Anda di halaman 1dari 42

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Leptospirosis adalah penyakit zoonosis yang disebabkan oleh


mikroorganisme patogen yang dikenal dengan nama Leptosira Interrogans.
Penyakit ini pertama kali dikemukakan oleh Weil pada tahun 1886 sebagai
penyakit yang berbeda dengan penyakit lain yang juga ditandai oleh ikterus.
Beberapa tahun kemudian organisme penyebab penyakit ini juga ditemukan di
hewan. Setelah tahun 1948 pengetahuan kita tentang epidemiologis Leptospirosis
makan bertambah karena adanya epidemi penyakit ini pada manusia yang dapat
dihubungkan dengan terjadinya wabah pada sapi, anjing dan babi yang terinfeksi
dengan tipe lain dari Leptospira. 1

Sampai saat ini dikenal dua spesies Leptospira yaitu Leptospira interogans
dan Leptospira biflexa. Spesies pertama dikenal patogen terhadap manusia dan
hewan, sedangkan spesies kedua merupakan safrofit yang hidup bebas di perairan
dangkal dan jarang dihuhungkan dengan infeksi pada manusia. Leptospirosis
selain disebut sebagai Weil's Disease juga disebut redwater desease (of calves)
pada ternak sapi atau penyakit canine typhus (pada anjing) atau penyakit menular
non virus (non-virus infectious jaundice).1

Gejala penyakit ini sangat bervariasi mulai dari gejala infeksi ringan
sampai dengan gejala infeksi berat dan fatal. Dalam bentuk ringan, leptospirosis
dapat menampilkan gejala seperti influenza disertai nyeri kepala dan mialgia.
Dalam bentuk parah (disebut sebagai Weil’s syndrome), leptospirosis secara khas
menampilkan gejala ikterus, disfungsi renal, dan diatesis hemoragika. 2

Diagnosis leptospirosis seringkali terlewatkan sebab gejala klinis penyakit


ini tidak spesifik dan sulit dilakukan konfirmasi diagnosis tanpa uji laboratorium.
Dalam dekade belakangan ini, kejadian luar biasa leptospirosis di beberapa

1
negara, seperti Asia, Amerika Selatan dan Tengah, serta Amerika Serikat
menjadikan penyakit ini termasuk dalam the emerging infectious diseases. 2

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. LEPTOSPIROSIS

1.1 Definisi

Leptospirosis adalah penyakit infeksi akut yang dapat menyerang manusia


maupun hewan yang disebabkan kuman leptospira patogen dan digolongkan
sebagai zoonosis. Penyakit ini dikenal dengan berbagai nama seperti mud fever,
slime fever, swamp fever, autumnal fever, infektious jaundice, field fever, cane
cutter fever, canicola fever, nanukayami fever, 7-day fever dan lain-lain.
Leptospirosis adalah penyakit zoonosis yang disebabkan oleh infeksi bakteri yang
berbentuk spiral dari genus Leptospira, yang menyerang hewan dan manusia.
Penelitian tentang Leptospirosis pertama dilakukan oleh Adolf Heil pada tahun
1886. Dia melaporkan adanya penyakit tersebut pada manusia dengan gambaran
klinis demam, pembesaran hati dan limpa, ikterus dan ada tanda-tanda kerusakan
pada ginjal. 3

2.2 Etiologi

Bakteri Leptospira sebagai penyebab Leptospirosis berbentuk spiral


termasuk ke dalam Ordo Spirochaetales dalam family Trepanometaceae. Lebih
dari 170 serotipe leptospira yang patogen telah diidentifikasi dan hampir
setengahnya terdapat di Indonesia. Bentuk spiral dengan pilinan yang rapat dan
ujung-ujungnya yang bengkok, seperti kait dari bakteri Leptospria menyebabkan
gerakan leptospira sangat aktif, baik gerakan berputar sepanjang sumbunya, maju
mundur, maupun melengkung, karena ukurannya yang sangat kecil.19
Leptospira menyukai tinggal dipermukaan air dalam waktu lama dan siap
menginfeksi calon korbannya apabila kontak dengannya, karena itu Leptospirosis
sering pula disebut sebagai penyakit yang timbul dari air (water born disease).

3
Serovars yang pernah berhasil diisolasi dari ternak sapi yatu L. hardjo, L. pomona,
L. grippotyphosa, L. canicola dan L.icterohaemorrhagiae. Dua yang disebutkan
terakhir adalah umumnya yang menyerang pada anjing juga. Bakteri ini berbentuk
benang berplintiran (filament) yang ujungnya seperti kait, berukuran panjang 6-
20 mikrometer dan diameter 0,1-0,2 mikrometer. Bakteri ini dapat bergerak maju
mundur memutar sepanjang sumbunya. Sebanyak 175 macam leptospira yang
berbeda dari segi aspek antigeniknya (yang disebut serovars), baru tujuh macam
yang berhasil diisolasi. Antar serovars ini hanya terjadi kekebalan silang secara
moderat saja, sedangkan infeksi oleh dua atau bahkan lebih serovars seringkali
ditemukan. Dalam waktu 6-12 hari paska infeksi, umumnya zat anti kebal
aglutinasi terbentuk. Titer antibodi itu meningkat dengan cepat, kemudian
menurun dalam beberpa bulan sampai kepada tingkat moderat, dan tetap ada
untuk beberapa minggu tetapi ada yang sampai bertahun-tahun.19

Gambar 1. Leptospira
Kuman leptospira bersifat aquatic micro-organism dan slow-growing
anaerobes, bentuknya berpilin seperti spiral, tipis, organisme yang dapat bergerak
cepat dengan kait di ujungnya dan 2 flagella periplasmik yang dapat menembus ke
jaringan. Panjangnya 6-20 µm dan lebar 0,1 µm ( lihat gambar 1). Kuman ini
sangat halus tapi dapat dilihat dengan mikroskop lapangan gelap dan pewarnaan
perak. 3,4

Kuman leptospira dapat hidup di air tawar selama lebih kurang 1 bulan.
Tetapi dalam air laut, selokan dan air kemih yang tidak diencerkan akan cepat
mati. Kuman leptospira hidup dan berkembang biak di tubuh hewan. Semua

4
hewan bisa terjangkiti. Paling banyak tikus dan hewan pengerat lainnya, selain
hewan ternak. Hewan piaraan, dan hewan liar pun dapat terjangkit.2

Menurut West Indian Med. Journal. vol. 54 no.1 Mona Jan. 2005. Serogrup
leptospira yang sering menyebabkan leptospirosis adalah:

Manusia terinfeksi leptospira melalui kontak dengan air, tanah (lumpur),


tanaman yang telah dikotori oleh air seni hewan-hewan penderita Leptospirosis.
Bakteri leptospira masuk ke dalam tubuh melaui selaput lendir (mukosa) mata,
hidung atau kulit yang lecet dan kadang-kadang melalui saluran pencernaan dari
makanan yang terkontaminasi oleh urine tikus yang terinfeksi leptospira. Masa
inkubasi Leptospirosis 4-19 hari, rata-rata 10 hari. Penularan langsung dari
manusia ke manusia jarang terjadi.19
2.3 Epidemiologi

Leptospirosis adalah suatu penyakit zoonosis yang tersebar di seluruh


dunia, disemua benua kecuali Antartika, terbanyak didapati didaerah tropis.
Penularan leptospirosis pada manusia ditularkan oleh hewan yang terinfeksi

5
kuman leptospira. Kuman leptospira mengenai sedikitnya 160 spesies mamalia,
seperti anjing, babi, lembu, kuda, kucing, marmut, dan sebagainya.

Penyakit ini bersifat musiman, didaerah beriklim sedang masa puncak


insidens dijumpai pada musim panas dan musim gugur karena temperatur adalah
faktor yang mempengaruhi kelangsungan hidup kuman leptospira, sedangkan
didaerah tropis insidens tertinggi terjadi selama musim hujan. International
Leptospirosis Society menyatakan Indonesia sebagai Negara dengan insidens
leptospirosis tinggi dan peringkat ketiga dunia untuk mortalitas. Di Indonesia
leptospirosis ditemukan di DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta,
Lampung, Sumatera Selatan, Sumatera Barat, Sumatera Utara, Kalimantan Timur,
dan Kalimantan Barat. Pada Kejadian Banjir Besar Di Jakarta tahun 2002,
dilaporkan lebih dari 100 kasus leptospirosis dengan 20 kematian. Epidemi
leptospirosis dapat terjadi akibat terpapar oleh genangan /luapan air (banjir) yang
terkontaminasi oleh urin hewan yang terinfeksi.

Manusia tidak sering terinfeksi leptospirosis. Ada beberapa kelompok


pekerjaan tertentu yang memiliki resiko tinggi yaitu pekerja-pekerja di sawah,
pertanian, perkebunan, peternakan, pekerja tambang, pekerja di rumah potong
hewan atau orang-orang yang mengadakan perkemahan di hutan, dokter hewan.
Setiap individu dapat terkena leptospirosis melalui paparan langsung atau kontak
dengan air dan tanah yang terinfeksi. Leptospirosis juga dapat dikenali dimana
populasi tikus meningkat. Aktivitas air seperti berselancar, berenang, dan ski air,
membuat seseorang menjadi beresiko leptospirosis. Pada tahun 1998, kejadian
luar biasa terjadi diantara komunitas atlet. Diantara atlet tersebut, tertelan atau
terhisapnya air menjadi faktor resiko.

2.4 Penularan3,5

Binatang pengerat terutama tikus merupakan vektor yang paling banyak


dalam penularan leptospirosis. Tikus merupakan vektor utama dari L.
icterohaemorrhagica penyebab leptospirosis pada manusia. Dalam tubuh tikus
kuman leptospira akan menetap dan membentuk koloni serta berkembang biak di

6
dalam epitel tubus ginjal tikus dan secara terus dikeluarkan melalui urin saat
berkemih.

Penularan leptospirosis dapat secara langsung dan tidak langsung. Penularan


langsung dapat terjadi melalui darah, urin, atau cairan tubuh lain yang
mengandung kuman leptospira masuk ke dalam tubuh pejamu; dari hewan ke
manusia merupakan penyakit akibat pekerjaan; dan dari manusia ke manusia
meskipun jarang. Penularan tidak langsung terjadi melalui kontak dengan
genangan air, sungai, danau, selokan saluran air dan lumpur yang telah tercemar
urin binatang yang terinfeksi leptospira. Infeksi tersebut terjadi jika terdapat luka /
erosi pada kulit atau selaput lendir. Terpapar lama pada genangan air yang
terkontaminasi terhadap kulit yang utuh juga dapat menularkan leptospira. Oleh
karena leptospira diekskresi melalui urin dan dapat bertahan hidup berbulan-
bulan, maka air memegang peranan penting sebagai alat transmisi.

Organisme penyebab penyakit masuk ke dalam tubuh manusia melalui


kulit yang terluka atau membrane mukosa atau kemungkinan juga melalui saluran
pencernaan. Pada kasus indeks masa inkubasinya berlangsung antara 10-12 hari,
tetapi dapat berayun antara 2-30 hari. Umumnya wabah terjadi karena terpapar
pada air yang terkontaminasi oleh urin hewan tertular. Populasi dalam resiko
adalah beberapa grup okupasi (pekerjaan), misalnya petani/pekerja di sawah,
perkebunan tebu, tambang, saluran kebersihan kota, rumah potong, perawat
hewan dan dokter hewan yang berhunungan atau terpapar kepada air, perairan,
lumpur dan/atau hewan, baik hewan piaraan maupun satwa liar.

2.5 Patogenesis2,3,4

Patogenesis leptospirosis belum dimengerti sepenuhnya. Kuman leptospira


masuk kedalam tubuh pejamu melalui luka iris atau luka abrasi pada kulit,
konjungtiva atau mukosa utuh yang melapisi mulut, faring, esofagus, bronkus,
alveolus dan dapat masuk melalui inhalasi droplet infeksius dan minum air yang
terkontaminasi. Meski jarang, pernah dilaporkan penetrasi kuman leptospira
melalui kulit utuh yang lama terendam air saat banjir.

7
Infeksi melalui selaput lendir lambung, jarang terjadi, karena ada asam
lambung yang mematikan kuman leptospira. Kuman leptospira yang tidak firulen
gagal bermultiplikasi dan dimusnahkan oleh sistem kekebalan dari aliran darah
setelah satu atau dua hari infeksi. Organisme virulen mengalami multiplikasi di
darah dan jaringan, dan kuman leptospira dapat diisolasi dari darah dan cairan
serebrospinal pada hari keempat sampai sepuluh perjalanan penyakit.

Kuman leptospira merusak dinding pembuluh darah kecil, sehingga


menimbulkan vaskulitis disertai kebocoran dan ekstravasasi sel. Patogenesis
kuman leptospira yang penting adalah perlekatannya pada permukaan sel dan
toksisitas selular. Lipopolysaccharide (LPS) pada kuman leptospira mempunyai
aktivitas endotoksin yang berbeda dengan endotoksin bakteri gram (-) dan
aktifitas lainnya yaitu stimulasi perlekatan netrofil pada sel endotel dan trombosit,
sehingga terjadi agregasi trombosit disertai trombositopenia.

Organ utama yang terinfeksi kuman leptospira adalah ginjal dan hati. Di
dalam ginjal kuman leptospira bermigrasi ke interstitium, tubulus ginjal dan
lumen tubulus. Pada leptospirosis berat, vaskulitis akan menghambat sirkulasi
mikro dan meningkatkan permeabilitas kapiler, sehingga menyebabkan kebocoran
cairan dan hipovolemia. Hipovolemia akibat dehidrasi dan perubahan
permeabilitas kapiler salah satu penyebab gagal ginjal.

Ikterik disebabkan oleh kerusakan sel sel hati yang ringan, pelepasan
bilirubin darah dari jaringan yang mengalami hemolisis intravaskular, kolestasis
intrahepatik sampai berkurangya sekresi bilirubin.

8
Gambar 2. Penularan dan manifestasi leptosirosis20

Dapat juga leptospira masuk kedalam tubuh melalui kulit atau selaput
lendir, memasuki akiran darah dan berkembang disana, lalu menyebar secara luas
ke jaringan tubuh. Kemudian terjadi respon immunologi baik secara selular
maupun humoral sehingga infeksi ini dapat ditekan dan terbentuk antibody
spesifik. Walaupun demikian beberapa organism ini masih bertahan pada daerah
yang terisolasi secara immunologi seperti di dalam ginjal dimana bagian mikro
organism akan mencapai convoluted tubulus. Bertahan disana dan dilepaskan
melaliu urin. Leptospira dapat dijumpai dalam urin sekitar 8 hari sampai beberapa
minggu setelah infeksi dan sampai berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun
kemudian. Leptospira dapat dihilangkan dengan fagositosis dan mekanisme
humoral. Kuman ini dengan cepat lenyap dari darah setelah terbentuknya
agglutinin. Setelah fase leptospiremia 4-7 hari, mikro organism hanya dapat
ditemukan dalam jaringan ginjal dan okuler. Leptospiuria berlangsung 1-4
minggu.

Tiga mekanisme yang terlibat pada pathogenese leptospirosis : invasi


bakteri langsung, faktor inflamasi non spesifik, dan reaksi immunologi.

9
Masuk melalui luka di kulit, konjungtiva,

Selaput mukosa utuh

Multiplikasi kuman dan menyebar melalui aliran darah

Kerusakan endotel pembuluh darah kecil :

ekstravasasi Sel dan perdarahan

Perubahan patologi di organ/jaringan

- Ginjal : nefritis interstitial sampai nekrosis tubulus, perdarahan.

- Hati : gambaran non spesifik sampai nekrosis sentrilobular disertai

hipertrofi dan hiperplasia sel Kupffer.

- Paru : inflamasi interstitial sampai perdarahan paru

- Otot lurik : nekrosis fokal

- Jantung : petekie, endokarditis akut, miokarditis toksik

- Mata : dilatasi pembuluh darah, uveitis, iritis, iridosiklitis.

2.6 Patologi1,7,9

Dalam perjalanan pada fase leptospiremia, leptospira melepaskan toksin


yang bertanggung jawab atas terjadinya keadaan patologi bagi beberapa organ.

10
Lesi yang muncul terjadi karena kerusakan pada lapisan endotel kapiler. Pada
leptospirosis terdapat perbadaan antaraderajat gangguan fungsi organ dengan
kerusakan secara histologik. Pada leptospirosis lesi histology yang ringan
ditemukan pada ginjal dan hati pasien dengan kelainan fungsional yang nyata dari
organ tersebut. Perbedaan ini menunjukan bahwa kerusakan bukan berasal dari
struktur organ. Lesi inflamasi menunjukan edema dan infiltrasi dari sel monosit,
limfosit dan sel plasma. Pada kasus yang berat terjadi kerusakan kapiler dengan
perdarahan yang luas dan disfungsi hepatoseluler dengan retensi bilier. Selain di
ginjal, leptospira juga dapat bertahan pada otak dan mata. Leptospira dapat masuk
ke dalam cairan cerebrospinalis dalam fase spiremia. Hal ini menyebabkan
meningitis yang merupakan gangguan neurologi terbanyak yang terjadi sebagai
komplikasi leptospirosis. Organ-organ yang sering dikenai leptospira adalah
ginjal, hati, otot dan pembuluh darah.

Kelainan spesifik pada organ antara lain :

Ginjal: interstitial nefritis dengan infiltrasi sel mononuclear merupakan bentuk


lesi pada leptospirosis yang dapat terjadi tanpa gangguan fungsi ginjal. Gagal
ginjal terjadi akibat nekrosis tubular akut. Adanya peranan nefrotoksisn, reaksi
immunologis, iskemia, gagal ginjal, hemolisis dan invasi langsung mikro
organism juga berperan menimbulkan kerusakan ginjal.

Hati: hati menunjukan nekrosis sentrilobuler fokal dengan infiltrasi sel limfosit
fokal dan proliferasi sel kupfer dengan kolestasis. Pada kasus-kasus yang diotopsi,
sebagian ditemukan leptospira dalam hepar. Biasanya organisme ini terdapat
diantara sel-sel parenkim.

Jantung: epikardium, endokardium dan miokardium dapat terlibat. Kelainan


miokardium dapat fokal atau difus berupa interstitial edema dengan infiltrasi sel
mononuclear dan plasma. Nekrosis berhubungan dengan infiltrasi neutrofil. Dapat
terjadi perdarahan fokal pada miokardium dan endikarditis.

Otot rangka: Pada otot rangka, terjadi perubahan-perubahan berupa fokal


nekrotis, vakuolisasi dan kehilangan striata. Nyari otot yang terjadi pada

11
leptospira disebabkan invasi langsung leptospira. Dapat juga ditemukan antigen
leptospira pada otot.

Pembuluh darah: Terjadi perubahan dalam pembuluh darah akibat terjadinya


vaskulitis yang akan menimbulkan perdarahan. Sering ditemukan perdarahan atau
petechie pada mukosa, permukaan serosa dan alat-alat viscera dan perdarahan
bawah kulit.

Susunan saraf pusat: Leptospira muda masuk ke dalam cairan cerebrospinal


(CSS) dan dikaitkan dengan terjdinya meningitis. Meningitis terjadi sewaktu
terbentuknya respon antibody, tidak pada saat masuk CSS. Diduga terjadinya
meningitis diperantarai oleh mekanisme immunologis. Terjadi penebalan
meningen dengan sedikit peningkatan sel mononuclear arakhnoid. Meningitis
yang terjadi adalah meningitis aseptic, biasanya paling sering disebabkan oleh L.
canicola.

Weil Desease. Weil disease adalah leptospirosis berat yang ditandai dengan
ikterus, biasanya disertai perdarahan, anemia, azotemia, gangguan kesadaran dan
demam tipe kontinua. Penyakit Weil ini biasanya terdapat pada 1-6% kasus
dengan leptospirosis. Penyebab Weil disease adalah serotype icterohaemorragica
pernah juga dilaporkan oleh serotype copenhageni dan bataviae. Gambaran klinis
bervariasi berupa gangguan renal, hepatic atau disfungsi vascular.

2.7 Manifestasi Klinis3,4

Masa inkubasi penyakit ini berkisar antara 2 – 26 hari, biasanya 7 - 13 hari


dan rata-rata 10 hari.

Gambaran klinis pada Leptospirosis:

Sering : demam, menggigil, sakit kepala, meningismus, anoreksia, mialgia,


conjuctival suffusion, mual, muntah, nyeri abdomen, ikterus, hepatomegali, ruam
kulit, fotophobi

Jarang : pneumonitis, hemoptoe, delirium, perdarahan, diare, edema,

12
splenomegali, atralgia, gagal ginjal, peroferal neuritis, pancreatitis, parotitis,
epididimytis, hematemesis, asites, miokarditis

Leptospirosis mempunyai 2 fase penyakit yang khas ( bifasik ) yaitu fase


leptospiremia/septikemia dan fase imun.

 Fase Leptospiremia / fase septikemia (4-7 hari)

Fase leptospiremia adalah fase ditemukannya leptospira dalam darah dan css,
berlangsung secara tiba-tiba dengan gejala awal sakit kepala biasanya di frontal,
rasa sakit pada otot yang hebat terutama pada paha, betis dan pingang disertai
nyeri tekan pada otot tersebut. Mialgia dapat di ikuti dengan hiperestesi kulit,
demam tinggi yang disertai mengigil, juga didapati mual dengan atau tanpa
muntah disertai mencret, bahkan pada sekitar 25% kasus disertai penurunan
kesadaran. Pada pemeriksaan keadaan sakit berat, bradikardi relatif, dan ikterus
(50%). Pada hari ke 3-4 dapat di jumpai adanya conjungtivitis dan fotophobia.
Pada kulit dapat dijumpai rash yang berbentuk macular, makulopapular atau
urtikaria. Kadang-kadang dijumpai splenomegali, hepatomegali, serta
limfadenopati. Fase ini berlangsung 4-7 hari. Jika cepat di tangani pasien akan
membaik, suhu akan kembali normal, penyembuhan organ-organ yang terlibat dan
fungsinya kembali normal 3-6 minggu setelah onset. Pada keadaan sakit yang
lebih berat demam turun setelah 7 hari diikuti oleh bebas demam selama 1-3 hari,
setelah itu terjadi demam kembali. Keadaan ini disebut fase kedua atau fase imun.

 Fase Imun (minggu ke-2)

Fase ini disebut fase immune atau leptospiruric sebab antibodi dapat terdeteksi
dalam sirkulasi atau mikroorganisme dapat diisolasi dari urin, namun tidak dapat
ditemukan dalam darah atau cairan serebrospinalis. Fase ini muncul sebagai
konsekuensi dari respon imun tubuh terhadap infeksi dan berakhir dalam waktu
30 hari atau lebih.

Gejala yang muncul lebih bervariasi dibandingkan dengan gejala pada fase
pertama. Berbagai gejala tersebut biasanya berlangsung selama beberapa hari,

13
namun ditemukan juga beberapa kasus dengan gejala penyakit bertahan sampai
beberapa minggu. Demam dan mialgia pada fase yang ke-2 ini tidak begitu
menonjol seperti pada fase pertama. Sekitar 77% pasien dilaporkan mengalami
nyeri kepala hebat yang nyaris tidak dapat dikonrol dengan preparat analgesik.
Nyeri kepala ini seringkali merupakan tanda awal dari meningitis.

Anicteric disesase ( meningitis aseptik ) merupakan gejala klinik paling


utama yang menandai fase imun anicteric Gejala dan keluhan meningeal
ditemukan pada sekitar 50 % pasien. Namun, cairan cerebrospinalis yang
pleiositosis ditemukan pada sebagian besar pasien. Gejala meningeal umumnya
menghilang dalam beberapa hari atau dapat pula menetap sampai beberapa
minggu. Meningitis aseptik ini lebih banyak dialami oleh kasus anak-anak
dibandingkan dengan kasus dewasa

Icteris disease merupakan keadaan di mana leptospira dapat diisolasi dari


darah selama 24-48 jam setelah warna kekuningan timbul. Gejala yang ditemukan
adalah nyeri perut disertai diare atau konstipasi ( ditemukan pada 30 % kasus ),
hepatosplenomegali,mual, muntah dan anoreksia. Uveitis ditemukan pada 2-10 %
kasus, dapat ditemukan pada fase awal atau fase lanjut dari penyakit. Gejala iritis,
iridosiklitis dan khorioretinitis ( komplikasi lambat yang dapat menetap selama
beberapa tahun ) dapat muncul pada minggu ketiga namun dapat pula muncul
beberapa bulan setelah awal penyakit.

Komplikasi mata yang paling sering ditemukan adalah hemoragia


subconjunctival, bahkan leptospira dapat ditemukan dalam cairan aquaeous.
Keluhan dan gejala gangguan ginjal seperti azotemia, piuria, hematuria,
proteinuria dan oliguria ditemukan pada 50 % kasus. Manifestasi paru ditemukan
pada 20-70 % kasus. Selain itu, limfadenopati, bercak kemerahan dan nyeri otot
juga dapat ditemukan.

 Fase Penyembuhan / Fase reconvalesence (minggu ke 2-4)

Demam dan nyeri otot masih bisa dijumpai yang kemudian berangsur-angsur
hilang.

14
1. Leptospirosis anikterik 1,10

- 90% dari seluruh kasus leptospirosis di masyarakat.

- Perjalanan penyakit leptospirosis anikterik maupun ikterik


umumnya bifasik karena mempunyai 2 fase, yaitu : 3

a. Fase leptospiremia/fase septikemia

- Organisme bakteri dapat diisolasi dari kultur darah, cairan serebrospinal dan

sebagian besar jaringan tubuh.

- Selama fase ini terjadi sekitar 4-7 hari, penderita mengalami gejala nonspesifik
seperti flu dengan beberapa variasinya.

- Karakteristik manifestasi klinis : demam, menggigil kedinginan, lemah dan nyeri


terutama tulang rusuk, punggung dan perut.

- Gejala lain : sakit tenggorokan, batuk, nyeri dada, muntah darah, ruam, sakit
kepala regio frontal, fotofobia, gangguan mental, dan gejala lain dari meningitis.

b. Fase imun atau leptospirurik

- sirkulasi antibodi dapat dideteksi dengan isolasi kuman dari urine dan mungkin
tidak dapat didapatkan lagi pada darah atau cairan serebrospinalis.

- Fase ini terjadi karena akibat respon pertahanan tubuh terhadap infeksi dan
terjadi pada 0-30 hari atau lebih.

- Gangguan dapat timbul tergantung manifestasi pada organ tubuh yang timbul
seperti gangguan pada selaput otak, hati, mata atau ginjal.3

- Manifestasi klinik terpenting leptospirosis anikterik : meningitis aseptik yang


tidak spesifik sehingga sering tidak terdiagnosis.

- Pasien leptospirosis anikterik jarang diberi obat, karena keluhannya ringan,


gejala klinik akan hilang dalam kurun waktu 2 sampai 3 minggu.

15
- Merupakan penyebab utama fever of unknown origin di beberapa negara Asia
seperti Thailand dan Malaysia.

- Adanya conjunctival suffusion dan nyeri tekan di daerah betis, limfadenopati,


splenomegali, hepatomegali dan ruam makulopapular dapat ditemukan
meskipun jarang.

- Kelainan mata berupa uveitis dan iridosiklitis dapat dijumpai pada pasien
leptospirosis anikterik maupun ikterik.

2. Leptospirosis ikterik 1,10

- Demam dapat persisten dan fase imun menjadi tidak jelas atau nampak
tumpang tindih dengan fase septikemia.

- Keberadaan fase imun dipengaruhi oleh jenis serovar dan jumlah kuman
leptospira yang menginfeksi, status imunologi, status gizi pasien dan kecepatan
memperoleh terapi yang tepat.

- Pasien tidak mengalami kerusakan hepatoselular, bilirubin meningkat, kadar


enzim transaminase serum hanya sedikit meningkat, fungsi hati kembali
normal setelah pasien sembuh.

- Leptospirosis sering menyebabkan gagal ginjal akut, ikterik dan manifestasi


perdarahan, yang merupakan gambaran klinik khas penyakit Weil.

- Azotemia, oliguria atau anuria umumnya terjadi dalam minggu kedua tetapi
dapat ditemukan pada hari ketiga perjalanan penyakit.

- Pada leptospirosis berat, abnormalitas pencitraan paru sering dijumpai


meskipun pada pemeriksaan fisik belum ditemukan kelainan.

- Pencitraan yang paling sering ditemukan adalah patchy alveolar pattern yang
berhubungan dengan perdarahan alveoli yang menyebar sampai efusi pleura.
Kelainan pencitraan paru umumnya ditemukan pada lobus perifer paru bagian
bawah.

16
- Komplikasi berat seperti miokarditis hemoragik, kegagalan fungsi beberapa
organ, perdarahan masif dan Adult Respiratory Distress Syndromes (ARDS)
merupakan penyebab utama kematian yang hampir semuanya terjadi pada
pasien-pasien dengan leptospirosis ikterik.

- Penyebab kematian leptospirosis berat : koma uremia, syok septikemia, gagal


kardiorespirasi dan syok hemoragik.

- Faktor-faktor prognostik yang berhubungan dengan kematian pada pasien


leptospirosis hádala oliguria terutama oliguria renal, hiperkalemia, hipotensi,
ronkhi basah paru, sesak nafas, leukositosis (leukosit > 12.900/mm3), kelainan
Elektrokardiografi (EKG) menunjukkan repolarisasi, infiltrat pada foto
pencitraan paru.

- Kelainan paru pada leptospirosis berkisar antara 20-70% pada umumnya ringan
berupa batuk, nyeri dada, hemoptisis, meskipun dapat juga terjadi Adult
Respiratory Distress Síndromes (ARDS) dan fatal.

- Manifestasi klinik sistem kardiovaskular pada leptospirosis dapat berupa


miokarditis, gagal jantung kongestif, gangguan irama jantung.

Tabel 2: Perbedaan gambaran klinik leptospirosis anikterik dan ikterik :

Sindroma, Fase Gambaran klinik Spesimen laboratorium

Leptospirosis anikterik *

Fase leptospiremia (3-7 Demam tinggi, nyeri Darah, cairan


hari) kepala, mialgia, nyeri perut, serebrospinal
mual, muntah, conjunctival
suffusion.

Demam ringan, nyeri


kepala, muntah, meningitis

17
Fase imun (3-30 hari) aseptik Urin

Leptospirosis ikterik

Fase leptospiremia dan Demam, nyeri kepala, Darah, cairan


fase imun (sering mialgia, ikterik, gagal serebrospinal (minggu
menjadi satu atau ginjal, hipotensi, I)
tumpang tindih) manifestasi perdarahan,
Urin (minggu II)
pneumonitis hemoragik,
leukositosis.

* antara fase leptospiremia dengan fase imun terdapat periode asimtomatik (1-3
hari)

Tabel 3. Patofisiologi leptospirosis25

18
2. 8 Penegakan Diagnosis20

- Klinis

Setiap pasien demam akut mempunyai riwayat, setidaknya 2 hari, tinggal


di daerah banjir atau memiliki risiko tinggi terpapar (berjalan kaki di banjir atau
air yang terkontaminasi, kontak dengan cairan dari hewan, berenang di air banjir
atau menelan air yang terkontaminasi dengan atau tanpa luka) dan menunjukkan
setidaknya dua dari gejala berikut: mialgia, nyeri tekan betis, injeksi konjungtiva,
menggigil, nyeri perut, sakit kepala, ikterus, atau oliguria. Pasien dengan gejala
tersebut hendaknya dipertimbangkan sebagai tersangka kasus leptospirosis. Setiap
kasus tersangka leptospirosis dengan tanda vital stabil, sklera anikterik, keluaran
urin yang baik, tidak ada meningismus/ iritasi meningen; sepsis/syok sepsis; sulit
bernapas; atau ikterus, dan bisa mengonsumsi obat per oral dianggap leptospirosis
ringan dan dapat ditatalaksana dengan rawat jalan. Kasus tersangka leptospirosis
dengan tanda vital tidak stabil, ikterus atau sklera ikterik, nyeri perut, mual,
muntah dan diare, oliguria/ anuria, meningismus/ iritasi meninges, sepsis/ syok
sepsis, perubahan status mental atau sulit bernapas dan hemoptisis dianggap

leptospirosis sedang – berat dan perlu dirawat inap.

- Diagnosis Laboratorium

Leptospira dapat diisolasi dari sampel darah dan cairan serebrospinal pada
hari ketujuh hingga kesepuluh sakit, dan dari urin selama minggu kedua dan
ketiga. Kultur dan isolasi masih menjadi baku emas, dapat mengidentifikasi
serovar, tetapi membutuhkan media khusus dengan waktu inkubasi beberapa
minggu, dan membutuhkan mikroskop lapangan gelap, sehingga tidak sesuai
untuk perawatan individual. Sejumlah metode deteksi DNA leptospira dengan
reaksi rantai polimerase lebih sensitif daripada kultur, dan dapat memberikan
konfirmasi diagnosis lebih awal pada fase akut, namun belum menjadi standar
rutin.

Respons antibodi IgM yang kuat, muncul sekitar 5-7 hari setelah awitan
gejala, dapat dideteksi menggunakan beberapa uji komersial berbasis ELISA,

19
aglutinasi latex dan teknologi uji cepat imunokromatografik. Uji serologi ini
mendeteksi antibodi IgM yang spesifik terhadap genus Leptospira. Tetapi uji ini
sensitivitasnya rendah (63-72%) pada sampel fase akut (penyakit kurang dari 7
hari). Jika sampel serum diambil setelah hari ketujuh, sensitivitas meningkat
menjadi >90%. Oleh karena itu, sampel kedua hendaknya diambil pada kasus
tersangka leptospirosis dengan hasil awal negatif atau meragukan. Antibiotik yang
diberikan sejak awal penyakit mungkin menyebabkan respons imun dan antibodi
tertunda. IgM positif menunjukkan leptospirosis saat ini atau baru terjadi, namun
antibodi IgM dapat tetap terdeteksi selama beberapa tahun.

Pada uji aglutinasi mikroskopik, peningkatan titer empat kali lipat dari
serum akut ke konvalesens merupakan konfirmasi diagnosis. Akan tetapi metode
ini kompleks, deteksi antibodi terhadap suspensi antigen hidup dengan cara serum
pasien diencerkan lalu diletakkan pada panel leptospira patogenik hidup. Hasilnya
dilihat pada mikroskop lapangan gelap dan diekspresikan sebagai persentase
organisme yang dibersihkan dari lapang pandang melalui aglutinasi. Uji hanya
dilakukan di laboratorium rujukan, dapat memberikan informasi mengenai serovar
yang diduga menginfeksi, sehingga memiliki nilai epidemiologis. Di daerah
endemis, titer yang meningkat hanya sekali harus diinterpretasikan secara hati-hati
karena antibodi bertahan selama bertahun-tahun setelah infeksi akut. Reaksi silang
juga dapat terjadi pada sifilis, hepatitis virus, HIV, relapsing fever, penyakit
Lyme, legionellosis, dan penyakit autoimun. Pemeriksaan mikroskopik langsung
dari sampel klinis bernilai diagnostik kecil, pewarnaan imunohistokimia dari
spesimen otopsi sangat berguna.

20
2.9 Pemeriksaan Penunjang

Diagnosis tidak hanya didasarkan kepada gejala dan klinik saja, melainkan
juga harus dikonfirmasikan dengan pemeriksaan laboratorium. Serologik akan
terjadi peningkatan titer dalam serum penderita. Serum diambil dari hewan
tersangka, pertama ketika penyakit datang berjalan akut, kemudian ketika
penyakit sudah berjalan 7-10 hari. Uji serologik dilakukan dengan cara uji
agultinasi mikroskopik (microscopic agglutination test) atau uji agultinasi
mikrotiter (microtiter agglutination test). Uji lain dilakukan dengan Elisa dan uji
fikasi komplemen (complement fixation test).11

21
Di laboratorium yang mempunyai fasilitas, dilakukan pula uji biologik
dengan menyuntikan 0,5 ml darah tersangka (diambil secara aseptik) kepada
hewan percobaan atau media laboratorium lainnya. Urin (yang baru dikoleksi)
dari hewan tersangka yang telah disentrifuse dapat diperiksa dengan mikroskop
lapangan gelap (darkfield microscope). Leptospira dikeluarkan oleh penderita
secara intermiten, maka apabila pemeriksaan pertama negatif, sebaiknya
dilakukan lagi pemeriksaan ulang. Pemeriksaan labotorium dapat pula dilakukan
dengan melakukan seksi jaringan ginjal atau hati yang diwarnai dengan metode
levaditi (silver-impreg nation method levaditi) atau teknik Warhhim-Stary.11,12

2.9 Penatalaksanaan 2,3,10

Pengobatan terhadap penderita Leptospirosis dapat dilakukan dengan pemberian


antibiotik seperti Penicillin, Streptomycin, Tetracycline atau Erythromycin. Dari
bermacam-macam antibiotik yang tersebut diatas, pemberian Penicillin atau
Tetracycline dosis tinggi dapat memberikan hasil yang sangat baik

Pengobatan dini sangat menolong karena bakteri Leptospira mudah mati


dengan antibiotik yang banyak dipasaran, seperti Penicillin dan turunannya
(Amoxylline), Streptomycine, Tetracycline, Erytromycine. Angka kematian dapat

22
mencapai 20% apabila terjadi komplikasi. Selain antibiotika golongan penicilline,
bakteri ini juga peka terhadap Streptomycine, Chloramphenicol dan
Erythromycine. Antibiotika ini tergolong tidak mahal dan mudah didapatkan.
Pengobatan yang dilakukan sejak dini, maka prognosis Leptospirosis umumnya
baik, berbeda apabila terlambat dilakukan pengobatan.

Leptospira umumnya peka terhadap sebagian besar antibiotika seperti


penisilin, streptomisin, tetrasiklin, kloranfenikol, eritromisin, siprofloksasin,
sefalosporin, dan sebagainya. Penisilin prokain merupakan obat pilihan utama
untuk Leptospirosis. Dosis yang dianjurkan adalah tinggi, misalnya 600.000 unit
setiap 4 jam yang dapat ditingkatkan sampai 8-12 juta unit perhari pada penderita
dengan kondisi yang berat. Mortalitas pada kondisi yang berat berkisar antara 15-
40%. Prognosis tergantung dari keganasan kuman, daya tahan dan keadaan umum
penderita, usia, gagal multi organ serta pemberian antibiotikadengan dosis yang
adekuat pada fase dini. 4,5

Cara mengobati penderita Leptospirosis yang dianjurkan adalah sebagai berikut


:10

 Pemberian suntikan Benzyl (crystal) Penisilin akan efektif jika secara dini
pada hari ke 4-5 sejak mulai sakit atau sebelum terjadi jaundice dengan
dosis 6-8 megaunit secara 1.v, yang dapat secara bertahap selama 5-7 hari

 Selain cara diatas, kombinasi crystalline dan procaine penicillin dengan


jumlah yang sama dapat diberikan setiap hari dengan dosis 4-5 megaunit
secara i.m, separuh dosis dapat diberikan selama 5- 6 hari. Procaine
penicillin 1,5 megaunit i.m, dapat diberikan secara continue selama 2 hari
setelah terjadi albuminuria.

 Penderita yang alergi terhadap penicilline dapat diberikan antibiotic lain


yaitu Tetracycline atau Erythromycine, tetapi kedua antibiotic tersebut
kurang efektif disbanding Penicilline. Tetracycline tidak dapat diberikan
jika penderita mengalami gagal ginjal. Tetracycline dapat diberikan
secepatnya dengan dosis 250 mg setiap 8 jam i.m atau i.v selama 24 jam,
kemudian 250-500 mg setiap 6 jam secara oral selama 6 hari.

23
Erythromycine diberikan dengan dosis 250 mg setiap 6 jam selama 5 hari.
Terapi dengan antibiotika (streptomisin, khlortetrasiklin, atau oksitetrasiklin),
apabila dilakukan pada awal perjalanan penyakit biasanya berhasil. Pemberian
(oksitetrasiklin, atau oksitetrasiklin) apabila dilakukan pada awal perjalanan
penyakit, banyak berhasil.8

Pemberian oksitetrasiklin dengan dosis 10 mg/kg bb selam lima hari pada


terrnak babi penderita Leptospirosis, dapat memberikan kesembuhan cukup baik
yaitu 86%. Pemberian per-oral dengan mencampurkan oksitetrasiklin dengan
dosis 500-1000 gr ke dalam setiap makanannya selam 14 hari berturut-turut dapat
menghilangkan keadaan sebagai pembawa penyakit pada ternak babi 94%.9

2.10 Pencegahan

Hewan penderita harus dijauhkan dari sumber-sumber air yang


mengenang, karena lepstopira tumbuh dengan baik dipermukaan air. Tikus
biasanya bersarang diselakan-selakan, sedangkan tikus adalah hewan pembawa
mokroorganisma ini, maka diupayakan agar solokan – solokan tidak menjadi
sarang tikus dan diupayakan juga agar air mengalir lancar disedemikian rupa
sehingga solokan selalu kering, jangan dibiarkan air mengenang didalamnya.

Pencegahan Leptospirosis dapat dilakukan dengan cara:10

 Pendidikan kesehatan mengenai bahaya serta cara menular penyakit,


berperan dalam upaya pencegahan penyakit Leptospirosis

 Usaha-usaha lain yang dapat dianjurkan antara lain mencuci kaki, tangan
serta bagian tubuh lainnya dengan sabun setelah bekerja di sawah

 Pembersihan tempat-tempat air dan kolam-kolam renang sangat membantu


dalam usaha mencegah penyakit Leptospirosis

 Melindungi pekerja-pekerja yang dalam pekerjaannya mempunyai resiko


yang tinggi terhadap Leptospirosis dengan penggunaan sepatu bot dan
sarung tangan

24
 Vaksinasi terhadap hewan-hewan peliharaan dan hewan ternak dengan
vaskin strain local

 Mengisolasi hewan-hewan sakit guna melindungi masyarakat, rumah-


rumah penduduk serta daerah-daerah wisata dari urine hewan-hewan
tersebut

 Pengamatan terhadap hewan rodent yang ada disekitar penduduk, terutama


di desa dengan melakukan penangkapan tikus untuk diperiksa terhadap
kuman Leptospirosis

 Kewaspadaan terhadap Leptospirosis pada keadaan banjir

 Pemberantasan rodent (tikus) dengan peracunan atau cara-cara lain

Vaksin terhadap Leptospirosis pada anjing telah lama ditemukan dan


selalu disempurnakan sesuai dengan kemajuan ilmu dan teknologi. Vaksin
leptopsira adalah vaksin inaktif dalam bentuk cair, sekaligus tindakan sebagai
solven/vent apabila vaksin ini akan dikombinasi dengan vaksin lain (umunya
vaksin distemper dan adenovirus atau rabies pada anjng). Vaksin Leptospirosis
juga umumnya terjadi dari dua komponen, yaitu L. canicola dan
L.icterohaemorrhagiae antigens.1

25
BAB III
LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Pasien

Nama Pasien : Tn. S


Umur : 40 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Dusun Pusung Lor RT 9/3
Pekerjaan : Supir Truk
Status Perkawinan : Menikah
Agama : Islam
Suku : Madura
No. Rekam Medis : 631700
Ruangan : Flamboyan Kelas 2
Tanggal Masuk IGD : 24 Januari 2018
Tanggal Masuk Ruangan : 24 Januari 2018
Tanggal Keluar RS : 30 Januari 2018

3.2 Anamnesa
1. Keluhan Utama :
Mual
2. Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien diantar keluarganya ke IGD RSUD dr. Moh. Saleh Probolinggo
pada tanggal 24 Januari 2018, pukul 16.40 WIB dengan keluhan mual
yang sudah berlangsung 9 hari. Mual tersebut dirasakan terus menerus
terutama setiap mau makan, sehingga pasien menjadi tidak mau makan
dan nafsu makannya berkurang. Mual dirasakan sampai ingin muntah,
dan disertai kepala sakit sampai ke bagian belakang, dan badannya
lemas dan pegal-pegal diseluruh badan terutama kedua kaki. Pasien
juga merasakan badannya menggigil sejak 5 hari yang lalu. Pasien
berkata baru pertama kali merngalami sakit seperti ini. Keluhan lainnya

26
: nyeri perut (-), nyeri dada (-), sakit kepala (-), batuk (-), BAB (+)
lancar tidak diare, BAK (+) lancar tidak nyeri.
3. Riwayat Penyakit Dahulu :
Riwayat DM (-) disangkal
Riwayat hipertensi (-) disangkal
Riwayat penyakit jantung (-) tidak pernah cek
Riwayat kolesterol (-) tidak pernah cek
Riwayat asam urat (-)
4. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat DM (-)
Riwayat hipertensi (-)
Riwayat penyakit jantung (-)
5. Riwayat Pengobatan
Keluhan belum sempat diobati/ dibawa ke fasilitas kesehatan
6. Riwayat Alergi
Alergi makan (-), alergi obat (-)
7. Riwayat Kebiasaan
Merokok (-), alkohol (-)
8. Riwayat Sosial/Lingkungan
Pasien berkata dirumahnya banyak tikus

3.3 Pemeriksaan Fisik


Keadaan Umum : Lemah
Kesadaaran : Compos Mentis
Vital sign
Tekanan darah : 100/60 mmHg
Nadi : 90 x/menit
Respirasi Rate : 20 x/ menit
Suhu : 37,3 ̊C

27
Status Generalis
a. Kepala/Leher
Kepala : Bentuk normal (+)
Mata : Visus +/+,
Konjungtiva : anemis (-/-), konjungtiva suffusion
+/+
Sklera : hematoma (-/-), icterus (+/+)
Pupil : refeks pupil +/+, isokor, ukuran 4-
5mm
Telinga : dalam batas normal
Hidung : pernafasan cuping hidung (-),
Mulut : sianosis (-)
Leher : pembesaran KGB (-), jejas (-), tumor (-)
b. Thorax
Simetris (+), tidak ada jejas
 Jantung
- Inspeksi : Bentuk dada simetris, retraksi (-),
- Palpasi : Iktus kordis tidak teraba, thrill (-)
- Perkusi : Batas jantung normal
- Auskultrasi : S1 dan S2 reguler, tunggal, murmur (-),
gallop (-)
 Paru
- Inspeksi : Bentuk dada simetris, retraksi (-), gerak
nafas tertinggal (-), massa (-)
- Palpasi : Gerak dinding dada simetris, fremitus
vokal paru kanan dan kiri simetris,
fremitus raba kanan dan kiri simetris,
- Perkusi : Sonor di kedua lapangan paru depan dan
belakang
- Auskultrasi : Suara nafas vesikuler (+/+), rhonki (-/-),
wheezing (-/-)

28
c. Abdomen
 Inspeksi : perut tampak flat, tidak tampak jejas trauma
 Auskultasi : bising usus (+) normal
 Palpasi : supel, nyeri tekan (+) regio hipokondrium
dextra, epigastrium, umbilikalis, tugor baik (<2
detik), hepar, lien, dan ginjal tidak teraba
 Perkusi : timpani
− − + +
d. Ekstremitas : oedem , Akral hangat , nadi kuat reguler,
−− + +

CTR ≤ 2 detik, nyeri tekan otot gastrocnemius (+)

3.4 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan laboratorium tanggal 24 Januari 2018, pukul 17.07 WIB
o BUN : 94.0 mg/dL (10-20 mg/dL)
o Creatinin : 3.6 mg/dl (0.5-1.7 mg/dl)
o Gula Darah Stick : 91
o SGOT : 60 U/L (<31 U/L)
o SGPT : 41 U/L (<31 U/L)
o Hemoglobin : 14.2 g/dL (nilai rujukan 13-18 g/dL)
o Leukosit : 22.550/mm3 (nilai rujukan 4.000-11.000/mm3)
o Trombosit : 177.000/mm3 (nilai rujukan 150.000-
350.000/mm3)
o HbSAg : NEGATIF NEGATIF

Pemeriksaan laboratorium tanggal 25 Januari 2018, pukul 17.32 WIB


o Bilirubin Direct : 12,01 (<0,5mg/dl)
o Bilirubin Total : 15,27 (<1mg/dl)

Pemeriksaan laboratorium tanggal 29 Januari 2018, pukul 12.24 WIB


o Alkali Fosfatase : 247 (60-170 U/L)
o Bilirubin Direct : 8,9 (<0.5 mg/dL)

29
o Bilirubin Total : 11,48 (<1 mg/dL)
o SGOT : 139 (<31 U/L)
o SGPT : 115 (<31 U/L)
o BUN : 13.2 mg/dL (10-20 mg/dL)
o Creatinin : 0.8 mg/dl (0.5-1.7 mg/dl)
o UA : 3.0

3.5 Temporary Problem List


1. Mual sejak 9 hari yang lalu
2. Badan lemas
3. Penurunan nafsu makan
4. Sakit kepala
5. Badan menggigil
6. Badan pegal-pegal terutama kedua kaki
7. Riwayat sosial/lingkungan : dirumahnya banyak tikus
8. Sklera ikterus +/+
9. Konjungtiva suffusion +/+
10. Tekanan darah 100/60
11. Nyeri tekan regio hipokonrium dextra, epigastrium, umbilikalis
12. BUN: 94,0
13. Creatinin 36.0
14. SGOT : 139
15. SGPT : 115
16. Alkasli fosfatase : 247

Skor Faine
Bagian A : Data Klinis Skor
Sakit Kepala 2 ada
Demam 2 ada
Demam > 39’C 2
Meningismus 4
Injeksi konjungtiva 4 ada

30
bilateral
Myalgia (khususnya otot 4 ada
betis)
Myalgia, meningismus, 10
injeksi konjungtiva
Ikterus 1 ada
Albuminuria atau retensi 2
nitrogen
Hemoptisis atau 2
dypsneau
Bagian B : Riwayat
Epidemiologi
Curah hujan 5
Kontak dengan 4 ada
lingkungan
terkontaminasi
Kontak dengan binatang 1
Bagian C : Temuan
Laboratorium
Isolasi leptospira pada Diagnosis pasti
kultur
PCR 25
Serologi Positif 15 ada
ELISA IgM positif;
SAT* positif; rapid
test lain***, satu kali titer
tinggi pada
MAT** (masing-masing
dari ketiga
pemeriksaan ini harus
diberikan nilai)
Peningkatan titer MAT** 25

31
atau serokonversi( serum
yang berpasangan)

Berdasarkan kriteria Faine yang dimodifikasi, diagnosis presumtif leptospirosis


dapat ditegakkan jika:
(i) Skor bagian A atau bagian A + bagian B = 26 atau lebih; atau
(ii) Skor bagian A + bagian B + bagian C = 25 atau lebih. Skor antara 20 dan 25
menunjukkan kemungkinan diagnosis leptospirosis tetapi belum terkonfirmasi.
Pada pasien ini didapatkan skor bagian A 23, bagian B 4, bagian C 15 yang
berjumlah 42 sehingga diagnosis presumtif dapat ditegakkan yaitu Leptospirosis.

3.6 Permanent Problem List


No. Permanent Problem List Initial Assesment
1 - Mual 9 hari Suspek Leptospirosis
- Nafsu makan menurun
- Badan lemas PLANNING:
- Badan terasa menggigil Dx: Lepto Tek, Albuminuria
- Badan terutama kaki pegal- Tx:
pegal Inf. RL 14 tpm
- Sakit kepala Inj. Ranitidin 2x1
- Nyeri tekan regio abdomen Inj. Ondansetron 3x1
hipokondrium dextra, Inf. Sanmol 3x1 p.r.n
epigastrium, umbilikalis PO : Sirup Xanda 3x cth II
- Konjungtiva suffusion
- Sklera ikterus +/+ Mx: klinis pasien, ttv, efek obat
- BUN: 94,0 Ex: melaporkan bila ada keluhan
- Creatinin 36.0 atau tambah parah,
- SGOT : 139 makan/minum yang teratur
- SGPT : 115
- Alkasli fosfatase : 247
- Skor Faine 27

2 - BUN: 94,0 Acute Kidney Injury (AKI)


- Creatinin 36.0
- SGOT : 139 PLANNING
- SGPT : 115 Dx: UL, RFT, LFT ulang
- Alkasli fosfatase : 247 Tx: atasi penyakit dasar
Mx: klinis, ttv, hasil RFT
Ex: bila terdapat keluhan
berkemih segera melapor

32
3.7 Follow Up Pasien Di Ruangan

Tanggal 25 Januari 2018 Tanggal 26 Januari 2018


S: S:
Pasien berkata mual sudah berkurang, sakit kepala Pasien berkata mual sudah berkurang, sakit
(+) tapi sudah berkurang, demam berkurang, nafsu kepala (+) tapi sudah berkurang, demam hanya
makan masih kurang pasien hanya makan saat malam saja, nafsu makan masih kurang,
beberapa suap bubur dan teh hangat, badan terasa badan terasa pegal terutama kedua kaki, muntah
pegal terutama kedua kaki, muntah (-), batuk (-), (-), batuk (-), sesak (-), BAK normal
sesak (-), belum BAB dari kemarin, BAK normal O:
KU: Lemah
O:
Kesadaran: Compos Mentis (456)
KU: Lemah
TD :120/70 mmHg Nadi: 88 x/menit
Kesadaran: Compos Mentis (456)
RR: 18x/menit Suhu: 37.0 ̊C
TD :120/80 mmHg Nadi: 89 x/menit
RR: 18x/menit Suhu: 37.3 ̊C
K/L : a/i/c/d: -/+/-/-, konjungtiva suffusion +/+
Pembesaran KGB (-)
K/L : a/i/c/d: -/+/-/-, konjungtiva suffusion +/+
Dada : Simetris (+), retraksi (-),
Pembesaran KGB (-)
Jantung: S1 S2 tunggal regular, murmur (-),
Dada : Simetris (+), retraksi (-),
Paru-paru: vesikules (+/+), Rh (-/-), Wh (-/-)
Jantung: S1 S2 tunggal regular, murmur (-),
Abdomen: tampak datar, BU (+), Supel, nyeri
Paru-paru: vesikules (+/+), Rh (-/-), Wh (-/-)
tekan (+), hepar, lien, dan ginjal tidak
Abdomen: tampak datar, BU (+), Supel, nyeri
teraba, timpani
tekan (+), hepar, lien, dan ginjal tidak − − + +
teraba, timpani Extremitas: oedem − − , Akral hangat + + ,
Extremitas: oedem
− −
, Akral hangat
+ +
, nadi nadi kuat reguler, CTR ≤ 2 detik, nadi
− − + +
kuat
kuat reguler, CTR ≤ 2 detik, nadi kuat

Lab 26-01-2018 :
A:suspek Leptospirosis +AKI Lepto Tek : POSITIF
Planning Dx : lepto Tek, albuminuria, kultur urin Faine Score : 42
RFT, DL ulang
A: Leptospirosis +AKI
P: Inf. RL 14 tpm
Planning Dx : RFT,DL ulang
Inj. Ceftriaxone 2x1
Inj Ondansetron 3 x 4 mg P: Inf. RL 14 tpm
Inj. Ranitidin 2 x 1 Inj. Ceftriaxone 2x1
Inj. Gitas 3 x 1 Inj Ondansetron 3 x 4 mg
Inf. Sanmol 3x1 Inj. Ranitidin 2 x 1
PO : Sirup Xanda 3 x cth II Inj. Gitas 3 x 1
Inf. Sanmol 3x1
PO : Sirup Xanda 3 x cth II

33
Tanggal 27 Januari 2018 Tanggal 29 Januari 2018
S: S:
Pasien berkata masih mual, sakit kepala (+) tapi Pasien berkata mual sudah jauh berkurang, sakit
sudah berkurang, , nafsu makan masih kurang, kepala (-), demam (-), nafsu makan sudah agak
badan terasa pegal terutama kedua kaki, muntah (- meningkat, badan terasa pegal (+), muntah (-),
), batuk (-), sesak (-), belum BAB dari kemarin, batuk (-), sesak (-), BAB +, BAK +
BAK sedikit
O:
O: KU: Lemah
KU: Lemah Kesadaran: Compos Mentis (456)
Kesadaran: Compos Mentis (456) TD :120/80 mmHg Nadi: 90 x/menit
TD :110/80 mmHg Nadi: 88 x/menit RR: 18x/menit Suhu: 36.8 ̊C
RR: 18x/menit Suhu: 37. ̊C
K/L : a/i/c/d: -/+/-/-, konjungtiva suffusion +/+
K/L : a/i/c/d: -/+/-/-, konjungtiva suffusion +/+ Pembesaran KGB (-)
Pembesaran KGB (-) Dada : Simetris (+), retraksi (-),
Dada : Simetris (+), retraksi (-), Jantung: S1 S2 tunggal regular, murmur (-),
Jantung: S1 S2 tunggal regular, murmur (-), Paru-paru: vesikules (+/+), Rh (-/-), Wh (-/-)
Paru-paru: vesikules (+/+), Rh (-/-), Wh (-/-) Abdomen: tampak datar, BU (+), Supel, nyeri
Abdomen: tampak datar, BU (+), Supel, nyeri tekan (-), hepar, lien, dan ginjal tidak
tekan (-), hepar, lien, dan ginjal tidak teraba, timpani
teraba, timpani − − + +
Extremitas: oedem , Akral hangat
− +
,
+ +
− − + +
Extremitas: oedem − +
, Akral hangat + +
, nadi nadi kuat reguler, CTR ≤ 2 detik, nadi
kuat reguler, CTR ≤ 2 detik, nadi kuat kuat

Lab 26-01-2018 :
Lab 26-01-2018 : Lepto Tek : POSITIF
Lepto Tek : POSITIF Faine Score : 42
Faine Score : 42 Lab 29-01-2018
Alkali Fosfatase : 247 (60-170 U/L)
A: Leptospirosis +AKI
Bilirubin Direct : 8,9 (<0.5 mg/dL)
Planning Dx :, RFT, DL ulang
Bilirubin Total : 11,48 (<1 mg/dL)
P: Inf. RL 14 tpm SGOT : 139 (<31 U/L)
Inj. Ceftriaxone 2x1
SGPT : 115 (<31 U/L)
Inj Ondansetron 3 x 4 mg
Inj. Ranitidin 2 x 1 BUN : 13.2 mg/dL (10-20 mg/dL)
Inj. Gitas 3 x 1 Creatinin: 0.8 mg/dl (0.5-1.7mg/dl)
Inf. Sanmol 3x1 UA : 3.0
PO : Sirup Xanda 3 x cth II

A: Leptospirosis +AKI + Leukositosis


Planning Dx : DL ulang
P: Inf. RL 14 tpm
Inj. Ceftriaxone 2x1
Inj Ondansetron 3 x 4 mg

34
Inj. Ranitidin 2 x 1
Inj. Gitas 3 x 1
Inf. Sanmol 3x1
PO : UDCA 3X1
Sirup Xanda 3 x cth II

Tanggal 30 Januari 2018 Tanggal 30 Januari 2018


S: Pasien berkata sudah tidak mual , sakit kepala (-
Pasien berkata sudah tidak mual , sakit kepala (-), ), demam (-), nafsu makan baik, muntah (-),
demam (-), nafsu makan baik, muntah (-), batuk batuk (-), sesak (-), BAB (+), BAK normal
(-), sesak (-), BAB (+), BAK normal
O:
O: KU: Lemah
KU: Lemah Kesadaran: Compos Mentis (456)
Kesadaran: Compos Mentis (456) TD :120/80 mmHg Nadi: 89 x/menit
TD :120/80 mmHg Nadi: 89 x/menit RR: 19x/menit Suhu: 36.3 ̊C
RR: 19x/menit Suhu: 36.3 ̊C
K/L : a/i/c/d: -/+/-/-, konjungtiva suffusion +/+
K/L : a/i/c/d: -/+/-/-, konjungtiva suffusion +/+ Pembesaran KGB(-)
Pembesaran KGB (-) Dada : Simetris (+), retraksi (-),
Dada : Simetris (+), retraksi (-), Jantung: S1 S2 tunggal regular, murmur (-),
Jantung: S1 S2 tunggal regular, murmur (-), Paru-paru: vesikules (+/+), Rh (-/-), Wh (-/-)
Paru-paru: vesikules (+/+), Rh (-/-), Wh (-/-) Abdomen: tampak datar, BU (+), Supel, nyeri
Abdomen: tampak datar, BU (+), Supel, nyeri tekan (-), hepar, lien, dan ginjal tidak
tekan (-), hepar, lien, dan ginjal tidak teraba, timpani
teraba, timpani − − + +
Extremitas: oedem , Akral hangat
− + + +
,
− − + +
Extremitas: oedem , Akral hangat , nadi nadi kuat reguler, CTR ≤ 2 detik, nadi
− + + +
kuat reguler, CTR ≤ 2 detik, nadi kuat kuat

Lab 26-01-2018 : Lab 26-01-2018 :


Lepto Tek : POSITIF Lepto Tek : POSITIF
Faine Score : 42 Faine Score : 42

A: Leptospirosis +AKI A: Leptospirosis +AKI


Planning Dx : RFT, LFT, DL ulang Planning Dx : RFT, LFT, DL ulang

P: Tab. Claneksi 3 x 500mg P: Tab. Claneksi 3 x 500mg


UDCA 3X1 UDCA 3X1
Curcuma 2x1 Curcuma 2x1
Sirup Xanda 3 x cth II Sirup Xanda 3 x cth II

35
BAB IV
PEMBAHASAN

4.1 Analisis Kasus

Pasien dengan inisial Tn. S 40 tahun datang dengan diantar oleh


keluarganya ke IGD RSUD dr. Moh. Saleh Probolinggo pada tanggal 24 Januari
2018, pukul 16.40 WIB dengan keluhan mual yang sudah berlangsung 9 hari.
Mual tersebut dirasakan terus menerus terutama setiap mau makan, sehingga
pasien menjadi tidak mau makan dan nafsu makannya berkurang. Mual dirasakan
sampai ingin muntah, dan disertai kepala sakit sampai ke bagian belakang, dan
badannya lemas dan pegal-pegal diseluruh badan terutama kedua kaki. Pasien
juga merasakan badannya menggigil sejak 5 hari yang lalu. Pasien berkata baru
pertama kali merngalami sakit seperti ini. Keluhan lainnya : nyeri perut (-), nyeri
dada (-), sakit kepala (-), batuk (-), BAB (+) lancar tidak diare, BAK (+) lancar
tidak nyeri.
Riwayat penyakit dahulu pada pasien: DM (-), Riwayat hipertensi (-)
Riwayat penyakit jantung (-), Riwayat kolesterol (-), Riwayat asam urat (-)
disangkal dan pasien tidak pernah cek sebelumnya. Di keluarga tidak ada yang
memiliki riwayat DM, riwayat hipertensi maupun penyakit jantung. Pasien juga
mengatakan tidak memiliki riwayat alergi terhadap obat ataupun makanan.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum lemah, kesadaran
compos mentis tekanan darah 100/60 mmHg, nadi 90 x/menit, respirasi Rate: 20
x/ menit, Suhu 37,2 ̊C, , konjungtiva suffusion +/+, sklera ikterik +/+, nyeri tekan
regio abdomen : hipokondrium dextra, epigastrium, dan umbilikalis.
Pada pemeriksaan penunjang didapatkan BUN: 94.0 mg/dL, Creatinin: 3.6
mg/dl , Gula Darah Stick: 450, SGOT: 60 U/L, SGPT: 44 U/L, Leukosit:
22.550/mm3, Alkali fosfatase 247.
Dari hasil anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang tersebut
didapatkan temporary ploblem sebagai berikut
1. Mual sejak 9 hari yang lalu

36
2. Badan lemas
3. Penurunan nafsu makan
4. Sakit kepala
5. Badan menggigil
6. Badan pegal-pegal terutama kedua kaki
7. Riwayat sosial/lingkungan : dirumahnya banyak tikus
8. Sklera ikterus +/+
9. Konjungtiva suffusion +/+
10. Tekanan darah 100/60
11. Nyeri tekan regio hipokonrium dextra, epigastrium, umbilikalis
12. BUN: 94,0
13. Creatinin 36.0
14. SGOT : 139
15. SGPT : 115
16. Alkasli fosfatase : 247
Dari temporary problem tersebut dikelompokkan lagi sesuai penyakitnya seperti
berikut ini
No. Permanent Problem List Initial Assesment
1 - Mual 9 hari Suspek Leptospirosis
- Nafsu makan menurun
- Badan lemas PLANNING:
- Badan terasa menggigil Dx: Lepto Tek, Albuminuria
- Badan terutama kaki pegal- Tx:
pegal Inf. RL 14 tpm
- Sakit kepala Inj. Ranitidin 2x1
- Nyeri tekan regio abdomen Inj. Ondansetron 3x1
hipokondrium dextra, Inf. Sanmol 3x1 p.r.n
epigastrium, umbilikalis PO : Sirup Xanda 3x cth II
- Konjungtiva suffusion
- Sklera ikterus +/+ Mx: klinis pasien, ttv, efek obat
- BUN: 94,0 Ex: melaporkan bila ada keluhan
- Creatinin 36.0 atau tambah parah,
- SGOT : 139 makan/minum yang teratur
- SGPT : 115
- Alkasli fosfatase : 247

2 - BUN: 94,0 Acute Kidney Injury (AKI)


- Creatinin 36.0
- SGOT : 139 PLANNING
- SGPT : 115 Dx: UL, RFT, LFT ulang

37
- Alkasli fosfatase : 247 Tx: atasi penyakit dasar
Mx: klinis, ttv, hasil RFT
Ex: bila terdapat keluhan
berkemih segera melapor
3

Pada tanggal 30 Januari 2018 pasien diperbolehkan pulang karena sudah terjadi
perbaikan kondisi klinis dan pasien tidak ada keluhan Tekanan darah :120/80
mmHg, nadi: 89 x/menit, RR: 19 x/menit, suhu: 36.7 ̊C, BUN: 13.2
mg/dLCreatinin: 0.8 mg/dl. Pasien diberi obat pulang antara lain:
Po: Tab. Claneksi 3 x 500mg
UDCA 3X1
Tab. Lasoprazole 2x1
Curcuma 3x1

4.2 Diskusi Kasus


Pada pasien ini diagnosis leptospirosis dengan AKI ditegakkan atas dasar
anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yaitu hasil laboratorium
darah dan Leptotek. Dari anamnesis didapatkan adanya mual disertai penurunan
nafsu makan yang telah dialami selama 9 hari, terdapat juga nyeri pada betis,
badan lemas dan pegal-pegal, demam dan penurunan nafsu makan yang
disebabkan karena mualnya tersebut serta didapatkan riwayat epidemiologi yaitu
dirumahnya banyak terdapat tikus yang berkeliaran. Pada pemeriksaan fisik
terdapat keadaan umum lemah, konjungtiva suffusion, sklera ikterik, nyeri tekan
abdomen regio hipokondrium dextra, epigastrium, umbilikalis, dan nyeri tekan
pada betis terutama otot gastrocnemius.
Pada pasien ini diagnosis leptospirosis dengan AKI ditegakkan atas dasar
anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yaitu hasil laboratorium
darah dan Leptotek. Dari anamnesis didapatkan adanya mual disertai penurunan
nafsu makan yang telah dialami selama 9 hari, terdapat juga nyeri pada betis,
badan lemas dan pegal-pegal, demam dan penurunan nafsu makan yang
disebabkan karena mualnya tersebut serta didapatkan riwayat epidemiologi yaitu
dirumahnya banyak terdapat tikus yang berkeliaran. Pada pemeriksaan fisik
terdapat keadaan umum lemah, konjungtiva suffusion, sklera ikterik, nyeri tekan

38
abdomen regio hipokondrium dextra, epigastrium, umbilikalis, dan nyeri tekan
pada betis terutama otot gastrocnemius.

Mengingat sulitnya konfirmasi diagnosis leptospirosis, dibuatlah sistem


skor yang mencakup parameter klinis, epidemiologis, dan laboratorium.
Berdasarkan kriteria Faine yang dimodifikasi, diagnosis presumtif leptospirosis
dapat ditegakkan jika:

(i) Skor bagian A atau bagian A + bagian B = 26 atau lebih; atau


(ii) Skor bagian A + bagian B + bagian C = 25 atau lebih. Skor antara 20 dan 25
menunjukkan kemungkinan diagnosis leptospirosis tetapi belum terkonfirmasi.
Pada pasien ini didapatkan skor bagian A 23, bagian B 4, bagian C 15 sehingga
diagnosis presumtif dapat ditegakkan yaitu Leptospirosis.
Antibiotik hendaknya diberikan pada semua pasien leptospirosis pada fase
penyakit mana pun. Pada kasus ringan obat terpilih adalah doksisiklin.1 Obat
alternatif adalah amoksisilin dan azitromisin dihidrat. Pasien sakit berat
hendaknya dirawat inap. Antibiotik terpilih pada leptospirosis sedang-berat adalah
penicillin G. Obat alternatif di antaranya sefalosporin generasi ketiga (seftriakson,
sefotaksim) dan azitromisin dihidrat parenteral. Penelitian terakhir : antibiotik
gololongan fluoroquinolone dan beta laktam (sefalosporin, ceftriaxone) lebih baik
dibanding antibiotik konvensional tersebut di atas, meskipun masih perlu
dibuktikan keunggulannya secara in vivo. Pada pasien ini diberikan antibiotik
injeksi Ceftriaxone 2x 1 gram selama rawat inap, dan tablet kombinasi
amoksisilin dan asam clavulanat untu terapi rawat jalan nya. Terapi suportif
dengan observasi ketat untuk mendeteksi dan mengatasi keadaan dehidrasi,
hipotensi, perdarahan dan gagal ginjal sangat penting pada leptospirosis.

39
BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Leptospirosis adalah suatu penyakit zoonosis yang disebabkan oleh kuman


leptospira. Manusia dapat terinfeksi melalui kontak dengan leptospira secara
insidental. Gejala klinis Leptospirosis sering tidak khas sehingga terlambat
terdiagnosis. Gejala klinis yang timbul mulai dari ringan sampai berat bahkan
kematian, bila terlambat mendapat pengobatan. Diagnosis dini yang tepat dan
penatalaksanaan yang cepat akan mencegah perjalanan penyakit menjadi berat.

40
DAFTAR PUSTAKA

1. Zein Umar. (2006). “Leptospirosis”, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid
III, edisi 4. FKUI : Jakarta. Hal.1845 - 1848.
2. Speelman, Peter. (2005). “Leptospirosis”, Harrison’s Principles of
Internal Medicine, 16th ed, vol I. McGraw Hill : USA. Pg.988-991.
3. Dit Jen PPM & PL RSPI Prof. DR. Sulianti Saroso. (2003). Pedoman
Tatalaksana Kasus dan Pemeriksaan Laboratorium Leptospirosis di
Rumah Sakit. Departemen Kesehatan RI : Jakarta.
4. Dharmojono, Drh. Leptospirosis, Waspadailah Akibatnya!. Pustaka
Populer Obor : Jakarta. 2002.
5. Departemen Kesehatan, 2003. Pedoman Tatalaksana Kasus dan
Pemeriksaan Laboratorium Leptospirosis di Rumah Sakit, Leptospira.
Hlm. 8-15. Bagian Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan
Lingkungan : Jakarta.
6. Lestariningsih. 2002. Gagal Ginjal Akut Pada Leptospirosis — Kumpulan
Makalah Simposium Leptospirosis. Badan Penerbit Universitas
Diponegoro. Semarang.
7. World Health Organization/ International Leptospirosis Society. Human
Leptospirosis guidance for diagnosis, surveillance and control. Geneva :
WHO.2003.109
8. Setyawan Budiharta, 2002. Epidemiologi Leptospirosis. Seminar Nasional
Bahaya Dan Ancman Leptospirosis, Yogyakarta, 3 Juni 2002.
9. Widarso, Yatim.F, 2000. Leptospirosis dan Ancamannya, Majalah
Kesehatan No. 15 Tahun 2000. Departemen Kesahatan, Jakarta.
10. Iskandar Z; Nelwan RHH; Suhendro, dkk. Leptospirosis Gambaran Klinis
di RSUPNCM, 2002.
11. Riyanto B, Gasem MH, Pujianto B, Smits H. Leptospira sevoars in
patients with severe leptospirosis admitted to hospitals of Semarang. Buku
Abstrak Konas VIII PETRI, Malang, Juli 2002.

41
12. Gasem MH, Redhono D, Suharti C. Anicteric leptospirosis can be
misdiagnosed as dengue infection. Buku Abstrak Konas VIII PETRI,
Malang, 2002
13. Niwattayakul K, Homvijitkul J, Khow O, Sitprija V. Leptospirosis in
northeastern Thailand: hypotention and complications. Southeast Asean J
Trop Med Public Health 2002; 33: 155-60
14. Sion ML et al. Acute renal failure caused by leptospirosis and hantavirus
infection in an urban hospital. European Journal of Internal Medicine 13.
2002. 264-8
15. Daher EF, Noguera CB. Evaluation of penicillin therapy in patients with
leptospirosis and acute ranal failure. Rev Inst Med trop. S Paulo.
2000.42(6):327-32
16. Drunl W. Nutritional support in patients ARF. In; Acute Renal Failure;
(Brenners & Rector’s) ed WB Saunders. 2001: 465-83
17. Budiriyanto, M. Hussein Gasem, Bambang Pujianto, Henk L Smits :
Serovars of Leptospirosis in patients with severe leptospirosis admitted to
the hospitals of Semarang. Konas PETRI, 2002.
18. Grenn-Mckenzie J, Shoff WH. Leptospirosis in humans. Sept, 13, 2006.
http://www.emedicine.com/ped/topic/1298.htm

19. Widarso, Wilfried dan Siti G. 2005. Penanggulangan Leptospirosis di


Indonesia. Pusat Data Informasi-Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh
Indonesia. Jakarta
20. Lukman Z.A, 2016. Leptospirosis. Departemen Ilmu Penyakit Dalam,
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/ RSUPN Dr. Cipto
Mangunkusumo, Jakarta, Indonesia

42

Anda mungkin juga menyukai