Anda di halaman 1dari 28

2.1.

Leptospirosis
2.1.1. Definisi
Leptospirosis adalah penyakit bersumber dari binatang (zoonosis) yang
bersifat akut. Penyakit ini disebabkan oleh bakteri Leptospira dan memiliki
beragam gejala yang dapat berakibat fatal.1,13,14 Leptospirosis sering dikenal
dengan flood fever atau demam banjir karena sering menyebabkan terjadinya
wabah pada saat banjir. Berdasarkan 14 studi yang dilakukan menunjukkan
adanya riwayat kontak dengan banjir merupakan faktor yang signifikan untuk
terjadinya leptospirosis.15

Spektrum klinis pada manusia yang diakibatkan oleh leptospira sangat


luas, mulai dari infeksi yang tidak menunjukkan gejala hingga sindrom infeksi
berat multiorgan dengan tingkat kematian yang tinggi. Leptospirosis seringkali
underdiagnosis karena gejala klinis yang tidak spesifik dan memerlukan uji
konfirmasi laboratorium yang jumlahnya terbatas. Pada tahun 1886, Adolf Weil di
Heidelberg pertama kali mengidentifikasi sindrom penyakit multisistem yang
berat, ditandai dengan ikterus dan kegagalan fungsi ginjal.1,16

2.1.2. Epidemiologi
Leptospirosis memiliki tingkat prevalensi yang tinggi di daerah tropis,
sebesar 73% dari total kasus terjadi di wilayah ini, terutama di Asia Tenggara,
Afrika Sub-Sahara Timur, Karibia, dan Oseania. Penyakit ini sering terjadi pada
hampir semua populasi dari lingkungan pedesaan hingga perkotaan. Populasi yang
memiliki risiko lebih tinggi terkena penyakit ini daintaranya petani, kontak
dengan hewan ternak, yang terpapar dengan tikus atau rodent, dan individu yang
tinggal di daerah dengan sanitasi yang buruk.3 Beberapa kasus juga terjadi pada
individu yang kontak dalam olahraga air.17 Kejadian wabah di lingkungan
perkotaan sering terjadi di tempat-tempat dengan sanitasi yang kurang baik, di
mana tikus berkembang biak

1
dengan cepat. Meskipun tingkat insiden umumnya stabil secara global, namun
terdapat berbagai wabah besar yang terjadi dari waktu ke waktu di beberapa
negara, terkadang terkait dengan bencana alam seperti banjir.3
Pada tahun 2021 ditemukan sebanyak 734 kasus Leptospirosis di
Indonesia yang dilaporkan oleh delapan provinsi, yaitu Jawa Barat, Jawa Tengah,
DI Yogyakarta, Jawa Timur, DKI Jakarta, Banten, Kalimantan Utara, dan
Kalimantan Timur. Dari sejumlah kasus yang dilaporkan tersebut, terdapat 84
kasus meninggal dengan Case Fatality Rate (CFR) sebesar 11,4%.2 Persebaran
kasus leptospirosis di Provinsi Jawa Tengah meliputi Kota Semarang, Kabupaten
Demak, Klaten, Banyumas, Purworejo, Sukoharjo, Cilacap, Boyolali, Pati,
Karanganyar, Jepara, Grobogan, dan Kota Surakarta.4 Kasus leptospirosis
meningkat drastis pada tahun 2016 sebanyak 830 kasus, kembali meningkat pada
tahun 2018, yaitu sebanyak 894 kasus. Kasus dan kematian akibat leptospirosis
tertinggi tahun 2018 terjadi di Jawa Tengah dengan CFR sebesar 20,84%.9
Pada Tahun 2022, jumlah kasus leptospirosis di Kabupaten Demak
dilaporkan sebanyak 42 kasus dan angka kematian sebanyak 13 kematian. Hal ini
menunjukkan adanya trend kenaikan dari tahun sebelumnya, yaitu sebesar 28
kasus kesakitan dengan 5 kematian akibat Bakteri Leptospira sp ini. Sedangkan
dalam 5 tahun terakhir, angka kasus tertinggi pada tahun 2020 sbesar 108 kasus
dengan 14 kematian.5

2.1.3. Etiologi
Bakteri Leptospira yang termasuk dalam ordo Spirochaeta ini memiliki
sifat fleksibel, tipis, berlilit padat, dengan panjang 5-15 µm, dan memiliki spiral
halus yang lebarnya 0,1-0,2 µm. Leptospira memiliki bentuk bengkok dan kait
pada salah satu ujungnya.18,19
Leptospira memiliki morfologi khas yang membedakannya dari bakteri
lain dalam kelompok spirochaeta. Struktur seluler bakteri ini dibungkus oleh 3
hingga 5 lapisan membran luar atau selubung. Di bawah membran luar tersebut
terdapat lapisan heliks peptidoglikan yang fleksibel serta membran sitoplasma
yang mengelilingi konten sitoplasma sel. Secara keseluruhan, struktur yang
dikelilingi

2
oleh membran luar ini dikenal sebagai silinder protoplasma. Pembeda utama
antara Leptospira dan spirochaeta lainnya adalah lokasi flagela yang terletak di
antara membran luar dan lapisan peptidoglikan. Flagela periplasma menempel
pada silinder protoplasma bagian subterminal dan meluas hingga bagian tengah
sel. Leptospira memiliki 2 flagela periplasma yang masing-masing terletak pada
ujung sel. Bagian bebas dari flagela periplasma ini memanjang hingga bagian
tengah sel, namun tidak bersilangan seperti pada spirochaeta lainnya. Selain itu,
perbedaan Leptospira dengan spirochaeta lainnya mencakup adanya sedikit
glikolipid dan asam diaminopimelik dalam struktur peptidoglikannya. 19

Gambar 1. Perbedaaan morfologi antara Leptospira, Borrelia, dan Spirillum19

Gambar 2. Mikrograf elektron Leptospira interrogans serovar

3
icterohaemorrhagiae19

2.1.4. Patogenesis
Leptospira dapat menginfeksi manusia melalui berbagai cara, biasanya
melalui kontak dengan air atau tanah yang terkontaminasi oleh bakteri Leptospira.
Bakteri ini dapat masuk ke dalam tubuh melalui luka lecet atau luka dan selaput
lendir kulit. Bahkan, infeksi ini dapat menular melalui kontak dengan kulit yang
sehat jika terjadi paparan yang berkepanjangan terhadap air yang terkontaminasi.
Selain itu, Leptospira juga bisa masuk melalui konjungtiva, yaitu lapisan tipis di
atas bola mata. Perlu diperhatikan bahwa ketika bakteri Leptospira berhasil masuk
ke dalam tubuh, mereka tidak menyebabkan luka di area masuknya. Mekanisme
yang diajukan untuk memahami cara masuknya Leptospira ke dalam tubuh adalah
dengan menggunakan hyaluronidase dan/atau burrowing motility.20

Gambar 3. Siklus Penularan Leptospirosis

Bakteri Leptospira yang virulen berkembang biak di dalam darah dan


jaringan. Leptospira yang tidak virulen akan dihancurkan oleh sistem kekebalan
tubuh dalam waktu 1 atau 2 hari setelah infeksi. Bakteri Leptospira yang virulen
memiliki kemampuan bergerak yang tinggi dan menyebabkan kerusakan utama
pada dinding endotel pembuluh darah, yang mengakibatkan terjadinya vaskulitis
(peradangan pada pembuluh darah) dan kerusakan organ.20

4
Dalam patogenisitas Leptospira, hal penting adalah kemampuannya untuk
melekat pada permukaan sel dan sifat toksisitas seluler. Lipopolisakarida (LPS)
pada bakteri Leptospira memiliki aktivitas endotoksin yang berbeda dengan
bakteri Gram negatif. Selain itu, bakteri ini juga merangsang perlekatan neutrofil
pada sel endotel dan trombosit, menyebabkan agregasi trombosit dan
trombositopenia (penurunan jumlah trombosit dalam darah). Bakteri Leptospira
juga memiliki fosfolipase yang menyebabkan hemolisis, yaitu penghancuran sel
darah merah dan membran sel lain yang mengandung fosfolipid.20
Organ utama yang terinfeksi oleh bakteri Leptospira adalah ginjal dan hati.
Di ginjal, bakteri ini berpindah ke interstitium tubulus ginjal dan lumen tubulus.
Pada kasus leptospirosis berat, vaskulitis menghambat sirkulasi mikro dalam
tubuh dan meningkatkan permeabilitas kapiler, menyebabkan kebocoran cairan
dan hipovolemia (volume darah yang kurang). Hipovolemia dapat menyebabkan
gagal ginjal karena dehidrasi dan perubahan permeabilitas kapiler. Pada gagal
ginjal, ginjal membesar dengan edema dan perdarahan subkapsular, serta terjadi
nekrosis tubular. Namun, perubahan patologis pada hati tidak terlihat jelas. Secara
mikroskopis, dapat dilihat perubahan patologis berupa nekrosis sentrilobular
dengan hipertrofi dan hiperplasia sel Kupffer.13

Gambar 4. Patoegenesis Leptospirosis.13

5
2.1.5. Manifestasi Klinik
Leptospirosis menunjukkan presentasi klinis yang tidak spesifik, sehingga
diagnosa sering kali sulit ditegakkan. Manifestasi klinis leptospirosis
menunjukkan pola bifasik, dengan fase leptospiremia yang berlangsung sekitar 1
minggu, kemudian diikuti oleh fase imun dengan produksi antibodi dan ekskresi
leptospira melalui urin. Sebagian besar komplikasi leptospirosis terkait dengan
adanya leptospira di dalam jaringan spesifik yang terjadi selama fase imun dan
pada minggu kedua penyakit.1,16
 Fase leptospiremi atau septikemia
Masa inkubasi leptospira berkisar sekitar 10 hari (dengan rentang 7-12
hari), namun dalam beberapa kasus, masa inkubasi bisa lebih singkat (sekitar 2
hari) atau bahkan lebih lama (hingga 20 hari). Pada fase ini, pasien mengalami
gejala-gejala seperti demam yang akut, menggigil, sakit kepala, mialgia (nyeri
otot), ruam kulit, mual, muntah, conjunctival suffusion (pembengkakan selaput
mata), dan kelemahan umum.21
Demam pada fase ini bersifat remiten, di mana suhu tubuh pasien bisa
mencapai 40ºC sebelum kemudian mengalami penurunan. Tanda khas yang sering
muncul pada hari ke-3 atau ke-4 setelah sakit adalah conjunctival suffusion.
Leptospira dapat dideteksi melalui kultur darah atau cairan serebrospinal pada
fase ini. Pemeriksaan serologi biasanya memberikan hasil negatif setidaknya 5
hari setelah munculnya gejala.1,21
Selama fase ini, dapat terjadi hepatomegali, tetapi splenomegali jarang
terjadi. Selain itu, jumlah trombosit pada darah cenderung menurun,
menyebabkan kondisi trombositopeni purpura. Hasil urinalisis menunjukkan
adanya proteinuria, tetapi klirens kreatinin biasanya masih normal hingga terjadi
kerusakan pada tubulus ginjal atau glomerulonefritis.1
 Fase imun
Pada fase ini, ditandai dengan adanya leptospiuria dan munculnya antibodi
IgM dalam serum penderita. Pada kasus ringan, fase ini seringkali memiliki tanda
dan gejala yang minimal, sedangkan pada kasus berat, dapat terjadi manifestasi

6
klinis yang paling sering berupa gangguan meningeal dan hepatorenal.
Manifestasi meningeal dapat menyebabkan gejala meningitis, seperti sakit kepala,
fotofobia, dan kaku kuduk. Keterlibatan sistem saraf pusat pada leptospirosis
seringkali berbentuk meningitis aseptik. Pada fase ini, berbagai komplikasi dapat
terjadi, termasuk neuritis uveitis, iridosiklitis, optikus, dan neuropati perifer.16,21
Pada kasus berat, transisi perubahan fase jarang terlihat, tetapi gejala
demam tinggi segera diikuti dengan kuning/jaundice dan terjadinya perdarahan
pada kulit, membran mukosa, bahkan paru-paru. Selain itu, sering juga ditemukan
hepatomegali, purpura, dan ekimosis. Gagal ginjal, oliguria (produksi urin yang
sangat sedikit), syok, dan miokarditis juga bisa terjadi dan berhubungan dengan
tingkat kematian (mortalitas) pada penderita leptospirosis yang berat. 1,13

Gambar 5. Pola bifasik leptospirosis16


Leptospirosis dibagi menjadi dua kategori berdasarkan tingkat
keparahannya, yaitu ringan (non-ikterik) dan berat (ikterik). Ikterik merupakan
indikator utama dari leptospirosis berat.16
1. Leptospirosis ringan (non-ikterik)
Leptospirosis ringan merupakan manifestasi klinis yang paling sering
terjadi, mencakup sekitar 90% dari kasus leptospirosis. Gejala leptospirosis ringan
muncul secara mendadak dan ditandai dengan gejala penyakit serupa infeksi
virus,

7
seperti demam, nyeri kepala, dan mialgia. Nyeri kepala pada leptospirosis bisa
cukup berat, mirip dengan yang terjadi pada infeksi dengue, dan sering disertai
nyeri retro orbital dan fotofobia. Nyeri otot terjadi karena adanya kerusakan pada
otot, yang menyebabkan peningkatan enzim kreatinin fosfokinase (CPK) dalam
darah, dan hal ini dapat membantu dalam diagnosis leptospirosis secara klinis.16,21
Beberapa gejala lain yang dapat ditemukan pada leptospirosis ringan
termasuk nyeri perut, diare, anoreksia, limfadenopati, splenomegali, ruam kulit
makulopapular, kelainan pada mata seperti uveitis atau iridosiklitis, serta gejala-
gejala lain seperti meningitis aseptik dan conjunctival suffusion. Conjunctival
suffusion dan nyeri tekan di otot gastrocnemius adalah temuan khas yang dapat
ditemukan pada pemeriksaan fisik pada penderita leptospirosis ringan. Pada
leptospirosis ringan, gejala meningitis aseptik yang tidak spesifik bisa terjadi.
Sekitar 80-90% penderita leptospirosis ringan akan menunjukkan pleositosis
(peningkatan jumlah sel) pada cairan serebrospinal (cairan di sekitar otak dan
sumsum tulang belakang) selama minggu kedua penyakit, dan sekitar 50% dari
mereka akan menunjukkan tanda-tanda klinis meningitis. Meningitis ini kadang-
kadang dianggap sebagai kelainan akibat infeksi virus karena manifestasi klinis
yang bersifat dua fase (bifasik) atau adanya riwayat paparan dengan hewan yang
dianggap sebagai penyebab.1,21
Penderita leptospirosis ringan biasanya tidak perlu mendapatkan
perawatan khusus karena keluhan biasanya ringan dan tidak mengganggu aktivitas
sehari-hari. Pada beberapa kasus, penyakit ini bisa sembuh dengan sendirinya dan
gejala kliniknya umumnya membaik dalam 2 hingga 3 minggu. Karena gambaran
klinik leptospirosis ringan seringkali tumpang tindih dengan penyakit demam akut
lainnya, maka leptospirosis ringan harus menjadi salah satu diagnosis banding,
terutama di daerah endemik leptospirosis seperti Indonesia pada kasus demam
akut.16

2. Leptospirosis berat (ikterik)


Leptospirosis ikterik awalnya dianggap terjadi akibat infeksi oleh serotipe
Leptospira ichterohaemorrhagiae, namun sekarang diketahui bahwa kondisi ini

8
dapat terjadi pada infeksi oleh berbagai serotipe Leptospira. Tingkat kematian
(mortalitas) pada leptospirosis ikterik berkisar antara 5 hingga 15%. Leptospirosis
ikterik sering disebut sebagai Weil Syndrome, yang ditandai dengan kumpulan
gejala berupa jaundice, azotemia (peningkatan kadar nitrogen ureum darah), gagal
ginjal, serta perdarahan, yang muncul dalam 4 hingga 6 hari setelah munculnya
gejala awal, dan kondisi pasien dapat memburuk dalam minggu kedua penyakit.
Ikterus dianggap sebagai parameter utama leptospirosis berat. Pada leptospirosis
ikterik, demam dapat menetap sehingga fase imun menjadi tidak jelas atau terlihat
tumpang tindih dengan fase leptospiremia.16,21

Tabel 2. Perbedaan manifestasi klinis leptospirosis anikterik dan ikterik

Spesimen
Sindroma, Fase Gambaran Klinik
Laboratorium
Leptospirosis
anikterik* Demam tinggi, nyeri kepala, mialgia, Darah, LCS
Fase leptospiremia nyeri perut, mual,
muntah,conjunctival suffusion
Demam ringan,nyeri Urin
Fase imun kepala, muntah, meningitisaseptik
Leptospirosis
ikterik
Demam, nyeri kepala, mialgia, ikterik, Darah,
Fase leptospiremia
gagal ginjal, hipotensi, manifestasi LCS
dan fase imun perdarahan,pneumonitis hemorrargik, (minggu 1)
(sering overlapping) leukositosis
Urin
(minggu ke-2)
*antara fase leptospiremia dengan fase imun terdapat periode asimtomatik(± 1-3

hari)

Ikterus muncul akibat kolestasis sepsis yang biasa muncul pada hari ke 5
sampai 9 penyakit. Ikterus umumnya tidak terkait dengan nekrosis hepatoselular,
dan biasanya akan kembali normal tanpa komplikasi setelah sembuh. Pada
pemeriksaan laboratorium akan didapatkan peningkatan transaminase dan sedikit

9
peningkatan dari alkali fosfatase.1 Selain itu juga akan didapatkan peningkatan
kadar bilirubin total yang sangat tinggi. Kematian pada sindrom Weil jarang
disebabkan oleh gagal hati.16,22

2.1.6. Diagnosis
2.1.6.1. Diagnosis Klinis
Deteksi dini leptospirosis masih menjadi tantangan dalam menegakkan
diagnosis, terutama saat fase awal. Karena manifestasinya yang beragam pada
berbagai sistem organ, maka diperlukan metode diagnosis khusus untuk
menegakkan diagnosis.
Dalam anamnesis, hal yang penting untuk ditanyakan adalah faktor risiko,
seperti pekerjaan dan tempat tinggal, untuk menilai apakah pasien termasuk dalam
kelompok risiko tinggi atau tidak. Selain itu, riwayat kontak dengan binatang atau
lingkungan yang terkontaminasi urin hewan juga penting untuk ditanyakan.
Gejala seperti demam, nyeri kepala frontal, nyeri otot, mual, muntah, dan
fotofobia dapat menimbulkan kecurigaan terhadap leptospirosis. Pada
pemeriksaan fisik, dapat ditemukan tanda-tanda seperti demam, bradikardia, nyeri
tekan pada otot, hepatomegali, dan lain-lain.
Sebelumnya klinisi menggunakan kriteria diagnosis menurut The Center
for Disease Control of Leptospirosis Report
Tabel 3. Kriteria diagnosis leptospirosis Faine

A. Apakah penderita Jawab Nilai


Sakit kepala mendadak Ya/ tidak 2/0
Conjunctival suffusion Ya/ tidak 4/0
Demam Ya/ tidak 2/0
Demam ≥ 38ºC Ya/ tidak 2/0
Meningismus Ya/ tidak 4/0
Meningismus, nyeri otot, conjunctival suffusion bersama-sama Ya/ tidak 10/0
Ikterik Ya/ tidak 1/0
Albuminuria atau azotemia Ya/ tidak 2/0
B. Faktor- faktor epidemiologik
Riwayat dengan kontak binatang pembawa leptospira, pergi Ya/ tidak 10/0

10
kehutan, rekreasi, tempat kerja, diduga atau diketahui
kontak dengan
air yang terkontaminasi
C. Hasil laboratorium pemeriksaan serologik
Serologik (+) dan daerah endemik
Serum tunggal (+) titer rendah Ya/ tidak 2/0
Serum tunggal (+) titer tinggi Ya/ tidak 10/0
Serum sepasang (+), titer meningkat Ya/ tidak 25/0
Serologik (+) dan bukan daerah endemik
Serum tunggal (+) titer rendah Ya/ tidak 5/0
Serum tunggal (+) titer tinggi Ya/ tidak 15/0
Serum sepasang (+), titer meningkat Ya/ tidak 25/0

Sumber : (Faine S. Guideline for The Control of Leptospirosis, Geneva WHO,1982).

Berdasarkan kriteria di atas, leptospirosis dapat ditegakkan jika: Presumptive


leptospirosis, bila A atau A+B>26 atau A+B+C>25 Sugestive leptospirosis, bila A+B
antara 20-2

Namun kriteria sebelumnya memiliki beberapa kekurangan. Pemberian nilai pada


faktor-faktor epidemiologis dalam kriteria tersebut cenderung subjektif dan
kurang spesifik. Selain itu, hasil pemeriksaan serologik dalam kriteria sebelumnya
dapat menjadi kendala bagi klinisi karena seringkali tidak mudah diperoleh dan
memerlukan waktu beberapa hari untuk diperoleh hasilnya.18
Untuk menegakkan diagnosis klinik, klinisi membutuhkan kriteria
diagnosis yang lebih sesuai dan memudahkan dalam menegakkan diagnosis.
Kriteria diagnosis terbaru adalah Kriteria Diagnosis Leptospirosis WHO SEARO
2009.23
Terdapat tiga kriteria yang ditetapkan dalam mendefinisikan kasus Leptospirosis,
yaitu:23
1. Kasus suspek leptospirosis
Demam akut dengan atau tanpa sakit kepala, disertai nyeri otot, lemah
(malaise), conjungtival suffusion, dan riwayat terpapar dengan lingkungan yang
terkontaminasi atau aktifitas yang merupakan faktor risiko leptospirosis dalam
kurun waktu 2 minggu.

11
2. Kasus probable leptospirosis
a. Probable (pada pelayanan kesehatan primer)
Kasus suspek dengan 2 dari tanda berikut:
 Nyeri tekan pada betis
 Batuk dengan atau tanpa hemoptisis
 Ikterus
 Perdarahan
 Iritasi meningeal
 Anuria / oliguri dan/atau proteinuri
 Sesak napas
 Aritmia kordis
 Kemerahan pada kulit
b. Probable (pada pelayanan kesehatan sekunder dan tersier)
Berdasarkan hasil laboratorium, dikatakan probable apabila ditemukan
kasus suspek dengan IgM antileptospira positif dan/atau dengan penemuan
serologi yang mendukung, seperti titer MAT sejumlah 200 pada sampel tunggal
dan/atau ditemukan 3 dari tanda berikut:
 Pada urin ditemukan proteinuria, sel pus, darah
 Netrofilia relatif (>80%) dengan limfopeni
 Platelet < 100.000 / cu mm
 Peningkatan bilirubin > 2 mg% ; peningkatan enzim hepar (Alkalin
fosfatase, S amilase, CPK)

3. Kasus konfirmasi leptospirosis


Dinyatakan sebagai kasus konfirmasi saat kasus probable disertai salah satu dari:
 Isolasi leptospira pada spesimen klinik
 Hasil PCR positif
 Sero – konversi dari negatif menjadi positif atau peningkatan titer 4 kali
dengan MAT

12
 Titer MAT sejumlah 400 atau lebih besar pada sampel tunggal.

2.1.6.2. Diagnosis Laboratorium


Diagnosis definitif leptospirosis dilihat dari penemuan laboratorium. Pada
sindrom Weil dapat dijumpai leukositosis dan netropenia, terutama selama fase
awal penyakit. Anemia jarang ditemukan pada leptospirosis anikterik, namun pada
kasus berat dapat ditemukan adanya anemia berat. Dapat terjadi peningkatan
kadar enzim hati, ureum dan kreatinin pada leptospirosis anikterik, dan meningkat
secara ekstrim pada Leptospirosis ikterik. Untuk menegakkan diagnosis yang
akurat, diperlukan konfirmasi pemeriksaan laboratorium. Proses pemeriksaan
dapat dilakukan melalui beragam metode, diantaranya diagnosis bakteri,
pendekatan molekuler, uji inokulasi pada hewan percobaan, dan pengujian
serologi.7,10,24

1. Diagnosis bakteri
Proses pengidentifikasian bakteri berbeda antara kasus leptospirosis akut
dan kronik, yaitu pada lokasi ditemukannya leptospira. Dalam kasus akut, prinsip
diagnosis diterapkan pada awal munculnya gejala, di mana leptospira, DNA atau
antigen masih dapat diidentifikasi dalam darah, cairan serebrospinalis (LCS), urin,
serta jaringan. Metode pemeriksaan dapat dilakukan secara langsung
menggunakan mikroskop atau pemeriksaan kultur bakteri. Namun, metode
pemeriksaan mikroskop dengan penggunaan lapangan gelap kurang disarankan
karena kesulitan dalam membedakan fibrin dan protein pada preparat basah dari
leptospira. Sementara itu, dalam kasus leptospirosis kronik, leptospira akan dapat
diidentifikasi pada hari ke-8 hingga ke-10 awal setelah infeksi, terutama di otak,
bagian anterior mata pada kasus uveitis, dan ginjal.10,24,25

2. Pendekatan molekuler
Metode pendekatan molekuler pertama dilakukan dengan melakukan
investigasi langsung terhadap ekstrak DNA atau sampel biologis yang telah
diisolasi. Pendekatan ini berfokus pada penerapan PCR untuk mendeteksi DNA
khusus leptospira, yang kemudian memungkinkan identifikasi strain leptospira

13
yang termasuk dalam kategori patogen. Secara keseluruhan, penggunaan PCR ini
telah meningkatkan kapabilitas diagnosis leptospirosis dengan menghadirkan
manfaat dalam hal sensitivitas, spesifisitas, dan kecepatan analisis. Namun,
pemeriksaan ini jumlahnya masih terbatas, biaya reagen relatif mahal, serta tidak
adanya standarisasi pengujian terhadap sampel dalam skala besar, terutama di
daerah endemik.7,10,26

3. Inokulasi hewan
Inokulasi dilakukan pada hewan percobaan seperti hamster dan marmut.
Proses ini melibatkan pemberian darah, cairan serebrospinalis (LCS), urin, atau
suspensi jaringan yang terinfeksi diinokulasikan secara peritoneal pada hewan
percobaan tersebut. Setelah itu, gejala yang muncul pada hewan percobaan seperti
demam, penurunan berat badan, dan tanda-tanda penyakit klinis akan diamati.
Hewan percobaan dapat berperan sebagai carrier leptospira dalam rentang waktu
14 hingga 28 hari setelah inokulasi dilakukan. Semua percobaan ini harus
dilakukan sesuai dengan pedoman internasional yang telah disetujui terkait etika
dalam perlakuan terhadap hewan percobaan dan manusia.26

4. Serologi
Diagnosis laboratorium leptospirosis terutama didasarkan atas
pemeriksaan serologi. Pemeriksaan gold standart untuk mendeteksi antibodi
terhadap Leptospira interrogans yaitu Microscopic Agglutination Test (MAT)
yang menggunakan organisme hidup. Pada umumnya tes aglutinasi tersebut tidak
positif sampai minggu pertama sejak terjadi infeksi, kadar puncak antibodi 3-4
minggu setelah onset gejala dan menetap selama beberapa tahun, walaupun
konsentrasinya kemudian akan menurun. MAT bersifat spesifik pada serovar yang
menginfeksi atau antigen serovar, yang kemudian dapat digunakan untuk
mendeteksi antibodi anti leptospira.. Pemeriksaan MAT dikatakan positif jika
terjadi serokonversi berupa kenaikan titer 4 kali atau ≥ 1:320 dengan satu atau
lebih antigen tanpa kenaikan titer (untuk daerah non endemik leptospirosis
digunakan nilai ≥ 1:160)

.10,24,25
14
Pemeriksaan serodiagnosis leptospirosis yang lain adalah Macroscopic
Agglutination Test (MA Test), Microcapsule Agglutination Test (MCAT), rapid
latex agglutination assay (RLA assay), enzyme linked immune sorbent assay
(ELISA), immuno-fluorescent antibody test, dan immunoblot. Selain uji serologi
yang telah disebutkan di atas, terdapat 3 rapid test yang dapat digunakan untuk
skrining diagnosis leptospirosis, yaitu Leptodipstick untuk mendeteksi IgM
spesifik Leptospira species, LeptoTek Lateral-Flow untuk mendeteksi antibodi
spesifik Leptospira species pada serum manusia, dan LeptoTek Dri-Dot yang
prinsip penggunaannya berdasarkan pemeriksaan aglutinasi lateks.10,25,27

2.1.7. Tatalaksana
Pengobatan dengan antibiotik yang efektif harus dimulai segera setelah
kasus suspek ditegakkan secara klinis.
a. Terapi untuk khusus leptospirosis ringan :28
 Pilihan : Doksisiklin 2X100 mg selama 7 (tujuh) hari kecuali pada anak,
ibu hamil, atau bila ada kontraindikasi Doksisiklin.
 Alternatif ( Bila tidak dapat diberikan doksisiklin)
1. Amoksisilin 3X500mg/hari pada orang dewasa;
2. Atau 10-20mg/kgBB per8 jam pada anak selama 7 hari;
3. Bila alergi Amoksisilin dapat diberikan Makrolid
b. Terapi kasus leptospirosis berat :28
1. Ceftriaxon 1-2 gram iv selama 7 (tujuh) hari ;
2. Penisilin Prokalin 1.5 juta unit im per 6 jam selama 7 (tujuh) hari;
3. Ampisilin 4 X 1 gram iv per hari selama 7 (tujuh) hari;
4. Terapi suportif dibutuhkan bila ada komplikasi seperti gagal ginjal,
pendarahan organ (paru, saluran cerna, saluran kemih, serebral) syok dan
gangguan neorologi

Pemberian penisilin dapat menyebabkan timbulnya reaksi Jarisch-


Herxheimer (JH) dalam rentang waktu 4 hingga 6 jam setelah pemberian
intravena. Reaksi ini menunjukkan adanya aktivitas anti-leptospira, di mana
toksin dari

15
leptospira yang mati memicu pelepasan sitokin dalam tubuh. Gejala reaksi JH
yang mungkin muncul meliputi demam dengan suhu antara 37,8 hingga 38,4°C,
disertai dengan kekakuan dan penurunan tekanan darah (hipotensi). Penanganan
reaksi JH dapat dilakukan dengan tindakan suportif dan simptomatik saja. Dalam
kasus alergi terhadap penisilin, antibiotik alternatif yang dapat diberikan adalah
eritromisin (250 mg setiap 6 jam selama 5 hari). Selain itu, antibiotik lain seperti
doksisiklin dengan dosis 100 mg yang diberikan secara oral dua kali sehari juga
telah terbukti dapat mengurangi tingkat keparahan dan durasi penyakit.26,29

2.1.8. Pencegahan dan Pengendalian


Pengendalian Leptospirosis melibatkan dua pendekatan, yakni pencegahan
primer dan pencegahan sekunder. Pencegahan primer bertujuan melindungi
individu yang sehat dari Leptospirosis, dengan fokus pada promosi kesehatan dan
vaksinasi sebagai bentuk perlindungan spesifik. Sementara itu, pencegahan
sekunder ditujukan untuk mencegah komplikasi yang dapat mengarah pada
kematian pada individu yang sudah terinfeksi Leptospirosis. Upaya pengendalian
faktor risiko Leptospirosis dilakukan pada tiga area utama: sumber infeksi, jalur
transmisi antara sumber infeksi dan manusia; atau Infeksi pada manusia.1,23,28

A. Sumber Infeksi (Ragam Tikus, Hewan Ternak, Hewan Peliharaan)28


1. Pengendalian Tikus :
Strategi pengendalian tikus melibatkan tiga kegiatan utama, yakni
perbaikan sanitasi lingkungan, pendekatan non-kimiawi, dan pendekatan kimiawi.
Penggunaan bahan kimia (rodentisida) harus diterapkan dengan hati-hati, dengan
memilih produk yang aman bagi manusia dan lingkungan, serta
mempertimbangkan faktor-faktor sosial manusia sebelumnya. Dalam upaya
pengendalian tikus, disarankan penggunaan alat pelindung diri seperti baju
pelindung, sarung tangan kedap air, masker, dan topi. Pencegahan penularan
leptospirosis dapat dicapai secara maksimal dengan pendekatan pengendalian
tikus yang terintegrasi, mencakup berbagai teknik seperti perbaikan sanitasi
lingkungan, pengendalian mekanis tikus, penggunaan perangkap tikus di dalam
dan di luar

16
rumah (seperti pekarangan, kebun, dan sawah).1,28

2. Pengendalian Hewan Reservoir, hewan ternak


a. Vaksinasi Hewan Domestik
b. Partisipasi Masyarakat dalam Pengendalian Leptospirosis pada Hewan
Peliharaan/Ternak
 Pemilik hewan domestik perlu mengambil langkah-langkah untuk
mengurangi kemungkinan kontak hewan peliharaan mereka dengan
binatang liar, seperti tidak memberi makan hewan di luar atau mengawasi
hewan agar tidak berkeliaran tanpa pengawasan.
 Hindari agar hewan peliharaan tidak buang air kecil di dekat kolam atau
genangan air.
 Jaga agar binatang tetap menjauh dari kebun, taman bermain, dan area lain
di mana anak-anak sering bermain.

B. Pemutusan Alur Penularan Antara Sumber Infeksi Dan Manusia


1. Pemberian Desinfeksi Penampungan Air dan Badan Air Alami28
 Pengukuran Klorin di penampungan air dan badan air (kolam dan
genangan air penduduk)
- Pengukuran kadar klorin dilakukan segera sebelum dan setelah sodium
hipoklorit ditambahkan dalam air, untuk menilai efektifitas klorin;
- Dilakukan pemeriksaan residu klorin;

 Pemberian desinfektan dipenampungan air setiap kasus Leptospirosis


- Setelah wawancara dan obeservasi lingkungan rumah dilakukan
pemberian sodium hipoklorit di penampungan air kasus Leptospirosis,
seperti di ember, gentong, bak mandi dan penampungan air lainnya;
- Setiap penampungan air kasus Leptospirosis (ember, bak dll)
- Diberi sodium hipoklorit 1% dengan dosis 1ml untuk 4 liter air, atau 1
sendok makan untuk 20 liter air.

17
 Pemberian desinfektan di badan air (kolam dan genangan air) di
lingkungan kasus Leptospirosis

2. Pengelolahan tanah yang terkontaminasi bakteri Leptospirosis patogen.


Tanah yang lembap, yang berpotensi terpapar oleh bakteri Leptospira,
dapat menjadi sumber penularan bagi berbagai kelompok pekerja, termasuk
pekerja irigasi, petani tebu, petugas laboratorium, dokter hewan, pekerja
pemotongan hewan, petugas survei hutan, dan pekerja tambang. Untuk
menghindari penularan, disarankan kepada para pekerja ini untuk mengenakan
pakaian khusus yang melindungi mereka dari kontak dengan tanah atau bahan
yang mungkin terkontaminasi, seperti sepatu bot, masker, dan sarung tangan.
Selain itu, direkomendasikan untuk mencuci peralatan kerja setelah selesai
bekerja, terutama bagi pekerja laboratorium dan pemotongan hewan,
menggunakan larutan sodium hipoklorit dengan perbandingan 1:4000 atau
dengan deterjen.28

C. Infeksi pada Manusia


1. Pengendalian Infeksi/Penyakit pada Manusia dengan Antibiotik
Infeksi Leptospira pada manusia dapat memiliki tingkat keparahan yang
bervariasi, tergantung pada jenis serovar Leptospira yang menyebabkan infeksi,
usia individu, kondisi kesehatan, dan asupan gizi. Manusia jarang menjadi
pembawa kronis Leptospira, namun mereka dapat mengalami infeksi akut,
kadang-kadang dengan dampak jangka panjang. Pasien yang terdiagnosis
secara klinis suspek/probable leptospirosis harus segera diberikan terapi
antibiotik yang tepat, untuk mengurangi mortalitas dan morbiditas pasien.28

2. Promosi Kesehatan
Upaya promosi kesehatan dalam pengendalian Leptospirosis dilakukan
melalui edukasi. Penting untuk dicatat bahwa setiap daerah dapat memiliki
serovar dan pola epidemiologi Leptospirosis yang berbeda. Karena
Leptospirosis adalah penyakit zoonosis yang berasal dari binatang, program
edukasi harus melibatkan berbagai pihak, termasuk profesional kesehatan,

18
dokter hewan, dan

19
kelompok masyarakat yang terlibat dalam aspek sosial.28

20
2.2. THAI-LEPTO Score (TLS)

THAI-LEPTO Score merupakan skoring diagnostik yang dikembangkan


untuk mendiagnosis leptospirosis pada pasien dengan kecurigaan klinis yang
berat. Penelitian pengembangan skor dilakukan pada 11 senter di 8 provinsi di
Thailand dari tahun 2012 hingga 2014 dengan 211 subjek. Pemeriksaan gold
standard untuk konfirmasi penegakan diagnosis leptospirosis menggunakan
MAT, direct culture dan PCR. Skor diturunkan dari analisis multivariat regresi
logistik diantara faktor prediktor leptospirosis yang diteliti. Kemudian penelitian
validasi skor dilakukan pada 4 senter Thailand Utara tahun 2015 hingga 2016
dengan melibatkan 92 subjek. Subjek penelitian mengeksklusi pasien dengan
penyakit spesifik seperti infeksi saluran hepatobilier, sepsis bakterial, dan malaria
sebelum dilakukan skoring.11
Tabel 4. Perbandingan skor THAI-LEPTO model 1 dan model 2

Prediktor Model I (8 variabel) Model II (7 variabel)


Estimasi Adjusted Simplified Estimasi Adjusted Simplified
parameter odds ratio score parameter odds ratio score
Hipotensi 1.301 3.674 3.5 1.030 2.802 3
(MAP <70)
Jaundice 0.302 1.352 1.5 0.813 2.256 2
Nyeri otot 0.791 2.205 2 0.614 1.847 2
Acute Kidney 0.387 1.473 1.5 0.416 1.516 1.5
Injury (AKI)
Hb < 12 g/dl 1.063 2.896 3 1.028 2.796 3
K < 3.5 & 1.44 4.221 4 1.126 3.082 3
Na<135
PMN 80% & 0.617 1.853 2 0.097 1.102 1
Leukosit
<10.000
Opasitas paru 0.085 1.089 1 - - -
Konstanta -1.852 0.157 -1.376 0.253 -

TLS mempunyai 2 model. Model 1 terdiri dari 8 variabel sedangkan


model 2 terdapat 7 variabel dengan menghilangkan variable opasitas paru.
Model 2 memiliki persentase tanggapan yang benar (yaitu, persentase
keseluruhan tanggapan positif dan negatif yang benar) sebesar 73,0% dengan nilai
p Hosmer- Lemeshow sebesar 0,33 dan kuadrat Nagelkerke R sebesar 0,28.

21
Tabel 5. Perbandingan performa pada kedua model skor

Parameter Nilai Sensitivitas Spesifisitas Positive Positive


Cutoff (%) (%) Likelihoo , Post-
d test
ratio Probability
THAI – LEPTO 4.5 79.4 65.8 2.321 0.699
Score 8
5 79.4 71.1 2.743 0.733
variabel
(Simplified 5.5 70.6 76.3 2.980 0.749
model I)
THAI – LEPTO 3.5 74.6 68.6 2.37 0.703
Score 7
4.0 71.6 74.3 2.786 0.736
variabel
(Simplified 4.5 67.2 75.7 2.766 0.734
model II)
IgM rapid test 0.519 39.1 67.7 1.21 0.548

Skor THAI-LEPTO model I dengan nilai batas 5 mempunyai Sensitivitas,


Spesifisitas, Rasio kemungkinan positif dan Probabilitas Post-Test masing-masing
adalah 0,794, 0,711, 2,740, dan 0,733. Sedang untuk model II mempunyai
sensitivitas dan spesifitas paling baik pada nilai batas 4, dengan sensitivitas 0,716
dan spesifitas 0,743. Pada studi kohort validasi keakuratan skor THAI-LEPTO
dibandingkan dengan rapid test antibodi IgM leptospira, pemeriksaan yang sering
dipakai dalam praktik klinis. Hasil nya menunjukkan bahwa skor THAI-LEPTO
mengungguli rapid test antibodi IgM leptospira pada semua parameter yang
digunakan.11
Tabel 6. Perbandingan performa model skoring leptospirosis

Model THAI- Model Modified Modified Modified Faine


skoring LEPTO Rajakse Faine Faine Faine criteria
Score S. et al criteria criteria criteria (1982)
dengan (2004) (2004)
amandemen
(2012)
Studi 2017 2016 Jose LR, et Bandara K Bhatia M, Chifu W.
validasi al, 2016 et al 2016 et al, 2015 et al, 2010
Negara Thailand Sri India Sri Lanka India Thailand
Lanka
Tes MAT, MAT IgM ELISA MAT, MAT MAT
Konfirmasi Kultur, PCR
PCR
AUC (95% 0.78 (0.68, 0.76 N/A N/A N/A N/A
CI) 0.89)
Sensitivitas 73.5 80.3 100 89.39 N/A 68
(%)

22
Spesifisitas 73.7 60.2 N/A 58.82 N/A 58
(%)
PPV (%) 87.8 54 N/A 58.42 21% 64
NPV(%) 58.3 84 N/A 89.55 N/A 59
Positive LR 2.79 2.01 N/A 2.17 N/A N/A
Positive LR 0.36 0.32 N/A 0.18 N/A N/A

Kinerja skor THAI-LEPTO model II yang disederhanakan pada nilai batas


4 dibandingkan dengan model skoring lainnya. Lebih mudah diaplikasikan karena
tidak harus menggunakan pemeriksaan X Foto Thorax. Meskipun masing-masing
model mungkin memiliki validitas internal, metrik yang dilaporkan dalam satu
penelitian mungkin tidak dapat digeneralisasikan di luar populasi penelitian.
Dengan demikian, perbandingan antara studi harus dilakukan dengan tetap
mengingat kesamaan studi. Dengan mengingat hal ini, skoring THAI-LEPTO dan
sistem skoring yang dilaporkan dari Sri Lanka, skor THAI-LEPTO memiliki
spesifisitas dan rasio kemungkinan positif yang lebih tinggi, sementara skoring
dari Sri Lanka memiliki sensitivitas dan rasio kemungkinan negatif yang lebih
baik.11
Tabel 7. Skor THAI –LEPTO Model II

Parameter Skor
Hipotensi (MAP <70 mmHg) 3
Penyakit kuning (kulit, sklera, membran mukus ikterik) 2
Nyeri otot (nyeri otot non traumatik pada betis dan punggung bawah) 2
Acute Kidney Injury (sesuai kriteria KDIGO) 1.5
Hemoglobin < 12 g/dl 3
Kalium < 3.5 & Natrium <135 3
PMN 80% & Leukosit <10.000 1

Definisi masing-masing poin skoring :


1. Ikterus Klinis; pigmentasi kekuningan pada kulit, sklera, dan selaput lendir lainnya,
2. Hipotensi; tekanan arteri rata-rata kurang dari 70 mm Hg atau tekanan darah
rendah bergejala yang memerlukan resusitasi volume atau vasopresor
3. Hemoglobin <12; hemoglobin <12 g/dL
4. Acute Kidney Injury (AKI); menurut kriteria KDIGO untuk AKI sebagai

23
peningkatan kreatinin serum sebesar 0,3 mg/dL (26,5 μmol/L) dalam waktu 48
jam; atau peningkatan kreatinin serum menjadi 1,5 kali dari baseline, yang
diketahui atau diduga terjadi dalam tujuh hari sebelumnya; atau volume urine <
0,5 mL/kg/jam selama 6 jam,
5. Nyeri otot; nyeri otot non-traumatis yang umumnya melibatkan betis dan
punggung bawah,
6. Kalium < 3,5 dan Natrium < 135; Kalium <3,5 mEq/L dikombinasikan dengan
Natrium <135 mEq/L,
7. PMNs 80 dan WBC <10.000sel/μL; leukosit polimorfonuklear 80%
dikombinasikan dengan jumlah sel darah putih < 10.000 /μL dalam tes hitung
darah lengkap (CBC)
8. Opasitas paru; pada pemeriksaan rontgen thorax didapatkan gambaran
peningkatan kepadatan dalam pola apa pun seperti pola konsolidasi, interstitial,
atau nodular, yang dapat terdiri dari kekeruhan kecil nonspesifik, difus, yang
dapat menyebar atau bergabung ke area konsolidasi yang lebih besar seperti pada
edema paru, ARDS atau perdarahan paru.

Skor THAI-LEPTO mudah diterapkan dalam praktik klinis. Parameter


yang dipakai tersedia di sebagian besar fasilitas kesehatan bahkan di negara
dengan sumber daya terbatas. Setiap prediktor yang digunakan dalam skor
didukung adanya bukti korelasi klinis dan patofisiologis. Namun, skor THAI-
LEPTO dinilai kurang akurat dalam mendeteksi leptospirosis ringan dengan
manifestasi klinis nonspesifik.11

24
25
DAFTAR PUSTAKA

1. Haake DA, Levett PN. Leptospirosis in humans. Leptospira and


leptospirosis. Published online 2014:65-97.
2. Profil Kesehatan Indonesia. Profil Kesehatan Indonesia 2021.
PusdatinKemenkesGoId. 2021;139:Kementrian Kesehatan Republik
Indonesia.
3. Costa F, Hagan JE, Calcagno J, et al. Global morbidity and mortality of
leptospirosis: a systematic review. PLoS Negl Trop Dis.
2015;9(9):e0003898.
4. Tengah D kesehatan J. Profil Kesehatan Provinsi Jawa Tengah 2021.
Semarang DinkesProvinsiJawa Teng. Published online 2022.
5. Demak DKK. Profil Kesehatan Kabupaten Demak Tahun 2022. Dinkes
Demak; 2023. https://dinkes.demakkab.go.id/download/
6. Nick Day DM. Leptospirosis: Epidemiology, microbiology, clinical
manifestations, and diagnosis.
7. Gasem MH, Hadi U, Alisjahbana B, et al. Leptospirosis in Indonesia:
diagnostic challenges associated with atypical clinical manifestations and
limited laboratory capacity. BMC Infect Dis. 2020;20:1-11.
8. Musso D, La Scola B. Laboratory diagnosis of leptospirosis: a challenge. J
Microbiol Immunol Infect. 2013;46(4):245-252.
9. Budihal SV, Perwez K. Leptospirosis diagnosis: competancy of various
laboratory tests. J Clin diagnostic Res JCDR. 2014;8(1):199.
10. Handayani FD, Ristiyanto, Joharina AS, Rahardiningtyas E, Mulyono A,
Bagus D. Diagnosis Laboratoris Leptospirosis. Lembaga Penerbit Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan; 2019.
11. Sukmark T, Lumlertgul N, Peerapornratana S, et al. Thai-Lepto-on-
admission probability (THAI-LEPTO) score as an early tool for initial
diagnosis of leptospirosis: Result from Thai-Lepto AKI study group. PLoS
Negl Trop Dis. 2018;12(3):e0006319.

26
12. Ajjimarungsi A, Bhurayanontachai R, Chusri S. Clinical characteristics,
outcomes, and predictors of leptospirosis in patients admitted to the medical
intensive care unit: A retrospective analysis. J Infect Public Health.
2020;13(12):2055-2061.
13. Samrot A V, Sean TC, Bhavya KS, et al. Leptospiral infection, pathogenesis
and its diagnosis—A review. Pathogens. 2021;10(2):145.
14. Cagliero J, Villanueva SYAM, Matsui M. Leptospirosis pathophysiology:
into the storm of cytokines. Front Cell Infect Microbiol. 2018;8:204.
15. Naing C, Reid SA, Aye SN, Htet NH, Ambu S. Risk factors for human
leptospirosis following flooding: A meta-analysis of observational studies.
PLoS One. 2019;14(5):e0217643.
16. Roy S, Biswas D, Vijayachari P, Sugunan AP, Sehgal SC. Levett PN.
Leptospirosis. Clin Microbiol Rev. 2001;14:296-326.
17. Agampodi SB, Karunarathna D, Jayathilala N, Rathnayaka H, Agampodi
TC, Karunanayaka L. Outbreak of leptospirosis after white-water rafting:
sign of a shift from rural to recreational leptospirosis in Sri Lanka?
Epidemiol Infect. 2014;142(4):843-846.
18. Riedel S, Hobden JA, Miller S, et al. Spirochetes: Treponema, Borrelia, and
Leptospira. In: Jawetz, Melnick, &amp; Adelberg’s Medical Microbiology,
28e. McGraw-Hill Education;
2019.
http://accessmedicine.mhmedical.com/content.aspx?aid=1163280859
19. Baron S. Medical Microbiology, 4th Edition. 4th ed. University of Texas
Medical Branch at Galveston;
1996.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK8451/
20. Cameron CE. Leptospiral structure, physiology, and metabolism.
Leptospira and Leptospirosis. Published online 2014:21-41.
21. Rajapakse S. Leptospirosis: clinical aspects. Clin Med (Northfield Il).
2022;22(1):14.
22. Wysocki J, Liu Y, Shores N. Leptospirosis with acute liver injury. In: Baylor
27
University Medical Center Proceedings. Vol 27. Taylor & Francis;
2014:257- 258.
23. Organization WH. Informal Expert Consultation on Surveillance, Diagnosis
and Risk Reduction of Leptospirosis. World Heal Organ Geneva, Switz.
Published online 2009:17-18.
24. Wagenaar JFP, Goris MGA, Partiningrum DL, et al. Coagulation disorders
in patients with severe leptospirosis are associated with severe bleeding and
mortality. Trop Med Int Heal. 2010;15(2):152-159.
25. Organization WH. Human Leptospirosis: Guidance for Diagnosis,
Surveillance and Control. World Health Organization; 2003.
26. Adler B, de la Peña Moctezuma A. Leptospira and leptospirosis. Vet
Microbiol. 2010;140(3-4):287-296.
27. Smits HL, van der Hoorn MAWG, Goris MGA, et al. Simple latex
agglutination assay for rapid serodiagnosis of human leptospirosis. J Clin
Microbiol. 2000;38(3):1272-1275.
28. Dirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit KR. Petunjuk Teknis
Pengendalian Leptospirosis. Dirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit,
Kemenkes RI; 2017.
29. Guerrier G, D’Ortenzio E. The Jarisch-Herxheimer reaction in leptospirosis:
a systematic review. PLoS One. 2013;8(3):e59266.

28

Anda mungkin juga menyukai