri Darah, LCS
Fase Leptospiremia kepala, mialgia, nyeri
perut, mual, muntah,
conjungtival suffusion.
Fase Imun Demam ringan, nyeri Urin
kepala, muntah

Leptospirosis Ikterik Demam, nyeri kepala, Darah, LCS


Fase leptospiremia mialgia, ikterik, gagal (minggu ke 1 )
dan fase imun sering ginjal, hipotensi, Urin (minggu ke 2)
overlapping manifestasi perdarahan,
pneumonitis
hemorrargik, leukositosis

*antara fase leptospiremia dengan fase imun terdapat periode asimtomatik (± 1-3

hari)

Sumber: Rusmini; (2011)

Beratnya berbagai komponen sindrom Weil kemungkinan

mencerminkan beratnya vaskulitis yang mendasarinya. Ikterus biasanya

tidak terkait dengan nekrosis hepatoselular, dan setelah sembuh tidak

terdapat gangguan fungsi hati yang tersisa. Kematian pada sindrom Weil

jarang disebabkan oleh gagal hati.


19

6. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan laboratorium untuk leptospirosis terdiri dari: pemeriksaan

mikroskopik, kultur, inokulasi hewan, dan serologi.

a. Pemeriksaan mikrobiologik

Bakteri
Leptospira sp. terlalu halus untuk dapat dilihat di

mikroskop lapangan terang, tetapi dapat dilihat jelas dengan

mikroskop lapangan gelap atau mikroskop fase kontras. Spesimen

pemeriksaan dapat diambil dari darah atau urin.

b. Kultur

Organisme dapat diisolasi dari darah atau cairan serebrospinal

hanya pada 10 hari pertama penyakit. Bakteri tersebut biasanya

dijumpai di dalam urin pada 10 hari pertama penyakit. Media

Fletcher dan media Tween 80-albumin merupakan media semisolid

yang bermanfaat pada isolasi primer leptospira. Pada media

semisolid, leptospira tumbuh dalam lingkaran padat 0,5-1 cm

dibawah permukaan media dan biasanya tampak 6-14 hari setelah

inokulasi. Untuk kultur harus dilakukan biakan multipel, sedangkan

jenis bahan yang dibiakkan bergantung pada fase penyakit. Baru- baru

ini dideskripsikan suatu metode radiometrik untuk mendeteksi

organisme leptopira secar cepat dengan menggunakan sistem BACTEC

460 (Johnson Laboratories). Dengan sistem ini, leptospira dideteksi

pada darah manusia setelah inkubasi 2-5 hari.


20

c. Inokulasi hewan

Teknik yang sensitif untuk isolasi leptospira meliputi inokulasi

intraperitoneal pada marmot muda. Dalam beberapa hari dapat

ditemukan leptospira di dalam cairan peritoneal; setelah hewan ini

9
mati (8-14 hari) ditemukan lesi hemoragik pada banyak organ.

d. Serologi

Diagnosis laboratorium leptospirosis terutama didasarkan atas

pemeriksaan serologi. Macroscopic slide agglutination test

merupakan pemeriksaan yang paling berguna untuk rapid screening.

Pemeriksaan gold standart untuk mendeteksi antibodi terhadap

Leptospia interrogans yaitu Microscopic Agglutination Test (MAT)

yang menggunakan organisme hidup. Pada umumnya tes aglutinasi

tersebut tidak positif sampai minggu pertama sejak terjadi infeksi,

kadar puncak antibodi 3-4 minggu setelah onset gejala dan

menetap selama beberapa tahun, walaupun konsentrasinya

kemudian akan menurun.

Tes MAT ini mendeteksi antibodi pada tingkat serovar sehingga

dapat digunakan untuk mengidentifikasi strain Leptospira pada

manusia dan hewan dan karena itu membutuhkan sejumlah strain

(battery of strains) Leptospira termasuk stock-culture, disamping

sepasang sera dari pasien dalam periode sakit akut dan 5-7 hari

sesudahnya. Pemeriksaan MAT dikatakan positif jika terjadi

serokonversi berupa kenaikan titer 4 kali atau ≥ 1:320 dengan satu


21

atau lebih antigen tanpa kenaikan titer (untuk daerah non endemik

leptospirosis digunakan nilai ≥ 1:160). Pemeriksaan serodiagnosis

leptospirosis yang lain adalah Macroscopic Agglutination Test (MA

Test), Microcapsule Agglutination Test (MCAT), rapid latex

agglutination assay (RLA assay), enzyme linked immune sorbent

assay (ELISA), immuno-fluorescent antibody test, dan immunoblot.

Selain uji serologi yang telah disebutkan di atas, terdapat pula uji

serologis penyaring yang lebih cepat dan praktis sebagai tes

leptospirosis. Uji serologis penyaring yang sering digunakan di

Indonesia adalah Lepto Dipstick Assay, LeptoTek Dri Dot, dan

Leptotek Lateral Flow. Saat ini juga telah dikembangkan pemeriksaan

molekuler untuk diagnosis leptospirosis. DNA leptospirosis dapat

dideteksi dengan metode PCR (Polymerase Chain Reaction)

dengan menggunakan spesimen serum, urin, humor aqueous, cairan

serebrospinal, dan jaringan biopsy. (Corwin, 2001)

7. Komplikasi

Terdapat beberapa komplikasi dari leptospirosis, diantaranya adalah

gagal ginjal akut (95% dari kasus), gagal hepar akut (72% dari kasus),

gangguan respirasi akut (38% dari kasus), gangguan kardiovaskuler akut

(33% dari kasus), dan pankreatitis akut (25% dari kasus).


22

Komplikasi yang sering terjadi pada penderita leptospirosis adalah:

a. Gagal ginjal akut.

Gagal ginjal akut yang ditandai dengan oliguria atau poliuria

dapat timbul 4-10 hari setelah gejala leptospirosis terlihat.

Terjadinya gagal ginjal akut pada penderita leptospirosis melalui 3

mekanisme:

1) Invasi/ nefrotoksik langsung dari leptospira.

Invasi leptospira menyebabkan kerusakan tubulus dan

glomerulus sebagai efek langsung dari migrasi leptospira yang

menyebar hematogen menuju kapiler peritubuler kemudian menuju

jaringan interstitium, tubulus, dan lumen tubulus. Kerusakan

jaringan tidak jelas apakah hanya efek migrasi atau efek endotoksin

leptospira.

2) Reaksi imunologi.

Reaksi imunologi berlangsung cepat, adanya kompleks imun

dalam sirkulasi dan endapan komplemen dan adanya electron

dence bodies dalam glomerulus, membuktikan adanya proses

immune-complex glomerulonephritis dan terjadi tubulo interstitial

nefritis.

3) Reaksi non spesifik terhadap infeksi seperti infeksi yang lain

seperti iskemia ginjal.

Hipovolemia dan hipotensi sebagai akibat adanya:


23

a) Intake cairan yang kurang

b) Meningkatnya evaporasi oleh karena demam

c) Pelepasan kinin, histamin, serotonin, prostaglandin, semua ini

akan menyebabkan peningkatan permeabilitas kapiler sehingga

terjadi kebocoran albumin dan cairan intravaskuler.

d) Pelepasan sitokin akibat kerusakan endotel

menyebabkan permeabilitas sel dan vaskuler meningkat.

e) Hipovolemia dan hemokonsentrasi akan merangsang RAA

dan menyebabkan vasokonstriksi.

f) Hiperfibrinogenemia akibat kerusakan endotel kapiler (DIC)

menyebabkan viskositas darah meningkat. Iskemia ginjal,

glomerulonefritis, tubulo interstitial nefritis, dan invasi kuman

menyebabkan terjadinya nekrosis → gagal ginjal akut.

4) Gagal hepar akut

Di hepar terjadi nekrosis sentrilobuler fokal dengan proliferasi sel

Kupfer disertai kolestasis. Terjadinya ikterik pada leptospirosis

disebabkan oleh beberapa hal, antara lain karena kerusakan sel

hati, gangguan fungsi ginjal yang akan menurunkan ekskresi

bilirubin sehingga meningkatkan kadar bilirubin darah, terjadinya

perdarahan pada jaringan dan hemolisis intravaskuler akan

meningkatkan kadar bilirubin, proliferasi sel Kupfer sehingga terjadi

kolestatik intra hepatic.


24

5) Gangguan respirasi dan perdarahan paru

Adanya keterlibatan paru biasanya ditandai dengan gejala yang

bervariasi, diantaranya: batuk, dispnea, dan hemoptisis sampai

dengan Adult Respiratory Distress Syndrome ( ARDS ) dan

Severe Pulmonary Haemorrhage Syndrome ( SPHS ). Paru dapat

mengalami perdarahan dimana patogenesisnya belum diketahui

secara pasti. Perdarahan paru terjadi diduga karena masuknya

endotoksin secara langsung sehingga menyebabkan kerusakan

kapiler dan terjadi perdarahan. Perdarahan terjadi pada pleura,

alveoli, trakeobronkial, kelainan berupa kongesti septum paru,

perdarahn alveoli multifokal, dan infiltrasi sel kongesti pada

septum paru, oedem dan perdarahan alveoli multifokal, esudat fibrin.

Perdarahan paru dapat menimbulkan kematian pada penderita

leptospirosis.

6) Gangguan kardiovaskuler.

Komplikasi kardiovaskuler pada leptospirosis dapat berupa

gangguan sistem konduksi, miokarditis, perikarditis, endokarditis,

dan arteritis koroner. Manifestasi dari gangguan kardiovaskuler ini

sangat bervariasi dari tanpa keluhan sampai bentuk yang berat

berupa gagal jantung kongestif yang fatal. Selama fase septikemia,

terjadi migrasi bakteri, endotoksin, produk enzim atau antigen

karena lisisnya bakteri, akan meningkatkan permeabilitas endotel

dan memberikan manifestasi awal penyakit vaskuler.


25

7) Pankreatitis akut.

Sebenarnya pankreatitis akut adalah komplikasi yang jarang

ditemui pada pasien leptospirosis berat. Pankreatitis terjadi karena

adanya nekrosis dari sel-sel pankreas akibat infeksi bakteri leptospira

(acute necrotizing pancreatitis). Selain itu, terjadinya pankreatitis

akut pada leptospirosis bisa disebabkan karena komplikasi dari

gagalnya organ-organ tubuh yang lain (multiple organ failure), syok

septik, dan anemia berat (severe anemia)

8. Penatalaksanaan

a. Penatalaksaan Medis

Leptospirosis terjadi secara sporadik, pada umumnya bersifat

self- limited disease dan sulit dikonfirmasi pada awal infeksi.

Pengobatan harus dimulai segera pada fase awal penyakit. Secara

teori, Leptospira sp. adalah mikroorganisme yang sensitif terhadap

antibiotik.
26

Tabel 2.2. Manajemen kasus dan kemoprofilaksis leptospirosis

Indikasi Regimen dan dosis

Leptospirosis ringan (mild  Doxycycline (kapsul) 100 mg


2x/ hari selama 7 hari; atau
illness/ suspect case)  Amoxicillin atau
Ampicillin (kapsul) 2 gr/
hari selama 7 hari

Leptospirosis berat (severe  Penicillin G (injeksi) 2 juta


unit IV / 6 jam selama 7 hari;
case/ probable case)  Ceftrioxine (injeksi) 1 gr IV/
hari selama 7 hari

Kemoprofilaksis  Doxycycline (kapsul) 100 mg


2x/ hari selama 7 hari; atau
 Amoxicillin atau Ampicillin
(kapsul) 2gr/ hari selama 7
hari

Sumber: (Mansjoer, 2014)

Hal lain yang perlu diperhatikan dalam manajemen kasus

leptospirosis adalah segera merujuk penderita leptospirosis bila

adanya indikasi pada disfungsi organ ginjal, hepar, paru, terjadi

perdarahan dan gangguan saraf.

b. Pencegahan

Pengendalian leptospirosis di masyarakat sangat terkait dengan

hasil studi faktor-faktor risiko terjadinya leptospirosis. Oleh

karena itu pengendalian leptospirosis terdiri dari pencegahan

primer dan pencegahan sekunder. Pencegahan primer adalah

bagaimana agar orang sehat sebagai sasaran bisa terhindar dari


27

leptospirosis, sehingga kegiatannya bersifat promotif, termasuk

disini proteksi spesifik dengan cara vaksinasi. Sedangkan

pencegahan sekunder yang sasarannya adalah orang yang sudah

sakit leptospirosis, dicegah agar orang tersebut terhindar dari

komplikasi yang nantinya dapat menyebabkan kematian.

Prinsip kerja dari pencegahan primer adalah mengendalikan

agar tidak terjadi kontak leptospira dengan manusia, yang meliputi:

1) Pencegahan hubungan dengan air atau tanah yang terkontaminasi

Para pekerja yang mempunyai risiko tinggi terinfeksi

leptospira, misalnya pekerja irigasi, petani, pekerja

laboratorium, dokter hewan, harus memakai pakaian khusus

yang dapat melindungi kontak dengan air atau tanah yang

terkontaminasi leptospira. Misalnya dengan menggunakan

sepatu bot, masker, sarung tangan.

2) Melindungi sanitasi air minum penduduk

Dalam hal ini dilakukan pengelolaan air minum

yang baik, dilakukan filtrasi dan deklorinai untuk mencegah

invasi leptospira.

3) Pemberian vaksin

Vaksinasi diberikan sesuai dengan leptospira di tempat

tersebut, akan memberikan manfaat cukup poten dan aman

sebagai pencegahan bagi pekerja risiko tinggi. Pencegahan


28

dengan serum imun spesifik telah terbukti melindungi pekerja

laboratorium. Vaksinasi terhadap hewan peliharaan efektif

untuk mencegah leptospirosis.

4) Pengendalian hospes perantara leptospira

Roden yang diduga paling poten sebagai karier

leptospira adalah tikus. Untuk itu dapat dilakukan beberapa

cara seperti penggunaan racun tikus, pemasangan jebakan,

penggunaan bahan rodentisida, dan menggunakan predator

roden.

5) Usaha promotif

untuk menghindari leptospirosis dilakukan dengan cara

edukasi, dimana antara daerah satu dengan daerah yang lain

mempunyai serovar dan epidemi leptospirosis yang berbeda.

Untuk mendukung usaha promotif ini diperlukan peningkatan

kerja antar sektor yang dikoordinasikan oleh tim penyuluhan

kesehatan masyarakat Dinas Kesehatan setempat. Pokok- pokok

cara pengendalian leptospirosis juga memperhatikan hasil

studi faktor risiko terjadinya leptospirosis, antara lain usia, jenis

kelamin, higiene perorangan seperti kebiasaan mandi, riwayat

ada luka, keadaan lingkungan yang tidak bersih, disamping

pekerjaan, sosial ekonomi, populasi tikus, dan lain-lain. Perlu

diperhatikan bahwa leptospirosis lebih sering terjadi pada


29

laki-laki dewasa, mungkin disebabkan oleh paparan pekerjaan

dan kegiatan sehari-hari.

Pencegahan sekunder leptospirosis berupa pengobatan

terhadap pasien yang didiagnosis menderita leptospirosis.

Salah satu hal yang menguntungkan dalam pengobatan ini

ialah pengobatan kausal tidak tergantung pada subgrup

maupun serotipe leptospira. Untuk pengobatan Leptospirosis

ringan (mild illness/ suspect case) dapat menggunakan

Doxycycline (kapsul) 100 mg 2x/ hari selama 7 hari; atau

Amoxicillin atau Ampicillin (kapsul) 2 gr/ hari selama 7 hari.

Sedangkan untuk Leptospirosis berat (severe case/ probable

case) dapat menggunakan Injeksi Penicillin G 2 juta unit

IV / 6 jam selama 7 hari; Injeksi Ceftrioxine 1 gr IV/ hari

selama 7 hari.

Pengelolaan secara umum penderita leptospirosis sama

dengan penyakit sistemik akut yang lain. Rasa sakit diobati

dengan analgetika, gelisah, dan cemas dikendalikan dengan

sedatif, demam diberi antipiretik, jika terjadi kejang pemberian

sesuai dengan keparahan penyakit dan komplikasi yang timbul.

B. Asuhan Keperawatan

1. Pengkajian
30

Pengkajian keperawatan Leptospirosis:

Menurut Rusmini (2011) yang perlu dikaji dalam pengkajian

anamnesis adalah identitas klien (nama, usia), jenis kelamin, pendidikan,

alamat, pekerjaan, agama, suku bangsa, tanggal dan jam masuk rumah

sakit, nomor register dan diagnosis medis.

Pemeriksaan Primer dan sekunder menurut Hudak & Gallo (2012):

a. Pemeriksaan Primer

1) A (Airway)

Masalah jalan napas umumnya terjadi pada pasien

leptospirosis dengan komplikasi oedem pulmo. Bagi pasien

leptospirosis, jalan nafas biasanya stabil. Usaha kita adalah

memelihara oksigen yang adekuat terutama pasien dengan

gangguan kesadaran. Hipoksia dapat memicu metabolisme

anaerobik dan penggunaan energi simpanan saat otak mengalami

serangan atau cedera, yang menyebabkan meluasnya lesi. Salah

satu penyebab umum hipoksia adalah sumbatan jalan nafas.

Untuk menghindari sumbatan jalan napas pada pasien yang tidak

sadar, pasien harus pada posisi dekubitus lateral (leher

hiperekstensi ringan, dan bahu diangkat), lendir disedot bila perlu

dilakukan tube endotrakeal.

2) B (Breathing)

Semua pasien Leptospirosis diberikan oksigen tambahan 1-3

liter/menit melalui hidung sampai ada hasil analisa gas darah


31

kemudian disesuaikan dengan target Pa O2= > 80 (sampai 100)

mmHg. Pemberian oksigen pada pasien leptospirosis umumnya

bermanfaat karena kadar asam dalahm tubuh meningkat dan

menyebakan asidosis metabolik, sehingga bisa menyebabkan

pasien sesak nafas dan terjadi peningkata RR oleh karena itu

pemberian O2 dibutuhkan untuk metabolisme.

3) C (Circulation)

Setelah tindakan jalan nafas dan oksigen maka selanjutnya

yang penting juga adalah memperbaiki sirkulasi. Penderita

Leptospirosis yang pertama kali terjangkit akan mengalami

kenaikan suhu tubuh yang tinggi, mual, muntah dan sakit kepala

akibat proses infeksi. Pada pasien leptospirosis dengan

komplikasi gagal ginjal, menyebabkan gangguan proses

metabolik, anuria yang bisa menyebabkan edema, ketidakstabilan

tekanan darah dan denyut nadi, dan capillary refill time,

konjungtiva anemis, mukosa bibir menjadi kering serta

menyebabkan tugor kulit tidak elastis. Padapasien leptospirosis

yang fungsi hatinya terganggu maka bisa menyebabkan sklera dan

kulit tampak ikterik seperti pada penderita hepatitis.

4) D (Disabillity)

Setelah dilakukan tindakan ABC dan kondisi pasien telh

stabil, maka selanjutnya yang dilkukan adalah menentukan

tingkat gangguan neurologik, sebaiknya pemeriksaan ini


32

dilakukan dalam waktu kurag dari 1 menit, dengan menggunakan

skala GCS :

Tabel 2.3 Pemeiksaan Skala GCS

Skala Pemeriksaan
1 2 3 4 5 6
Tidak Berespon Berespon Membuka

Eye ada terhadap terhadap mata - -

respon nyeri suara spontan


Tidak Kata-kata
Kata-kata Orientasi
Verbal ada tak Bingung -
tidak sesuai baik
respon bermakna
Tidak Ekstensi Fleksi,
Motori Fleksi Melokali Mematuhi
ada terhadap Menghindari
k Abnormal sir Nyeri Perintah
respon nyeri nyeri

Sumber: Wilkinson; (2009)

Selain itu, pada pasien leptospirosis dengan kadar Hb yang

rendah atau terjadi anemia, maka diperlukan pengkajian

tingkat aktivitas.

5) E (Eksposure)

Setelah ABCD dilakukan selanjutnya adalah mengkaji

apakah ada injury atau luka atau kelainan lainnya. Pada


33

pasien leptospirosi siasanya ditemukan adanya bekas luka

sehingga menyebabkan bakteri masuk.

b. Pemeriksaan Sekunder

Pengkajian berikutnya meliputi pengkajian SAMPLE yang

merupakan pengkajian mengenai riwayat singkat pasien dirawat di

rumah sakit.

1) S (Symptoms), pada pasien dengan leptospirosis, tanda dan gejala

yang muncul adalah: demam, nyeri kepala, mialgia, mual dan

muntah, sesak nafas, badan terasa lemas, dan seluruh tubuh

tampak ikterik

2) A (Allergies), yaitu ada tidaknya riwayat alergi makanan atau

obat

3) M (Medications), yaitu terapi terakhir yang sudah diberikan

kepada pasien dan apakh terapi tersebut mengurangi

permasalahan pasien atau tidak. Pada pasien leptospirosis, terapi

yang paling umum adalah pemberian antibiotik jenis penicilin.

4) P (Past Medical History) atau riwayat medis sebelum pasien

dirawat saat ini, dan sudah berapa lama terinfeksi penyakit ini.

5) L (Last Oral Intake) atau terakhir kali pasien makan dan minum

dan jenis atau detil dari makanan atau minuman yang baru saja

dimakan atau diminum


34

6) E (Even Prociding Incident) yaitu hal-hal yang memungkinkan

atau peristiwa yang mengawali terjadinya serangan atau penyakit

pasien saat ini.

2. Diagnosa Keperawatan

Diagnosa keperawatan pada klien dengan Leptospirosis menurut

NANDA (2015) adalah:

a. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan hipeventilasi

b. Defisit volume cairan berhubungan dengan kegagalan mekanisme

pengaturan tubuh.

c. Resiko Nutrisi kurang dari kebutuha tubuh ketidakmampuan

mengabsorbsi zat gizi karena faktor biologis

d. Hipertermi berhubungan dengan peningkatan metabolisme tubuh

e. Nyeri akut berhubungan dengan proses penyakit

f. Resiko infeksi berhubungan dengan imunitas tidak adkuat

g. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan fisik

3. Intervensi Keperawatan

Rencana tindakan keperawatan yang disusun pada klien dengan

masalah stroke menurut NANDA (2015) adalah sebagai berikut:

a. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan hipeventilasi ditandai

dengan : peningkatan RR, Terdapat suara nafas tambahan.

Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan

pola nafas pasien kembali efektif.


35

kriteria hasil :

1) Nafas teratur 16-20 x/menit

2) Suara pernafasan vesikuler

3) Tidak terpasang alat bantu pernafasan

4) Tidak terjadi sianosis.

Intervensi:

1) Monitor tanda-tanda vital

Rasional: Saat pasien sesak nafas akan mengakibatkan kenaikan

tanda-tanda vital terutama respiratory rate.

2) Beri posisi head up 350 - 450

Rasional: Posisi dengan kepala lebih tinggi akan melonggarkan

jalan nafas.

3) Kaji tanda-tanda siaonis.

Rasional: Saat oksigen tidak adekuat di dalam tubuh, maka akan

tampak kebiruan, sehingga dapat dilakukan pemberian oksigen

sesegera mungkin

4) Kolaborasi dengan dokter dalam pemberia oksigen.

Rasional: Saat terjadi asidosis metabolik, pemberian oksigen

diperlikan untuk menetralkan asam di dalam tubuh.

b. Defisit volume cairan berhubungan dengan kegagalan mekanisme

pengaturan tubuh ditandai dengan: balance cairan yang tidak adekuat


36

(output berlebih), kulit dan mukosa bibir yang kering, terdapat edema,

ureum dan kreatinin yang tinggi.

Tujuan : setelah dilakukan tindakan asuhan keperawatan selama

diharapkan kebutuhan cairan dan elektrolit pasien dapat terpenuhi.

kriteria hasil :

1) Balance cairan adekuat,

2) Kulit dan mukosa bibir lembab,

3) Hasil pemeriksaan laboratorium (ureum dan kreatinin)dalam batas

normal.

Intervensi:

1) Monitor balance cairan,

Rasional: Untuk menentukan apakah seseorang itu kebutuhan

cairan terpenuhi atau tidak

2) Monitor intake dan output,

Rasional: Memberi indikator bahwa keseimbangan cairan dalam

tubuh terjaga jika intake sama dengan output.

3) Ambil sample darah untuk pemeriksaan laboratorium,

Rasional: Penigkatan kadar ureum dan kreatinin menandakan

bahwa fungsi ginjal dalam memetabolisme cairan terganggu,

4) Edukasi pasien dan keluarga tentang pentingnya kecukupan

cairan,

Rasional: Jika pasien mengalami gagal ginjal, maka

5) Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian cairan parenteral,


37

Rasional: Cairan parenteral dibutuhkan untuk menyeimbangkan

kadar cairan di dalam tubuh.

6) Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian terapi cairan diuretik,

Rasional: Saat fungsi ginjal terganggu, maka produksi urin juga

terganggu. Untuk mengatasi hal tersebut, pemberian cairan

diuretik diperlukan.

7) Pasang dc jika perlu

Rasional: Saat proses miksi terganggu, maka pemasangan dc

diperlukan untuk membantu proses miksi dan memonitor output

cairan.

8) Kolaborasi dengan dokter untuk hemodialisa.

Rasional: saat fungsi filtrasi ginjal terganggu, maka terjadi

penumpukan toksik di dalam tubuh. Terapi hemodialisa

diperlikan agar darah bersih dari toksik.

c. Resiko Nutrisi kurang dari kebutuha tubuh ketidakmampuan

mengabsorbsi zat gizi karena faktor biologis ditandai dengan: berat

badan yang menurun, disfungsi reflek menelan, terjadi anemia akibat

HB yang rendah.

Tujuan: setelah dilakukan tindakan asuhan keperawatan selama

3x24 jam diharapkan kebutuhan nutrisi klien terpenuhi.

Kriteria hasil:

1) Terdapat kemampuan menelan

2) Sonde dilepas
38

3) Hb dan albumin dalam batas normal

Intervensi:

1) Obsevasi kemampuan klien dalam mengunyah, menelan dan

reflek batuk.

Rasional: Untuk menetapkan jenis makanan yang akan diberikan

pada klien.

2) Berikan informasi kepada keluarga dan pasien tentang kebutuhan

nutrisi.

Rasional: Menjaga pola makan pasien agar teratur untuk proses

metabolisme yang adekuat.

3) Berikan makan dengan berlahan pada lingkungan yang tenang.

Rasional: Klien dapat berkonsentrasi pada mekanisme makan

tanpa adanya distraksi/gangguan dari luar.

4) Mulailah untuk memberikan makan peroral setengah cair, makan

lunak ketika klien dapat menelan air.

Rasional: Makan lunak/cairan kental mudah untuk

mengendalikannya didalam mulut, menurunkan

terjadinya aspirasi.

5) Anjurkan klien menggunakan sedotan meminum cairan.

Rasional: Menguatkan otot fasial dan dan otot menelan dan

menurunkan resiko terjadinya tersedak.

6) Anjurkan klien untuk berpartisipasi dalam program


39

latihan/kegiatan.

Rasional: dapat meningkatkan nafsu makan.

d. Hipertermi berhubungan dengan peningkatan metabolisme tubuh

ditandai dengan: Peningkatan suhu tubuh yang signifikan, terjadi

perubahan warna kulit akibat kenaikan suhu tubuh yang tinggi, dan

dehidrasi.

Tujuan: Setelah dilakukan tindakan asuhan kepeawatan,

diharapkan suhu tubuh pasien kembali normal.

Kriteria hasil:

1) Suhu tubuh dalam rentang normal

2) Tidak ada perubahan warna kulit

3) Tidak terjadi dehidrasi

Interverensi:

1) Monitor vital sign terutama suhu.

Rasional: Saat pasien mengalami kenaikan suhu, bisa terjadi

perubahan tanda-tanda vital yang lainnya.

2) Berikan kompres pada pasien dilipat paha dan aksila,

Rasional: Memindahkan panas dari tubuh ke kompres dengan

metode konduksi.

3) Anjurkan pasien untuk minum yang cukup

Rasional: saat suhu tubuh nauk, maka tubuh akan bermetabolisme

untuk menyeimbangkannya dengan mengeluarkan keringat. Jika


40

pasien tidak seimbang dalam cairan tubuhnya maka akan terjadi

dehidrasi.

4) Kolaborasi dengan dokter dalam pemberia paracetamol

Rasional: terapi obat membantu proses penurunan panas

e. Resiko infeksi berhubungan dengan imunitas tidak adkuat ditandai

dengan: terdapat tanda-tanda infeksi ( jumlah leukosit yang tinggi,

luka sudah nekrosis)

Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan, diharapkan tidak

terjadi infeksi.

Kriteria hasil:

1) Pasien bebas dari tanda-tanda infeksi

2) Jumlah leukosit dalam batas normal

Interverensi:

1) Monitor tanda-tanda vital

Rasional: saat terjadi proses infeksi, maka disertai perubahan

tanda-tanda vital.

2) Monitor tanda-tanda infeksi

Rasional: saat tubuh mengalami infeksi, maka akan muncul tanda-

tanda seperti kenaikan suhu tubuh, perubahan warna kulit dan

kenaikan jumlahleukosit.

3) Pertahankan teknik septik dan aseptik

Rasional: mencegah terjadinya penularan anatar pasien dengan


41

perawat atau sebaliknya.

4) Edukasi keluarga tentang tanda dan gejala infeksi

Rasional: Jika keluarga mengetahu tanda-tanda infeksi, dapat

segera melaporkannya ke perawat yang berjaga.

5) Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian antibiotik.

Rasional: Pemberian obat antibiotik membantu melawan proses

fagositosis.

f. Nyeri akut berhubungan dengan proses penyakit ditandai dengan:

pasien mengeluh nyeri pada bagian tertentu.

Tujuan: setelah dilakukan tindakan asuhan keperawatan selama

diharapkan nyeri berkurang.

Kriteria hasil :

1) pasien mampu mengontrol nyeri, skala nyeri berkurang 0-3,

2) pasien mampu melakukan teknik relaksasi.

Intervensi:

1) Kaji tingkat nyeri,

Rasional: Untuk mengetahui penyebab nyeri, kualitas nyeri,

daerah mana yang terasa nyeri,intensitas nyeri, dan durasi nyeri.

2) Monitor vital sign,

Rasional: Saat terjadi nyeri, perubahan tanda-tanda vital bisa

terjadi.

3) Ajarkan teknik relaksasi nafas dalam,


42

Rasional: Teknik relaksasi nafas dalam bisa membuat pasien

merasa rileks untuk mengurangi nyeri.

4) Berikan obat analgetik sesuai advice dokter.

Rasional: membantu mengurangi rasa nyeri

g. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan fisik ditandai

dengan: pasien mengeluh lemas saat beraktivitas, terjadi perubahan

vital sign saat beraktivitas.

Tujuan: setelah dilakukan tindakan asuhan keperawatan selama

diharapkan pasien bertoleransi terhadap aktivitasnya.

Kiteria hasil:

1) Tidak ada keluhan saat beraktivitas,

2) tidak terjadi perubahan vital sign saat beraktivitas.

Intervensi:

1) Ubah posisi klien tiap 2 jam,

Rasional: mencegah terjadinya dekubitus akibat penekanan yang

sering pada tubuh.

2) Kaji kemampuan ADL pasien selama di RS,

Rasional: Mengetahui kemampuan pasien dalam beraktivitas

3) Monitor perubahan vital signs,

Rasional: saat pasien beraktivitas dapat terjadi perubahan tanda-

tanda vital.
43

4) Beri dorongan pasien untuk beraktivitas secara mandiri, Bantu

pasien untuk beraktivitas dalam : personal hygiene, makan dan

minum, mobilisasi di tempat tidur, serta berpakaian.

Rasional: Saat pasien belum dapat toleran dalam berkativitas,

maka kebutuhan dasar manusia harus terjaga.

5) Kolaborasi dengan fisioterapi untuk latihan fisik pasien

Rasional: Untuk menentukan terapi yang tepat bagi pasien.

4. Implementasi

Implementasi merupakan tahap keempat dari proses keperawatan

dimana rencana perawatan dilaksanakan dan melaksanakan intervensi atau

aktivitas yang telah ditentukan (Doenges, 2000).

5. Evaluasi

Evaluasi adalah respon pasien terhadap terapi dan kemajuan

mengarah pada hasil yang diharapkan. Aktivitas ini berfungsi sebagai

umpan balik dan bagian kontrol proses keperawatan, melalui status

pernyataan diagnostik pasien secara individual dinilai untuk diselesaikan,

dilanjutkan, atau memerlukan perbaikan (Hudak & Gallo, 2012).

Anda mungkin juga menyukai