Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

Leptospirosis

Oleh

Anastasia Irene

1807010193

E/V

Epidemiologi

Program studi ilmu kesehatan masyarakat

Fakultas kesehatan masyarakat

Universitas Nusa Cendana

Kupang

2020
Kata pengantar

Segala puji dan syukur kehadirat Tuhan yang maha esa. Berkat limpahan dan rahmat-Nya penulis
mampu menyelesaikan tugas makalah ini.

Dalam penyusunan tugas atau materi ini, tidak sedikit hambatan yang penulis hadapi. Namun penulis
menyadari bahwa kelancaran dalam penyusunan materi ini tidak lain berkat bantuan, dorongan, dan
bimbingan dari Tuhan, dosen mata kuliah Zoonosis, orang tua, dan teman-teman sehingga kendala-
kendala yang penulis hadapi teratasi.

Makalah ini disusun dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah Zoonosis dan agar pembaca dapat
memperluas ilmu tentang mikroba penyebab penyakit, yaitu bakteri Leptospira yang menyebabkan
terjadinya penyakit lepstospirosis di masyarakat yang telah disajikan berdasarkan dari berbagai sumber
informasi, dan referensi.

Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas dan menjadi sumbangan pemikiran
kepada pembaca. Penulis sadar bahwa makalah ini masih banyak kekurangan dan jauh dari sempurna.
Untuk itu, kepada dosen mata kuliah Zoonosis, penulis meminta masukan demi perbaikan
pembuatan makalah di masa yang akan datang dan mengharapkan kritik dan saran dari para
pembaca.

Kupang, 02 September 2020

Penulis
BAB I

Pendahuluan

1.1 Latar Belakang

Leptospirosis merupakan penyakit zoonosis yang dapat ditemukan di seluruh dunia,


disebabkan oleh genus Leptospira yang pathogen. Namun, adanya gejala dan tanda
leptospirosis yang tidak khas seperti demam, nyeri kepala, mual, dan muntah sering
dianggap sebagai penyakit infeksi virus. Sembilan puluh persen (90 %) kasus leptospirosis
bermanifestasi sebagai penyakit demam akut dan mempunyai prognosis baik, sedangkan
10 % kasus lainnya mempunyai gambaran klinis lebih berat sehingga menyebabkan
kematian pada 10 % kasus. Manifestasi leptospira yang berat dan seringkali fatal dikenal
sebagai penyakit Weil atau leptospirosis ikterik, dengan gambaran klasik berupa demam,
ikterus, gagal ginjal, dan perdarahan. Organ lain yang dapat pula terkena adalah jantung,
paru, dan susunan syaraf pusat (Bobby dkk, 2001).

Penyebab leptospirosis adalah urin hewan terinfeksi leptospira yang mencemari


lingkungan. Gejala klinis penyakit ini sangat bervariasi dari ringan hingga berat bahkan
dapat menyebabkan kematian penderitanya. Gejala klinis yang tidak spesifik memerlukan
uji laboratorium untuk mendukung penentuan diagnosanya. Upaya mengisolasi dan
mengidentifikasi leptospira sangat memakan waktu. Diagnosis leptospira yang utama
dilakukan secara serologis. Uji serologis merupakan uji standart untuk konfirmasi
diagnosis, menentukan prevalensi dan studi epidemiologi. Vaksinasi pada hewan
merupakan salah satu cara pengendalian leptospirosis. Pengembangan vaksin untuk hewan
masih terus dilakukan di Indonesia untuk memperoleh vaksin multivalent yang efektif
karena leptospira terdiri dari banyak serovar. Penggunaaan vaksin yang sesuai
dikombinasikan dengan perbaikan sanitasi lingkungan merupakan upaya pengendalian
leptospirosis pada hewan di masa datang (Kusmiyati dkk, 2005).

1.2 Rumusan Masalah

Apa pengertian dari penyakit Leptospirosis?


Bagaimana etiologi dari penyakit Leptospirosis?

Bagaimana masa inkubasi dan gejala penyakit Leptospirosis?

Bagaimana patofisiologi penyakit Leptospirosis?

Bagaimana diagnosa dan pemeriksaan penyakit Leptospirosis?

Bagaimana sumber dan cara penularan penyakit Leptospirosis?

Bagaimana pengobatan pada manusia?

Bagaimanakah pencegahan penyakit dan program pemberantasan pada manusia dan hewan?

1.3 Tujuan

Dapat mengetahui lebih banyak tentang penyakit Leptospirosis.

Dapat mengetahui faktor, penanganan dan pencegahan dari penyakit leptospirosis.

BAB II

Pembahasan

1.1 Pengertian Leptospirosis

Leptospirosis adalah penyakit zoonosis, disebabkan oleh infeksi bakteri yang berbentuk spiral dari
genus Leptospira. Leptospira tersebar luas di seluruh dunia, terutama pada daerah tropis. Penularan
leptospirosis pada manusia terjadi secara kontak langsung melalui genangan air yang terkontaminasi
urin yang terinfeksi leptospira. Bakteri ini masuk ke dalam tubuh melalui kulit yang luka atau membrane
mukosa. Gejala penyakit ini sangat bervariasi mulai dari demam, ikterus, hemoglobinuria, pada hewan
yang bunting dapat terjadi abortus dan janin lahir mati, bahkan dapat menyebabkan kematian
penderitanya. Tingkat keganasan serangan Leptospirosis tergantung dari serovar Leptospira dan spesies
hewan yang terinfeksi pada daerah tertentu (Kusmiyati, 2005).

2.2 Etiologi Leptospirosis

Leptospirosis disebabkan oleh bakteri Leptospira yang Berbentuk spiral, tipis, lentur dengan panjang
10-20 tm dan tebal 0,1 gin serta memiliki dua lapis membran. Kedua ujungnya mempunyai kait berupa
flagelum periplasmik. Bergerak aktif maju mundur dengan gerakan memutar sepanjang sumbunya.
Bentuk dan gerakannya dapat dilihat dengan mikroskop medan gelap atau mikroskop fase kontras
(Faine, 1982).

Leptospirosis adalah penyakit zoonosis yang disebabkan oleh infeksi dari spesies Leptospira, famili
Leprospiraceae ordo Spirochaetales yang patogen, bermanifestasi sebagai demam akut. Infeksi pada
manusia pada umumnya disebabkan oleh roden (misalnya tikus), kadang-kadang babi dan anjing.
Organisme ini hidup di air sehingga air merupakan sarana penular pada manusia. Sebagian besar kasus
leptospirosis akan sembuh sempurna, walaupun sekitar sepuluh persen diantaranya dapat bersifat fatal.
Mortalitas meningkat apabila didapatkan gejala ikterus, gagal ginjal, dan perdarahan. Diagnosis
ditegakkan berdasarkan gejala klinis, diagnosis pasti apabila ditemukan organisme dalam darah atau urin
pada pemeriksaan dark-groun microscope, biakan darah dan urin, uji aglutinasi, serta imunoglobuln..
Antibiotik golongan penisilin dapat diberikan untuk pengobatan leptospirosis. Perawatan diperlukan
apabila terdapat komplikasi (Hickey, 2002).

Leptospirosis merupakan penyakit zoonosis yang dapat ditemukan di seluruh dunia. Namun, adanya
gejala dan tanda leptospirosis yang tidak khas seperti demam, nyeri kepala, mual, dan muntah sering
dianggap sebagai penyakit infeksi virus. Sembilan puluh persen kasus leptospirosis bermanifestasi
sebagai penyakit demam akut dan mempunyai prognosis baik, sedangkan 10% kasus lainnya mempunyai
gambaran klinis lebih berat sehingga menyebabkan kematian pada 10% kasus. Manifestasi leptospira
yang berat dan seringkali fatal dikenal sebagai penyakit Weil atau leptospirosis ikterik, dengan gambaran
klasik berupa demam, ikterus, gagal ginjal, dan perdarahan. Organ lain yang dapat pula terkena adalah
jantung, paru, dan susunan syaraf pusat.(Heath, 1994).

Genus leptospira terdiri dari 2 kelompok atau kompleks, yang patogen L.interrogans, dan yang non
pathogen atau saprofit L.biflexs kelompok patogen terdapat pada manusia dan hewan. Kelompok yang
patogen atau L.interrogans terdiri dari sub grup yang masing-masingnya terbagi lagi atas berbagai
serotype (serovar) yang jumlahnya sangat banyak. Saat ini telah ditemukan 240 serotipe yang tergabung
dalam 23 serogrup. Sub grup yang dapat menginfeksi manusia di antaranya adalah
L.icterohaemorrhagiae, L. javanica, L. celledoni, L. canicola, L ballum, L.pyrogenes, L. cynopteri, L.
automnalis, L. australis, L. pomona, L.grippothyphosa, L. hebdomadis, L. bataviae, L. tarassovi, L.
panama, L.bufonis, L. andamana, L. shermani, L. ranarum, L. copenhageni.

Bakteri ini termasuk dalam ordo Spirochaetales, Famili Leptospiraceae,genus Leptospira. Leptospira
dapat tumbuh di dalam media dasar yang diperkaya dengan vitamin, asam lemak rantai panjang sebagai
sumber karbon dan garam amonium; tumbuh optimal pada suhu 28-30°C dalam kondisi obligat aerob
(Adler et al.,1986 ;Faine, 1982).
Sistem penggolongan Leptospira yang tradisional genus Leptospira dibagi menjadi dua yaitu
L.interrogans yang patogen dan L.biflexa yang nonpatogen. L.interrogans dibagi menjadi serogrup dan
serovar berdasarkan antigen. Klasifikasi terbaru dari Leptospira yaitu L.interrogans dibagi menjadi 7
spesies yaitu L.interrogans, L.weilii, L.santarosai, L.noguchii, L.borgpetersenii, L.inadai, L.kirschneri dan 5
spesies yang tidak bertitel yaitu spesies 1, 2, 3, 4, dan 5. L.biflexa dibagi menjadi 5spesies barn (Hickey
dan Deemeks, 2003).

Beberapa seropati menyebabkan panyakit dengan gejala yang berat, bahkan dapat berakhir fatal seperti
L.icterohaemorrhagiae, tetapi ada serogrup atau seropati dengan gejala yang ringan, misalnya infeksi
L.automnalis, L. bataviae, L. pyrogenes, dan sebagainya.Menurut beberapa peneliti yang tersering
menginfeksi manusia adalah L.icterohaemorrhagiae, dengan reservoir tikus, L.canicola, dengan
reservoirnya anjing dan L. pomona dengan reservoirnya sapi dan babi.

2.3 masa inkubasi dan gejala penyakit

Masa inkubasi Leptospirosis pada manusia yaitu 2 - 26 hari. Infeksi Leptospirosis mempunyai manifestasi
yang sangat bervariasi dan kadang tanpa gejala, sehingga sering terjadi kesalahan diagnosa.

Gambaran klinis leptospirosis dibagi atas 3 fase yaitu : fase leptospiremia, fase imun dan fase
penyembuhan.

a. Fase Leptospiremia

Demam mendadak tinggi sampai menggigil disertai sakit kepala, nyeri otot, hiperaestesia pada kulit,
mual muntah, diare, bradikardi relatif, ikterus, injeksi silier mata. Fase ini berlangsung 4-9 hari dan
berakhir dengan menghilangnya gejala klinis untuk sementara.

b. Fase Imun

Dengan terbentuknya IgM dalam sirkulasi darah, sehingga gambaran klinis bervariasi dari demam tidak
terlalu tinggi, gangguan fungsi ginjal dan hati, serta gangguan hemostatis dengan manifestasi
perdarahan spontan.

c. Fase Penyembuhan

Fase ini terjadi pada minggu ke 2 - 4 dengan patogenesis yang belum jelas. Gejala klinis pada penelitian
ditemukan berupa demam dengan atau tanpa muntah, nyeri otot, ikterik, sakit kepala, batuk,
hepatomegali, perdarahan dan menggigil serta splenomegali.Menurut berat ringannya, leptospirosis
dibagi menjadi ringan dan berat, tetapi untuk pendekatan diagnosis klinis dan penanganannya, para ahli
lebih senang membagi penyakit ini menjadi leptospirosis anikterik (non ikterik) dan leptospirosis ikterik.

1) Leptospirosis anikterik

Onset leptospirosis ini mendadak dan ditandai dengan demam ringan atau tinggi yang umumnya bersifat
remiten, nyeri kepala dan menggigil serta mialgia. Nyeri kepala bisa berat, mirip yang terjadi pada infeksi
dengue, disertai nyeri retro-orbital dan photopobia. Nyeri otot terutama di daerah betis, punggung dan
paha. Nyeri ini diduga akibat kerusakan otot sehingga creatinin phosphokinase pada sebagian besar
kasus akan meningkat, dan pemeriksaan cretinin phosphokinase ini dapat untuk membantu diagnosis
klinis leptospirosis. Akibat nyeri betis yang menyolok ini, pasien kadang-kadang mengeluh sukar
berjalan. Mual, muntah dan anoreksia dilaporkan oleh sebagian besar pasien. Pemeriksaan fisik yang
khas adalah conjunctival suffusion dan nyeri tekan di daerah betis. Limpadenopati, splenomegali,
hepatomegali dan rash macupapular bisa ditemukan, meskipun jarang. Kelainan mata berupa uveitis
dan iridosiklis dapat dijumpai pada pasien leptospirosis anikterik maupun ikterik. Gambaran klinik
terpenting leptospirosis anikterik adalah meningitis aseptik yang tidak spesifik sehingga sering
terlewatkan diagnosisnya.

Dalam fase leptospiremia, bakteri leptospira bisa ditemukan di dalam cairan serebrospinal, tetapi dalam
minggu kedua bakteri ini menghilang setelah munculnya antibodi ( fase imun ).Pasien dengan
Leptospirosis anikterik pada umumnya tidak berobat karena keluhannya bisa sangat ringan. Pada
sebagian pasien, penyakit ini dapat sembuh sendiri ( self - limited ) dan biasanya gejala kliniknya akan
menghilang dalam waktu 2-3 minggu. Karena gambaran kliniknya mirip penyakit-penyakit demam akut
lain, maka pada setiap kasus dengan keluhan demam, leptospirosis anikterik harus dipikirkan sebagai
salah satu diagnosis bandingnya, apalagi yang di daerah endemik. Leptospirosis anikterik merupakan
penyebab utama Fever of unknown origin di beberapa negara Asia seperti Thailand dan Malaysia.
Diagnosis banding leptospirosis anikterik harus mencakup penyakit-penyakit infeksi virus seperti
influenza, HIV seroconversion, infeksi dengue, infeksi hanta virus, hepatitis virus, infeksi mononukleosis
dan juga infeksi bakterial atau parasitik seperti demam tifoid, bruselosis, riketsiosis dan malaria.

2) Leptospirosis ikterik

Ikterus umumnya dianggap sebagai indikator utama leptospirosis berat. Gagal ginjal akut, ikterus dan
manifestasi perdarahan merupakan gambaran klinik khas penyakit Weil. Pada leptospirosis ikterik,
demam dapat persisten sehingga fase imun menjadi tidak jelas atau nampak overlapping dengan fase
leptospiremia. Ada tidaknya fase imun juga dipengaruhi oleh jenis serovar dan jumlah bakteri leptospira
yang menginfeksi, status imunologik dan nutrisi penderita serta kecepatanmemperoleh terapi yang
tepat. Leptospirosis adalah penyebab tersering gagal ginjal akut.

2.4 Patofisiologis Leptospirosis

Patofisiologi penyakit leptospira ini dibagi menjadi beberapa tahap, yaitu :

Pre Patogenesis

Infeksi oleh Leptospira umumnya didapat karena kontak kulit atau selaput lendir (mucous membrane)
misalnya, konjuktiva (mata) karena kecipratan selaput lendir vagina atau lecet-lecet kulit dengan urin
atau cemaran oleh keluaran urogenitalis lainnya atau mengkonsumsi makanan atau minuman yang
tercemar oleh bakteri tersebut. Apabila hewan korban terinfeksi bakteri Leptospira ini, maka segeralah
mikroorganisme ini merasuk ke dalam jaringan tubuh penderita (Hauser dkk, 2005).

Patogenesis

Masuknya bakteri Leptospirosis pada tubuh hospes melalui selaput lendir, luka-luka lecet maupun
melalui kulit menjadi lebih lunak karena terkena air. Kemudian, bakteri akan dibawa ke berbagai bagian
tubuh dan memperbanyak diri terutama di dalam hati, ginjal, kelenjar mamae dan selaput otak. Bakteri
tersebut dapat ditemukan di dalam atau di luar sel-sel jaringan yang terkena. Pada beberapa tingkatan
penyakit dapat ditemukan Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis   156fase leptospiremia, yang biasanya
terjadi pada minggu pertama setelah infeksi.

Bakteri leptospira masuk ke dalam tubuh penjamu melalui luka iris/luka abrasi pada kulit, konjungtiva
atau mukosa utuh yang melapisi mulut, faring, osofagus, bronkus, alveolus dan dapat masuk melalui
inhalasi droplet infeksius dan minum air yang terkontaminasi. Meski jarang ditemukan, leptospirosis
pernah dilaporkan penetrasi bakteri leptospira melalui kulit utuh yang lama terendam air, saat banjir.
Infeksi melalui selaput lendir lambung jarang terjadi, karena ada asam lambung yang mematikan bakteri
leptospira. Bakteri leptospira yang tidak virulen gagal bermultiplikasi dan dimusnahkan oleh sistem
kekebalan dari aliran darah setelah 1 atau 2 hari infeksi. Organisme virulen mengalami mengalami
multiplikasi di darah dan jaringan, dan bakteri leptospira dapat diisolasi dari darah dan cairan
serebrospinal pada hari ke 4 sampai 10 perjalanan penyakit.

Bakteri leptospira merusak dinding pembuluh darah kecil; sehingga menimbulkan vaskulitis disertai
kebocoran dan ekstravasasi sel. Patogenitas bakteri leptospira yang paling penting adalah perlekatannya
pada permukaan sel dan toksisitas selluler. Lipopolysaccharide (LPS) pada bakteri leptospira mempunyai
aktivitas endotoksin yang berbeda dengan endotoksin bakteri gram negatif, dan aktivitas lainnya yaitu
stimulasi perlekatan netrofil pada sel endotel dan trombosit, sehingga terjadi agregasi trombosit disertai
trombositopenia. Bakteri leptospira mempunyai fosfolipase yaitu hemolisin yang mengakibatkan lisisnya
eritrosit dan membran sel lain yang mengandung fosfolipid. Beberapa strain serovar Pomona dan
Copenhageni mengeluarkan protein sitotoksin. In vivo, toksin in mengakibatkan perubahan
histopatologik berupa infiltrasi makrofag dan sel polimorfonuklear. Organ utama yang terinfeksi bakteri
leptospira adalah ginjal dan hati. Di dalam ginjal bakteri leptospira bermigrasi ke interstisium, tubulus
ginjal, dan lumen tubulus.

Pada leptospirosis berat, vaskulitis akan menghambat sirkulasi mikro dan meningkatkan permeabilitas
kapiler, sehingga menyebabkan kebocoran cairan dan hipovolemia. Ikterik disebabkan oleh kerusakan
sel-sel hati yang ringan, pelepasan bilirubin darah dari jaringan yang mengalami hemolisis intravaskular,
kolestasis intrahepatik sampai berkurangnya sekresi bilirubin.

Conjungtival suffusion khususnya perikorneal; terjadi karena dilatasi pembuluh darah, kelainan ini sering
dijumpai pada patognomonik pada stadium dini. Komplikasi lain berupa uveitis, iritis dan iridosiklitis
yang sering disertai kekeruhan vitreus dan lentikular. Keberadaan bakteri leptospira di aqueous humor
kadang menimbulkan uveitis kronik berulang.
Bakteri leptospira difagosit oleh sel-sel sistem retikuloendotelial serta mekanisme pertahanan tubuh.
Jumlah organisme semakin berkurang dengan meningkatnya kadar antibodi spesifik dalam darah.
Bakteri leptospira akan dieleminasi dari semua organ kecuali mata, tubulus proksimal ginjal, dan
mungkin otak dimana bakteri leptospira dapat menetap selama beberapa minggu atau bulan.

Secara umum dapat di paparkan patogenesis perjalanan penyakit leptospirosis sebagai berikut :

 -   Produksi toksin

Beberapa serovar leptospira patogen mampu memproduksi toksin. Beberapa endotoksin yang
diproduksi diantaranya hemolisin, sphingomyelinase, phospholipase C. Selain itu beberapa serovar juga
memproduksi protein cytotoxin yang mampu menghambat Na-K ATPase.

-    Attachment (perlekatan)

Leptospira mengadakan perlekatan pada sel epitelial, diantaranya melekat pada sel epital renalis dan
perlekatan ini dibantu oleh konsentrasi subagglutinasi dari antibodi homolog. Selain itu lipopolisakarida
(LPS) leptospira merangsang perlekatan netrofil ke sel endotel dan platelet, menimbulkan aggregasi
platelet dan menyebabkan trombositopenia.

-    Mekanisme imun dan immunitas leptospirosis

Aspek imunologis pada infeksi leptospirosis akan dijelaskan di sub bagian khusus.

-   Surface protein

Membran terluar dari leptospira tersusun oleh LPS dan beberapa lipoprotein (Outer Membran Proteins /
OMPs). LPS bersifat sangat immunogenik dan menentukan spesifisitas masing-masing serovar.
Keduanya, baik LPS maupun OMPs, penting dalam patogenesis dari nefritis interstitiil.(Kayser dkk, 2005)

Pasca Patogenesis

Pada proses infeksi yang berkepanjangan reaksi imunologik yang timbul dapat memperburuk keadaan
hingga kerusakan jaringan makin parah. Leptospira hidup dengan baik didalam tubulus kontortus ginjal.
Kemungkinan bakteri tersebut akan dibebaskan melalui air kemih untuk jangka waktu yang lama.
Kematian terjadi karena septimia, anemia hemolitika, kerusakan hati karena terjadinya uremia.
keparahan penderita bervariasi tergantung pada umur serta servoar leptospira penyebab infeksi (Sandra
dkk, 2008).

2.5 Diagnosa dan pemeriksaan penyakit Leptospirosis

Proses penegakan diagnosis leptospirosis dapat dilakukan melalui gejala, riwayat penyakit pasien, serta
pemeriksaan fisik. Selain itu, beberapa tes penunjang juga dapat dilakukan untuk membantu
memastikan diagnosis leptospirosis dan mengetahui tingkat keparahan yang dialami pasien. Tes
penunjang tersebut, antara lain:
Tes urine, untuk melihat keberadaan bakteri leptospira dalam urine.Tes darah, untuk melihat adanya
bakteri dalam aliran darah, dan antibodi dalam tubuh. Pemeriksaan antibodi dalam darah perlu diulang
lagi dalam waktu 1 minggu untuk memastikan hasilnya, karena hasil positif bisa saja ditunjukkan dari
infeksi lain yang terjadi sebelumnya. Pemeriksaan fungsi ginjal, untuk melihat kondisi ginjal dan infeksi
bakteri ini pada ginjal, Pemeriksaan fungsi hati, Rontgen paru, untuk melihat apakah infeksi sudah
menyebar hingga ke organ paru-paru.

2.6 Sumber dan cara penularan penyakit Leptospirosis

Leptospirosis adalah penyaki infeksi akut yang dapat menyerang manusia maupun hewan dan
digolongkan sebagai zoonosis. Leptospirosis adalah zoonosis bakterial berdasarkan penyebabnya,
berdasarkan cara penularan merupakan direct zoonosis karena tidak memerlukan vektor, dan dapat juga
digolongkan sebagai amfiksenose karena jalur penularan dapa dari hewan ke manusia dan sebaliknya.
Penularan leptospirosis pada manusia ditularkan oleh hewan yang terinfeksi kuman leptospira. Hewan
pejamu kuman leptospira adalah hewan peliharaan seperti babi, lembu, kambing, kucing, anjing
sedangkan kelompok unggas serta beberapa hewan liar seperti tikus, bajing, ular, dan lain-lain. Pejamu
resevoar utama adalah roden. Kuman leptospira hidup didalam ginjal pejamu reservoar dan dikeluarkan
melalui urin saat berkemih.

Menurut Saroso (2003) penularan leptospirosis dapat secara langsung dan tidak langsung yaitu :

a. Penularan secara langsung dapat terjadi :

1) Melalui darah, urin atau cairan tubuh lain yang mengandung kuman leptospira masuk kedalam tubuh
pejamu.

2) Dari hewan ke manusia merupakan peyakit akibat pekerjaan, terjadi pada orang yang merawat hewan
atau menangani organtubuh hewan misalnya pekerja potong hewan, atau seseorang yang tertular dari
hewan peliharaan.

3) Dari manusia ke manusia meskipun jarang, dapat terjadi melalui hubungan seksual pada masa
konvalesen atau dari ibu penderita leptospirosis ke janin melalui sawar plasenta dan air susu ibu.

b. Penularan tidak langsung dapat terjadi melalui :

1) Genangan air.

2) Sungai atau badan air.

3) Danau.

4) Selokan saluran air dan lumpur yang tercemar urin hewan.

5) Jarak rumah dengan tempat pengumpulan sampah.


2.7 Pengobatan Leptospirosis

Infeksi leptospirosis dapat diobati dengan antibiotik untuk membasmi bakteri dan mengembalikan
fungsi tubuh yang terganggu akibat kondisi ini. Obat antibiotik yang umumnya digunakan untuk
leptospirosis adalah penisilin dan doksisiklin. Untuk kasus yang ringan, pasien dapat diberikan obat
antibiotik tablet. Antibiotik biasanya diberikan selama 1 minggu dan harus dikonsumsi hingga obat habis
untuk memastikan infeksi sudah bersih. Dalam waktu beberapa hari setelah pengobatan, kondisi
penderita biasanya sudah pulih.Selain antibiotik, obat pereda nyeri, seperti paracetamol juga dapat
diberikan untuk mengatasi gejala awal leptospirosis, seperti demam, sakit kepala, atau nyeri otot.

Jika penyakit leptirospirosis berkembang lebih parah atau sering disebut penyakit Weil, maka pasien
perlu mendapatkan perawatan di rumah sakit. Pada kondisi ini, antibiotik akan disuntikkan ke dalam
pembuluh darah vena dalam tubuh. Saat infeksi telah menyerang organ tubuh, maka beberapa
penanganan tambahan diperlukan untuk menjaga sekaligus mengembalikan fungsi tubuh, seperti: Infus
cairan, untuk mencegah terjadinya dehidrasi pada penderita yang tidak bisa minum banyak air.
Pemantauan terhadap kerja jantung. Pemakaian alat bantu pernapasan jika terjadi gangguan
pernapasan pada penderita. Dialisis atau cuci darah, untuk membantu fungsi ginjal.Kemungkinan
sembuh penyakit Weil tergantung dari organ mana yang ikut terserang infeksi dan tingkat
keparahannya. Kematian pada pasien leptospirosis parah yang terjadi biasanya disebabkan oleh
komplikasi gangguan paru, ganguan ginjal, atau perdarahan dalam tubuh.

2.8 Pencegahan dan pemberantasan Leptospirosis

Menurut Saroso (2003) pencegahan penularan kuman leptospirosis dapat dilakukan melalui tiga jalur
yang meliputi :

a. Jalur sumber infeksi

1) Melakukan tindakan isolasi atau membunuh hewan yang terinfeksi.

2) Memberikan antibiotik pada hewan yang terinfeksi, seperti penisilin, ampisilin, atau
dihydrostreptomycin, agar tidak menjadi karier kuman leptospira. Dosis dan cara pemberian berbeda-
beda, tergantung jenis hewan yang terinfeksi.

3) Mengurangi populasi tikus dengan beberapa cara seperti penggunaan racun tikus, pemasangan
jebakan, penggunaan rondentisida dan predator ronden.

4) Meniadakan akses tikus ke lingkungan pemukiman, makanan dan air minum dengan membangun
gudang penyimpanan makanan atau hasil pertanian, sumber penampungan air, dan perkarangan yang
kedap tikus, dan dengan membuang sisa makanan serta sampah jauh dari jangkauan tikus.

5) Mencengah tikus dan hewan liar lain tinggal di habitat manusia dengan memelihara lingkungan
bersih, membuang sampah, memangkas rumput dan semak berlukar, menjaga sanitasi,khususnya
dengan membangun sarana pembuangan limbah dan kamar mandi yang baik, dan menyediakan air
minum yang bersih.
a) Melakukan vaksinasi hewan ternak dan hewan peliharaan.

b) Membuang kotoran hewan peliharaan. Sadakimian rupa sehinnga tidak menimbulkan kontaminasi,
misalnya dengan pemberian desinfektan.

b. Jalur penularan

Penularan dapat dicegah dengan :

1) Memakai pelindung kerja (sepatu, sarung tangan, pelindung mata, apron, masker).

2) Mencuci luka dengan cairan antiseptik, dan ditutup dengan plester kedap air.

3) Mencuci atau mandi dengan sabun antiseptik setelah terpajan percikan urin, tanah, dan air yang
terkontaminasi.

4) Menumbuhkan kesadara terhadap potensi resiko dan metode untuk mencegah atau mengurangi
pajanan misalnya dengan mewaspadai percikan atau aerosol, tidak menyentuh bangkai hewan, janin,
plasenta, organ (ginjal, kandung kemih) dengan tangan telanjang, dan jangn menolong persalinan hewan
tanpa sarung tangan.

5) Mengenakan sarung tangan saat melakukan tindakan higienik saat kontak dengan urin hewan, cuci
tangan setelah selesai dan waspada terhadap kemungkinan terinfeksi saat merawat hewan yang sakit.

6) Melakukan desinfektan daerah yang terkontaminasi, dengan membersihkan lantai kandang, rumah
potong hewan dan lain-lain.

7) Melindungi sanitasi air minum penduduk dengan pengolalaan air minum yang baik, filtrasi dan
korinasi untuk mencengah infeksi kuman leptospira.
BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Leptospirosis adalah penyakit zoonosis, disebabkan oleh infeksi bakteri yang berbentuk spiral dari genus
Leptospira. Leptospira tersebar luas di seluruh dunia, terutama pada daerah tropis. Penularan
leptospirosis pada manusia terjadi secara kontak langsung melalui genangan air yang terkontaminasi
urin yang terinfeksi leptospira. Pada anjing, infeksi serovar icterohaemorrhagica dapat bersifat hiper
akut pada anak anjing, namun umumnya bersifat subakut. Gejala mula – mula berupa demam yang
diikuti perdarahan tersebar luas pada selaput lendir dan kulit. Kematian terjadi secara cepat. Selaput
lendir berwarna kekuning – kuningan. Cara pengobatannya yati dapat di bawa ke dokter hewan dan
pencegahanya yaitu divaksin sedini mungkin.

3.2 Saran

Semoga makalah ini berguna untuk pembuatan makalah selanjutnya dan berguna untuk para pembaca
sebagai referensi kesehatan hewan.

DAFTAR PUSTAKA
Heath, S.E and R. Johnson. 1994. Leptospirosis. JAVMA 205 (11) : 1518 – 1523

Hickey P. W and D. Deemeks. 2003. Leptospirosis. Emedicine. PP. 1 – 9

Hickey P.W, Denners D. 2002. Leptospirosis Medicine J : H 1 – 17

Kayser, et al, 2005, Medical Microbiology, thieme. Page 328-330.

Kusmiyati, Susan M. Noor dan supar. 2005. Leptospirosis pada Hewan dan Manusia di Indonesia. Balai
Penelitian veteriner : Bogor

Sandra, Gompf, 2008, Leptospirosis, last up date August, 11, 2008. Download from
www.emedicine.com/leptospirosis.html.sorces : http://sanirachman.blogspot.com/2009/08/all-about-
leptospirosis_9366.html#ixzz2wPziluZ3 Under Creative Commons License: Attribution Non-Commercial

Soeharsono. 2002. Zoonosis Penyakit Menular dari Hewan ke Manusia Volume 1. Kanisius : Yogyakarta

https://www.alodokter.com/leptospirosis

Anda mungkin juga menyukai