Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH ZOONOSIS

PENYAKIT ‘LEPTOSPIROSIS’

Oleh:

NAMA : DEWI LITA ENDRA WATI


NIM : 1807010085
KELAS : V/A

PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS NUSA CENDANA
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang tiada henti-hentinya
memberikan kenikmatan dan karunia kepada semua makhluk-Nya, sehingga penulis bisa
menyelesaikan tugas makalah Zoonosis ini dengan baik.
Penulis sangat bersyukur karena dapat menyelesaikan makalah yang menjadi tugas
Zoonosis dengan judul “Leptospirosis”. Disamping itu, penulis mengucapkan banyak
terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu selama penulisan makalan ini
berlangsung sehingga dapat terselesaikan makalah ini.
Penulis menyadari dalam penulisan makalah ini masih banyak kekurangan, karena
keterbatasan kemampuan maupun pengalaman penulis. Maka dari itu penulis mengharapkan
kritik dan saran yang membangun demi memperbaiki kekurangan ataupun kekeliruan yang ada.
Harapan penulis semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi khalayak banyak, khususnya bagi
mahasiswa Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat untuk menambah wawasan dalam bidang
kesehatan.

Kupang, September 2020

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penulisan

BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Leptospirosis
B. Masa inkubasi dan gejala
C. Patofisiologi
D. Diagnosis dan pemeriksaan penyakit
E. Sumber dan cara penularan
F. Pengobatan pada manusia
G. Pencegahan penyakit Program pemberantasan pada manusia dan hewan

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan

B. Saran

DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PEMBAHASAN

A. Latar Belakang
Leptospirosis merupakan penyakit zoonosis yang mempunyai dampak signifikan
terhadap kesehatan di banyak belahan dunia, khususnya di negara beriklim sub tropis dan
tropis. Leptospirosis adalah infeksi akut yang disebabkan oleh bakteri leptospira. Penyakit
ini juga disebut Weil disease, Canicola fever, Hemorrhagic jaundice, Mud fever, atau
Swineherd disease (Widoyono, 2008). Penyakit ini paling sering ditularkan dari hewan ke
manusia ketika orang dengan luka terbuka di kulit melakukan kontak dengan air atau tanah
yang telah terkontaminasi air kencing hewan. Bakteri juga dapat memasuki tubuh melalui
mata atau selaput lendir. Hewan yang umum menularkan infeksi kepada manusia adalah
tikus, musang, opossum, rubah, musang kerbau, sapi atau binatang lainnya. Masa inkubasi
pada manusia secara umum yaitu 2 sampai 26 hari. Gejala yang timbul tergantung kepada
berat ringannya infeksi, maka gejala dan tanda klinik dapat berat, agak berat atau ringan
saja.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dan penyebab penyakit leptospirosis?
2. Bagaimana masa inkubasi dan gejala penyakit leptospirosis?
3. Bagaimana patofisiologi penyakit leptospirosis??
4. Bagaimana diagnosis dan pemeriksaan penyakit leptospirosis?
5. Bagaimana sumber dan cara penularan penyakit leptospirosis?
6. Bagaimana pengobatan penyakit leptospirosis pada manusia?
7. Bagaimana pencegahan penyakit program pemberantasan pada manusia dan hewan?

C. Tujuan
1. Menjelaskan pengertian dan penyebab penyakit leptospirosis.
2. Menjelaskan masa inkubasi dan gejala penyakit leptospirosis.
3. Menjelaskan tentang patofisiologi penyakit leptospirosis.
4. Menelaskan tentang diagnosis dan pemeriksaan penyakit penyakit leptospirosis.
5. Menjelaskan sumber dan cara penularan penyakit leptospirosis.
6. Menjelaskan cara pengobatan penyakit leptospirosis pada manusia.
7. Menjelaskan pencegahan penyakit program pemberantasan pada manusia dan hewan.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Leptospirosis
Leptospirosis merupakan penyakit zoonosis yang mempunyai dampak signifikan
terhadap kesehatan di banyak belahan dunia, khususnya di negara beriklim sub tropis dan
tropis.
Leptospirosis adalah infeksi akut yang disebabkan oleh bakteri leptospira. Penyakit
ini juga disebut Weil disease, Canicola fever, Hemorrhagic jaundice, Mud fever, atau
Swineherd disease. Penyakit ini paling sering ditularkan dari hewan ke manusia ketika orang
dengan luka terbuka di kulit melakukan kontak dengan air atau tanah yang telah
terkontaminasi air kencing hewan. Bakteri juga dapat memasuki tubuh melalui mata atau
selaput lendir. Hewan yang umum menularkan infeksi kepada manusia adalah tikus,
musang, opossum, rubah, musang kerbau, sapi atau binatang lainnya.
Leptospirosis menjadi suatu masalah di dunia karena angka kejadian yang tinggi
namun dilaporkan rendah di sebagian besar negara. Hal tersebut diakibatkan karena sulitnya
dalam menentukan diagnosis klinis dan tidak adanya alat untuk diagnosis sehingga sebagian
besar negara melaporkannya sebagai angka kejadian yang rendah. Di sisi lain, di suatu
negara angka kejadian Leptospirosis meningkat setiap tahunnya. Di negara tropis
diperkirakan terdapat kasus leptospirosis antara 10-100 kejadian tiap 100.000 penduduk per
tahun (WHO, 2003).
B. Masa Inkubasi dan gejala Leptospirosis
Masa inkubasi pada manusia secara umum yaitu 2 sampai 26 hari. Gejala yang
timbul tergantung kepada berat ringannya infeksi, maka gejala dan tanda klinik dapat berat,
agak berat atau ringan saja. Penderita mampu segera mambentuk antibodi (zat kekebalan),
sehingga mampu menghadapi bakteri Leptospira, bahkan penderita dapat menjadi sembuh.
Gejala klinis dari Leptospirosis pada manusia bisa dibedakan menjadi tiga stadium, yaitu:
1. Stadium Pertama (leptospiremia)
a. Demam, menggigil
b. Sakit kepala
c. Bercak merah pada kulit
d. Malaise dan muntah
e. Konjungtivis serta kemerahan pada mata
f. Rasa nyeri pada otot terutama otot betis dan punggung. Gejala-gejala tersebut akan
tampak antara 4-9 hari

2. Stadium Kedua
a. Pada stadium ini biasanya telah terbentuk antibodi di dalam tubuh penderita
b. Gejala-gejala yang tampak pada stadium ini lebih bervariasi dibanding pada
stadium pertama antara lain ikterus (kekuningan).
c. Apabila demam dan gejala-gejala lain timbul lagi, besar kemungkinan akan terjadi
meningitis.
d. Biasanya fase ini berlangsung selama 4-30 hari.

3. Stadium Ketiga
a. Pada ginjal, renal failure yang dapat menyebabkan kematian
b. Pada mata, konjungtiva yang tertutup menggambarkan fase septisemi yang erat
hubungannya dengan keadaan fotobia dan konjungtiva hemorrhagic
c. Pada hati, jaundice (kekuningan) yang terjadi pada hari keempat dan keenam
dengan adanya pembesaran hati dan konsistensi lunak
d. Pada jantung, aritmia, dilatasi jantung dan kegagalan jantung yang dapat
menyebabkan kematian mendadak
e. Pada paru-paru, hemorhagic pneumonitis dengan batuk darah, nyeri dada,
respiratory distress dan cyanosis
f. Perdarahan karena adanya kerusakan pembuluh darah (vascular damage) dari
saluran pernapasan, saluran pencernaan, ginjal dan saluran genitalia
g. Infeksi pada kehamilan menyebabkan abortus, lahir mati, premature dan kecacatan
pada bayi

Pada hewan ternak ruminansia dan babi yang bunting, gejala abortus, pedet lahir mati
atau lemah sering muncul pada kasus leptospirosis. Pada sapi, muncul demam dan
penurunan produksi susu sedangkan pada babi, sering muncul gangguan reproduksi . Pada
kuda, terjadi keratitis, conjunctivitis, iridocyclitis, jaundice sampai abortus. Sedangkan pada
anjing, infeksi leptospirosis sering bersifat subklinik. Gejala klinis yang muncul sangat
umum seperti demam, muntah, jaundice.
Gejala klinis leptospirosis pada sapi dapat bervariasi mulai dari yang ringan, infeksi
yang tidak tampak, sampai infeksi akut yang dapat mengakibatkan kematian . Infeksi akut
paling sering terjadi pada pedet/sapi muda.

C. Patofisiologi
Leptospira dapat masuk melalui luka dikulit atau menembus jaringan mukosa seperti
konjungtiva, nasofaring dan vagina. Setelah menembus kulit atau mukosa, organisme ini
ikut aliran darah dan menyebar keseluruh tubuh. Leptospira juga dapat menembus jaringan
seperti serambi depan mata dan ruang subarahnoid tanpa menimbulkan reaksi peradangan
yang berarti. Faktor yang bertanggung jawab untuk virulensi leptospira masih belum
diketahui. Sebaliknya leptospira yang virulen dapat bermutasi menjadi tidak virulen.
Virulensi tampaknya berhubungan dengan resistensi terhadap proses pemusnahan didalam
serum oleh neutrofil. Antibodi yang terjadi meningkatkan klirens leptospira dari darah
melalui peningkatan opsonisasi dan dengan demikian mengaktifkan fagositosis.
Beberapa penemuan menegaskan bahwa leptospira yang lisis dapat mengeluarkan
enzim, toksin, atau metabolit lain yang dapat menimbulkan gejala-gejala klinis. Hemolisis
pada leptospira dapat terjadi karena hemolisin yang tersirkulasi diserap oleh eritrosit,
sehingga eritrosit tersebut lisis, walaupun didalam darah sudah ada antibodi. Diastesis
hemoragik pada umumnya terbatas pada kulit dan mukosa, pada keadaan tertentu dapat
terjadi perdarahan gastrointestinal atau organ vital dan dapat menyebabkan kematian.

D. Diagnosis dan Pemeriksaan Penyakit


Diagnosis leptospirosis dapat dilakukan baik pada hewan maupun manusia. Pada
hewan diagnosis dilakukan pada ginjal dan limpa, sedangkan pada manusia diagnosis
dilakukan pada serum, plasma darah, urin dan cairan serebrospinal. Diagnosis laboratorium
leptospirosis melibatkan dua kelompok pengujian. Kelompok pertama didesain untuk
mendeteksi antibodi anti-leptospira, sedangkan kelompok kedua untuk mendeteksi
Leptospira, antigen Leptospira atau asam nukleat Leptospira pada cairan tubuh maupun
jaringan. Kultur dan Microscopic Agglutination Test (MAT) adalah standar emas untuk
diagnosis laboratorium dan yang paling banyak digunakan. Beberapa cara skrining cepat
penegakan diagnosis leptospirosis telah dikembangkan, di antaranya Enzyme Linked
Immunosorbent Assay (ELISA), uji aglutinasi lateks, uji aliran lateral dan dipstik IgM, tapi
sayangnya sensitivitas alat tersebut masih sangat rendah terutama pada saat fase akut. Selain
MAT, alat diagnosis yang digunakan adalah Polymerase Chain Reaction (PCR) yang
terbukti berguna untuk mendiagnosis leptospirosis lebih awal sebelum dimulainya produksi
antibodi, sayangnya biaya operasional PCR ini sangat mahal, sehingga dirasa kurang efisien.
Diagnosis kasus leptospirosis pada manusia dapat dilakukan pada saat masa akut,
transisi dari masa akut ke masa imun dan fase imun. Pada masa akut diagnosis dilakukan
dengan mengkultur bakteri Leptospira dari darah, urin dan cairan serebrospinal; selain itu
diagnosis dilakukan melalui PCR. Saat masa transisi dari fase akut ke fase imun diagnosis
dilakukan melalui uji ELISA IgM dan dipstik. Pada saat fase imun diagnosis dilakukan
melalui uji MAT, yang merupakan standar emas penegakan diagnosis leptospirosis
berdasarkan rekomendasi dari WHO.

E. Sumber dan Cara penularan


Sumber penularan penyakit leptospirosis adalah babi, anjing, sapid an sebagian jenis
tikus. Cara penularan leptospirosis dibedakan menjadi dua yakni, penularan secara langsung
dan tidak langsung.

1. Penularan secara langsung dapat terjadi :


a) Melalui darah, urin atau cairan tubuh lain yang mengandung kuman leptospira
masuk kedalam tubuh pejamu.
b) Dari hewan ke manusia merupakan peyakit akibat pekerjaan, terjadi pada orang
yang merawat hewan atau menangani organ tubuh hewan misalnya pekerja potong
hewan, atau seseorang yang tertular dari hewan peliharaan.
c) Dari manusia ke manusia meskipun jarang, dapat terjadi melalui hubungan
seksual pada masa konvalesen atau dari ibu penderita leptospirosis ke janin
melalui sawar plasenta dan air susu ibu.
2. Penularan tidak langsung dapat terjadi melalui :
a) Genangan air.
b) Sungai atau badan air.
c) Danau.
d) Selokan saluran air dan lumpur yang tercemar urin hewan.
e) Jarak rumah dengan tempat pengumpulan sampah.

F. Pengobatan pada manusia


Pengobatan leptospirosis tergantung pada tingkat keparahannya. Bagi penderita
leptosiprosis ringan pengobatannya berupa tablet doksisiklin dengan dosis 100 mg diminum
dua kali sehari selama tujuh hari. Bagi penderita leptospirosis sedang dan/atau berat
pengobatannya berupa penicilin G intravena dengan dosis 1,5 MU setiap enam jam selama
tujuh hari. Jika terjadi gagal ginjal perlu dilakukan hemodialisa dan perlu dilakukan ventilasi
pernafasan mekanis jika terjadi perdarahan pada paru-paru. Bagi orang yang memiliki risiko
tinggi terkena leptospirosis, maka perlu diberikan doksisiklin oral sebagai profilaksis sebesar
200mg per minggu selama terpapar risiko.

G. Pencegahan penyakit Program pemberantasan pada manusia dan hewan


Berdasarkan saran WHO, upaya pencegahan leptospirosis dapat dilakukan dalam tiga
cara, yaitu pada hewan sebagai sumber infeksi, jalur penularan dan manusia. Pada hewan
sebagai sumber infeksi, pencegahan dilakukan dengan memberikan vaksin kepada hewan
yang berpotensi tertular leptospirosis. Selain itu kebersihan kandang hewan peliharaan juga
perlu diperhatikan untuk mencegah terjadinya leptospirosis pada hewan. Pada jalur
penularan, pencegahan yang bisa dilakukan adalah dengan memutus jalur penularan. Jalur
penularan adalah lingkungan yang bisa menjadi tempat berkembang biak dan hidup bakteri
Leptospira. Lingkungan dengan kondisi sanitasi yang buruk menjadi faktor risiko terjadinya
leptospirosis. Kegiatan yang dapat dilakukan untuk mencegah leptospirosis adalah dengan
menjaga kebersihan lingkungan sekitar tempat tinggal, supaya tidak menjadi sarang tikus,
termasuk tempat penyimpanan air, penanganan sampah yang benar sehingga tidak menjadi
sarang tikus.
Pada manusia, pencegahan yang bisa dilakukan dengan menjaga kebersihan individu
setelah beraktivitas di lokasi yang berisiko terpapar leptospirosis; pendidikan kesehatan
untuk menggunakan alat pelindung diri bagi pekerja yang bekerja di lingkungan yang
berisiko leptospirosis; menjaga kebersihan kandang hewan peliharaan; membersihkan
habitat sarang tikus; pemberantasan hewan pengerat bila kondisi memungkinkan dan
pemberian kaporit atau sodium hipoklorit pada air tampungan yang akan digunakan oleh
masyarakat. Selain itu perlu juga dilakukan peningkatan kesadaran masyarakat akan bahaya
penyakit ini, terlebih bagi kelompok masyarakat yang memiliki risiko tinggi dan juga
penyedia pelayanan kesehatan.
BAB III
PENUTUP

A. Keseimpulan
Leptospirosis merupakan penyakit zoonosis yang mempunyai dampak signifikan
terhadap kesehatan di banyak belahan dunia, khususnya di negara beriklim sub tropis dan
tropis. Leptospirosis adalah infeksi akut yang disebabkan oleh bakteri leptospira. Penyakit
ini juga disebut Weil disease, Canicola fever, Hemorrhagic jaundice, Mud fever, atau
Swineherd disease (Widoyono, 2008). Penyakit ini paling sering ditularkan dari hewan ke
manusia ketika orang dengan luka terbuka di kulit melakukan kontak dengan air atau tanah
yang telah terkontaminasi air kencing hewan. Bakteri juga dapat memasuki tubuh melalui
mata atau selaput lendir.
Hewan yang umum menularkan infeksi kepada manusia adalah tikus, musang,
opossum, rubah, musang kerbau, sapi atau binatang lainnya. Masa inkubasi pada manusia
secara umum yaitu 2 sampai 26 hari. Gejala yang timbul tergantung kepada berat ringannya
infeksi, maka gejala dan tanda klinik dapat berat, agak berat atau ringan saja.

B. Saran
Kita sebagai masyarakat diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan kesehatan terutama
mengenai penyakit lepospirosis. Dengan mengetahui akan penyakit leptospirosis, pencegahan
dan penanggulangannya dapat dilakukan sehingga penyakit tersebut tidak menimbulkan infeksi
yang berat karena telatnya penanganan.
Masyarakat juga harus meningkatkan dan menjaga sanitasi diri sendiri maupun maupun
lingkungan karena bakteri leptospirosis menyebar pada lingkungan yang kotor dan dapat terbawa
air.

DAFTAR PUSATAKA
http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/133/jtptunimus-gdl-sitinurcha-6633-3-babii
http://repository.unimus.ac.id/565/3/BAB%2520II.pdf
http://eprints.ums.ac.id/44786/3/BAB%2520I.pdf
https://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/jhealthedu/article/view/17187/10385

Anda mungkin juga menyukai