Anda di halaman 1dari 32

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Demam dengue (DF) dan Demam berdarah dengue (DBD) / (dengue hemorrhagic

fever) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dengue yang ditularkan

melalui arthropoda yang ditandai oleh demam, nyeri otot dan/atau nyeri sendi yang

disertai leukopenia, ruam, limfadenopati, trombositopeni dan diatesis hemoragik.

Pada DBD, terjadi perembesan plasma yang ditandai dengan hemokonsentrasi

(peningkatan hematokrit) atau penumpukan cairan di rongga tubuh. Sindrom renjatan

dengue (dengue shock syndrome) adalah demam berdarah dengue yang ditandai

dengan renjatan/syok.1

2.2 Epidemiologi

Dengue adalah penyakit virus yang ditularkan oleh nyamuk yang paling cepat

menyebar di dunia. Dalam 50 tahun terakhir, insiden meningkat 30 kali lipat dengan

meningkatnya ekspansi geografis ke negara-negara baru dan dalam dekade ini, dari

perkotaan ke pedesaan1,2

Pada awal tahun 2019, data yang masuk sampai tanggal 29 Januari 2019 tercatat

jumlah penderita DBD sebesar 13.683 penderita, dilaporkan dari 34 Provinsi dengan

132 kasus diantaranya meninggal dunia. Angka tersebut lebih tinggi jika
dibandingkan dengan bulan Januari tahun sebelumnya yaitu 2018 dengan jumlah

penderita sebanyak 6.167 penderita dan jumlah kasus meninggal sebanyak 43 kasus.

Pada awal tahun 2019  tercatat beberapa daerah melaporkan Kejadian Luar Biasa

(KLB) DBD diantaranya Kota Manado (Sulawesi Utara) dan 7 kabupaten/kota di

Nusa Tenggara Timur (NTT) yaitu Sumba Timur, Sumba Barat, Manggarai Barat,

Ngada, Timor Tengah Selatan, Ende dan Manggarai Timur. Sedangkan beberapa

wilayah lain mengalami peningkatan kasus namun belum melaporkan status kejadian

luar biasa.

2.3 Etiologi dan Transmisi

 Etiologi

Demam dengue dan demam berdarah dengue disebabkan oleh virus dengue, yang

termasuk dalam genus Flavivirus, keluarga Flaviviridae. Flavivirus merupakan virus

dengan diameter 30nm terdiri dari asam ribonukleat rantai tunggal dengan berat

molekul 4x106.

Virus dengue merupakan virus RNA untai tunggal kecil yang terdiri dari empat

serotipe berbeda (DEN-1, DEN-2, DEN-3, DEN-4). Keempat serotipe ditemukan di

Indonesia dengan DEN-3 merupakan serotipe terbanyak.1,3

 Transmisi

Aedes (Stegomyia) aegypti (Ae. Aegypti) dan Aedes (Stegomyia) albopictus (Ae.

Albopictus) adalah dua vektor terpenting dari demam berdarah.3

Nyamuk betina menjadi terinfeksi ketika memakan darah selama fase viremia.

Selama masa inkubasi ekstrinsik, virus pertama menginfeksi sel midgut dan

kemudian menyebar untuk bereplikasi di banyak jaringan nyamuk, akhirnya

menginfeksi kelenjar ludah 5-12 (umumnya 8-10) hari kemudian. Setelah kelenjar
ludah terinfeksi, nyamuk infektif dan dapat menularkan virus ke orang lain selama

blood-feeding. Nyamuk tetap infektif seumur hidup dan dapat menginfeksi setiap

orang yang dimakannya. Waktu dari infeksi hingga timbulnya penyakit (periode

inkubasi intrinsik) pada manusia berkisar antara 3 hingga 14 hari, dengan rata-rata 4-

7 hari. Penularan vertikal dapat terjadi ketika nyamuk betina yang terinfeksi

menularkan virus melalui telur ke keturunannya, tetapi kepentingan epidemiologis

dari cara penularan ini tidak pasti.4

Gambar 1. Transmisi DBD

2.4 Patogenesis

Meskipun DBD dapat terjadi pada pasien yang mengalami infeksi virus dengue untuk

pertama kalinya, sebagian besar kasus DBD terjadi pada pasien dengan infeksi

sekunder. Hubungan antara terjadinya DBD / DSS dan infeksi dengue sekunder
menyederhanakan sistem kekebalan dalam patogenesis DBD. Baik imunitas bawaan

seperti sistem komplemen dan sel NK serta imunitas adaptif termasuk imunitas

humoral dan yang diperantarai sel terlibat dalam proses ini. Peningkatan aktivasi

kekebalan, terutama selama infeksi sekunder, menyebabkan respon sitokin yang

berlebihan yang mengakibatkan perubahan permeabilitas pembuluh darah. Selain itu,

produk viral seperti NS1 dapat berperan dalam mengatur aktivasi komplemen dan

permeabilitas pembuluh darah.1

Ciri khas DBD adalah peningkatan permeabilitas pembuluh darah yang

mengakibatkan kebocoran plasma, volume intravaskular yang berkontraksi, dan syok

pada kasus yang parah. Kebocoran ini unik karena ada kebocoran selektif plasma di

rongga pleura dan peritoneum dan periode kebocorannya pendek (24-48 jam).

Pemulihan cepat syok tanpa gejala sisa dan tidak adanya peradangan pada pleura dan

peritoneum menunjukkan perubahan fungsional dalam integritas vaskular daripada

kerusakan struktural endotelium sebagai mekanisme yang mendasarinya.

Berbagai sitokin dengan efek meningkatkan permeabilitas telah terlibat dalam

patogenesis DBD. Namun, kepentingan relatif dari sitokin ini dalam DBD masih

belum diketahui. Studi telah menunjukkan bahwa pola respon sitokin mungkin terkait

dengan pola pengenalan silang sel T spesifik dengue. Sel-T lintas-reaktif tampaknya

secara fungsional defisit dalam aktivitas sitolitiknya tetapi mengekspresikan

peningkatan produksi sitokin termasuk TNF-a, IFN-g dan kemokin. Dengan catatan,

TNF-a telah terlibat dalam beberapa manifestasi parah termasuk perdarahan pada

beberapa model hewan. Peningkatan permeabilitas vaskular juga dapat dimediasi oleh

aktivasi sistem komplemen. Peningkatan level fragmen komplemen telah


didokumentasikan dalam DBD. Beberapa fragmen komplemen seperti C3a dan C5a

diketahui memiliki efek meningkatkan permeabilitas. Dalam penelitian terbaru,

antigen NS1 dari virus dengue telah ditunjukkan untuk mengatur aktivasi komplemen

dan mungkin berperan dalam patogenesis DBD.

Tingkat viral load yang lebih tinggi pada pasien DBD dibandingkan dengan pasien

DF telah dibuktikan dalam banyak penelitian. Tingkat protein virus, NS1, juga lebih

tinggi pada pasien DBD. Tingkat viral load berkorelasi dengan pengukuran tingkat

keparahan penyakit seperti jumlah efusi pleura dan trombositopenia, memberi kesan

bahwa viral load mungkin menjadi penentu utama keparahan penyakit.3


2.5 Manifestasi Klinis

 Undifferentiated Fever

Bayi, anak-anak dan orang dewasa yang telah terinfeksi virus dengue, terutama

untuk pertama kalinya (yaitu infeksi dengue primer), dapat mengalami demam

sederhana yang tidak dapat dibedakan dari infeksi virus lainnya. Ruam

makulopapular dapat menyertai demam atau mungkin muncul selama defervesensi.

Gejala pernapasan dan pencernaan bagian atas sering terjadi.3

 Dengue Fever

Demam dengue (DF) paling umum terjadi pada anak-anak yang lebih tua, remaja

dan orang dewasa. Ini umumnya merupakan penyakit demam akut, dan kadang-

kadang demam bifasik dengan sakit kepala parah, mialgia, artralgia, ruam,
leukopenia dan trombositopenia. Dapat juga terjadi sakit kepala parah, nyeri pada

otot, sendi, dan tulang (break-bone fever), terutama pada orang dewasa. Kadang

terjadi perdarahan yang tidak biasa seperti perdarahan saluran cerna, hipermenore

dan epistaksis masif.3

 Dengue Haemorrheagic Fever

Demam berdarah dengue (DBD) lebih sering terjadi pada anak-anak di bawah usia

15 tahun di daerah hiperendemis, terkait dengan infeksi dengue berulang. Namun,

kejadian DBD pada orang dewasa meningkat. DBD ditandai dengan onset akut

demam tinggi dan dikaitkan dengan tanda-tanda dan gejala yang mirip dengan DF

pada fase demam awal. Ada diatesis perdarahan umum seperti tes tourniquet

positif (TT), petekie, memar mudah dan / atau pendarahan GI pada kasus yang

parah. Pada akhir fase demam, dapat terjadi syok hipovolemik (sindrom syok

dengue) karena kebocoran plasma.

Adanya tanda-tanda peringatan (warning signs) sebelumnya seperti muntah terus-

menerus, sakit perut, lesu atau gelisah, dan oliguria penting untuk intervensi untuk

mencegah syok. Hemostasis abnormal dan kebocoran plasma adalah tanda

patofisiologis utama DBD. Trombositopenia dan peningkatan hematokrit /

hemokonsentrasi adalah temuan konstan sebelum penurunan demam / onset syok.

DBD terjadi paling sering pada anak-anak dengan infeksi dengue sekunder. Ini

juga telah didokumentasikan pada infeksi primer dengan DENV-1 dan DENV-3

serta pada bayi.3


 Expanded Dengue Syndrome

Manifestasi yang tidak biasa dari pasien dengan keterlibatan organ yang parah

seperti hati, ginjal, otak atau jantung yang berhubungan dengan infeksi dengue

semakin banyak dilaporkan pada DBD dan juga pada pasien dengue yang tidak

memiliki bukti kebocoran plasma. Manifestasi yang tidak biasa ini dapat dikaitkan

dengan koinfeksi, komorbiditas atau komplikasi dari syok yang berkepanjangan.

Investigasi menyeluruh harus dilakukan dalam kasus-kasus ini.3

Gambar 2. Perjalanan penyakit DBD

 Fase Demam (Febrile)


Pasien biasanya mengalami demam tingkat tinggi secara tiba-tiba. Fase demam

akut ini biasanya berlangsung 2-7 hari dan sering disertai dengan facial flushing,

eritema kulit, nyeri tubuh menyeluruh, mialgia, artralgia, dan sakit kepala.

Beberapa pasien mungkin mengalami sakit tenggorokan dan injeksi konjungtiva.

Anoreksia, mual dan muntah sering terjadi. Mungkin sulit untuk membedakan

secara klinis demam berdarah dari penyakit demam non-demam berdarah pada

fase demam awal. Tes tourniquet positif dalam fase ini meningkatkan

kemungkinan demam berdarah. Selain itu, gambaran klinis ini tidak dapat

dibedakan antara kasus demam berdarah yang parah dan yang tidak parah. Oleh

karena itu pemantauan untuk tanda-tanda peringatan (warning signs) dan

parameter klinis lainnya sangat penting untuk mengenali perkembangan ke fase

kritis.3

Manifestasi hemoragik ringan seperti petekie dan perdarahan membran mukosa

(mis. hidung dan gusi) dapat terlihat. Pendarahan vagina masif (pada wanita usia

subur) dan perdarahan gastrointestinal dapat terjadi selama fase ini tetapi tidak

umum. Hati sering membesar dan terasa nyeri setelah beberapa hari demam.

Abnormalitas paling awal dalam hitung darah lengkap adalah penurunan

progresif leukosit, yang seharusnya membuat dokter waspada terhadap

kemungkinan tinggi demam berdarah.3

 Fase Kritis (Critical)

Sekitar waktu penurunan suhu, ketika suhu turun menjadi 37,5-38 oC atau

kurang, biasanya pada hari ke 3–7, peningkatan permeabilitas kapiler secara

paralel dengan peningkatan kadar hematokrit dapat terjadi. Ini menandai awal
dari fase kritis. Periode kebocoran plasma yang signifikan secara klinis biasanya

berlangsung 24-48 jam.

Leukopenia progresif diikuti dengan penurunan jumlah trombosit yang cepat

biasanya mendahului kebocoran plasma. Pada titik ini pasien tanpa peningkatan

permeabilitas kapiler akan membaik, sementara mereka dengan permeabilitas

kapiler yang meningkat dapat menjadi lebih buruk sebagai akibat dari

kehilangan volume plasma. Tingkat kebocoran plasma bervariasi. Efusi pleura

dan asites dapat dideteksi secara klinis tergantung pada derajat kebocoran

plasma dan volume terapi cairan. Oleh karena itu rontgen dada dan USG perut

dapat menjadi alat yang berguna untuk diagnosis. Tingkat peningkatan di atas

hematokrit awal sering mencerminkan tingkat keparahan kebocoran plasma.

Syok terjadi ketika volume kritis plasma hilang karena kebocoran. Ini sering

didahului dengan tanda-tanda peringatan (warning signs). Suhu tubuh mungkin

subnormal ketika terjadi syok. Dengan syok yang berkepanjangan, hipoperfusi

organ mengakibatkan kerusakan organ progresif, asidosis metabolik dan

koagulasi intravaskular diseminata. Hal ini pada gilirannya menyebabkan

perdarahan hebat yang menyebabkan hematokrit menurun pada syok berat.

Alih-alih leukopenia biasanya terlihat selama fase demam berdarah ini, jumlah

total sel darah putih dapat meningkat pada pasien dengan perdarahan hebat.

Selain itu, kerusakan organ yang parah seperti hepatitis berat, ensefalitis atau

miokarditis dan / atau perdarahan hebat juga dapat terjadi tanpa kebocoran

plasma atau syok yang jelas.3

 Fase Pemulihan (Recovery)


Jika pasien selamat dari fase kritis dalam 24-48 jam, reabsorpsi bertahap cairan

kompartemen ekstravaskuler terjadi dalam 48-72 jam berikutnya. Kondisi umum

membaik, nafsu makan kembali, gejala gastrointestinal mereda, status

hemodinamik stabil dan diuresis terjadi kemudian. Beberapa pasien mungkin

memiliki ruam "pulau putih di lautan merah". Beberapa mungkin mengalami

pruritus menyeluruh. Hematokrit menjadi stabil atau mungkin lebih rendah

karena efek dilusi dari cairan yang diserap kembali. Jumlah leukosit biasanya

mulai naik segera setelah defervesensi tetapi pemulihan jumlah trombosit

biasanya lebih lambat dari jumlah sel darah putih. Distres pernapasan akibat

efusi pleura masif dan asites akan terjadi kapan saja jika cairan intravena

berlebihan diberikan. Selama fase kritis dan / atau pemulihan, terapi cairan yang

berlebihan dikaitkan dengan edema paru atau gagal jantung kongestif.3

2.6 Diagnosis

Derajat keparahan DBD dibagi menjadi 4 kelas, kelas III dan IV dianggap sebagai

DSS.1,3,4
Pada masa inkubasi infeksi dengue dapat timbul gejala prodromal yang

tidak khas seperti nyeri kepala, nyeri tulang belakang dan perasaan lelah.

Kriteria di bawah ini telah ditetapkan sebagai kriteria diagnosis

sementara DD/DBD/SSD. Kriteria ini tidak dimaksudkan untuk

mengganti definisi kasus (case definition) yang ada. Penggunaan kriteria

ini dapat membantu praktisi/klinisi untuk menegakkan diagnosis dini,

idealnya sebelum timbulnya onset syok, sekaligus untuk menghindari

overdiagnosis.

a. Demam Dengue (DD)

Keadaan berikut ini dapat dipakai sebagai kriteria untuk

menduga terjadinya infeksi dengue pada seseorang.


1) Tersangka (probable) dengue:

Demam akut/mendadak selama 2-7 hari disertai 2 atau lebih

manifestasi klinis berikut ini:

a) Sakit kepala;

b) Nyeri retri-orbital;

c) Mialgia;

d) Arthralgia;

e) Ruam kulit;

f) Manifestasi perdarahan;

g) Leukopenia (leukosit ≤5000 sel/mm3); dan

h) Trombositopenia (trombosit ≤150,000

sel/mm3). dan setidaknya satu dari keadaan di

bawah ini:

a) Pemeriksaan serologi dengue positif; dan

b) Atau ditemukan penderita DD/DBD yang sudah

dikonfirmasi pada lokasi dan waktu yang sama.

2) Diagnosis terkonfirmasi

Kasus probable dengan setidaknya satu dari beberapa di

bawah ini:

a) Isolasi virus dengue dari serum, cairan serebrospinal,

atau

sample autopsy;

b) Peningkatan serum IgG (dengan uji hemaglutinasi

inhibisi) dengan kelipatan empat atau lebih atau

peningkatan antibodi IgM yang spesifik virus


dengue;

c) Deteksi virus dengue atau antigen pada jaringan,

serum atau cairan serebrospinal dengan

pemeriksaan immunohistochemistry,

immunofloresens, enzyme-linked immunosorbent

assay, atau immunochromatography rapid test; dan

d) Deteksi asam nukleat virus demam berdarah dengan

reaksi rantai transkripsi-polimerase terbalik (RT-

PCR)

Berdasarkan WHO 2011, uji bending masih disarankan untuk

memperkuat diagnosis DBD

b. Demam Berdarah Dengue (DBD)

Berdasarkan kriteria WHO 2011 diagnosis DBD ditegakkan bila

semua hal dibawah ini terpenuhi:

1) Demam mendadak tinggi dengan selama 2-7 hari;

2) Manifestasi perdarahan dapat berupa salah satu dari gejala

berikut: tes torniket positif, petekie, ekimosis atau purpura,

atau perdarahan dari mukosa, saluran pencernaan, tempat

injeksi, atau perdarahan dari tempat lain;

3) Trombosit ≤100.000 sel/mm3; dan

4) Terdapat minimal satu tanda-tanda plasma leakage (kebocoran

plasma) sebagai berikut:

a) Peningkatan hematokrit / hemokonsentrasi ≥20%

dibandingkan standar sesuai dengan umur dan jenis


kelamin;

b) Penurunan hematokrit >20% setelah mendapat terapi

cairan, dibadningkan dengan nilai hematokrit sebelumya;

dan/atau

c) Tanda kebocoran plasma seperti efusi pleura, asites atau

hipoproteinemia/hipoalbuminemia.

Perbedaan utama antara DD dan DBD adalah

terjadinya kebocoran plasma pada DBD sedangkan pada

DD tidak.

c. Sindroma Syok Dengue (SSD)

Berdasarkan kriteria WHO 2011 diagnosis Sindroma Syok

Dengue ditegakkan bila kriteria infeksi dengue seperti yang sudah

dijelaskan sebelumnya disertai dengan tanda-tanda syok seperti:

1) Takikardi, akral dingin, masa pengisian kapiler melambat, nadi

lemah, lesu atau gelisah, yang kemungkinan dapat menjadi

tanda-tanda penurunan perfusi otak;

2) Tekanan nadi ≤20 mmHg dengan peningkatan tekanan

diastolik, contoh: 100/80 mmHg; dan

3) Hipotensi menurut umur, yang diartikan dengan tekanan sistolik

<80 mmHg untuk anak dibawah 5 tahun atau 80 sampai 90 mmHg

untuk anak yang sudah lebih besar dan orang dewasa4

Temuan laboratorium klinis pada penderita DBD

1) Jumlah sel darah putih umumnya normal dengan jumlah

neutrofil yang dominan pada fase awal demam. Setelah itu, ada
penurunan jumlah total sel darah putih dan neutrofil, dan

mencapai titik nadir menjelang akhir fase demam. Perubahan

jumlah sel darah putih (≤5000 sel / mm3) dan rasio neutrofil

terhadap limfosit (neutrofil < limfosit) berguna untuk

memprediksi periode kritis dari kebocoran plasma. Temuan ini

mendahului temuan trombositopenia atau peningkatan

hematokrit. Limfositosis relatif dengan limfosit atipikal yang

meningkat biasanya terjadi pada akhir fase demam dan saat

menuju masa konvalesens. Perubahan ini juga terlihat pada

Demam Dengue.

2) Jumlah trombosit umumnya normal pada fase awal demam.

Penurunan ringan dapat ditemukan setelah fase awal.

Penurunan secara tiba-tiba jumlah trombosit hingga di bawah

100.000 sel/mm3 terjadi pada akhir fase demam (penurunan

suhu atau fase defervesens) dan atau sebelum timbulnya syok.

Derajat trombositopenia berkorelasi dengan tingkat keparahan

DBD. Perubahan itu terjadi dalam waktu singkat dan umumnya

kembali normal pada masa konvalesens.8

3) Hematokrit didapatkan dalam batas normal pada awal fase

demam. Adanya sedikit peningkatan dikarenakan adanya

demam tinggi, anoreksia dan muntah. Peningkatan hematokrit

secara tiba-tiba terjadi secara bersamaan atau segera setelah

penurunan jumlah trombosit. Hemokonsentrasi atau

peningkatan hematokrit sebesar 20% dari kadar hematokrit awal,

misalnya dari jumlah hematokrit 35% hingga ≥42%, adalah


bukti objektif adanya kebocoran plasma. Trombositopenia dan

hemokonsentrasi merupakan temuan yang sering ditemukan

pada DBD. Penurunan jumlah trombosit di bawah 100.000

sel/mm3 biasanya ditemukan diantara demam hari ke-3 dan

ke-10. Kenaikan hematokrit terjadi pada semua kasus DBD,

terutama pada kasus syok. Hemokonsetrasi dengan

peningkatan hematokrit 20% atau lebih adalah bukti objektif

terjadinya kebocoran plasma. Perlu diingat bahwa tingkat

hematokrit dapat dipengaruhi oleh terapi cairan yang diberikan

saat fase awal dan perdarahan.1,7

4) Temuan umum lainnya adalah hipoproteinemia/albuminemia

(sebagai akibat dari kebocoran plasma), hiponatremia, dan

kadar aspartat aminotransferase serum yang sedikit meningkat

(≤200 U/L) dengan rasio AST : ALT >2.2

2.7 Pemeriksaan Penunjang

 Pemeriksaan Laboratorium

Diagnosis pasti didapatkan dari hasil isolasi virus dengue (cell culture) ataupun

deteksi antigen virus RNA dengue dengan teknik RT-PCR (Reverse Transcriptase

Polymerase Chain Reaction), namun karena teknik yang lebih rumit, saat ini tes

serologis yang mendeteksi adanya antibodi spesifik terhadap dengue berupa

antibodi total, IgM maupun IgG.

Parameter Laboratoris yang dapat diperiksa antara lain:2


 Leukosit: Normal atau menurun. Mulai hari ke-3 dapat ditemui limfositosis

relatif (>45% dari total leukosit) disertai adanya limfosit plasma biru (LPB) >

15% dari jumlah total leukosit yang pada fase syok akan meningkat.

 Trombosit: Umumnya terdapat trombositopeni pada hari ke 3-8.

 Hematokrit: Kebocoran plasma dibuktikan dengan ditemukannya peningkatan

hematokrit > 20% dari hematokrit awal, umumnya dimulai pada hari ke-3

demam.

 Hemostasis: Dilakukan pemeriksaan PT, APTT, Fibrinogen, D-Dimer, atau

FDP pada keadaan yang dicurigai terjadi perdarahan atau kelainan pembekuan

darah.

 Protein/albumin: Dapat terjadi hipoproteinemia akibat kebocoran plasma.

 SGOT/SGPT dapat meningkat.

 Ureum, kreatinin: Bila didapatkan gangguan fungsi ginjal.

 Elektrolit: Sebagai parameter pemantauan pemberian cairan.

 Golongan darah dan cross match (uji cocok serasi): bila akan diberikan

transfusi darah atau komponen darah.

 Imunoserologi dilakukan pemeriksaan IgM dan IgG terhadap dengue.

IgM: terdeteksi mulai hari ke 3-5, meningkat sampai minggu ke-3, menghilang

setelah 60-90 hari.

IgG: pada infeksi primer, IgG mulai terdeteksi pada hari ke-14, pada infeksi

sekunder IgG mulai terdeteksi hari ke-2.

 Uji HI: Dilakukan pengambilan bahan pada hari pertama serta saat pulang dari

perawatan, uji ini digunakan untuk kepentingan surveilans.

 NS1: Antigen NS1 dapat dideteksi pada awal demam hari pertama sampai hari

ke delapan. Sensitivitas antigen NS1 berkisar 63% - 93,4% dengan spesifisitas


100% sama tingginya dengan spesifisitas gold standard kultur virus. Hasil

negatif antigen NS1 tidak menyingkirkan adanya infeksi virus dengue.1,2,3

Gambar 3. Pemeriksaan laboraturium DHF

 Pemeriksaan Radiologi

Pemeriksaan foto dada didapatkan efusi pleura, terutama pada hemitoraks kanan

tetapi apabila terjadi perembesaran plasma hebat, efusi pleura dapat dijumpai pada

kedua hemitoraks. Pemeriksaan foto rontgen dada sebaiknya dalam posisi lateral

dekubitus kanan). Asites dan efusi pleura dapat pula dideteksi dengan pemeriksaan

USG.1
(a) Hemitoraks kanan terlihat lebih opak dengan garis opak di lateral, sejajar

dengan dinding toraks, yang menunjukkan adanya cairan di dalam rongga pleura

(b) Pada foto RLD efusi pleura terlihat lebih jelas terkumpul di hemitoraks kanan

yang terletak rendah.6

2.8 Diagnosis Banding

Diagnosis banding yang dipertimbangkan pada penderita yang

mengalami gejala demam dan ruam kulit yang mirip dengan DD. Tabel

dibawah ini menyajikan berbagai kondisi klinis yang mirip dengan

infeksi dengue pada fase awal dan kritis.

Tabel 1. Diagnosis banding DHF

Flu-like syndrome Influenza, campak, cikungunya, penyakit


HIV serokonversi
Penyakit dengan Campak, demam skarlet, rubella, infeksi
ruam menigokokus, cikungunya, reaksi obat
Penyakit diare Rotavirus, infeksi enterik
Manifestasi Meningo/ensefalitis
neurologis Kejang demam
HIV-Human
Immunodeficiency
Virus

Tabel 2. Beberapa kondisi klinis yang mirip dengan infeksi dengue

pada fase demam


3

Infeksi Gastroentritis akut, leptospirosis, malaria,


demam typhoid, hepatitis virus, HIV Akut
Penyakit maligna Leukemia akut dan penyakit maligna
lainnya
Kondisi lain-lain Appendisitis akut, akut abdomen,
kolesistitis akut, perforasi viskus,
ketoasidosis diabetikum, asidosis laktat,
leukopenia dan trombositopenia, gangguan
trombosit, gagal ginjal, distress pernapasan
(pernapasan Kussmaul), lupus
eritematosus sistemik
Tabel 3. Kondisi klinis yang mirip dengan infeksi dengue fase kritis

3.1 Penatalaksanaan

Fase kritis DBD merupakan periode terjadinya kebocoran plasma yang dimulai
sekitar waktu dari penurunan suhu badan hingga normal atau transisi dari demam ke
tidak demam. Trombositopenia adalah indikator yang sensitif pada kebocoran
plasma, tetapi juga dapat diamati pada pasien dengan DD. Peningkatan hematokrit >
10% dari baseline merupakan indikator objektif awal kebocoran plasma. Pemberian
cairan intravena harus dimulai jika asupan oral buruk atau peningkatan hematokrit
terus berlanjut serta jika terdapat warning sign.
Parameter-parameter berikut harus dipantau:
 Keadaan umum, nafsu makan, muntah, perdarahan serta tanda dan gejala
lainnya.
 Perfusi perifer dapat dilakukan sesering mungkin sesuai indikasi karena hal
tersebut merupakan petanda awal syok dan mudah/cepat untuk dilakukan.
 Tanda-tanda vital seperti suhu, denyut nadi, laju pernapasan dan tekanan darah
harus diperiksa setidaknya setiap 2-4 jam pada pasien non-syok dan 1-2 jam
pada pasien syok.
 Hematokrit serial harus dilakukan setidaknya setiap empat sampai enam jam
dalam kasus yang stabil dan harus lebih sering pada pasien yang tidak stabil
atau dicurigai mengalami perdarahan. Harus dicatat bahwa hematokrit harus
dilakukan sebelum resusitasi cairan. Jika hal ini tidak dilakukan, maka
pemeriksaan hematokrit harus dilakukan setelah bolus cairan dan jangan saat
pemberian bolus cairan sedang berjalan.
 Jumlah urine harus dicatat setidaknya setiap 8 sampai 12 jam pada kasus tidak
berat, per jam pada pasien dengan syok atau dengan kelebihan cairan. Selama
periode ini jumlah output urine harus sekitar 0,5 ml/kg/ jam (harus
didasarkan pada berat badan ideal).

Terapi cairan intravena pada DBD selama periode kritis

Indikasi cairan IV:


 Jika pasien tidak bisa diberi asupan oral yang memadai atau muntah.
 Jika HCT terus meningkat 10% -20% meskipun rehidrasi oral sudah diberikan.
 Adanya ancaman munculnya syok
Prinsip-prinsip umum terapi cairan pada DHF meliputi berikut ini:
 Larutan kristaloid isotonik harus diberikan selama fase kritis kecuali bayi usia
< 6 bulan lebih tepat menggunakan natrium klorida 0,45%.

Larutan koloid Hiper-onkotik (osmolaritas > 300 mOsm / l) seperti dekstran 40


atau larutan starch dapat digunakan jika kebocoran plasma masif, dan tidak ada
respon dengan pemberian kristaloid dalam jumlah yang optimal (seperti yang
direkomendasikan). Larutan koloid iso-onkotik seperti plasma dan hemaccel
kemungkinan tidak efektif.
 Pemberian cairan untuk pemeliharaan +5% dehidrasi harus diberikan untuk
sekedar mempertahankan volume intravaskular dan sirkulasi.
 Durasi pemberian terapi cairan intravena tidak boleh melebihi 24 hingga 48 jam
bagi mereka dengan syok. Namun, bagi pasien yang tidak syok, durasi terapi
cairan intravena bisa lebih lama namun tidak lebih dari 60 sampai 72 jam. Hal ini
karena pasien yang tidak syok baru saja memasuki fase kebocoran plasma
sementara pasien yang sudah syok, kebocoran plasma berlangsung dalam durasi
yang lebih panjang hingga terapi intravena dimulai.
 Pada pasien obesitas, yang digunakan sebagai panduan untuk menghitung volume
cairan adalah berat badan ideal

Berat Pemeliharaa M + 5% Berat Pemeliharaa M + 5%


Badan n (ml) defisit Badan n (ml) defisit
Ideal (Kg) (ml) Ideal (Kg) (ml)
5 500 750 35 180 3550
0
10 1000 1500 40 190 3800
0
15 1250 2000 45 200 4250
0
20 1500 2500 50 210 4600
0
25 1600 2850 55 220 4950
0
30 1700 3200 60 230 5300
0
Tabel 4. Kebutuhan cairan berdasarkan berat badan ideal

 Kecepatan cairan intravena harus disesuaikan dengan kondisi klinis. Kecepatan


infus berbeda antara pasien dewasa dan anak-anak. Tabel 10 menunjukkan
perbandingan kecepatan pemberian infus pada anak-anak dan dewasa dengan
memperhatikan kebutuhan cairan pemeliharaan.

Kondisi Kecepatan pada Kecepatan pada


anak dewasa
(ml/kg/jam) (ml/jam)
Setengah dari kebutuhan pemeliharaan 1,5 40-50
(M/2)
Pemeliharaan (M) 3 80-100
M + 5% defisit 5 100-
120
M + 7% defisit 7 120-
150
M + 10% defisit 10 300-
500
Tabel 5. Kecepatan pemberian cairan intravena pada dewasa dan anak-anak

Transfusi trombosit tidak direkomendasikan dalam penanganan trombositopenia


(tidak boleh ada transfusi trombosit profilaksis). Namun pemberian transfusi
trombosit dapat dipertimbangkan pada pasien dengan riwayat hipertensi dengan
trombositopenia yang sangat berat (<`10.000 sel.mm3)
Penanganan Pasien dengan Warning Sign

Hal yang perlu dipastikan dari warning sign adalah apakah warning sign tersebut
bukan suatu gastroenteritis akut, refleks vasovagal, hipoglikemia, dan
sebagainya. Munculnya trombositopenia yang dibarengi dengan bukti kebocoran
plasma seperti kenaikan haemotokrit dan efusi pleura dapat membedakan antara
DBD/SSD dari penyebab yang lain. Pemeriksaan kadar gula darah dan tes
laboratorium dapat dilakukan untuk menemukan menyebabkan. Untuk masalah-
masalah lainnya, pemberian cairan intravena, terapi suportif dan simtomatik harus
diberikan sementara pasien tetap berada di bawah pengawan di rumah sakit. Pasien
dapat dipulangkan ke rumah dalam waktu 8 sampai 24 jam jika menunjukkan
repon pemulihan yang cepat dan tidak dalam fase kritis (platelet > 100 000 sel /
mm3).
Manajemen DBD derajat I, II (kasus non-syok)
Secara umum, masukan cairan (oral + IV) bertujuan untuk pemeliharaan (untuk
sehari) + 5% defisit (oral dan cairan IV bersama-sama), yang diberikan
dalam 48 jam. Misalnya, pada anak dengan berat badan 20 kg, defisit dari 5%
adalah 50 ml / kg x 20 = 1000 ml. Pemeliharaan adalah 1500 ml untuk satu hari.
Oleh karena itu, total M + 5% adalah 2.500 ml (Gambar 8). Pada pasien non-syok,
jmlah cairan ini akan diberikan dalam 48 jam pertama. Kecepatan infus cairan
2.500 ml ini dapat diberikan di bawah. [harap dicatat bahwa tingkat kebocoran
plasma TIDAK selalu sama] . Kecepatan pemberian cairan IV harus disesuaikan
dengan tingkat kehilangan plasma , dan disesuaikan dengan kondisi klinis, tanda-
tanda vital, produksi urin dan nilai hematokrit

Gambar 4 : Kecepatan pemberian infus pada kasus non-syok


Manajemen syok : DBD derajat III

SSD merupakan syok hipovolemik disebabkan oleh kebocoran plasma dan ditandai

dengan meningkatnya resistensi vaskuler sistemik, dengan manifestasi tekanan nadi

yang menyempit (tekanan sistolik dipertahankan dengan peningkatan tekanan

diastolik, misalnya 100/90 mmHg ) . Ketika hipotensi muncul, selain kebocoran

plasma, kita harus menduga bahwa mungkin telah terjadi pendarahan yang masif,

dimana yang paling sering adalah perdarahan saluran cerna yang bisa saja tidak

tampak/tersembunyi.

Perlu dicatat bahwa resusitasi cairan dari SSD berbeda dari syok yang lain misalnya

syok septik . Sebagian besar kasus SSD akan memberikan respon terhadap pemberian

cairan 10 ml/kg (pada anak-anak) atau 300-500 ml (pada orang dewasa) dalam 1 jam

atau bila perlu secara bolus. Selanjutnya, pemberian cairan harus mengikuti grafik

seperti pada gambar 9. Namun, sebelum memutuskan untuk mengurangi jumlah

cairan IV yang diberikan, kondisi klinis, tanda-tanda vital , produksi urin dan nilai

hematokrit harus diperiksa terlebih dahulu untuk memastikan perbaikan klinis

Gambar 5. Kecepatan infus pada kasus SSD


Pemeriksaan laboratorium ( ABCS ) harus dilakukan pada kasus syok dan non-
syok. Bila terlihat tidak ada perbaikan meskipun penggantian volume sudah
memadai

Pemeriksaan laboratorium (ABCS) untuk pasien dengan kondisi syok atau dengan komplikasi,
dan pasien yang tidak menunjukkan perbaikan klinis meski telah diberi terapi cairan yang
adekuat
Singkatan Pemeriksaan Kepentinga
Laboratorium n
A-Asidosis Analisa gas darah (kapiler Menandakan syok yang sedang berlangsung.
dan vena) Keterlibatan
organ juga harus dievaluasi ; fungsi hati, BUN
dan kreatinin
B-Bleeding Hematokrit Jika terjadi penurunan nilai HCT dibandingkan dengan
nilai sebelumnya atau jika tidak berubah, lakukan
cross-
match untuk transfusi darah secepatnya
C-Calsium Elektrolit, Ca++ Hipokalsemia terjadi pada kebanyakan DBD namun
tanpa gejala. Pemberian suplementasi kalsium pada
kondisi yang lebih berat/kompleks dapat
diindikasikan. Dosis yang dianjurkan 1 ml/kg maksimal
10cc kalsium glukonas, dilarutkan dengan
perbandingan 1:2, diberikan secara IV
perlahan (dapat diulang tiap 6 jam jika diperlukan)
S-Blood Sugar Kadar gula darah (fingerstick) Kebanyakan kasus DBD disertai penurunan selera
makan dan muntah. Hipoglikemia dapat terjadi pada
pasien dengan gangguan fungsi hati, namun pada
kondisi lain
dapat terjadi hiperglikemia

Penting diketahui bahwa kecepatan cairan IV dapat dikurangi jika telah terjadi

perbaikan perfusi perifer ; tetapi harus tetap diteruskan sampai minimum 24 jam

dan dapat dihentikan setelah 36-48 jam. Pemberian cairan yang berlebihan akan

menyebabkan efusi masif karena peningkatan permeabilitas kapiler. Algoritme

pemberian cairan untuk pasien dengan SSD


Gambar 6. Algoritme pemberian cairan pada pasien SSD

Manajemen Syok : DBD derajat IV

Resusitasi cairan awal pada DBD derajat IV harus lebih agresif agar cepat

mengembalikan tekanan darah. Pemantauan laboratorium harus dilakukan

sesegera mungkin untuk menilai ABCS dan keterlibatan organ. Bahkan hipotensi

yang ringan pun harus segera ditangani secara agresif. 10 ml/kg cairan bolus

harus diberikan secepat mungkin, idealnya dihabiskan dalam waktu 10 sampai 15

menit. Jika tekanan darah berhasil diperbaiki, cairan intravena lebih lanjut dapat

diberikan sebagaimana penanganan pada derajat III. Jika syok tidak tertangani

setelah pemberian 10 ml/kg pertama, ulangi bolus 10 ml/kg kedua sementara hasil

laboratorium harus dikejar dan dikoreksi segera mungkin. Transfusi darah

merupakan langkah berikutnya harus segera dikerjakan (setelah menilai HCT

praresusitasi) diikuti dengan monitoring ketat, misalnya kateterisasi kandung

kemih terus menerus, kateterisasi vena sentral atau intraarterial Perlu dicatat

bahwa perbaikan pada tekanan darah sangat penting untuk keberhasilan

penanganan dan jika ini tidak dapat dicapai dengan cepat maka prognosis bisa
menjadi buruk. Obat inotropik dapat digunakan untuk menaikkan tekanan darah,

jika pemberian cairan dianggap cukup adekuat seperti misalnya, tekanan vena

sentral tinggi (CVP), kardiomegali, atau diketahui memiliki fungsi/kontraktilitas

jantung yang buruk.

Jika tekanan darah berhasil dikoreksi setelah pemberian resusitasi cairan dengan

atau tanpa transfusi darah, dan dijumpai adanya gangguan fungsi organ, maka

pasien harus mendapat penanganan suportif yang sesuai. Contoh penanganan

suportif terhadap fungsi organ adalah dialisis peritoneal, contiuous renal

replacement therapy (CRRT) serta ventilasi mekanik.2

Jika akses intravena tidak bisa didapat dengan segera, maka dapat dicobakan

larutan elektrolit oral jika pasien sadar atau cara lain adalah jalur intraosseous.

Akses intraosseous merupakan suatu bagian dari upaya untuk menyelamatkan

nyawa dan harus bisa dicapai dalam 2-5 menit atau jika telah dua kali mengalami

kegagalan dalam mencapai akses vena perifer atau jika jalur oral juga gagal.2,3

3.2 Pencegahan

Pencegahan demam berdarah yang paling efektif dan efisien sampai saat ini adalah

kegiatan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) dengan cara 3M Plus, yaitu:8

1. Menguras yaitu membersihkan tempat yang sering dijadikan tempat

penampungan air seperti: bak mandi, ember air, tempat penampungan air

minum, penampung air lemari es dan lain-lain

2. Menutup yaitu menutup rapat-rapat tempat-tempat penampungan air seperti:

drum, kendi, toren air, dan lain sebagainya


3. Memanfaatkan kembali atau mendaur ulang barang bekas yang memiliki

potensi untuk jadi tempat perkembangbiakan nyamuk penular Demam

Berdarah.

Adapun yang dimaksud dengan Plus adalah segala bentuk kegiatan pencegahan

lainnya seperti:8

1. Menaburkan bubuk larvasida pada tempat penampungan air yang sulit

dibersihkan, misalnya water toren, gentong/tempayan penampung air hujan, dll.

2. Menggunakan kelambu saat tidur,

3. Memelihara ikan pemangsa jentik nyamuk

4. Menanam tanaman pengusir nyamuk,

5. Menghindari kebiasaan menggantung pakaian di dalam rumah yang bisa

menjadi tempat istirahat nyamuk, dan lain-lain.

6. Menggunakan anti nyamuk semprot maupun oles bila diperlukan.

Gambar 7. Pencegahan DHF

3.3 Komplikasi

 Komplikasi DF
DF dengan perdarahan dapat terjadi sehubungan dengan penyakit yang

mendasarinya seperti tukak lambung, trombositopenia berat dan trauma.

DBD bukan merupakan kontinum dari DF.

 Komplikasi DBD

Ini biasanya terjadi dalam kaitannya dengan syok yang dalam / berkepanjangan

yang menyebabkan asidosis metabolik dan perdarahan hebat sebagai akibat DIC

dan kegagalan multiorgan seperti disfungsi hati dan ginjal. Lebih penting lagi,

penggantian cairan yang berlebihan selama periode kebocoran plasma

menyebabkan efusi masif yang menyebabkan gangguan pernapasan, kongesti

paru akut dan / atau gagal jantung. Terapi cairan lanjutan setelah periode

kebocoran plasma akan menyebabkan edema paru akut atau gagal jantung,

terutama ketika ada reabsorpsi cairan ekstravasasi. Kelainan metabolik sering

ditemukan sebagai hipoglikemia, hiponatremia, hipokalsemia dan kadang-

kadang, hiperglikemia. Gangguan ini dapat menyebabkan berbagai manifestasi

yang tidak biasa, mis. ensefalopati.3


DAFTAR PUSTAKA

1. Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, Simadibrata M, Setyohadi B, Syam AF, editors.


Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 6. Jakarta: Interna Publishing; 2015. p.539-
48.

2. Fauci A, Longo D. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 20th Edition.


McGraw Hill Education; 2018. p.3402-3.

3. WHO, Regional Office for South East Asia. Comprehensive Guidelines for
Prevention and Control of Dengue and Dengue Haemorrhagic Fever: Revised and
expanded edition. SEARO Technical Publication Series No. 60. India; 2020.

4. Guzman MG, Duane J, Izquierdo A, Martinez E, Scott B. Halstead. Dengue


infection. Cuba: Nature Reviews; 2018.

5. World Health Organization. DENGUE Guidelines for diagnosis, treatment,


prevention and control. New Edition. 2011.

6. Pudijadi A, Hegar B, Handryastuti S, dkk. Pedoman pelayanan medis Ikatan


Dokter Anak Indonesia edisi II. Jakarta: IDAI; 2010. p.344

7. World Health Organization. National Guidelines for Clinical Management of


Dengue Fever. India; 2014.

8. Kementerian Kesehatan RI. Kesiapsiagaan Menghadapi Peningkatan Kejadian


Demam Berdarah Dengue Tahun 2019. Jakarta; 2019.

Anda mungkin juga menyukai