Anda di halaman 1dari 12

Leptospirosis

A. Latar belakang
Banyak penyakit serius di dunia kesehatan yang sering kali terlewatkan
dalam diagnosis para petugas kesehatan karena sulitnya identifikasi
penyebab dan gejalanya. Salah satunya adalah penyakit Leptospirosis.

Leptospirosis merupakan penyakit endemis di sejumlah negara. Pada


umumnya, penyakit ini ditemukan di wilayah beriklim tropis dan
subtropis dengan curah hujan yang tinggi. Leptospirosis sering
memiliki distribusi musiman dan meningkat seiring dengan
peningkatan curah hujan atau temperatur. Penyakit ini dapat juga
berlangsung sepanjang tahun. Selain itu, Leptospirosis dikenal
dengan nama flood fever atau demam banjir karena sering
menyebabkan wabah di saat banjir.1, 2

Menurut Kemenkes RI, kasus Leptospirosis telah dilaporkan oleh


beberapa negara di Asia Tenggara. Sebagian besar negara di wilayah
Asia Tenggara merupakan wilayah endemis. Frekuensi masalah
Leptospirosis berbeda-beda di setiap negara dan sering dipengaruhi
oleh berbagai faktor seperti sosio-kultural, pekerjaan, perilaku dan
lingkungan. Risiko tertular penyakit ini meningkat di wilayah pedesaan
di mana masyarakat berprofesi sebagai petain atau peternak. 1

Beberapa wilayah di Indonesia merupakan daerah endemis


Leptospirosis. Meskipun demikian, sudah bertahun-tahun penyakit ini
menjadi masalah kesehatan yang sering diabaikan. Hal ini disebabkan
sulitnya diagnosis klinis dan alat diagnostik yang mahal membuat
banyak kasus Leptospirosis tidak terlaporkan. Lemahnya surveilans,
keberadaan vector dengan tingginya populasi tikus, kondisi sanitasi
lingkungan yang jelek dan kumuh akibat banjir juga merupakan
beberapa faktor penyebab terjadinya kasus Leptospirosis. 1

Sejumlah daerah di Indonesia belum menjadikan penanggulangan


Leptospirosis sebagai kegiatan rutinitas. Masalah yang dihadapi dalam
kegiatan penanggulangan Leptospirosis di antaranya sebagian besar
pasien yang datang terlambat, rendahnya sensitivitas kemampuan
petugas kesehatan dasar dalam mendiagnosis Leptospirosis,
terbatasnya fasilitas pemeriksa labortorium serta surveilans
Leptospirosis yang belum berjalan dengan baik.1

Oleh sebab itu, sosialisasi Leptospirosis perlu digiatkan dan dilakukan


lebih luas sehingga lebih banyak masyarakat yang memahami penyakit
ini. Selain itu, petugas kesehatan perlu memahami mengenai gejala-
gejala yang biasanya terlewatkan. Kurangnya penelitian terhadap
Leptospirosis seharusnya membuat masyarakat lebih waspada dengan
lingkungan dan aktifitas mereka. Dengan begitu, penanggulangan
Leptospirosis dapat diakukan dengan cepat dan efisien.

B. Definisi
Leptospirosis adalah penyakit zoonosa yang disebabkan oleh infeksi
bakteri berbentuk spiral dari genus Leptospira yang patogen, yang
ditularkan secara langsung dan tidak langsung dari hewan ke manusia.

Definisi dari penyakit zoonosa (zoonosis) adalah penyakit yang secara


alami dapat ditularkan dari hewan vertebrata ke manusia atau
sebaliknya.1

Agent adalah mikroorganisme infeksius atau patogen. Pembawa


leptospirosis berupa bakteri berbentuk spiral berpilin yang masuk
dalam genus Leptospira. Bakteri ini sifatnya komensal pada hewan dan
secara alamiah berada di tubulus ginjal dan saluran kelamin hewan
tertentu.3

Host adalah manusia yang dapat terserang penyakit. Penyakit


Leptospira memiliki dua tuan rumah, yaitu binatang dan manusia.
Mamalia yang menjadi pejamu dikenal sebagai reservoir, seperti
binatang liar, ternak, dan tikus.3

Environment adalah faktor ekstrinsik yang dapat mempengaruhi


pembawa penyakit dan memberikan kesempatan pada pembawa
penyakit untuk menyebarkan penyakit, termasuk faktor fisik. 3

C. Epidemiologi
Leptospirosis tersebar luas di dunia, terutama di negara-negara tropis
seperti Indonesia. Leptospira bisa hidup dalam air dan alam terbuka
selama beberapa waktu. Kondisi lingkungan tropis mendukung
penyebaran bakteri Leptopsira, karena bakteri ini hidup di lingkungan
yang sesuai dengan suhu hangat, pH air dan tanah netral, kelembaban
dan curah hujan tinggi. Selain itu, kondisi lingkungan buruk dapat
mendukung perkembangan dan lama hidup bakteri. Leptospira dapat
bertahan hidup sampai 43 hari di tanah yang sesuai. Di Asia Pasifik,
Leptospirosis dikategorikan sebagai penyakit yang menular melalui
perantara air (water borne disease).3

Leptospirosis terjadi jika terdapat kontak antara hewan dengan


manusia atau lingkungan yang terinfeksi dengan bakteri Leptospira.
Transmisi antar manusia dapat terjadi, namun sangat jarang. Secara
alamiah, leptospirosis terjadi karena interaksi yang sangat kompleks
dan beragam anara agent (pembawa penyakit), host (pejamu), dan
environment (lingkungan).3
Di Indonesia, leptospirosis tersebar di Provinsi Jawa Barat, Jawa
Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Lampung, Sumatera
Utara, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Riau, Bali, Nusa Tenggara
Barat, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Kalimantan Timur, dan
Kalimantan Barat. Jumlah pasien laki-laki dengan leptospirosis lebih
tinggi daripada perempuan. Hal ini mungkin disebabkan oleh paparan
lebih pada laki-laki dalam pekerjaannya.2

Angka kematian akibat Leptospirosis di Indonesia termasuk tinggi,


mencapai 2,5%-16,4% dan hal ini tergantung sistem organ yang
terinfeksi. Di usia lebih dari 50 tahun kematian mencapai 60%. 2

D. Etiologi
Leptospirosis disebabkan oleh organisme patogen dari genus
Leptospira yang termasuk dalam ordo Spirochaeta dalam Famili
Trepanometaceae Bentuk bakteri ini spiral dengan pilinan rapat dan
ujung-ujungnya mirip seperti kait sehingga bakteri sangat aktif
bergerak berputar sepanjang sumbunya, maju-mundur, dan juga
melengkung. Ukuran bakteri ini 0,1 μm x 0,6 μm sampai 0,1 μm x 20
μm.1

Leptospira bisa diwarnai dengan karbofuchsin. Namun, bakteri ini


hanya dapat dilihat melalui mikroskop medan gelap. Sifat bakteri ini
aerob obligat dengan suhu pertumbuhan optimal 28C-30C dan pH 7,2
– 8,0. Bakteri ini dapat tumbuh pada media sederhana yang kaya
vitamin (Vit B2 dan B12), asam lemak rantai panjang dan garam
ammonium. Leptospira sensitif terhadap asam sehingga bila dibiarkan
pada air laut, air selokan, dan air kemih yang tidak diencerkan akan
mati. Sebaliknya, bakteri Leptospira dapat hidup di air tawar selama
sekitar satu bulan.1
Genus Leptospira terdiri dari dua spesies, yaitu L. interrogans yang
bersifat patogen dan L. biflexa yang bersifat saprofit atau non-
patogen. Leptospira patogen hidup pada tubulus ginjal hewan tertentu.
Leptospira saprofit ditemukan di berbagai lingkungan seperti air
permukaan, tanah lembab, air keran, bahkan di air laut pun dapat
hidup seperti Saprophytichalophilic Leptospira (menyukai garam).2

Unit Sistematis dasar dari kedua spesies tersebut adalah serovar, yang
ditentukan berdasarkan persamaan dan perbedaan antigenik.
Berdasarkan komposisi antigennya, spesies L. interrogans dibagi dalam
beberapa serogrup yang terbagi lagi menjadi lebih 250 serovarian
pathogen. Serovarian memiliki kesamaan antigenik yang dibentuk
menjadi serogrup dan semua serovarian telah dibagi mejadi 25
serogrup. Strain yang berbeda dengan perbedaan antigen kecil
terkadang dapat ditemukan dalam serovarian tertentu. 1,2

Berbagai spesies hewan, terutama mamalia, dapat bertindak sebagai


sumber infeksi manusia. Di antaranya adalah: 2
1. Spesies mamalia kecil seperti tikus liar (termasuk mencit), bajing,
landak
2. Hewan domestik (sapi, babi, anjing, kambing, domba, kuda,
kerbau)
3. Hewan penghasil bulu (rubah perak) di penangkaran
4. Reptil dan amfibi mungkin juga membawa leptospira

E. Faktor Risiko
Faktor risiko leptospirosis sangat bervariasi karena bergantung pada
faktor sosial budaya, pekerjaan, perilaku, dan lingkungan. Orang yang
memiliki risiko tinggi ialah orang yang sering menyentuh binatang atau
air, lumpur, tanah, dan tanaman yang telah dicemari air kencing
binatang yang terinfeksi leptospirosis. Beberapa pekerjaan sangat
berisiko untuk terkena leptospirosis, seperti pekerjaan yang lingkupnya
di sekitar pertanian, peternakan, pekerja kebun, pekerja tambang,
industri perikanan, pekerja pejagalan, pemburu, dan tentara. Dokter
hewan dan staf laboratorium yang melakukan kontak dengan kultur
leptospirosis juga berisiko terpapar leptospirosis. Aktivitas-aktivitas
yang berkaitan dengan air atau tanah seperti berkemah dan arung
jeram serta perjalanan menuju wilayah endemis Leptospirosis juga
merupakan faktor risiko kejadian leptospirosis. 2,3

F. Patogenesis dan Patofisiologis


Leptospira dapat masuk melalui luka kulit atau menembus jaringan
mukosa seperti konjungtiva, nasofaring, dan vagina. Kemudian
Leptospira masuk ke dalam darah, berkembang biak, dan menyebar ke
jaringan tubuh. Leptospira juga dapat menembus jaringan seperti
ruang depan mata dan ruang subarakhnoid tanpa menimbulkan reaksi
peradangan yang berarti. Leptospira berkembang biak terutama di
ginjal (tubulus konvoluta), serta dapat bertahan dan dieskresi melalui
urin. Bakteri ini dapat bertahan di urin sekitar 8 hari setelah infeksi
hingga bertahun-tahun.2

Beberapa penemuan menegaskan bahwa leptospira yang lisis dapat


mengeluarkan enzim, toksin, atau metabolit lain yang dapat
menimbulkan gejala-gejala klinis. Hemolisis dapat terjadi karena
hemolisin yang bersirkulasi diserap oleh eritrosit sehingga
mengakibatkan lisisnya eritrosit tersebut, meskipun sudah ada antibodi
dalam darah. Semua organ penting dapat terkena dan antigen dari
Leptospira dapat dideteksi pada jaringan yang terkena. Gejala fase
awal diakibatkan oleh kersakan jaringan karena Leptospira. Gejala fase
kedua terjadi karena respons dari imun pejamu. Bila Leptospira masuk
ke dalam cairan serebrospinal (CSS) kemudian ke selaput otak, dapat
menyebabkan meningitis yang merupakan komplikasi neurologic paling
sering dari leptospirosis.2

Leptospira termasuk kuman nefrofilik yang dapat menyerang semua


bagian ginjal secara invasi langsung. Dalam kasus ginjal, dapat
berujung pada acute kidney injury (AKI) yang juga disebut sindrom
pseudohepatorenal. Leptospira juga ditemukan di antara sel-sel
parenkim hati. Leptospirosis dapat menyebabkan gejala ikterus melalui
infiltrasi sel limfosit dan priliferasi sel Kupffer disertai kolestasis.
Terjadinya ikterus disebabkan oleh beberapa hal, yaitu kerusakan sel
hati, gangguan fungsi ginjal sehingga meningkatkan kadar bilirubin
karena penurunan ekskresinya, perdarahan di jaringan dan hemolisis
intravaskuler yang meningkatkan kadar bilirubin, serta proliferasi sel
Kupffer sehingga terjadi kolestatik intra-hepatik. 2

Gejala paru bervariasi, dimulai dari batuk, dispneu, dan hemoptisis


hingga acute respiratory distress syndrome (ARDS) dan severe
pulmonary haemorrhage syndrome (SPHS). Kelainannya berupa
kongesti septum paru-paru, perdarahan multifocal, dan infiltrasi sel
mononuclear. Perdarahan dapat terjadi pada pleura, alveoli, dan
trakeobronkial. Pada otot rangka bisa terjadi nekrosis local dan
vakuolisasi. Leptospira juga dapat masuk ke dalam ruang anterior
mata dan menyebabkan uveitis.2

G. Gejala
Leptospirosis pada manusia memiliki gejala yang bervariasi.
Berdasarakan jenis serovarnya, Leptospirosis dapat menunjukkan
mulai dari gejalan ringan sampai dengan berat. Contoh-contoh gejala
klinis setelah masa inkubasi seperti demam, menggigil, sakit kepla,
nyeri otot, batuk, rasa tidak nyaman di badan, muntah, nyeri pada
perut, diare, sufusi konjungtiva, jaundice, urin berwarna seperti teh,
oliguria, anuria, batuk berdarah, pendarahan pada kulit, pusing dan
lesu. Selain itu, Leptospirosis dapat mengakibatkan kerusakan pada
beberapa organ seperti kegagalan hati akut, kegagalan ginjal akut,
perdarahan pada paru-paru, miokarditis dan meningoencephalitis yang
berujung pada kematian.3

Meskipun demikian, Leptospirosis kurang diketahui dan biasanya


diabaikan karena dianggap sebagai demam biasa. Tenaga medis pun
terkadang kurang tepat dalam melakukan diagnosis karena gejala
penyakit yang bervariasi dan tidak spesifik. Gejala leptospirosis sangat
mirip dengan demam dengue, malaria, dan scrub thypus. Untuk
mengkonfirmasi Leptospirosis dibutuhkan tes laboratorium atau Rapid
Diagnostic Test (RDT). Namun, tidak semua daerah memiliki
laboratorium yang mendukung RDT Leptospirosis.3

H. Manifestasi Klinis
Karakteristik dari leptospirosis adalah siklus bifasik. Masa inkubasi
leptospirosis berlangsung dari 2 hingga 26 hari, dengan rata-rata 10
hari. Leptospirosis memiliki dua fase penyakit yang khas, yaitu: 2
1. Fase leptospiremia
Leptospira dapat ditemukan dalam darah. Gejalanya berupa nyeri
pada kepala daerah frontal, otot betis, paha, dan pinggang. Gejala
tersebut diikuti dengan hiperestesi kulit, demam tinggi, menggigil,
mual, diare, sampai penurunan kesadaran. Pada sakit berat dapat
ditemui bradikardia dan ikterus (50%). Di sebagian penderita bisa
ditemukan fotofobia, rash, urtikaria kulit, splenomegali, dan
limfadenopati. Gejala tersebut terjadi di hari ke 4-7. Jika
penanganan pasien baik, suhu tubuh akan kembali normal dan
semua organ terlibat akan membaik. Manifestasi klinis akan
berkurang seiring berhentinya proliferasi organisme di dalam darah.
Pada minggu ke 3-6, fungsi organ akan pulih setelah perawatan.
Pada sakit yang lebih berat, demam akan turun setelah hari ke-7,
diikuti dengan fase bebas demam selama 1-3 hari, kemudian
demam kembali. Keadaan inilah yang disebut sebaga fase kedua
atau fase imun.2

2. Fase imun
Berlangsung selama 4-30 hari, dicirikan dengan peningkatan titer
antibodi, demam mencapai 40C dengan rasa menggigil dan
kelemahan umum. Ditemukan juga rasa nyeri pada leher, perut,
dan otot kaki. Perdarahan terlihat saat fase ikterik di mana
ditemukan purpura, petekie, epistaksis, dan perdarahan gusi.
Puncak fase ditandai dengan meningitis, ganggaun hati dan ginjal.
Selain itu, fase leptospiuria dapat terjadi dan berlangsung selama 1
minggu hingga 1 bulan.2

I. Diagnosis
Diagnosis leptospirosis dapat dilakukan pada hewan dan manusia.
Diagnosis pada hewan dilakukan pada ginjal dan limpa, sedangkan
pada manusia dilakukan pada serum, plasma darah, urin, dan cairan
serebrospinal. Diagnosis laboratorium leptospirosis menggunakan dua
kelompok pengujian. Kelompok pertama didesain untuk mendeteksi
anti-leptospira, sedangkan kelompok kedua untuk mendeteksi
Leptospira, antigen Leptospira atau asam nukleat Leptospira pada
cairan tubuh maupun jaringan.3

Diagnosis kasus leptospirosis pada manusia dapat dilakukan pada


masa akut, transisi dari masa akut ke masa imun dan fase imun. Pada
masa akut, diagnosis dilakukan dengan mengkultur bakteri Leptospira
dari darah, urin, dan cairan serebrospinal. Selain itu, diagnosis juga
dilakukan melalui Polymerase Chain Reaction (PCR).
J. Prognosis
Prognosis biasanya baik dan pasien dapat sembuh total dari
leptospirosis. Beberapa pasien akan memulih selama berbulan-bulan,
bahkan bertahun-tahun. Angka kematian pada dewasa lebih tinggi
dibandingkan anak. Gejala sisa mungkin terjadi seperti sakit kepala,
paresis, kelumpuhan,perubahan suasana hati, dan depresi. 2

Sekitar sepertiga dari kasus yang menderita meningitis aseptik dpat


mengalami nyeri kepala periodik. Beberapa pasien yang memiliki
Riwayat uveitis leptospirosis mengalami pengurangan ketajaman
penglihatan dan pandangan kabur. Selama kehamilan, leptospirosis
dapat mengakibatkan kematian janin, aborsi, atau lahir mati. 2

Dari laporan berbagai belahan dunia, tingkat fatalitas kasus mencapai


30%. Namun angka tersebut tidak terlalu dapat dipercaya karena
kurang dokuentasi terhadap penyakit ini. Selain itu, kasus ringan
mungkin tidak terdeteksi sebagai leptospirosis. Penyebab penting
kematian termasuk gagal ginjal, gagal jantung-paru, dan perdarahan
luas. Meskipun timbul ikterik, gagal hati jarang menjadi penyebab
leptospirosis.

K. Tatalaksana
Untuk Leptospirosis ringan dapat diberikan resep terapi berupa:
a. Pilihan: Doksisiklin 2X100 mg selama 7 (tujuh) hari kecuali pada
anak, ibu hamil, atau bila ada kontraindikasi Doksisiklin.
b. Alternatif (Bila tidak dapat diberikan doksisiklin)
1. Amoksisilin 3X500mg/hari pada orang dewasa;
2. 10-20mg/kgBB per8 jam pada anak selama 7 hari;
3. Bila alergi Amoksisilin dapat diberikan Makrolid.
Kemudian, leptospirosis berat dapat diberikan terapi berupa:
1. Ceftriaxon 1-2 gram iv selama 7 (tujuh) hari;
2. Prokalin 1.5 juta unit im per 6 jam selama 7 (tujuh) hari;
3. Ampisilin 4 X 1 gram iv per hari selama 7 (tujuh) hari;
4. Terapi suportif dibutuhkan bila ada komplikasi seperti gagal
ginjal, pendarahan organ (paru, saluran cerna, saluran kemih,
serebral) syok dan gangguan neorologi.

L. Kesimpulan
Leptospirosis adalah penyakit yang ditularkan oleh bakteri Leptospira.
Penyakit ini dapat ditularkan baik kepada manusia maupun hewan.
Leptospirosis terjadi karena interaksi kompleks antara pembawa
penyakit, tuan rumah, dan lingkungan. Umumnya ditularkan melalui
kencing tikus saat banjir. Manusia dapat terkena leptospirosis jika ada
bakteri Leptospira yang masuk ke dalam tubuh melalui luka di kulit
maupun mukosa pada tubuh. Lingkungan yang buruk dapat
mendukung penularan leptospirosis.

Manifestasi leptospirosis dimulai dari gejala ringan sampai berat,


bahkan dapat mencapai kematian bila terlambat mendapatkan
pengobatan. Dengan diagnosis dini dan pentalaksanaan yang cepat,
dapat dicegah penyakit yang berat. Menjaga sanitasi lingkungan dan
berperilaku hidup sehat dapat meminimalisir kemungkinan masuknya
bakteri Leptospira ke dalam tubuh. Dengan prognosis dapat dicapai
hasil yang baik meskipun terkadang terjadi gejala sisa. Melalui
pencegahan dini terhadap yang memiliki faktor risiko terinfeksi,
diharapkan dapat melindungi dari leptospirosis

M. Referensi
1. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Petunjuk teknis
pengendalian leptospirosis. Jakarta: Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia; 2014. 1-54 p.
2. Rampengan N H. Leptospirosis. JBM [Internet]. 2016 Nov 18 [cited
14 Aug 2022];8(3):143-50. Available from:
https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/biomedik/article/view/
14148/13722
3. Widjajanti W. Epidemiologi, diagnosis, dan pencegahan
Leptospirosis. JHECDs [Internet]. 2020 Feb 7 [cited 14 Aug
2022];5(2):62-8. Available from:
https://ejournal2.litbang.kemkes.go.id/index.php/jhecds/article/
view/174

Anda mungkin juga menyukai