Anda di halaman 1dari 24

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Etiologi

Penyakit ini disebabkan oleh virus hepatitis B (HBV) yang berukuran sekitar 42 nm.

Virus ini mempunyai lapisan luar (selaput) yang berfungsi sebagai antigen HBsAg.

Virus mempunyai bagian inti dengan partikel inti HBcAg dan HBeAg. Masa inkubasi

berkisar antara 15-180 hari dengan rata-rata 60-90 hari. Perubahan dalam tubuh

penderita akibaat infeksi virus Hepatitis B terus berkembang. Dari infeksi akut

berubah menjadi kronis, sesuai dengan umur penderita. Makin tua umur, makin besar

kemungkinan menjadi kronis kemudian berlanjut menjadi pengkerutan jaringan hati

yang disebut dengan sirosis. Bila umur masih berlanjut keadaan itu akan berubah

menjadi karsinoma hepatoseluler.

2.2 Epidemiologi

Umumnya kasus Leptospirosis pada manusia dilaporkan dari India, Indonesia,

Thailand dan Sri Lanka selama musim hujan. Wabah besar Leptospirosis di

wilayah Asia Tenggara telah di laporkan terjadi di Jakarta (2003), Mumbai

(2005) dan Sri Lanka (2008). Wabah musiman di laporkan terjadi di wilayah

Thailand bagian Utara dan Gujarat (India) setelah hujan deras dan banjir.3

Berdasarkan laporan beberapa tahun terakhir, insiden kasus Leptospirosis secara


global di perkirakan dari 0,1-1 per 100.000 per tahun di daerah beriklim sedang

dan 10-100 per 100.000 pertahun di daerah tropik lembab. Insiden penyakit ini

dapat mencapai lebih dari 100 per 100.000 per tahun pada keadaan wabah dan

paparan tinggi pada kelompok risiko.6,9

Pada tahun 2007 terjadi peningkatan kasus Leptospirosis pada manusia, di

laporkan sebanyak 667 kasus dan 93% hasil laboratorium konfirmasi

dengan angka kematian 8%. Pada tahun 2010 kasus Leptospirosis di

Indonesia di laporkan sebanyak 410 kasus dengan 46 kasus kematian (CFR

11, 2%). Kasus tersebut ditemukan di delapan (8) provinsi : DKI Jakarta,

Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, Bengkulu, Kepulauan

Riau, dan Sulawesi Selatan.1

Gambar 1. Distribusi Leptospirosis di Indonesia

Pada periode tahun 2009 sd 2011 kasus Leptospirosis di Indonesia semakin

meningkat. Tahun 2011 merupakan kasus paling banyak dengan 857 kasus

dengan 82 kasus kematian (CFR 9, 56%) hal tersebut di karenakan terjadinya

KLB di provinsi Di Yogyakarta. Tahun 2012 kasus mengalami penurunan yaitu

222 kasus dan 28 kematian akan tetapi angka kematian meningkat CFR 12, 6%
di karenakan meningkatnya kasus kematian di kota Semarang. Tahun 2013 di

laporkan terjadi sebanyak 640 kasus dengan kematian 60 kasus (CFR 9,37%)

meningkatnya jumlah kasus karena terjadi KLB di Kabupaten Sampang

Madura. Sedangkan tahun 2014 hingga bulan Oktober dilaporkan sebanyak 411

kasus dengan kematian sebanyak 56 kasus (CFR 13,63%). Terjadi peningkatan

angka kematian karena terjadi KLB di Provinsi DKI Jakarta dan Jawa

Tengah karena intensitas hujan yang tinggi berakibat tejadinya banjir.5

2.3 Etiologi dan Penularan

 Etiologi

Leptospirosis disebabkan oleh organisme pathogen dari genus Leptospira

yang termasuk dalam ordo Spirochaeta dalam Famili Trepanometaceae.

Bakteri ini berbentuk spiral dengan pilinan yang rapat dan ujung-ujungnya

berbentuk seperti kait sehingga bakteri sangat aktif baik gerakan berputar

sepanjang sumbunya, maju-mundur, maupun melengkung, Ukuran bakteri ini

0,1 m x 0,6 m sampai 0,1 m x 20 m.2,3

Leptospira dapat di warnai dengan pewarnaan karbolfuchsin. Namun bakteri

ini hanya dapat dilihat dengan mikroskop medan gelap. Bakteri ini bersifat

aerob obligat dengan pertumbuhan optimal pada suhu 280C-300C dan pH 7,2

– 8,0. Dapat tumbuh pada media yang sederhana yang kaya vitamin (Vit B2

dan B12), asam lemak rantai panjang dan garam ammonium. Asam lemak

rantai panjang akan di gunakan sebagai sumber karbon tunggal dan di

metabolisme oleh alfa-oksidase. Leptospira peka terhadap asam dan dapat

hidup di air tawar selama kurang lebih satu bulan tetapi di air laut, air selokan
dan air kemih yang tidak dilencerkan akan cepat mati.

Genus Leptospira terbagi dalam dua serovarian yaitu L. interrogate yang

bersifat pathogen (yaitu memiliki potensi untuk menyebabkan penyakit pada

hewan dan manusia) dan serovarian L. Biflexa yang bersifat non pathogen/

saprophytic (yaitu hidup bebas dan umumnya dianggap tidak menyebabkan

penyakit). Leptospira pathogen dipelihara di alam di tubulus ginjal dan

saluran kelamin hewan tertentu. Saprophytic Leptospira ditemukan di

berbagai jenis lingkungan basah atau lembab mulai dari permukaan air dan

tanah lembab. Bahkan untuk Saprophytichalophilic (menyukai garam)

Leptospira dapat ditemukan dalam air laut.

Unit Sistematis dasar dari kedua species tersebut adalah serovar, yang

ditentukan berdasarkan kesamaan dan perbedaan antigenik. Masing- masing

serovar memiliki susunan karakteristik antigenik. Sebelum analisis DNA

berkembang, klasifikasi serovar di lakukan dengan pengujian- serologis

reaksi silang aglutinasi absorpsi (menggunakan antibody serum untuk

mengindetifikasi jenis yang sama atau berbeda dari bakteri). Saat ini

lipopolisakarida (LPS) adalah antigen utama yang terlibat dalam klarifikasi

serologi. Heterogenitas struktur dalam komponen karbohidrat dari gugus LPS

berasal dari perbedaan gen yang terlibat dalam biosintesis LPS tampaknya
menjadi dasar untuk menetukan variasi antigenik diamati antara serovarian.

Sejauh ini, ada lebih 250 serovarian pathogen. Serovarian memiliki kesamaan

antigenik yang dibentuk menjadi serogrup, dan semua serovarian telah dibagi

menjadi 25 serogrup. Strain yang berbeda dengan perbedaan antigen kecil

kadang-kadang dapat ditemukan dalam serovarian tertentu.5

Gambar 2. Leptospira interorgan

 Penularan

Risiko manusia terinfeksi tergantung pada paparan terhadap faktor risiko.

Beberapa manusia memiliki risiko tinggi terpapar Leptospirosis karena

pekerjaannya, lingkungan dimana mereka tinggal atau gaya hidup. Kelompok

pekerjaan utama yang berisiko yaitu petani atau pekerja perkebunan, petugas

pet shop, peternak, petugas pembersih, saluran air, pekerja pemotongan

hewan, pengolah daging, dan militer. Kelompok lain yang memiliki risiko

tinggi terinfeksi Leptospirosis yaitu bencana alam seperti banjir dan

peningkatan jumlah manusia yang melakukan olahraga rekreasi air. Manusia

dapat terinfeksi Leptospirosis karena kontak secara lansung atau tidak

langsung dengan urin hewan yang terinfeksi Leptospira.8

1. Penularan Langsung :

a. Melalui darah, Urin atau cairan tubuh lain yang mengandung kuman

Leptospira masuk kedalam tubuh pejamu

b. Dari hewan ke manusia merupakan penyakit akibat pekerjaan, terjadi

pada orang yang merawat hewan atau menangani organ tubuh hewan

misalnya pekerja potong hewan, atau seseorang yang tertular dari hewan

peliharaanya

c. Dari manusia ke manusia meskipun jarang dapat terjadi melalui


hubungan seksual pada masa konvalesen atau dari ibu penderita

Leptospirosis ke janin melalui sawar plasenta dan air susu ibu

2. Penularan tidak lansung

Terjadi melalui genangan air, sungai, danau, selokan saluran air dan

lumpur yang tercemar urin hewan.

Gambar 3. Siklus Penularan Leptospirosis

2.4 Patogenesis

Transmisi infeksi leptospira ke manusia dapat melalui berbagai cara, yang

tersering adalah melalui kontak dengan air atau tanah yang tercemar bakteri

leptospira. Bakteri masuk ke tubuh manusia melalui kulit yang lecet atau luka

dan mukosa, bahkan dalam literatur disebutkan bahwa penularan penyakit ini

dapat melalui kontak dengan kulit sehat (intak) terutama bila kontak lama dengan

air.6 Selain melalui kulit atau mukosa, infeksi leptospira bisa juga masuk melalui

konjungtiva.17 Bakteri leptospira yang berhasil masuk ke dalam tubuh tidak

menimbulkan lesi pada tempat masuk bakteri. Hialuronidase dan atau gerak yang
menggangsir (burrowing motility) telah diajukan sebagai mekanisme masuknya

leptospira ke dalam tubuh.6

Selanjutnya bakteri leptospira virulen akan mengalami multiplikasi di darah dan

jaringan. Sementara leptospira yang tidak virulen gagal bermultiplikasi dan

dimusnahkan oleh sistem kekebalan tubuh setelah 1 atau 2 hari infeksi.

Leptospira virulen mempunyai kemampuan motilitas yang tinggi, lesi primer

adalah kerusakan dinding endotel pembuluh darah dan menimbulkan vaskulitis

serta merusak organ. Vaskulitis yang timbul dapat disertai dengan kebocoran dan

ekstravasasi sel.10

Patogenitas leptospira yang penting adalah perlekatannya pada permukaan sel

dan toksisitas selular. Lipopolysaccharide (LPS) pada bakteri leptospira

mempunyai aktivitas endotoksin yang berbeda dengan endotoksin bakteri gram

negatif, dan aktivitas lainnya yaitu stimulasi perlekatan netrofil pada sel endotel

dan trombosit, sehingga terjadi agregasi trombosit disertai trombositopenia.

Bakteri leptospira mempunyai fosfolipase yaitu suatu hemolisis yang

mengakibatkan lisisnya eritrosit dan membran sel lain yang mengandung

fosfolipid.8

Organ utama yang terinfeksi kuman leptospira adalah ginjal dan hati. Di dalam

ginjal bakteri leptospira bermigrasi ke interstisium tubulus ginjal dan lumen

tubulus. Pada leptospirosis berat, vaskulitis akan menghambat sirkulasi mikro

dan meningkatkan permeabilitas kapiler, sehingga menyebabkan kebocoran

cairan dan hipovolemia. Hipovolemia akibat dehidrasi dan perubahan


permeabilitas kapiler salah satu penyebab gagal ginjal. Pada gagal ginjal tampak

pembesaran ginjal disertai edema dan perdarahan subkapsular, serta nekrosis

tubulus renal. Sementara perubahan yang terjadi pada hati bisa tidak tampak

secara nyata. Secara mikroskopik tampak perubahan patologi berupa nekrosis

sentrolobuler disertai hipertrofi dan hiperplasia sel Kupffer.10

Gambar 4. Patogenesis Leptospirosis

2.5 Manifestasi Klinis

Gambaran klinik pada leptospirosis berkaitan dengan penyakit febril umum dan

tidak cukup khas untuk menegakkan diagnosis.9 Secara khas penyakit ini bersifat

bifasik, yaitu fase leptospiremi/ septikemia dan fase imun. 7

1. Fase leptospiremi atau septikemia

Masa inkubasi dari leptospira virulen adalah 7-12 hari, rata-rata 10 hari.

Untuk beberapa kasus, dapat menjadi lebih singkat yaitu 2 hari atau bahkan

bisa memanjang sampai 30 hari.10 Fase ini ditandai adanya demam yang

timbul dengan onset tiba-tiba, menggigil, sakit kepala, mialgia, ruam kulit,

mual, muntah, conjunctival suffusion, dan tampak lemah.


Demam tinggi dan bersifat remiten bisa mencapai 40ºC sebelum mengalami

penurunan suhu tubuh. Conjunctival suffusion merupakan tanda khas yang

biasanya timbul pada hari ke-3 atau ke-4 sakit.20 Selama fase ini, leptospira

dapat dikultur dari darah atau cairan serebrospinal penderita. Tes serologi

menunjukkan hasil yang negatif sampai setidaknya 5 hari setelah onset

gejala. Pada fase ini mungkin dijumpai adanya hepatomegali, akan tetapi

splenomegali kurang umum dijumpai. Pada hitung jumlah platelet, ditemukan

adanya penurunan jumlah platelet dan trombositopeni purpura. Pada urinalisis

ditemukan adanya proteinuri, tetapi kliren kreatinin biasanya masih dalam

batas normal sampai terjadi nekrosis tubular atau glomerulonefritis.10

2. Fase imun

Fase kedua ini ditandai dengan leptospiuria dan berhubungan dengan

timbulnya antibodi IgM dalam serum penderita.20 Pada kasus yang ringan

(mild case) fase kedua ini berhubungan dengan tanda dan gejala yang

minimal, sementara pada kasus yang berat (severe case) ditemukan

manifestasi terhadap gangguan meningeal dan hepatorenal yang dominan.11

Pada manifestasi meningeal akan timbul gejala meningitis yang ditandai

dengan sakit kepala, fotofobia, dan kaku kuduk. Keterlibatan sistem saraf

pusat pada leptospirosis sebagian besar timbul sebagai meningitis aseptik.

Pada fase ini dapat terjadi berbagai komplikasi, antara lain neuritis optikus,

uveitis, iridosiklitis, dan neuropati perifer.13

Pada kasus yang berat, perubahan fase pertama ke fase kedua mungkin tidak

terlihat, akan tetapi timbul demam tinggi segera disertai jaundice dan
perdarahan pada kulit, membrana mukosa, bahkan paru. Selain itu ini sering

juga dijumpai adanya hepatomegali, purpura, dan ekimosis. Gagal ginjal,

oliguria, syok, dan miokarditis juga bisa terjadi dan berhubungan dengan

mortalitas penderita.10

Gambar 5.Perjalanan klinis leptospirosis

Menurut berat ringannya, leptospirosis dibagi menjadi ringan (non- ikterik)

dan berat (ikterik). Ikterik merupakan indikator utama dari leptospirosis

berat.

1. Leptospirosis ringan (non-ikterik)

Sebagian besar manifestasi klinik leptospirosis adalah anikterik, dan ini

diperkirakan mencapai 90% dari seluruh kasus leptospirosis di

masyarakat. Gejala leptospirosis timbul mendadak ditandai dengan

viral- like illness, yaitu demam, nyeri kepala, dan mialgia. Nyeri kepala

bisa berat, mirip yang terjadi pada infeksi dengue, disertai nyeri retro

orbital dan fotofobia. Nyeri otot diduga terjadi karena adanya kerusakan

otot sehingga kreatinin fosfokinase (CPK) pada sebagian besar kasus


meningkat, dan pemeriksaan CPK ini dapat membantu penegakan

diagnosis klinik leptospirosis.1

Dapat juga ditemukan nyeri perut, diare, anoreksia, limfadenopati,

splenomegali, rash makulopapular, kelainan mata (uveitis, iridosiklitis),

meningitis aseptik dan conjunctival suffusion.7

Pemeriksaan fisik yang khas adalah conjunctival suffusion dan nyeri

tekan di daerah betis. Gambaran klinik terpenting leptospirosis non-

nikterik adalah meningitis aseptik yang tidak spesifik sehingga sering

terlewatkan diagnosisnya.17 Sebanyak 80-90% penderita leptospirosis

anikterik akan mengalami pleositosis pada cairan serebrospinal selama

minggu ke-2 penyakit dan 50% diantaranya akan menunjukkan tanda

klinis meningitis. Karena penderita memperlihatkan penyakit yang

bersifat bifasik atau memberikan riwayat paparan dengan hewan,

meningitis tersebut kadang salah didiagnosis sebagai kelainan akibat

virus.9

Pasien dengan leptospirosis non-ikterik pada umumnya tidak berobat

karena keluhan bisa sangat ringan.21 Pada sebagian pasien, penyakit ini

bisa sembuh sendiri (self-limited) dan biasanya gejala kliniknya

menghilang dalam waktu 2 sampai 3 minggu. Karena gambaran

kliniknya mirip dengan penyakit demam akut yang lain, maka pada
setiap kasus dengan keluhan demam akut, leptospirosis anikterik harus

dipikirkan sebagai salah satu diagnosis banding, terutama di daerah

endemik leptospirosis seperti Indonesia.7

2. Leptospirosis berat (ikterik)

Bentuk leptospirosis yang berat ini pada mulanya dikatakan sebagai

Leptospira ichterohaemorrhagiae, tetapi ternyata dapat terlihat pada setiap

serotipe leptospira yang lain.9 Manifestasi leptospirosis yang berat

memiliki angka mortalitas sebesar 5-15%.2

Leptospirosis ikterik disebut juga dengan nama Sindrom Weil. Tanda khas

dari sindrom Weil yaitu jaundice atau ikterik, azotemia, gagal ginjal, serta

perdarahan yang timbul dalam waktu 4-6 hari setelah onset gejala dan dapat

mengalami perburukan dalam minggu ke-2. Ikterus umumnya dianggap

sebagai indikator utama leptospirosis berat.1 Pada leptospirosis ikterik,

demam dapat persisten sehingga fase imun menjadi tidak jelas atau nampak

overlapping dengan fase leptospiremia.7

Sindroma, Fase Gambaran Klinik Spesimen


Laboratorium
Leptospirosis anikterik*

Fase leptospiremia Demam tinggi, nyeri

kepala, mialgia, nyeri Darah, LCS

perut, mual, muntah,

Fase imun conjunctival suffusion

Demam ringan, nyeri Urin

kepala, muntah, meningitis

aseptik
Leptospirosis ikterik

Fase leptospiremia dan Demam, nyeri kepala, Darah, LCS

fase imun (sering mialgia, ikterik, gagal (minggu 1)

overlapping) ginjal, hipotensi, Urin (minggu

manifestasi perdarahan, ke 2)

pneumonitis hemorrargik,

leukositosis

*antara fase leptospiremia dengan fase imun terdapat periode

asimtomatik (± 1-3 hari)

Tabel 1. Perbedaan gambaran klinik leptospirosis anikterik dan ikterik

Beratnya berbagai komponen sindrom Weil kemungkinan mencerminkan

beratnya vaskulitis yang mendasarinya. Ikterus biasanya tidak terkait dengan

nekrosis hepatoselular, dan setelah sembuh tidak terdapat gangguan fungsi

hati yang tersisa. Kematian pada sindrom Weil jarang disebabkan oleh gagal

hati.9

2.6 Penegakan Diagnosis

Diagnosis leptospirosis ditegakkan berdasarkan anamnesis termasuk di dalamnya

pekerjaan apakah termasuk dalam kelompok risiko tinggi, gambaran klinis dan

laboratorium. Pada pemeriksaan fisik didapatkan demam, bradikardi, nyeri tekan

otot, ikterik, injeksi silier, hepatomegali, dan limfadenopati. PenelitianPohan di

Jakarta(2010) menyatakan bahwa 5 gejala tersering leptospirosis berturut-turut

adalah demam (100%), mual dengan atau tanpa muntah (95,6%), nyeri otot

(86,8%), injeksi silier (85,3%), dan ikterik (69,1%).7


Pada pemeriksaan laboratorium dapat ditemukan leukopenia atau leukositosis,

trombositopeni dan peningkatan LED. Peningkatan SGOT SGPT, serum amilase

lipase dapat pula ditemukan. Pada urinalisis dapat ditemukan proteinuria,

hematuria, leukosituria, dan sediment granular atau hialin. Gangguan fungís ginjal

yang berat berupa uremia, oliguria, atau anuria dapat terjadi. Pada pemeriksaan

cairan serebrospinal dapat ditemukan predominan polimorfisme atau sel limfosit.

Protein cairan serebrospinal dapat normal atau meningkat, sedangkan kadar

glukosa umumnya normal.2,4 Pemeriksaan penunjang lain seperti pencitraan dada

menunjukkan infiltrat difus bilateral.13 Diagnosis pasti leptospirosis adalah

ditemukannya leptospira pada darah, urin atau cairan serebrospinal baik melalui

pemeriksaan langsung dengan mikroskop lapangan gelap atau dengan kultur,

pemeriksaan serologi atau peningkatan antibodi aglutinin 4 kali atau lebih.

Pemeriksaan serologi yang 10 sering dilakukan adalah microscopic agglutination

test (MAT) dan enzyme linked immunosorbent assay (ELISA). Standar titer yang

dipakai Balitvet untuk menentukan suatu serum positif leptospira adalah 100,

mengikuti standar internasional. Pemeriksaan lain untuk mendeteksi leptospira

dengan cepat adalah dengan pemeriksaan Polymerase Chain Reaction (PCR).9


Tabel 2. Diagnosis Leptospirosis

Bedasarkan kriteria diatas, leptospirosis dapat ditegakkan jika

 Probable leptospirosis bila A atau A+B >26 atau A+B+C>25

 Suspek leptospirosis bila A+B antara 20-25

2.7 Tatalaksana

Terapi suportif dengan observasi ketat untuk mendeteksi dan mengatasi keadaan

dehidrasi, hipotensi, perdarahan dan gagal ginjal sangat penting pada leptospirosis.

Keseimbangan cairan akibat diare dan muntah-muntah memerlukan infus, anemia

berat diperbaiki dengan transfusi darah. Gangguan fungsi ginjal umumnya dengan

spontan akan membaik dengan membaiknya kondisi pasien. Namun pada beberapa

pasien membutuhkan tindakan hemodialisa temporer. Selama perlu dilakukan

pemantauan tekanan darah, suhu, denyut nadi, dan respirasi secara berkala tiap jam

atau 4 jam serta pemantauan jumlah urin. Pemberian antibiotik harus dimulai

secepat mungkin, biasanya pemberian dalam 4 hari setelah onset cukup efektif.

Berbagai jenis antibiotik pilihan dapat dilihat pada tabel sebagai berikut.1

Tabel 3. Pengobatan dan kemoprofilaksis Leptospirosis


Untuk kasus leptospirosis berat, pemberian intravena penicillin G, amoxicillin,

ampicillin atau eritromisin dapat diberikan. Sedangkan untuk kasus- kasus ringan

dapat diberikan antibiotika oral tetrasiklin, doksisiklin, ampisilin atau

amoksisilin maupun sefalosporin. Sampai saat ini penisilin masih merupakan

antibiotik pilihan utama, namun diingat bahwa antibiotika bermanfaat apabila

leptosipra masih terdapat dalam darah (fase leptospiremia). Sebagai terapi alternatif

dapat digunakan sefalosporin generasi ketiga dan fluorokuinolon (ciprofloxacin) 2 x

200-400mg dimana penetrasi ke jaringan baik. Penelitian di thailand tentang

pemberian ceftriaxon dibandingkan peniccilin G pada leptospirosis berat

menunjukkan tidak adanya perbedaan

Tindakan suportif diberikan sesuai dengan keparahan penyakit dan komplikasi yang

timbul. Keseimbangan cairan, elektrolit dan asam basa diatur sebagaimana pada

penanggulangan gagal ginjal secara umum. Bila terjadi uremia berat sebaiknya

dilakukan dialisis.4 Penanganan pada kondisi khusus seperti hiperkalemia, asidosis

metabolik, hipertensi, gagal jantung, kejang dan perdarahan. Hiperkalemia dapat

menyebabkan cardiac arrest, dapat diberikan kalsium glukonas 1 gram atau

glukosa-insulin (10-20 unit regular insulin dalam dektrosa 40 %). Asidosis

metabolik diatasi dengan pemberian natrium bikarbonat. Pada hipertensi dapat

diberikan obat hipertensi. Kejang dapat timbul karena hiponatremia, hipokalsemia

atau hipertensi ensefalopati dan karena uremia, hal terpenting adalah mengatasi

penyebab dasar serta diberikan obat anti konvulsi. Perdarahan dapat timbul karena

trombopati.3
2.8 Komplikasi

Terdapat beberapa komplikasi dari leptospirosis, diantaranya adalah gagal ginjal

akut (95% dari kasus), gagal hepar akut (72% dari kasus), gangguan respirasi akut

(38% dari kasus), gangguan kardiovaskuler akut (33% dari kasus), dan

pankreatitis akut (25% dari kasus).2

Komplikasi yang sering terjadi pada penderita leptospirosis adalah:

1. Gagal ginjal akut

Gagal ginjal akut yang ditandai dengan oliguria atau poliuria dapat timbul 4-

10 hari setelah gejala leptospirosis terlihat.2 Terjadinya gagal ginjal akut pada

penderita leptospirosis melalui 3 mekanisme:10

a.Invasi/ nefrotoksik langsung dari leptospira

Invasi leptospira menyebabkan kerusakan tubulus dan glomerulus

sebagai efek langsung dari migrasi leptospira yang menyebar hematogen

menuju kapiler peritubuler kemudian menuju jaringan interstitium,

tubulus, dan lumen tubulus. Kerusakan jaringan tidak jelas apakah hanya

efek migrasi atau efek endotoksin leptospira.

b. Reaksi imunologi

Reaksi imunologi berlangsung cepat, adanya kompleks imun dalam

sirkulasi dan endapan komplemen dan adanya electron dence bodies

dalam glomerulus, membuktikan adanya proses immune-complex

glomerulonephritis dan terjadi tubulo interstitial nefritis.

2. Gagal hepar akut

Di hepar terjadi nekrosis sentrilobuler fokal dengan proliferasi sel Kupfer

disertai kolestasis. Terjadinya ikterik pada leptospirosis disebabkan oleh

beberapa hal, antara lain karena kerusakan sel hati, gangguan fungsi ginjal
yang akan menurunkan ekskresi bilirubin sehingga meningkatkan kadar

bilirubin darah, terjadinya perdarahan pada jaringan dan hemolisis

intravaskuler akan meningkatkan kadar bilirubin, proliferasi sel Kupfer

sehingga terjadi kolestatik intra hepatik.5

3. Gangguan respirasi dan perdarahan paru


Adanya keterlibatan paru biasanya ditandai dengan gejala yang bervariasi,

diantaranya: batuk, dispnea, dan hemoptisis sampai dengan Adult Respiratory

Distress Syndrome ( ARDS ) dan Severe Pulmonary Haemorrhage Syndrome

( SPHS ). Paru dapat mengalami perdarahan dimana patogenesisnya belum

diketahui secara pasti. Perdarahan paru terjadi diduga karena masuknya

endotoksin secara langsung sehingga menyebabkan kerusakan kapiler dan

terjadi perdarahan. Perdarahan terjadi pada pleura, alveoli, trakeobronkial,

kelainan berupa kongesti septum paru, perdarahn alveoli multifokal, dan

infiltrasi sel mononuklear.5 Pada pemeriksaan histologi ditemukan adanya

kongesti pada septum paru, oedem dan perdarahan alveoli multifokal, esudat

fibrin.6 Perdarahan paru dapat menimbulkan kematian pada penderita

leptospirosis.2

4. Gangguan kardiovaskuler

Komplikasi kardiovaskuler pada leptospirosis dapat berupa gangguan sistem

konduksi, miokarditis, perikarditis, endokarditis, dan arteritis koroner.

Manifestasi dari gangguan kardiovaskuler ini sangat bervariasi dari tanpa

keluhan sampai bentuk yang berat berupa gagal jantung kongestif yang fatal.

Selama fase septikemia, terjadi migrasi bakteri, endotoksin, produk enzim

atau antigen karena lisisnya bakteri, akan meningkatkan permeabilitas endotel

dan memberikan manifestasi awal penyakit vaskuler.7


5. Pankreatitis akut

Sebenarnya pankreatitis akut adalah komplikasi yang jarang ditemui pada

pasien leptospirosis berat. Pankreatitis terjadi karena adanya nekrosis dari sel-

sel pankreas akibat infeksi bakteri leptospira (acute necrotizing pancreatitis).

Selain itu, terjadinya pankreatitis akut pada leptospirosis bisa disebabkan

karena komplikasi dari gagalnya organ-organ tubuh yang lain (multiple organ

failure), syok septik, dan anemia berat (severe anemia).3

2.9 Pencegahan

Pengendalian leptospirosis di masyarakat sangat terkait dengan hasil studi faktor-

faktor risiko terjadinya leptospirosis. Oleh karena itu pengendalian leptospirosis

terdiri dari pencegahan primer dan pencegahan sekunder. Pencegahan primer adalah

bagaimana agar orang sehat sebagai sasaran bisa terhindar dari leptospirosis,

sehingga kegiatannya bersifat promotif, termasuk disini proteksi spesifik dengan

cara vaksinasi. Sedangkan pencegahan sekunder yang sasarannya adalah orang

yang sudah sakit leptospirosis, dicegah agar orang tersebut terhindar dari

komplikasi yang nantinya dapat menyebabkan kematian.2

Prinsip kerja dari pencegahan primer adalah mengendalikan agar tidak terjadi

kontak leptospira dengan manusia, yang meliputi:4

- Pencegahan hubungan dengan air atau tanah yang terkontaminasi Para pekerja

yang mempunyai risiko tinggi terinfeksi leptospira, misalnya pekerja irigasi,

petani, pekerja laboratorium, dokter hewan, harus memakai pakaian khusus

yang dapat melindungi kontak dengan air atau tanah yang terkontaminasi

leptospira. Misalnya dengan menggunakan sepatu bot, masker, sarung tangan.


- Melindungi sanitasi air minum penduduk

Dalam hal ini dilakukan pengelolaan air minum yang baik, dilakukan filtrasi

dan deklorinai untuk mencegah invasi leptospira.

- Pemberian vaksin

Vaksinasi diberikan sesuai dengan leptospira di tempat tersebut, akan

memberikan manfaat cukup poten dan aman sebagai pencegahan bagi pekerja

risiko tinggi. Pencegahan dengan serum imun spesifik telah terbukti melindungi

pekerja laboratorium. Vaksinasi terhadap hewan peliharaan efektif untuk

mencegah leptospirosis.

- Pencegahan dengan antibiotik kemoprofilaksis

Pengendalian hospes perantara leptospira

Roden yang diduga paling poten sebagai karier leptospira adalah tikus. Untuk itu

dapat dilakukan beberapa cara seperti penggunaan racun tikus, pemasangan

jebakan, penggunaan bahan rodentisida, dan menggunakan predator roden.

- Usaha promotif, untuk menghindari leptospirosis dilakukan dengan cara edukasi,

dimana antara daerah satu dengan daerah yang lain mempunyai serovar dan

epidemi leptospirosis yang berbeda. Untuk mendukung usaha promotif ini

diperlukan peningkatan kerja antar sektor yang dikoordinasikan oleh tim

penyuluhan kesehatan masyarakat Dinas Kesehatan setempat.

Pokok- pokok cara pengendalian leptospirosis juga memperhatikan hasil studi

faktor risiko terjadinya leptospirosis, antara lain usia, jenis kelamin, higiene

perorangan seperti kebiasaan mandi, riwayat ada luka, keadaan lingkungan yang

tidak bersih, disamping pekerjaan, sosial ekonomi, populasi tikus, dan lain-lain.
Perlu diperhatikan bahwa leptospirosis lebih sering terjadi pada laki-laki dewasa,

mungkin disebabkan oleh paparan pekerjaan dan kegiatan sehari-hari.8

Pencegahan sekunder leptospirosis berupa pengobatan terhadap pasien yang

didiagnosis menderita leptospirosis. Salah satu hal yang menguntungkan dalam

pengobatan ini ialah pengobatan kausal tidak tergantung pada subgrup maupun

serotipe leptospira. Untuk pengobatan Leptospirosis ringan (mild illness/ suspect

case) dapat menggunakan Doxycycline (kapsul) 100 mg 2x/ hari selama 7 hari;

atau Amoxicillin atau Ampicillin (kapsul) 2 gr/ hari selama 7 hari. Sedangkan untuk

Leptospirosis berat (severe case/ probable case) dapat menggunakan Injeksi

Penicillin G 2 juta unit IV / 6 jam selama 7 hari; Injeksi Ceftrioxine 1 gr IV/ hari

selama 7 hari.3

Pengelolaan secara umum penderita leptospirosis sama dengan penyakit sistemik

akut yang lain. Rasa sakit diobati dengan analgetika, gelisah, dan cemas

dikendalikan dengan sedatif, demam diberi antipiretik, jika terjadi kejang

pemberian sesuai dengan keparahan penyakit dan komplikasi yang timbul.4

2.10 Prognosis

Leptospirosis ringan dapat sembuh sempurna. Mortalitas penderita pada kondisi

yang berat berkisar antara 15-40% dan prognosis bergantung dari keganasan

kuman, daya tahan dan keadaan umum penderita, usia, gagal multiorgan serta

pemberian antibiotik dengan dosis kuat pada fase dini.

Faktor-faktor sebagai indikator prognosis mortalitas, yaitu usia > 60 tahun,

produksi urin <600 mL/hari, kadar kreatinin > 10 mg/Dl, kadar ureum > 200
mg/dL, albumin <3 g/dL, kadar bilirubin > 25 mg/dL, trombositopenia <

100.000/mm3, anemia <12mg/Dl, adanya komplikasi, sesak nafas, abnormalitas

EKG serta adanya infiltrat alveolar pada pencitraan paru.3,11 Mortalitas penderita

pada penelitian yang dilakukan di Jakarta sebanyak 3%, meninggal karena syok

septik dan gagal nafas.3


DAFTAR PUSTAKA

1. Widarso HS, M.H. Gasem, Wilfried Purba, Tato Suharto dan Siti Ganefa.

Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan KasusPenanggulangan

Leptospirosis di Indonesia. Sub. Dit. Zoonosis. Dir.Jend. P2 & PL Dep.

Kes. R.I., Jakarta, 2008

2. Gasem MH. Gambaran Klinik dan Diagnosis Leptospirosis pada Manusia.

Dalam Kumpulan Makalah Simposium Leptospirosis, Budi Riyanto, M

Hussein Gasem, Muchlis AU Sofro Editors, Badan Penerbit Universitas

Diponegoro 2002; 17-31

3. Kementrian kesehatan RI, Atlas Vektor Penyakit di Indonesia Seri

Satu, 2011; 93-111.

4. Informal Expert consultation on Surveillance, Diagnosis and Risk

Reduction of Leptospirosis, Chennai, 17-18 September 2009.

5. World Health Organization. Report of The Second Meeting of The

Leptospirosis Burden Epidemilogic Reference Group. WHO.ISBN

9789241501521.NLM classification:WC 420. Geneva, Switzerland. 2011

6. Pedoman Pengendalian Tikus Khusus di Rumah Sakit 2008, Jakarta,

Departemen Kesehatan RI

7. Zoonosis Divison, National institute of Communicable Disease

(Directorate General of Health Services). Zoonosis Disease of Public


Health Importance, 22-Sham Nath Marg, Dehli-110054.2005

8. Departemen Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-

RSCM,

Standar Prosedur Operasional, 2011.

9. World Health Organization: Human Leptospirosis; guidance for

diagnosis, surveillance and control. World Health Organization, Geneva;

2003

10. World Health Organization. Report of The Second Meeting of The

Leptospirosis Burden Epidemiologic Reference Group. WHO. ISBN

9789241501521. NLM classification;WC 420. Geneva, Switzerland. 2011

11. Bres, P, Tindakan Darurat Kesehatan Masyarakat Pada Kejadian Luar

Biasa Petunjuk Praktis, Gajah Mada University Press, Cetakan pertama,

2010, Yogyakarta

12. Chin, James, Control of Communicable Diseas Manual, American

Public

Health Association, 17th Editions, 2000, Washington.

13. RSPI DR Sulianti Saroso, Ditjen PP dan PL, Depkes RI, Pedoman

Tatalaksanakan Kasus dan Pemeriksaan Laboratorium Leptospirosis di

Rumah Sakit, 2003, Jakarta

Anda mungkin juga menyukai