Leptospirosis
2.1.1. Definisi
Leptospirosis adalah penyakit bersumber dari binatang (zoonosis) yang
bersifat akut. Penyakit ini disebabkan oleh bakteri Leptospira dan memiliki
beragam gejala yang dapat berakibat fatal.1,13,14 Leptospirosis sering dikenal
dengan flood fever atau demam banjir karena sering menyebabkan terjadinya
wabah pada saat banjir. Berdasarkan 14 studi yang dilakukan menunjukkan
adanya riwayat kontak dengan banjir merupakan faktor yang signifikan untuk
terjadinya leptospirosis.15
2.1.2. Epidemiologi
Leptospirosis memiliki tingkat prevalensi yang tinggi di daerah tropis,
sebesar 73% dari total kasus terjadi di wilayah ini, terutama di Asia Tenggara,
Afrika Sub-Sahara Timur, Karibia, dan Oseania. Penyakit ini sering terjadi pada
hampir semua populasi dari lingkungan pedesaan hingga perkotaan. Populasi yang
memiliki risiko lebih tinggi terkena penyakit ini daintaranya petani, kontak
dengan hewan ternak, yang terpapar dengan tikus atau rodent, dan individu yang
tinggal di daerah dengan sanitasi yang buruk.3 Beberapa kasus juga terjadi pada
individu yang kontak dalam olahraga air.17 Kejadian wabah di lingkungan
perkotaan sering terjadi di tempat-tempat dengan sanitasi yang kurang baik, di
mana tikus berkembang biak
1
dengan cepat. Meskipun tingkat insiden umumnya stabil secara global, namun
terdapat berbagai wabah besar yang terjadi dari waktu ke waktu di beberapa
negara, terkadang terkait dengan bencana alam seperti banjir.3
Pada tahun 2021 ditemukan sebanyak 734 kasus Leptospirosis di
Indonesia yang dilaporkan oleh delapan provinsi, yaitu Jawa Barat, Jawa Tengah,
DI Yogyakarta, Jawa Timur, DKI Jakarta, Banten, Kalimantan Utara, dan
Kalimantan Timur. Dari sejumlah kasus yang dilaporkan tersebut, terdapat 84
kasus meninggal dengan Case Fatality Rate (CFR) sebesar 11,4%.2 Persebaran
kasus leptospirosis di Provinsi Jawa Tengah meliputi Kota Semarang, Kabupaten
Demak, Klaten, Banyumas, Purworejo, Sukoharjo, Cilacap, Boyolali, Pati,
Karanganyar, Jepara, Grobogan, dan Kota Surakarta.4 Kasus leptospirosis
meningkat drastis pada tahun 2016 sebanyak 830 kasus, kembali meningkat pada
tahun 2018, yaitu sebanyak 894 kasus. Kasus dan kematian akibat leptospirosis
tertinggi tahun 2018 terjadi di Jawa Tengah dengan CFR sebesar 20,84%.9
Pada Tahun 2022, jumlah kasus leptospirosis di Kabupaten Demak
dilaporkan sebanyak 42 kasus dan angka kematian sebanyak 13 kematian. Hal ini
menunjukkan adanya trend kenaikan dari tahun sebelumnya, yaitu sebesar 28
kasus kesakitan dengan 5 kematian akibat Bakteri Leptospira sp ini. Sedangkan
dalam 5 tahun terakhir, angka kasus tertinggi pada tahun 2020 sbesar 108 kasus
dengan 14 kematian.5
2.1.3. Etiologi
Bakteri Leptospira yang termasuk dalam ordo Spirochaeta ini memiliki
sifat fleksibel, tipis, berlilit padat, dengan panjang 5-15 µm, dan memiliki spiral
halus yang lebarnya 0,1-0,2 µm. Leptospira memiliki bentuk bengkok dan kait
pada salah satu ujungnya.18,19
Leptospira memiliki morfologi khas yang membedakannya dari bakteri
lain dalam kelompok spirochaeta. Struktur seluler bakteri ini dibungkus oleh 3
hingga 5 lapisan membran luar atau selubung. Di bawah membran luar tersebut
terdapat lapisan heliks peptidoglikan yang fleksibel serta membran sitoplasma
yang mengelilingi konten sitoplasma sel. Secara keseluruhan, struktur yang
dikelilingi
2
oleh membran luar ini dikenal sebagai silinder protoplasma. Pembeda utama
antara Leptospira dan spirochaeta lainnya adalah lokasi flagela yang terletak di
antara membran luar dan lapisan peptidoglikan. Flagela periplasma menempel
pada silinder protoplasma bagian subterminal dan meluas hingga bagian tengah
sel. Leptospira memiliki 2 flagela periplasma yang masing-masing terletak pada
ujung sel. Bagian bebas dari flagela periplasma ini memanjang hingga bagian
tengah sel, namun tidak bersilangan seperti pada spirochaeta lainnya. Selain itu,
perbedaan Leptospira dengan spirochaeta lainnya mencakup adanya sedikit
glikolipid dan asam diaminopimelik dalam struktur peptidoglikannya. 19
3
icterohaemorrhagiae19
2.1.4. Patogenesis
Leptospira dapat menginfeksi manusia melalui berbagai cara, biasanya
melalui kontak dengan air atau tanah yang terkontaminasi oleh bakteri Leptospira.
Bakteri ini dapat masuk ke dalam tubuh melalui luka lecet atau luka dan selaput
lendir kulit. Bahkan, infeksi ini dapat menular melalui kontak dengan kulit yang
sehat jika terjadi paparan yang berkepanjangan terhadap air yang terkontaminasi.
Selain itu, Leptospira juga bisa masuk melalui konjungtiva, yaitu lapisan tipis di
atas bola mata. Perlu diperhatikan bahwa ketika bakteri Leptospira berhasil masuk
ke dalam tubuh, mereka tidak menyebabkan luka di area masuknya. Mekanisme
yang diajukan untuk memahami cara masuknya Leptospira ke dalam tubuh adalah
dengan menggunakan hyaluronidase dan/atau burrowing motility.20
4
Dalam patogenisitas Leptospira, hal penting adalah kemampuannya untuk
melekat pada permukaan sel dan sifat toksisitas seluler. Lipopolisakarida (LPS)
pada bakteri Leptospira memiliki aktivitas endotoksin yang berbeda dengan
bakteri Gram negatif. Selain itu, bakteri ini juga merangsang perlekatan neutrofil
pada sel endotel dan trombosit, menyebabkan agregasi trombosit dan
trombositopenia (penurunan jumlah trombosit dalam darah). Bakteri Leptospira
juga memiliki fosfolipase yang menyebabkan hemolisis, yaitu penghancuran sel
darah merah dan membran sel lain yang mengandung fosfolipid.20
Organ utama yang terinfeksi oleh bakteri Leptospira adalah ginjal dan hati.
Di ginjal, bakteri ini berpindah ke interstitium tubulus ginjal dan lumen tubulus.
Pada kasus leptospirosis berat, vaskulitis menghambat sirkulasi mikro dalam
tubuh dan meningkatkan permeabilitas kapiler, menyebabkan kebocoran cairan
dan hipovolemia (volume darah yang kurang). Hipovolemia dapat menyebabkan
gagal ginjal karena dehidrasi dan perubahan permeabilitas kapiler. Pada gagal
ginjal, ginjal membesar dengan edema dan perdarahan subkapsular, serta terjadi
nekrosis tubular. Namun, perubahan patologis pada hati tidak terlihat jelas. Secara
mikroskopis, dapat dilihat perubahan patologis berupa nekrosis sentrilobular
dengan hipertrofi dan hiperplasia sel Kupffer.13
5
2.1.5. Manifestasi Klinik
Leptospirosis menunjukkan presentasi klinis yang tidak spesifik, sehingga
diagnosa sering kali sulit ditegakkan. Manifestasi klinis leptospirosis
menunjukkan pola bifasik, dengan fase leptospiremia yang berlangsung sekitar 1
minggu, kemudian diikuti oleh fase imun dengan produksi antibodi dan ekskresi
leptospira melalui urin. Sebagian besar komplikasi leptospirosis terkait dengan
adanya leptospira di dalam jaringan spesifik yang terjadi selama fase imun dan
pada minggu kedua penyakit.1,16
Fase leptospiremi atau septikemia
Masa inkubasi leptospira berkisar sekitar 10 hari (dengan rentang 7-12
hari), namun dalam beberapa kasus, masa inkubasi bisa lebih singkat (sekitar 2
hari) atau bahkan lebih lama (hingga 20 hari). Pada fase ini, pasien mengalami
gejala-gejala seperti demam yang akut, menggigil, sakit kepala, mialgia (nyeri
otot), ruam kulit, mual, muntah, conjunctival suffusion (pembengkakan selaput
mata), dan kelemahan umum.21
Demam pada fase ini bersifat remiten, di mana suhu tubuh pasien bisa
mencapai 40ºC sebelum kemudian mengalami penurunan. Tanda khas yang sering
muncul pada hari ke-3 atau ke-4 setelah sakit adalah conjunctival suffusion.
Leptospira dapat dideteksi melalui kultur darah atau cairan serebrospinal pada
fase ini. Pemeriksaan serologi biasanya memberikan hasil negatif setidaknya 5
hari setelah munculnya gejala.1,21
Selama fase ini, dapat terjadi hepatomegali, tetapi splenomegali jarang
terjadi. Selain itu, jumlah trombosit pada darah cenderung menurun,
menyebabkan kondisi trombositopeni purpura. Hasil urinalisis menunjukkan
adanya proteinuria, tetapi klirens kreatinin biasanya masih normal hingga terjadi
kerusakan pada tubulus ginjal atau glomerulonefritis.1
Fase imun
Pada fase ini, ditandai dengan adanya leptospiuria dan munculnya antibodi
IgM dalam serum penderita. Pada kasus ringan, fase ini seringkali memiliki tanda
dan gejala yang minimal, sedangkan pada kasus berat, dapat terjadi manifestasi
6
klinis yang paling sering berupa gangguan meningeal dan hepatorenal.
Manifestasi meningeal dapat menyebabkan gejala meningitis, seperti sakit kepala,
fotofobia, dan kaku kuduk. Keterlibatan sistem saraf pusat pada leptospirosis
seringkali berbentuk meningitis aseptik. Pada fase ini, berbagai komplikasi dapat
terjadi, termasuk neuritis uveitis, iridosiklitis, optikus, dan neuropati perifer.16,21
Pada kasus berat, transisi perubahan fase jarang terlihat, tetapi gejala
demam tinggi segera diikuti dengan kuning/jaundice dan terjadinya perdarahan
pada kulit, membran mukosa, bahkan paru-paru. Selain itu, sering juga ditemukan
hepatomegali, purpura, dan ekimosis. Gagal ginjal, oliguria (produksi urin yang
sangat sedikit), syok, dan miokarditis juga bisa terjadi dan berhubungan dengan
tingkat kematian (mortalitas) pada penderita leptospirosis yang berat. 1,13
7
seperti demam, nyeri kepala, dan mialgia. Nyeri kepala pada leptospirosis bisa
cukup berat, mirip dengan yang terjadi pada infeksi dengue, dan sering disertai
nyeri retro orbital dan fotofobia. Nyeri otot terjadi karena adanya kerusakan pada
otot, yang menyebabkan peningkatan enzim kreatinin fosfokinase (CPK) dalam
darah, dan hal ini dapat membantu dalam diagnosis leptospirosis secara klinis.16,21
Beberapa gejala lain yang dapat ditemukan pada leptospirosis ringan
termasuk nyeri perut, diare, anoreksia, limfadenopati, splenomegali, ruam kulit
makulopapular, kelainan pada mata seperti uveitis atau iridosiklitis, serta gejala-
gejala lain seperti meningitis aseptik dan conjunctival suffusion. Conjunctival
suffusion dan nyeri tekan di otot gastrocnemius adalah temuan khas yang dapat
ditemukan pada pemeriksaan fisik pada penderita leptospirosis ringan. Pada
leptospirosis ringan, gejala meningitis aseptik yang tidak spesifik bisa terjadi.
Sekitar 80-90% penderita leptospirosis ringan akan menunjukkan pleositosis
(peningkatan jumlah sel) pada cairan serebrospinal (cairan di sekitar otak dan
sumsum tulang belakang) selama minggu kedua penyakit, dan sekitar 50% dari
mereka akan menunjukkan tanda-tanda klinis meningitis. Meningitis ini kadang-
kadang dianggap sebagai kelainan akibat infeksi virus karena manifestasi klinis
yang bersifat dua fase (bifasik) atau adanya riwayat paparan dengan hewan yang
dianggap sebagai penyebab.1,21
Penderita leptospirosis ringan biasanya tidak perlu mendapatkan
perawatan khusus karena keluhan biasanya ringan dan tidak mengganggu aktivitas
sehari-hari. Pada beberapa kasus, penyakit ini bisa sembuh dengan sendirinya dan
gejala kliniknya umumnya membaik dalam 2 hingga 3 minggu. Karena gambaran
klinik leptospirosis ringan seringkali tumpang tindih dengan penyakit demam akut
lainnya, maka leptospirosis ringan harus menjadi salah satu diagnosis banding,
terutama di daerah endemik leptospirosis seperti Indonesia pada kasus demam
akut.16
8
dapat terjadi pada infeksi oleh berbagai serotipe Leptospira. Tingkat kematian
(mortalitas) pada leptospirosis ikterik berkisar antara 5 hingga 15%. Leptospirosis
ikterik sering disebut sebagai Weil Syndrome, yang ditandai dengan kumpulan
gejala berupa jaundice, azotemia (peningkatan kadar nitrogen ureum darah), gagal
ginjal, serta perdarahan, yang muncul dalam 4 hingga 6 hari setelah munculnya
gejala awal, dan kondisi pasien dapat memburuk dalam minggu kedua penyakit.
Ikterus dianggap sebagai parameter utama leptospirosis berat. Pada leptospirosis
ikterik, demam dapat menetap sehingga fase imun menjadi tidak jelas atau terlihat
tumpang tindih dengan fase leptospiremia.16,21
Spesimen
Sindroma, Fase Gambaran Klinik
Laboratorium
Leptospirosis
anikterik* Demam tinggi, nyeri kepala, mialgia, Darah, LCS
Fase leptospiremia nyeri perut, mual,
muntah,conjunctival suffusion
Demam ringan,nyeri Urin
Fase imun kepala, muntah, meningitisaseptik
Leptospirosis
ikterik
Demam, nyeri kepala, mialgia, ikterik, Darah,
Fase leptospiremia
gagal ginjal, hipotensi, manifestasi LCS
dan fase imun perdarahan,pneumonitis hemorrargik, (minggu 1)
(sering overlapping) leukositosis
Urin
(minggu ke-2)
*antara fase leptospiremia dengan fase imun terdapat periode asimtomatik(± 1-3
hari)
Ikterus muncul akibat kolestasis sepsis yang biasa muncul pada hari ke 5
sampai 9 penyakit. Ikterus umumnya tidak terkait dengan nekrosis hepatoselular,
dan biasanya akan kembali normal tanpa komplikasi setelah sembuh. Pada
pemeriksaan laboratorium akan didapatkan peningkatan transaminase dan sedikit
9
peningkatan dari alkali fosfatase.1 Selain itu juga akan didapatkan peningkatan
kadar bilirubin total yang sangat tinggi. Kematian pada sindrom Weil jarang
disebabkan oleh gagal hati.16,22
2.1.6. Diagnosis
2.1.6.1. Diagnosis Klinis
Deteksi dini leptospirosis masih menjadi tantangan dalam menegakkan
diagnosis, terutama saat fase awal. Karena manifestasinya yang beragam pada
berbagai sistem organ, maka diperlukan metode diagnosis khusus untuk
menegakkan diagnosis.
Dalam anamnesis, hal yang penting untuk ditanyakan adalah faktor risiko,
seperti pekerjaan dan tempat tinggal, untuk menilai apakah pasien termasuk dalam
kelompok risiko tinggi atau tidak. Selain itu, riwayat kontak dengan binatang atau
lingkungan yang terkontaminasi urin hewan juga penting untuk ditanyakan.
Gejala seperti demam, nyeri kepala frontal, nyeri otot, mual, muntah, dan
fotofobia dapat menimbulkan kecurigaan terhadap leptospirosis. Pada
pemeriksaan fisik, dapat ditemukan tanda-tanda seperti demam, bradikardia, nyeri
tekan pada otot, hepatomegali, dan lain-lain.
Sebelumnya klinisi menggunakan kriteria diagnosis menurut The Center
for Disease Control of Leptospirosis Report
Tabel 3. Kriteria diagnosis leptospirosis Faine
10
kehutan, rekreasi, tempat kerja, diduga atau diketahui
kontak dengan
air yang terkontaminasi
C. Hasil laboratorium pemeriksaan serologik
Serologik (+) dan daerah endemik
Serum tunggal (+) titer rendah Ya/ tidak 2/0
Serum tunggal (+) titer tinggi Ya/ tidak 10/0
Serum sepasang (+), titer meningkat Ya/ tidak 25/0
Serologik (+) dan bukan daerah endemik
Serum tunggal (+) titer rendah Ya/ tidak 5/0
Serum tunggal (+) titer tinggi Ya/ tidak 15/0
Serum sepasang (+), titer meningkat Ya/ tidak 25/0
11
2. Kasus probable leptospirosis
a. Probable (pada pelayanan kesehatan primer)
Kasus suspek dengan 2 dari tanda berikut:
Nyeri tekan pada betis
Batuk dengan atau tanpa hemoptisis
Ikterus
Perdarahan
Iritasi meningeal
Anuria / oliguri dan/atau proteinuri
Sesak napas
Aritmia kordis
Kemerahan pada kulit
b. Probable (pada pelayanan kesehatan sekunder dan tersier)
Berdasarkan hasil laboratorium, dikatakan probable apabila ditemukan
kasus suspek dengan IgM antileptospira positif dan/atau dengan penemuan
serologi yang mendukung, seperti titer MAT sejumlah 200 pada sampel tunggal
dan/atau ditemukan 3 dari tanda berikut:
Pada urin ditemukan proteinuria, sel pus, darah
Netrofilia relatif (>80%) dengan limfopeni
Platelet < 100.000 / cu mm
Peningkatan bilirubin > 2 mg% ; peningkatan enzim hepar (Alkalin
fosfatase, S amilase, CPK)
12
Titer MAT sejumlah 400 atau lebih besar pada sampel tunggal.
1. Diagnosis bakteri
Proses pengidentifikasian bakteri berbeda antara kasus leptospirosis akut
dan kronik, yaitu pada lokasi ditemukannya leptospira. Dalam kasus akut, prinsip
diagnosis diterapkan pada awal munculnya gejala, di mana leptospira, DNA atau
antigen masih dapat diidentifikasi dalam darah, cairan serebrospinalis (LCS), urin,
serta jaringan. Metode pemeriksaan dapat dilakukan secara langsung
menggunakan mikroskop atau pemeriksaan kultur bakteri. Namun, metode
pemeriksaan mikroskop dengan penggunaan lapangan gelap kurang disarankan
karena kesulitan dalam membedakan fibrin dan protein pada preparat basah dari
leptospira. Sementara itu, dalam kasus leptospirosis kronik, leptospira akan dapat
diidentifikasi pada hari ke-8 hingga ke-10 awal setelah infeksi, terutama di otak,
bagian anterior mata pada kasus uveitis, dan ginjal.10,24,25
2. Pendekatan molekuler
Metode pendekatan molekuler pertama dilakukan dengan melakukan
investigasi langsung terhadap ekstrak DNA atau sampel biologis yang telah
diisolasi. Pendekatan ini berfokus pada penerapan PCR untuk mendeteksi DNA
khusus leptospira, yang kemudian memungkinkan identifikasi strain leptospira
13
yang termasuk dalam kategori patogen. Secara keseluruhan, penggunaan PCR ini
telah meningkatkan kapabilitas diagnosis leptospirosis dengan menghadirkan
manfaat dalam hal sensitivitas, spesifisitas, dan kecepatan analisis. Namun,
pemeriksaan ini jumlahnya masih terbatas, biaya reagen relatif mahal, serta tidak
adanya standarisasi pengujian terhadap sampel dalam skala besar, terutama di
daerah endemik.7,10,26
3. Inokulasi hewan
Inokulasi dilakukan pada hewan percobaan seperti hamster dan marmut.
Proses ini melibatkan pemberian darah, cairan serebrospinalis (LCS), urin, atau
suspensi jaringan yang terinfeksi diinokulasikan secara peritoneal pada hewan
percobaan tersebut. Setelah itu, gejala yang muncul pada hewan percobaan seperti
demam, penurunan berat badan, dan tanda-tanda penyakit klinis akan diamati.
Hewan percobaan dapat berperan sebagai carrier leptospira dalam rentang waktu
14 hingga 28 hari setelah inokulasi dilakukan. Semua percobaan ini harus
dilakukan sesuai dengan pedoman internasional yang telah disetujui terkait etika
dalam perlakuan terhadap hewan percobaan dan manusia.26
4. Serologi
Diagnosis laboratorium leptospirosis terutama didasarkan atas
pemeriksaan serologi. Pemeriksaan gold standart untuk mendeteksi antibodi
terhadap Leptospira interrogans yaitu Microscopic Agglutination Test (MAT)
yang menggunakan organisme hidup. Pada umumnya tes aglutinasi tersebut tidak
positif sampai minggu pertama sejak terjadi infeksi, kadar puncak antibodi 3-4
minggu setelah onset gejala dan menetap selama beberapa tahun, walaupun
konsentrasinya kemudian akan menurun. MAT bersifat spesifik pada serovar yang
menginfeksi atau antigen serovar, yang kemudian dapat digunakan untuk
mendeteksi antibodi anti leptospira.. Pemeriksaan MAT dikatakan positif jika
terjadi serokonversi berupa kenaikan titer 4 kali atau ≥ 1:320 dengan satu atau
lebih antigen tanpa kenaikan titer (untuk daerah non endemik leptospirosis
digunakan nilai ≥ 1:160)
.10,24,25
14
Pemeriksaan serodiagnosis leptospirosis yang lain adalah Macroscopic
Agglutination Test (MA Test), Microcapsule Agglutination Test (MCAT), rapid
latex agglutination assay (RLA assay), enzyme linked immune sorbent assay
(ELISA), immuno-fluorescent antibody test, dan immunoblot. Selain uji serologi
yang telah disebutkan di atas, terdapat 3 rapid test yang dapat digunakan untuk
skrining diagnosis leptospirosis, yaitu Leptodipstick untuk mendeteksi IgM
spesifik Leptospira species, LeptoTek Lateral-Flow untuk mendeteksi antibodi
spesifik Leptospira species pada serum manusia, dan LeptoTek Dri-Dot yang
prinsip penggunaannya berdasarkan pemeriksaan aglutinasi lateks.10,25,27
2.1.7. Tatalaksana
Pengobatan dengan antibiotik yang efektif harus dimulai segera setelah
kasus suspek ditegakkan secara klinis.
a. Terapi untuk khusus leptospirosis ringan :28
Pilihan : Doksisiklin 2X100 mg selama 7 (tujuh) hari kecuali pada anak,
ibu hamil, atau bila ada kontraindikasi Doksisiklin.
Alternatif ( Bila tidak dapat diberikan doksisiklin)
1. Amoksisilin 3X500mg/hari pada orang dewasa;
2. Atau 10-20mg/kgBB per8 jam pada anak selama 7 hari;
3. Bila alergi Amoksisilin dapat diberikan Makrolid
b. Terapi kasus leptospirosis berat :28
1. Ceftriaxon 1-2 gram iv selama 7 (tujuh) hari ;
2. Penisilin Prokalin 1.5 juta unit im per 6 jam selama 7 (tujuh) hari;
3. Ampisilin 4 X 1 gram iv per hari selama 7 (tujuh) hari;
4. Terapi suportif dibutuhkan bila ada komplikasi seperti gagal ginjal,
pendarahan organ (paru, saluran cerna, saluran kemih, serebral) syok dan
gangguan neorologi
15
leptospira yang mati memicu pelepasan sitokin dalam tubuh. Gejala reaksi JH
yang mungkin muncul meliputi demam dengan suhu antara 37,8 hingga 38,4°C,
disertai dengan kekakuan dan penurunan tekanan darah (hipotensi). Penanganan
reaksi JH dapat dilakukan dengan tindakan suportif dan simptomatik saja. Dalam
kasus alergi terhadap penisilin, antibiotik alternatif yang dapat diberikan adalah
eritromisin (250 mg setiap 6 jam selama 5 hari). Selain itu, antibiotik lain seperti
doksisiklin dengan dosis 100 mg yang diberikan secara oral dua kali sehari juga
telah terbukti dapat mengurangi tingkat keparahan dan durasi penyakit.26,29
16
rumah (seperti pekarangan, kebun, dan sawah).1,28
17
Pemberian desinfektan di badan air (kolam dan genangan air) di
lingkungan kasus Leptospirosis
2. Promosi Kesehatan
Upaya promosi kesehatan dalam pengendalian Leptospirosis dilakukan
melalui edukasi. Penting untuk dicatat bahwa setiap daerah dapat memiliki
serovar dan pola epidemiologi Leptospirosis yang berbeda. Karena
Leptospirosis adalah penyakit zoonosis yang berasal dari binatang, program
edukasi harus melibatkan berbagai pihak, termasuk profesional kesehatan,
18
dokter hewan, dan
19
kelompok masyarakat yang terlibat dalam aspek sosial.28
20
2.2. THAI-LEPTO Score (TLS)
21
Tabel 5. Perbandingan performa pada kedua model skor
22
Spesifisitas 73.7 60.2 N/A 58.82 N/A 58
(%)
PPV (%) 87.8 54 N/A 58.42 21% 64
NPV(%) 58.3 84 N/A 89.55 N/A 59
Positive LR 2.79 2.01 N/A 2.17 N/A N/A
Positive LR 0.36 0.32 N/A 0.18 N/A N/A
Parameter Skor
Hipotensi (MAP <70 mmHg) 3
Penyakit kuning (kulit, sklera, membran mukus ikterik) 2
Nyeri otot (nyeri otot non traumatik pada betis dan punggung bawah) 2
Acute Kidney Injury (sesuai kriteria KDIGO) 1.5
Hemoglobin < 12 g/dl 3
Kalium < 3.5 & Natrium <135 3
PMN 80% & Leukosit <10.000 1
23
peningkatan kreatinin serum sebesar 0,3 mg/dL (26,5 μmol/L) dalam waktu 48
jam; atau peningkatan kreatinin serum menjadi 1,5 kali dari baseline, yang
diketahui atau diduga terjadi dalam tujuh hari sebelumnya; atau volume urine <
0,5 mL/kg/jam selama 6 jam,
5. Nyeri otot; nyeri otot non-traumatis yang umumnya melibatkan betis dan
punggung bawah,
6. Kalium < 3,5 dan Natrium < 135; Kalium <3,5 mEq/L dikombinasikan dengan
Natrium <135 mEq/L,
7. PMNs 80 dan WBC <10.000sel/μL; leukosit polimorfonuklear 80%
dikombinasikan dengan jumlah sel darah putih < 10.000 /μL dalam tes hitung
darah lengkap (CBC)
8. Opasitas paru; pada pemeriksaan rontgen thorax didapatkan gambaran
peningkatan kepadatan dalam pola apa pun seperti pola konsolidasi, interstitial,
atau nodular, yang dapat terdiri dari kekeruhan kecil nonspesifik, difus, yang
dapat menyebar atau bergabung ke area konsolidasi yang lebih besar seperti pada
edema paru, ARDS atau perdarahan paru.
24
25
DAFTAR PUSTAKA
26
12. Ajjimarungsi A, Bhurayanontachai R, Chusri S. Clinical characteristics,
outcomes, and predictors of leptospirosis in patients admitted to the medical
intensive care unit: A retrospective analysis. J Infect Public Health.
2020;13(12):2055-2061.
13. Samrot A V, Sean TC, Bhavya KS, et al. Leptospiral infection, pathogenesis
and its diagnosis—A review. Pathogens. 2021;10(2):145.
14. Cagliero J, Villanueva SYAM, Matsui M. Leptospirosis pathophysiology:
into the storm of cytokines. Front Cell Infect Microbiol. 2018;8:204.
15. Naing C, Reid SA, Aye SN, Htet NH, Ambu S. Risk factors for human
leptospirosis following flooding: A meta-analysis of observational studies.
PLoS One. 2019;14(5):e0217643.
16. Roy S, Biswas D, Vijayachari P, Sugunan AP, Sehgal SC. Levett PN.
Leptospirosis. Clin Microbiol Rev. 2001;14:296-326.
17. Agampodi SB, Karunarathna D, Jayathilala N, Rathnayaka H, Agampodi
TC, Karunanayaka L. Outbreak of leptospirosis after white-water rafting:
sign of a shift from rural to recreational leptospirosis in Sri Lanka?
Epidemiol Infect. 2014;142(4):843-846.
18. Riedel S, Hobden JA, Miller S, et al. Spirochetes: Treponema, Borrelia, and
Leptospira. In: Jawetz, Melnick, & Adelberg’s Medical Microbiology,
28e. McGraw-Hill Education;
2019.
http://accessmedicine.mhmedical.com/content.aspx?aid=1163280859
19. Baron S. Medical Microbiology, 4th Edition. 4th ed. University of Texas
Medical Branch at Galveston;
1996.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK8451/
20. Cameron CE. Leptospiral structure, physiology, and metabolism.
Leptospira and Leptospirosis. Published online 2014:21-41.
21. Rajapakse S. Leptospirosis: clinical aspects. Clin Med (Northfield Il).
2022;22(1):14.
22. Wysocki J, Liu Y, Shores N. Leptospirosis with acute liver injury. In: Baylor
27
University Medical Center Proceedings. Vol 27. Taylor & Francis;
2014:257- 258.
23. Organization WH. Informal Expert Consultation on Surveillance, Diagnosis
and Risk Reduction of Leptospirosis. World Heal Organ Geneva, Switz.
Published online 2009:17-18.
24. Wagenaar JFP, Goris MGA, Partiningrum DL, et al. Coagulation disorders
in patients with severe leptospirosis are associated with severe bleeding and
mortality. Trop Med Int Heal. 2010;15(2):152-159.
25. Organization WH. Human Leptospirosis: Guidance for Diagnosis,
Surveillance and Control. World Health Organization; 2003.
26. Adler B, de la Peña Moctezuma A. Leptospira and leptospirosis. Vet
Microbiol. 2010;140(3-4):287-296.
27. Smits HL, van der Hoorn MAWG, Goris MGA, et al. Simple latex
agglutination assay for rapid serodiagnosis of human leptospirosis. J Clin
Microbiol. 2000;38(3):1272-1275.
28. Dirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit KR. Petunjuk Teknis
Pengendalian Leptospirosis. Dirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit,
Kemenkes RI; 2017.
29. Guerrier G, D’Ortenzio E. The Jarisch-Herxheimer reaction in leptospirosis:
a systematic review. PLoS One. 2013;8(3):e59266.
28