Anda di halaman 1dari 15

REFERAT

LEPTOSPIROSIS

Pembimbing:

dr. Purwakaning Purnomo Agung, M.Kes., Sp.PD

Penyusun:

Idfia Nur Syafara P 20210420081

Ilfarita 20210420082

DEPARTEMEN PENYAKIT DALAM


RSUD DR. MOHAMAD SOEWANDHIE SURABAYA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HANG TUAH
SURABAYA
2023

BAB I
PENDAHULUAN
Leptospirosis merupakan permasalahan penyakit zoonotic global. Penyakit
ini disebabkan oleh spesies patogen bernama leptospira dan memiliki karakteristik
manifestasi klinis yang luas, mulai dari gejala infeksi yang asymptomatic ke
fulminant, sampai penyakit yang berat. Pada kondisi ringan leptospirosis
menunjukan gejala yang non-spesifik seperti demam, sakit kepala, dan lemas.
Sedangkan untuk leptospirosis berat memiliki gejala seperti jaundice, disfungsi
ginjal, dan pendarahan diatesis biasanya ini disebut sebagai Weil’s Syndrome.
Dengan atau tanpa jaundice, perdarahan pulmonal yang berat meningkat sebagai
penanda penting karakteristik penyakit leptospirosis berat.

Leptospirosis pada manusia pertama kali ditemukan oleh Van der Scheer
pada tahun 1892 di Indonesia,namun isolasi baru dapat dilakukan pada tahun 1922
oleh Vervoort. Sejak pertama kali ditemukan sampai dengan saat ini leptospirosis
masih menjadi masalah kesehatan masyarakat karena belum dapat
dikendalikan.Menurut catatan Kementerian Kesehatan, selama tahun 2014 – 2016
terdapat tujuh provinsi yang melaporkan adanya kejadian leptospirosis, yaitu DKI
Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Timur,
Banten dan Kalimantan Selatan.

Leptospirosis merupakan penyakit zoonosis menular yang dapat


menimbulkan wabah jika tidak dilakukan upaya pencegahan sedini mungkin.
Leptospirosis disebabkan oleh bakteri Leptospira yang dapat menginfeksi manusia
dan hewan. Kejadian leptospirosis biasanya dihubungkan dengan bencana banjir,
air pasang di daerah pantai, daerah rawa atau lahan gambut.
BAB II

PEMBAHASAN

1.1 Definisi

Leptospirosis merupakan infeksi yang disebabkan oleh grup bakteri yang


disebut Leptospira. Biasanya ringan tapi dapat mengancam nyawa. Merupakan
infeksi zoonotic, yaitu infeksi ini menyebar dari binatang ke manusia. Semua
mamalia dapat menjadi reservoir infeksi ini, tetapi tikus yang paling umum (Dara
Grennan, 2019).

1.2 Epidemiologi

Leptospirosis tersebar luas di negara beriklim tropis termasuk di Indonesia,


dikarenakan kondisi lingkungan di wilayah tropis sangat mendukung penyebaran
bakteri Leptospira, karena bakteri ini cocok untuk hidup pada lingkungan dengan
temperatur hangat, pH air dan tanah netral, kelembaban dan curah hujan tinggi.
Laporan dari pusat data dan informasi kementerian kesehatan bahwa case fatality
rate tertinggi kasus leptospirosis pada tahun 2016 di Banten sebesar 60%, DIY
35,29%, dan Jawa Tengah 18,29% (Widjajanti, 2019).

1.3 Transmisi

Portal masuknya mikroorganisme mulai dari luka gores dan abrasi atau bisa
juga pada mucous membran seperti konjungtiva, oral, atau permukaan genital.
Infeksi dapat terjadi secara langsung melalui kontaminasi dengan hewan yang
terkontaminasi atau secara tidak langsung melalui tanah atau air yang
terkontaminasi dengan urin hewan yang terinfeksi. Orang yang mempunyai
pekerjaan beresiko seperti dokter hewan, petani, tempat pemotongan memiliki
resiko kontaminasi secara langsung terhadap penyakit ini. Sebenarnya kontak
secara langsung memiliki resiko rendah asalkan para pekerja tadi dilengkapi
dengan alat pelindung diri (Haakeand Levett, 2019).
Kontak secara tidak langsung memiliki kemungkinan lebih tinggi untuk
terjadi leptospirosis dan bisa berhubungan dengan kegiatan beresiko, rekreasi.

Seperti pekerja peternakan, dan petani. Kemungkinan besar dapat terpapar urin
ataupun tanah yang terkontaminasi dari hewan terinfeksi (Haake and Levett,
2019).

Resiko yang berhubungan dengan leptospirosis berkaitan dengan (i)


paparan resiko tinggi pada orang-orang yang bekerja di bidang agriculture, dokter
hewan, tukang kebun, dan nelayan. (ii) bepergian ke daerah endemis leptospirosis
tanpa melakukan pencegahan yang baik (Karpagam and Ganesh, 2020)

1.4 Etiologi

Leptospira merupakan spesies spirochaeta yang termasuk dalam orde


spirochaetales dan famili leptospiracea. Genus leptospira memiliki 2 spesies
patogen yaitu: L. Interrogans dan L. biflexa. Leptospira merupakan spirochaeta
yang berbentuk seperti kail dengan panjang 6-12 µm dan diameter rata-rata 0,1
µm. Permukaan bakteri ini terbentuk dari membran sitoplasma dan peptidoglycan
pada dinding luar. Organisme motil dengan bantuan Endoflagella. Bakteri ini
dapat dilihat pada mikroskop lapang gelap. Leptospira membutuhkan media
khusus untuk bertumbuh, butuh waktu 1 minggu sampai 1 bulan agar kultur
menjadi positif (Kasper, et al., 2015).

1.5 Pathogenesis

Transmisi terjadi melalui kulit yang terabrasi, terluka, maupun membran


mukosa khususnya mukosa konjungtiva dan oral. Setelah masuk organisme akan
berproliferasi, melintasi barier jaringan, dan tersebar secara hematogen ke seluruh
organ disebut sebagai fase leptospiremia. Ketika periode inkubasi Leptospira dapat
diinokulasi dari darah ke medium Leptospira dan dideteksi menggunakan
quantitative PCR umumnya hasil akan positif pada 8 hari pertama demam karena
pembentukan antibodi dan pembersihan mikroorganisme dari dalam darah. Ketika
jumlah leptospiremia tinggi ketika infeksi, imunitas bawaan akan menjalankan
mekanisme respon sistemik yang menyebabkan hasil yang buruk seperti sepsis-
like syndrome atau gagal organ. Selain itu Leptospira memiliki kemampuan untuk
menghindar dari neutrofil, monosit, dan makrofag. Selama fase imun, kemunculan
antibodi disertai dengan menghilangnya Leptospira dalam darah, tetapi bakteri
masih bersembunyi di dalam organ lain seperti hepar, paru-paru, ginjal, jantung,
dan otak (Haakeand Levett, 2015).

Hepar merupakan target utama leptospirosis, patologis melaporkan hasil


autopsi bahwa kondisi fatal dari leptospirosis menyebabkan kongesti sinusoid dan
distensi ruangan yang terdapat antara sinusoid dan sel hepatosit. Kerusakan
hepatoseluler dan gangguan hubungan hepatosit seluler. Menyebabkan bocornya
cairan empedu dari canaliculi ke dalam pembuluh darah sinusoid, ini yang
menyebabkan peningkatan kadar bilirubin direct.

Terganggunya organ ginjal mulai dari yang ringan yaitu nonoliguric


disfungsi renal sampai gagal ginjal, merupakan ciri khas sindrom Weil’s. poliuria
diobservasi pada pasien dengan leptospirosis dikarenakan penurunan ekspresi dari
sodium-hydrogen exchanger-3, menyebabkan penurunan reabsorpsi garam dan
cairan di tubulus proksimal. Inflamasi tubular menyebabkan nephritis interstitial
yang ditandai dengan edema dan infiltrasi limfosit, monosit, dan sel plasma
(Haake and Levett, 2015).

Gambar 1. Fase - fase leptospirosis dalam tubuh


1.6 Manifestasi klinis

Manifestasi klinis leptospirosis hampir sama dengan demam akibat penyakit


lain, terutama penyakit yang terjadi di daerah tropis seperti demam berdarah,
demam dengue, infeksi riketsia, malaria, sepsis bakterial. Gejala klasik yaitu
conjunctival suffusion, jaundice, dan acute kidney injury merupakan sindrom
Weil’s. Perdarahan paru saat ini menjadi penyebab utama kematian. Masa inkubasi
2 – 20 hari (rata – rata 7 – 12 hari). Perjalanan klinis leptospirosis dibagi menjadi
fase leptospiremia dan fase imun (Rajapakse, 2022).

Fase leptospiremia berlangsung selama 3 – 9 hari, demam, menggigil,


mialgia, dan sakit kepala. Konjungtiva suffusion merupakan ciri khas yang timbul
pada hari ke 3 – 4. Mialgia melibatkan betis, perut (mimicking acute abdomen) dan
otot paraspinal (mengakibatkan meningisme). Fase leptospiremia atau fase
septicaemic diikuti oleh fase imun, dimana antibodi IgM berada dalam darah, dan
organisme diekskresikan dalam urin. Kemungkinan, organisme menetap dengan
konsentrasi yang lebih tinggi di tubulus proksimal ginjal (dan organ lain) selama
fase ini. Tergantung pada tingkat keterlibatan organ dan virulensi organisme, pada
sebagian kecil individu yang terinfeksi terdapat demam tinggi persisten, dapat
berkembang menjadi jaundice, acute kidney injury, dan disfungsi organ
(Rajapakse, 2022).

A. Leptospirosis Ringan

Kebanyakan pasien tidak menunjukkan gejala atau hanya sakit ringan


sehingga tidak mencari pertolongan medis. Infeksi sering ditemukan pada orang
yang telah terpapar tetapi belum sakit. Leptospirosis simptomatik ringan biasanya
muncul sebagai penyakit flu secara tiba-tiba, dengan demam, menggigil, sakit
kepala, mual, muntah, sakit perut, konjungtiva suffusion (kemerahan tanpa
eksudat), dan mialgia. Nyeri otot di betis, punggung, dan perut. Sakit kepala hebat,
terlokalisasi di daerah frontal atau retro orbital, dan terkadang disertai fotofobia.
Meningitis aseptik dapat muncul dan lebih umum pada anak-anak daripada orang
dewasa. Meskipun Leptospira dapat dikultur dari cairan serebrospinal (CSF) pada
fase awal, sebagian besar perjalanan yang kronis berkaitan dengan sistem saraf
pusat. Gejala hilang dalam beberapa hari tetapi dapat bertahan selama berminggu-
minggu (Kasper, et al., 2015).
Pemeriksaan fisik yang dapat ditemukan sebagai berikut: demam,
konjungtiva suffusion, injeksi faring, nyeri otot, limfadenopati, ruam kulit,
meningismus, hepatomegali, dan splenomegali. Jika terdapat ruam biasanya
bersifat sementara; mungkin makula, makulopapular, eritematosa, atau hemoragik
(petekie atau ekimosis). Auskultasi paru terdapat ronki, dan ikterus ringan
mungkin ada. Perjalanan leptospirosis ringan biasanya melibatkan resolusi spontan
dalam 7-10 hari. Dengan tidak adanya diagnosis klinis dan terapi antimikroba,
angka kematian pada leptospirosis ringan rendah (Kasper, et al., 2015).

B. Leptospirosis Berat
Leptospirosis berat bersifat progresif. Angka kematian berkaitan dengan
usia diatas 40, tahun perubahan status mental, gagal ginjal akut, insufisiensi
pernapasan, hipotensi, dan aritmia (Kasper, et al., 2015).

Pasien meninggal karena syok septik dengan kegagalan multi organ dan
atau komplikasi. Perdarahan berat yang sering melibatkan paru-paru, saluran cerna
(melena dan hemoptisis), urogenital (hematuria), dan kulit (petechiae, ecchymosis,
dan perdarahan dari situs pungsi vena). Dengan adanya batuk, nyeri dada,
gangguan pernapasan, dan hemoptisis yang kemungkinan tidak terlihat sampai
pasien diintubasi (Kasper, et al., 2015).

Jaundice terjadi pada 5-10% dari semua pasien dengan leptospirosis.


Pemeriksaan fisik dapat ditemukan hepar yang membesar dan lunak. Acute kidney
injury terjadi pada penyakit berat, dengan gejala setelah beberapa hari sakit, dan
dapat berupa non oliguria atau oliguria. Abnormalitas elektrolit yang khas yaitu
hipokalemia dan hiponatremia. Hilangnya magnesium dalam urin berkaitan
dengan nefropati leptospira. Hipotensi dikaitkan dengan nekrosis tubular akut,
oliguria, atau anuria, membutuhkan resusitasi cairan dan kadang terapi
vasopressor. Hemodialisis dapat menyelamatkan fungsi ginjal dan biasanya dapat
kembali normal pada orang yang selamat (Kasper, et al., 2015).
Gejala lain termasuk (necrotizing) pankreatitis, kolesistitis, keterlibatan
otot rangka, rhabdomyolysis (dengan peningkatan kadar serum kreatin kinase),
dan manifestasi neurologis termasuk meningitis aseptik. Keterlibatan jantung pada
elektrokardiogram terdapat perubahan non-spesifik gelombang ST dan T.
Komplikasi hematologi yang jarang yaitu hemolisis, trombositopenik trombotik,
purpura, dan sindrom hemolitik-uremik (Kasper, et al., 2015).

Gejala jangka panjang setelah leptospirosis berat yaitu kelelahan, mialgia,


malaise, dan sakit kepala yang dapat bertahan selama bertahun-tahun (Kasper, et
al., 2015).

1.7 Diagnosis

Diagnosis klinis leptospirosis harus didasarkan pada riwayat paparan. Paparan


didapatkan dari riwayat rekreasi aktivitas di air tawar atau kontak perkutan atau
mukosa dengan air, permukaan atau tanah yang terkontaminasi. Hasil laboratorium
terdapat leukositosis, kadar protein reactive C meningkat, laju sedimentasi eritrosit
meningkat, Trombositopenia (jumlah trombosit 100 × 10 9/L) berhubungan dengan
perdarahan dan gagal ginjal. Pada pemeriksaan urinalisis terdapat perubahan
sedimen urin (leukosit, eritrosit, dan hyaline atau granular cast). Kadar serum
bilirubin kemungkinan tinggi, sedangkan kadar aminotransferase dan alkaline
phosphatase terjadi peningkatan sedang. Meskipun gejala klinis pankreatitis tidak
ditemukan, kadar amila sesering meningkat. Ketika gejala meningitis aseptic
berkembang, pemeriksaan CSF menunjukkan pleositosis yang dapat berkisar dari
beberapa sel hingga >1000 sel/μL, dengan polimorfonuklear dominasi
sel.Konsentrasi protein dalam CSF kemungkinan meningkat; kadar glukosa CSF
normal (Kasper, et al., 2015).

Pada leptospirosis berat, kelainan radiografi paru terdapat bilateral alveolar


yang tersebar perdarahan alveolar (Gambar 1.2). Kelainan ini terutama
mempengaruhi bagian bawah lobus. Temuan lain termasuk kepadatan berbasis
pleura (mewakili area perdarahan) dan diffuse ground glass attenuation yang khas
dari sindrom gangguan pernapasan akut (ARDS) (Kasper, et al., 2015).
Diagnosis definitif leptospirosis berdasarkan pada isolasi organisme dari
pasien, hasil positif pada polymerase chain reaction (PCR), atau pada serokonversi
atau peningkatan titer antibodi. Dalam kasus dengan bukti klinis infeksi yang kuat,
antibodi tunggal titer 1:200–1:800 (tergantung apakah kasus terjadi di daerah
endemik tinggi) dalam uji aglutinasi mikroskopis (MAT). Sebagian besar,
kenaikan titer empat kali lipat atau lebih besar terdeteksi antara spesimen serum
fase akut dan fase penyembuhan. Antibodi umumnya tidak mencapai tingkat yang
dapat dideteksi sampai minggu kedua sakit. Respon antibodi dapat dipengaruhi
oleh pengobatan dini dengan antibiotic (Kasper, et al., 2015).

Diagnosis laboratorium leptospirosis melibatkan dua kelompok pengujian.


Kelompok pertama didesain untuk mendeteksi antibodi anti-leptospira, sedangkan
kelompok kedua untuk mendeteksi Leptospira, antigen Leptospira atau asam
nukleat Leptospira pada cairan tubuh maupun jaringan. Kultur dan Microscopic
Agglutination Test (MAT) merupakan standar emas untuk diagnosis laboratorium
dan yang paling banyak digunakan. Beberapa cara skrining cepat penegakan
diagnosis leptospirosis yaitu Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA), uji
aglutinasi lateks, uji aliran lateral dan dipstick IgM, tetapi sensitivitas alat tersebut
masih sangat rendah terutama pada saat fase akut. Selain MAT, alat diagnosis
yang digunakan adalah Polymerase Chain Reaction (PCR) yang terbukti berguna
untuk mendiagnosa leptospirosis lebih awal sebelum dimulainya produksi
antibodi, tetapi biaya operasional PCR ini sangat mahal, sehingga dianggap kurang
efisien(Widjajanti, 2019).

Diagnosis pada masa akut dilakukan dengan mengkultur bakteri Leptospira


dari darah, urin dan cairan serebrospinal; selain itu diagnosis dilakukan melalui
PCR. Saat masa transisi dari fase akut ke fase imunodiagnosis dilakukan melalui
uji ELISA IgM dan dipstik. Pada saat fase imun diagnosis dilakukan melalui uji
MAT, yang merupakan standar emas penegakan diagnosis leptospirosis
berdasarkan rekomendasi dari WHO (Widjajanti, 2019).

Berdasarkan kriteria Faine yang dimodifikasi diagnosis ditegakkan jika:

(a) skor bagian A atau bagian A + bagian B > 26 atau (b) Skor bagian A + bagian

B + bagian C > 25. Skor antara 20 dan 25 menunjukkan kemungkinan diagnosis


leptospirosis tetapi belum terkonfirmasi. Lihat Tabel 1. 1 (Sukma, et al., 2021).
Gambar 1. 2 Leptospirosis berat

Tabel 1. 1 Kriteria diagnosis Faine yang dimodifikasi


1.8 Manajemen
Leptospirosis berat harus diobati dengan penisilin IV segera setelah diagnosis.
Leptospira sangat rentan untuk berbagai antibiotik, dan intervensi awal untuk
mencegah kegagalan sistem organ atau mengurangi keparahannya. Antibiotik
cenderung tidak menguntungkan pada pasien yang telah terjadi kerusakan organ.
Ceftriakson, Cefotaksim, atau Doxycyclin merupakan alternatif untuk penisilin
yang digunakan pada pengobatan leptospirosis berat. Dalam kasus ringan,
pengobatan oral dengan Doxycyclin, Azitromisin, Ampisilin, atau Amoksisilin
dianjurkan (Kasper, et al., 2015).

Direkomendasikan pemberian cairan untuk memperbaiki hipovolemia,


hipotensi, atau perdarahan dengan transfusi saline/darah. Pada pasien dengan
komplikasi (acute kidney injury) pengobatan dengan cairan atau diuretik dimulai
pada kasus ringan dan dialisis dilakukan pada stadium penyakit yang sudah berat.
Ventilator wajib difasilitasi pada pasien yang mengalami acute respiratory
distress syndrome (ARDS) dan pneumonia (Chacko, et al., 2021).

1.9 Prevensi
Pemberian doksisiklin 200 mg/minggu dapat memberikan pencegahan sekitar
95% pada orang dewasa yang berisiko tinggi, namun profilaksis pada anak belum
ditemukan. Pengontrolan lingkungan rumah dan penggunaan alat pelindung diri
terutama di daerah endemik dapat memberikan pencegahan pada penduduk
berisiko tinggi walaupun hanya sedikit manfaatnya. Imunisasi hanya memberikan
sedikit perlindungan karena terdapat serotipe kuman yang berbeda. Adapun
beberapa pencegahan lain terhadap leptospirosis, antara lain:

· Hindari berenang, mandi, menelan, atau memasukan air yang kemungkinan


terkontaminasi (musim hujan dan banjir).

· Hindari kontak dengan air banjir, jangan coba memakan makanan yang
terkontaminasi dengan air banjir.
· Jika memiliki pekerjaan yang mengharuskan terkena paparan gunakan alat
pelindung diri (Center for Disease Control and Prevention, 2018).

2.0 Prognosis
Jika tidak ada ikterus, penyakit jarang fatal. Pada kasus dengan ikterus, angka
kematian 5% pada umur dibawah 30 tahun, dan pada usia lanjut mencapai 30-40%
(Tjokroprawiro, et al., 2015 ).
BAB III

KESIMPULAN
Leptospirosis merupakan penyakit yang ditularkan oleh bakteri Leptospira
baik kepada manusia maupun hewan. Penyakit ini terjadi karena adanya interaksi
yang kompleks antara pembawa penyakit, tuan rumah/pejamu dan lingkungan.
Bakteri Leptospira bersifat komensal pada ginjal mamalia, termasuk tikus.Manusia
dapat terkena leptospirosis jika ada bakteri Leptospira yang masuk ke dalam
tubuhnya melalui luka pada kulit maupun mukosa tubuh. Lingkungan dengan
sanitasi yang buruk mendukung terjadinya leptospirosis. Pencegahan leptospirosis
dilakukan dengan meminimalisir masuknya bakteri ini ke tubuh manusia dengan
memiliki perilaku hidup bersih dan sehat dan juga menjaga kesehatan lingkungan
sekitar.
BAB IV

DAFTAR
PUSTAKA

Center for Disease Control and Prevention (2018) ‘Leptospirosis - Fact Sheet for
Clinicians’, Centres for Disease Control and Prevention, pp. 1–4. Available at:
https://www.cdc.gov.

Chacko, C. S. et al., 2021. A short review on leptospirosis: Clinical


manifestations, diagnosis and treatment.Clinical Epidemiology and Global
Health, Volume 11.

Dara Grennan, M. (2019) ‘Leptospirosis is an infectious disease spread by


contaminated water.’, Centers forDisease Control and Prevention, 321(8), p.
2020. doi: 10.1007/978-3-662-45059-8.

Haake, D. and Levett, P. (2015) Leptospirosis in Humans. Leptospira and


Leptospirosis, Curr Top Immunol. doi: 10.1007/978-3-662-45059-8.

Karpagam, K. B. and Ganesh, B. (2020) ‘Leptospirosis: a neglected tropical


zoonotic infection of public health importance—an updated review’, European
Journal of Clinical Microbiology and Infectious Diseases. European Journal of
Clinical Microbiology & Infectious Diseases, 39(5), pp. 835–846. doi:
10.1007/s10096-019-03797-4.

Kasper, D. L. et al., 2015. Harrison's Principles of Internal Medicine. 19th edition


ed. s.l.:McGraw Hill Education.
Rajapakse, S., 2022. Leptospirosis: clinical aspects. Clinical Medicine , 22(1), pp. 14-
17.

Sukma, F. A., Mulida, M. & Sujana, K. S., 2021. Severe Leptospirosis. Cermin Dunia
Kedokteran, 48(11).

Tjokroprawiro, A. (2015) Buku ajar ilmu penyakit dalam. Ed.2: Fakultas


Kedokteran Universitas AirlanggaRumah Sakit Pendidikan Dr. Soetomo
Surabaya, Airlangga University Press.
Widjajanti, W. (2019) ‘Epidemiologi, diagnosis, dan pencegahan Leptospirosis’,
Journal of HealthEpidemiology and Communicable Diseases, 5(2), pp. 62–68. doi:
10.22435/jhecds.v5i2.174.

Anda mungkin juga menyukai