Anda di halaman 1dari 23

Demam Berdarah Dengue

A. Pendahuluan
Demam berdarah dengue (DBD) merupakan penyakit yang banyak ditemukan
di sebagian besar wilayah tropis dan subtropis, terutama Asia tenggara, Amerika
tengah, Amerika dan Karibia. Host alami DBD adalah manusia, agentnya adalah virus
dengue yang termasuk ke dalam famili Flaviridae dan genus Flavivirus, terdiri dari 4
serotipe yaitu Den-1, Den-2, Den3 dan Den-4, ditularkan ke manusia melalui gigitan
nyamuk yang terinfeksi, khususnya nyamuk Aedes aegypti dan Ae. Albopictus yang
terdapat hampir di seluruh pelosok Indonesia.(1)
Manifestasi simptomatik infeksi virus dengue antara lain
demam dengue (dengan atau tanpa perdarahan): demam akut
selama 2-7 hari, ditandai dengan 2 atau lebih manifestasi klinis
(nyeri kepala, nyeri retroorbital, mialgia/ atralgia, ruam kulit,
manifestasi

perdarahan

leukopenia)

dan

[petekie

pemeriksaan

atau

serologi

uji

bendung

dengue

positif],

positif

atau

ditemukan pasien yang sudah dikonfirmasi menderita demam


dengue/ DBD pada lokasi dan waktu yang sama, DBD (dengan atau
tanpa renjatan)(2)

B. insidens dan epidemiologi


Kejadian DBD di Kota Makassar mulai dari tahun 2002-2012 cenderung naik
turun. Angka tertinggi kejadian DBD terjadi pada tahun 2002 dengan jumlah kasus
1445 penderita. Kasus tertinggi di Kecamatan Rappocini kemudian disusul
Kecamatan Panakukang. Pada tahun 2003 jumlah kasus 1154, tahun 2004 menurun
drastis menjadi 637 kasus tapi melonjak naik pada tahun 2005 yaitu 892 kasus
(meninggal 32 orang) jumlah kematian tertinggi jika dilihat dari tahun 2002-2012.
1

Angka kematian dapat ditekan menjadi 6 orang dari 852 penderita pada tahun 2006.
Tahun 2007 jumlah kasus DBD di Kota Makassar yaitu sebanyak 457 kasus, tahun
2008 sebanyak 265 kasus, tahun 2009 sebanyak 256 kasus, tahun 2010 sebanyak 185
kasus, tahun 2011 sebanyak 85 kasus, dan pada tahun 2012 sebanyak 86 kasus dengan
jumlah kematian sebanyak 2 kasus.(3)
C. Etiologi
Penyebab penyakit adalah virus dengue. Sampai saat ini dikenal ada 4 serotype virus
yaitu :
1.
2.
3.
4.

Dengue 1 (DEN-1) diisolasi oleh sabin pada tahun 1944


Dengue 2 (DEN-2) diisolasi oleh sabin pada tahun 1944
Dengue 3 (DEN-3) diisolasi oleh sather
Dengue 4 (DEN-4) diisolasi oleh Sather

Virus tersebut termasuk dalam grup B arthropod borne viruses (arbovirus).


Keempat tipe virus tersebut telah ditemukan di berbagai daerah di Indonesia dan yang
terbanyak adalah type 2 dan type 3. Penelitian di Indonesia menunjukkan Dengue
type 3 merupakan serotype virus yang dominan menyebabkan kasus berat.(4)

D. Patomekanisme
Patogenesis terjadinya demam berdarah dengue hingga saat ini masih di
perdebatkan.Berdasarkan data yang ada, terdapat bukti kuat bahwa mekanisme
immunohepatologis berperan dalam terjadinya demam berdarah dengue.
Respon imun yang diketahui berperan dalam pathogenesis DBD adalah :
1. Respon humoral berupa pembentukan antibody yang berperan dalam proses
netralisasi virus, sitolisis yang di mediasi komplemen dan sitotoksisitas yang di
mediasi oleh antibody. Antibody terhadap virus dengue berperan dalam
mempercepat replikasi virus pada monosit atau makrofag. Hipothesis ini disebut
Antibody Dependent Enchancement (ADE).
2. Limfosit T baik T-helper (CD4) dan T-Sitotoksik (CD8) berperan dalam respon
imun seluler terhadap virus dengue. Diferensiasi T-helper yaitu TH1 akan
2

memproduksi interferon gamma, IL-2, dan limfokin. Sedangkan, TH2


memproduksi IL-4, IL-5, IL-6 dan IL-10.
3. Monosit dan makrofag berperan dalam fagositosis virus dan opsonisasi
antibody. Namun proses fagositosis ini menyebabkan peningkatan replikasi
virus dan sekresi sitokin oleh makrofag.
4. selain itu aktivasi komplemen oleh kompleks imun menyebabkan terbentuknya
C3a dan C5a.
Halstead pada tahun 1973 mengajukan hipotesis secondary heterologous
infection yang mengatakan bahwa DHF terjadi bila seseorang terinfeksi ulang oleh
virus dengue dengan tipe yang berbeda. Re-infeksi menyebabkan reaksi amnestic
antibody sehingga menyebabkan konsentrasi kompleks imun yang tinggi.
Kurane dan ennis pada tahun 1994 merangkum pendapat Halstead dan peneliti
lain, menyatakan bahwa infeksi virus dengue mengakibatkan aktivasi makrofag yang
memfagositosis kompleks virus antibody yang non netralisasi sehingga virus
bereplikasi di makrofag. Terjadinya infeksi makrofag oleh virus dengue menyebabkan
aktivasi T-helper dan T-sitotoksik sehingga di produksi limfokin dan interferon
gamma. Interferon gamma akan mengaktivasi monosit sehingga disekresi berbagai
mediator inflamasi sepeti TNF-a, IL-1, PAF (Platelet activating Factor), IL-6 dan
histamine yang mengakibatkan terjadinya disfungsi sel endotel dan terjadi kebocoran
plasma. Peningkatan C3a dan C5a terjadi melalui aktivasi kompleks virus-antibody
yang juga mengakibatkan terjadinya kebocoran plasma.Hal

ini

terbukti

denganpeningkatan kadar hematokrit, penurunan natrium dan


terdapatnya cairan dalam rongga serosa.(3,5)

Gambar 1 : Hipotesis heterologous dengue infection

Trombositopenia pada infeksi dengue terjadi melalui mekanisme :


1). Supresi sumsum tulang, 2). Destruksi dan pemendekan masa
hidup trombosit.
Gambaran sumsum tulang pada fase awal infeksi (< 5 hari)
menunjukkan

keadaan

hiposelular

dan

supresi

megakariosit.

Setelah keadaan nadir tercapai maka akan terjadi peningkatan


proses

hematopoiesis

termasuk

megakariopoesis.

Kadar

trombopoietin dalam darah pada saat terjadi trombositopenia justru


menunjukkan kenaikan, hal ini menunjukkan terjadinya stimulasi
trombopoiesis sebagai mekanisme kompensasi terhadap keadaan
trombositopenia.Destruksi trombosit terjadi melalui pengikatan
fragmen

C3g,

terdapatnya

antibody

virus

dengue,

konsumsi

trombosit selama proses koagulopati dan sekuestrasi di perifer.


Gangguan fungsi trombosit terjadi melalui mekanisme gangguan
4

pelepasan ADP, peningkatan kadan b-tromboglobulin dan PF4 yang


merupakan pertanda degranulasi trombosit.
Koagulopati terjadi sebagai akibat interaksi virus dengan endotel
yang

menyebabkan

menunjukkan

disfungsi

terjadinya

endotel.

koagulopati

Berbagai

konsumtif

penelitian

pada

demam

berdarah dengue stadium III dan IV. Aktivasi koagulasi pada demam
berdarah dengue terjadi melalui aktivasi jalur ekstrinsik (tissue
factor pathway). Jalur instrinsik juga berperan melalui aktivasi factor
XIa namun tidak melalui aktivasi kontak (kalikrein C1- inhibitor
complex)(5)

E. Perjalanan penyakit

Gambar 2 : Perjalan klinis demam berdarah dengue

Fase Febris
Pada Gambar 2 dijelaskan bahwa pasien biasanya mengalami demam tinggi
secara tiba-tiba.Fase demam akut ini berlangsung 2-7 hari dan sering disertai
dengan kemerahan pada wajah, eritema kulit, sakit seluruh badan, mialgia,
arthralgia, sakit mata retro-orbital, fotofobia dan sakit kepala.Beberapa pasien
mungkin mengeluh sakit tenggorokan. Pasien juga

biasanya mengeluh tidak

nafsu makan, mual dan muntah.(6)


Di fase awal demam, bisa jadi sulit untuk membedakan klinis DBD dari penyakit
demam non-dengue. Tes tourniquet positif dalam fase ini menunjukkan
peningkatan probabilitas dengue. Namun, gambaran klinis tidak memprediksi
tingkat keparahan penyakit. Oleh karena itu sangat penting untuk memantau
tanda-tanda peringatan dan parameter klinis lain untuk mengenali perkembangan
ke fase kritis.Manifestasi perdarahan ringan seperti petechie dan perdarahan
membran mukosa (misalnya dari hidung dan gusi) dapat ditemukan. Awal
kelainan pada hitung darah lengkap adalah penurunan progresif jumlah sel darah
putih, yang harus diwaspadai oleh dokter untuk probabilitas tinggi dengue.(6)
Fase Kritis
Pada gambar 2 dijelaskan mengenai transisi dari fase demam ke fase
penyembuhan, pasien dengan tanpa peningkatan permeabilitas kapiler akan
mengalami perbaikan tanpa melalui fase kritis. Pasien dengan peningkatan

permeabilitas kapilerdapat bermanifestasi dengan tanda-tanda peringatan,


sebagian besar sebagai akibat dari kebocoran plasma.(6)
Tanda-tanda peringatan menandai awal dari fase kritis. Keadaan pasien menjadi
lebih buruk pada waktu penurunan suhu badan sampai yang normal, saat suhu
turun menjadi 37,5-38 C atau kurang dan tetap berada pada fase ini, biasanya
pada hari 3-8 sakit. Leukopenia progresif yang diikuti oleh penurunan cepat
jumlah trombosit biasanya

mendahului

kebocoran plasma. Peningkatan

hematokrit menjadi salah satu tanda tambahan awal. Periode kebocoran plasma
yang signifikan secara klinis biasanya berlangsung 24-48 jam. Tingkat kebocoran
plasma bervariasi. Peningkatan hematokrit mendahului perubahan tekanan darah
dan denyut nadi.(6)
Tingkat hemokonsentrasi mencerminkan tingkat keparahan kebocoran plasma.
Namun hal ini dapat dikurangi dengan pemberian cairan intravena. Oleh karena
itu, pemeriksaan pengukuran hematokrit sesering mungkin

penting karena

sebagai tanda perlunya kemungkinan penyesuaian terapi cairan intravena. Selain


kebocoran plasma, manifestasi perdarahan seperti mudah memar sering terjadi.(6)
Jika syok terjadi ketika volume kritis plasma hilang melalui kebocoran, seringkali
didahului oleh tanda-tanda peringatan. Suhu tubuh bisa subnormal ketika syok
terjadi.

Dengan

syok

mendalam

dan/atau

berkepanjangan,

hipoperfusi

mengakibatkan asidosis metabolik dan gangguan organ progresif. Hal ini dapat
menyebabkan perdarahan hebat yang menyebabkan hematokrit menurun.
Peningkatan leukosit biasanya ditemukan pada fase ini, total jumlah sel putih
mungkin meningkat sebagai respon stres pada pasien dengan perdarahan hebat.(6)
Beberapa pasien masuk ke fase kritis yaitu mengalami kebocoran plasma dan
syok sebelum penurunan suhu badan sampai yang normal. Pada pasien ini

mengalami peningkatan hematokrit dan timbulnya trombositopeniaatau tandatanda peringatan, menunjukkan terjadinya kebocoran plasma. Pasien dengue
dengan tanda peringatan biasanya akan membaik dengan rehidrasi intravena.
Beberapa pasien memburuk menjadi dengue berat.(6)
Tanda-tanda peringatan biasanya mendahului manifestasi syok dan muncul
menjelang akhir fase demam, biasanya antara hari 3-7 sakit. Muntah dan nyeri
perut hebat adalah indikasi awal kebocoran plasma dan menjadi semakin
memburuk karena kondisi pasien berkembang menjadi syok. Pasien menjadi
semakin lesu tapi biasanya tetap waspada secara mental. Gejala ini dapat menetap
sampai ke tahap syok. Kelemahan, pusing atau hipotensi postural terjadi selama
keadaan syok. Perdarahan mukosa spontan merupakan manifestasi penting.(6)
Pembesaran hepar sering dijumpai. Namun akumulasi cairan klinis hanya dapat
dideteksi jika kehilangan plasmasecara signifikan atau setelah pengobatan dengan
cairan intravena. Peningkatan platelet secara cepat dan progresif menjadi
100.000/mm3 dan kenaikan hematokrit melebihi batas normal menjadi tanda awal
kebocoran plasma. Hal ini biasanya didahului dengan leukopenia ( 5000
sel/mm3).(6)
Fase Penyembuhan
Setelah pasien berada pada fase kritis 24-48 jam, reabsorpsi bertahap cairan
kompartemenekstravaskuler terjadi dalam 48-72 jam berikutnya. Keadaan umum
membaik, nafsu makan kembali, gejala gastrointestinal mereda, status
hemodinamik stabil, dan diuresis terjadi kemudian. Beberapa pasien memiliki
eritematosakonfluen atau petekie dengan daerah kecil kulit normal, digambarkan
sebagai "pulau putih di laut merah". Beberapa mungkin mengalami generalized
pruritus.(6)

Bradikardi dan perubahan EKG sering terjadi pada fase ini. Hematokrit stabil atau
mungkin lebih rendah karena efek dilusi penyerapan cairan. Jumlah sel darah
putih biasanya mulai naik segera setelah penurunan suhu badan sampai yang
normal tetapi pemulihan jumlah trombosit biasanya lambat dibandingkan dengan
jumlah sel darah putih. Gangguan pernapasan dari efusi pleura masif dan ascites,
edema paru atau gagal jantung kongestif akan terjadi selama fase kritis dan/atau
fase pemulihan jika diberikan cairan intravena yang berlebihan. (6)

F. Diagnosis
Diagnosis DHF ditegakkan berdasarkan kriteria diagnosis menurut WHO tahun 2011
terdiri dari kriteria klinis dan laboratoris:6,7
1. Kriteria Klinis
a. Demam tinggi mendadak, tanpa sebab jelas, berlangsung terus menerus
selama 2 7 hari.
b. Terdapat manifestasi perdarahan ditandai dengan :
1) Uji tourniquet positif
2) Petekia, ekimosis, epitaksis, perdarahan gusi
3) Hemetamesis dan atau melena.
c. Trombositopenia (<100.000 sel/ mm3 atau kurang)
d. Terdapat minimal tanda-tanda kebocoran plasma sebagai berikut:
1) Peningkatan hematocrit > 20%
2) Penurunan hematocrit > 20% setelah mendapat terapi
dibandingkan dengan nilai hematocrit sebelumnya.
3) Tanda kebocoran plasma seperti: efusi pleura,

asites

cairan,
atau

hipoproteinemia.
Dua kriteria pertama ditambah trombositopenia dan hemokonsentrasi atau
peningkatan hematokrit cukup untuk menegakkan diagnosis klinis demam
berdarah dengue.

2. Derajat DHF
DD/DBD
DD

Derajat Gejala
Laboratorium
Demam disertai 2 atau lebih tanda: sakit Leukopenia, serologi
kepala,

DBD

nyeri

retro

orbital,

mialgia, dengue positif

artralgia
Gejala di atas ditambah uji bendung positif

Trombositopenia
(<100.000/ul),

DBD

II

Gejala

di

atas

ditambah

adakebocoran plasma
perdarahan Trombositopenia

spontan
DBD

III

IV

(<100.000/ul),bukti

ada kebocoran plasma


Gejala di atas ditambah kegagalan sirkulasi Trombositopenia
(kulit dingin dan lembab serta gelisah)

DBD

bukti

(<100.000/ul),

bukti

ada kebocoran plasma


Syok berat disertai dengan tekanan darah Trombositopenia
dan nadi tidak terukur

(<100.000/ul),

bukti

ada kebocoran plasma

10

3. Pemeriksaan Laboratorium
Parameter laboratorium yang dapat diperiksa antara lain:
- Leukosit: dapat normal atau menurun. Mulai hari ke 3 dapat ditemui
limfositosis relatif (>45% dari total leukosit)
-

Trombosit: terdapat trombositopenia pada hari ke 3-8

Hematokrit: kebocoran plasma dibuktikan dengan ditemukannya peningkatan


hematokrit 20% dari hematokrit awal, dimulai pada hari ke-3 demam

Hemostasis: dilakukan pemeriksaan PT, APTT, Fibrinogen, D-Dimer, atau


FDP (fibrinogen degredation product) pada keadaan yang dicurigai terjadi
perdarahan atau kelainan pembekuan darah.

Protein / albumin: dapat terjadi hipoproteinemia akibat kebocoran plasma

SGOT/SGPT (serum alanin aminotransferase): dapat meningkat.

Ureum, kreatinin: bila didapatkan gangguan fungsi ginjal.

Elektrolit: sebagai parameter pemantauan pemberian cairan

Golongan darah dan cross match (uji cocok serasi): bila akan diberikan
transfusi darah atau komponen darah.

Imunoserologi dilakukan pemeriksaan IgM dan IgG terhadap dengue.

IgM: terdeteksi mulai hari ke 3-5, meningkat sampai minggu ke-3,


menghilang setelah 60-90 hari.

11

IgG: pada infeksi primer, IgG mulai terdeteksi pada hari ke-14, pada infeksi
sekunder IgG mulai terdeteksi pada hari ke-2.

NS1: antigen NS1 dapat dideteksi pada awal demam sampai hari ke delapan.
Sensitivitas antigen NS1 berkisar 63%-93,4% dengan spesifitas 100% sama
tingginya dengan sensitifitas gold standar kultur virus

G. Penatalaksanaan
Tidak ada terapi yang spesifik untuk demam dengue, prinsip utama adalah terapi
suportif. Pemeliharaan volume cairan sirkulasi merupakan tindakan yang paling
penting dalam penanganan kasus DBD. Asupan cairan pasien harus tetap dijaga
terutama cairan oral. Jika asupan cairan oral pasien tidak mampu dipertahankan,
maka dibutuhkan suplemen cairan melalui intravena untuk mencegah dehidrasi dan
hemokonsentrasi secara bermakna. Berikut adalah tatalaksana DBD:
1.
Protokol 1 Pasien Tersangka DBD

Gambar 3 : Observasi dan pemberian cairan suspek DBD dewasa tanpa renjatan
di unit gawat dadurat
Protokol 1 ini dapat digunakan sebagai petunjuk dalam memberikan
pertolongan pertama pada pasien DBD atau yang diduga DBD di Puskesmas
atau Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit dan tempat perawatan lainnya
untuk dipakai sebagai petunjuk dalam memutuskan indikasi rujuk atau rawat.
12

Manifestasi perdarahan pada pasien DBD pada fase awal mungkin masih
belum tampak, demikian pula hasil pemeriksaan darah tepi (Hemoglobin,
hematokrit, lekosit dan trombosit) mungkin masih dalam batas-batas normal,
sehingga sulit membedakannya dengan gejala penyakit infeksi akut lainnya.
Perubahan ini mungkin terjadi dari saat ke saat berikutnya. Maka pada
kasus-kasus yang meragukan dalam menentukan indikasi rawat diperlukan
observasi/pemeriksaan lebih lanjut. Pada seleksi pertama diagnosis ditegakkan
berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik serta hasil pemeriksaan
hemoglobin, hematokrit, dan jumlah trombosit.
Indikasi rawat pasien DBD dewasa pada seleksi pertama adalah:
a. DBD dengan syok dengan atau tanpa perdarahan
b. DBD dengan perdarahan masif dengan atau tanpa syok
c. DBD tanpa perdarahan masif dengan :
Hb, Ht, normal dengan trombosit < 100.000/pl
Hb, HT yang meningkat dengan trombositpenia < 150.000/pl
Pasien yang dicurigai menderita DBD dengan hasil Hb, Ht dan
trombosit dalam batas nomal dapat dipulangkan dengan anjuran kembali
kontrol ke poliklinik Rumah Sakit dalam waktu 24 jam berikutnya atau bila
keadaan pasien rnemburuk agar segera kembali ke Puskesmas. Sedangkan
pada kasus yang meragukan indikasi rawatnya, rnaka untuk sementara pasien
tetap diobservasi di Puskesmas dengan anjuran minum yang banyak, serta
diberikan infus ringer laktat sebanyak 500 cc dalam empat jam. Setelah itu
dilakukan pemeriksaan ulang Hb, Ht dan trombosit.
Pasien di rujuk apabila didapatkan hasil sebagai berikut.
a. Hemoglobin, hematokrit dalam batas normal dengan jumlah trombosit
kurang dari 100.000/pl atau
13

b. Hemoglobin, hematokrit yang meningkat dengan jumlah trombosit


kurang dari 150.000/pl
Pasien dipulangkan apabila didapatkan nilai hemoglobin, hematokrit
dalam batas normal dengan jumlah trombosit lebih dari 100.000/pl dan dalam
waktu 24 jam kemudian diminta kontrol ke Puskesmas/poliklinik atau kembali
ke IGD apabila keadaan menjadi memburuk. Apabila masih meragukan,
pasien tetap diobservasi dan tetap diberikan infus ringer laktat 500 cc dalam
waktu empat jam berikutnya. Setelah itu dilakukan pemeriksaan ulang
hemoglobin, hematokrit dan jumlah trombosit.
Pasien dirawat bila didapatkan hasil laboratorium sebagai berikut.
a. Nilai hemoglobin, hematokrit dalam batas normal dengan jumlah
trombosit kurang dari 100.000/ul
b. Nilai hemoglobin, hematokrit

tetap/meningkat

dibanding

nilai

sebelumnya dengan jumlah trombosit normal atau menurun


Selama diobservasi perlu dimonitor tekanan darah, frekuensi nadi, dan
pernafasan serta jumlah urin minimal setiap 4 jam.
2.

Protokol 2 DBD tanpa perdarahan masif dan syok

14

Gambar 4 : Pemberian cairan pada suspek DBD dewasa di ruang rawat


Pada pasien DBD dewasa tanpa perdarahan masif (uji tourniquet
positif, petekie, purpura, epistaksis ringan, perdarahan gusi ringan) dan tanpa
syok di ruang rawat diberikan cairan infus kristaloid dengan jumlah rumus:
1500 + {20 x (BB dalam kg 20)}Setelah pemberian cairan dilakukan
pemeriksaan Hb, Ht tiap 24 jam;
a) Bila Hb, Ht meningkat 10 20% dan trombosit <100.000 jumlah
pemberian cairan tetap seperti rumus di atas tetapi pemantauan Hb, Ht
trombo dilakukan tiap 12 jam.
b) Bila Hb, Ht meningkat >20% dan rombosit <100.000 maka pemberian
cairan sesuai protokol penatalaksanaan DBD dengan peningkatan Ht
>20%.
Pemberian cairan Ringer laktat merupakan pilihan pertama. Cairan
lain yang dapat dipergunakan antara lain cairan dekstrosa 5% dalam ringer
laktat atau ringer asetat, dekstrosa 5% dalam NaCl 0,45%, dekstrosa 5%
dalam larutan garam atau NaCl 0,9%. Jumlah cairan yang diberikan dengan
perkiraan selama 24 jam, pasienmengalami dehidrasi sedang, maka pada

15

pasien dengan berat badan sekitar 50-70 kg diberikan ringer laktat per infus
sebanyak 3.000 cc dalam waktu 24 jam.
Pasien dengan berat badan kurang dari 50 kg pemberian cairan infus
dapat dikurangi dan diberikan 2.000 cc/24 jam, sedangkan pasien dengan
berat badan lebih dari 79 kg dapat diberikan cairan infus sampai dengan 4.000
cc/ 24 jam. Selama fase akut jumlah cairan infus diberikan pada hari
berikutnya setiap harinya tetap sama dan pada saat mulai didapatkan tandatanda penyembuhan yaitu suhu tubuh mulai turun, pasien dapat minum dalam
jumlah cukup banyak (sekitar dua liter dalam 24 jam) dan tidak didapatkannya
tanda-tanda hemokonsentrasi serta jumlah trombosit mulai meningkat lebih
dari 50.000/pi, maka jumlah cairan infus selanjutnya dapat mulai dikurangi.
Mengingat jumlah pemberian cairan infus pada pasien DBD dewasa
tanpa perdarahan masif dan tanda renjatan tersebut sudah memadai, maka
pemeriksaan Hb, Ht dan trombosit dilakukannya setiap 12 jam untuk pasien
dengan jumlah trombosit kurang dari 100.000/p 1, sedangkan untuk pasien
DBD

dewasa

dengan

jumlah

trombosit

berkisar

100.000

150.000/pl,pemeriksaan Hb, Ht dan trombosit dilakukan setiap 24 jam.


Pemeriksaan tekanan darah, frekuensi nadi dan pernafasan, dan jumlah
urin dilakukan setiap 6 jam, kecuali bila keadaan pasien semakin memburuk
dengan didapatkannya tanda-tanda syok, maka pemeriksaan tanda-tanda vital
tersebut harus lebih diperketat. Mengenai tanda-tandasyok sedini mungkin
sangat diperlukan, karena penanganan pasien SSD lebih sulit, dandisertai
dengan risiko kematian yang lebih tinggi. Tanda-tanda syok dini yang harus
segera dicurigai apabila pasien tampak gelisah, atau adanya penurunan
kesadaran, akral teraba lebih dingin dan tampak pucat, serta jumlah urin yang

16

menurun kurang dari 0,5ml/kgBB/jam. Gejala-gejala diatas merupakan tandatanda berkurangnya aliran/perfusi darah ke organ vital tersebut.
Tanda-tanda lain syok dini adalah tekanan darah menurun dengan
tekanan sistolik kurang dari 100 mmHg, tekanan nadi kurang dari 20 mmHg,
nadi cepat dan kecil. Apabila didapatkan tanda-tanda tersebut pengobatan
syok harus segera diberikan. Transfusi trombosit hanya diberikan pada DBD
dengan perdarahan masif (perdarahan dengan jumlah darah 4-5 ml/kgBB/jam)
dengan jumlah trombosit < 100.000/pl, dengan atau tanpa koagulasi
intravaskular disseminata (KID). Pasien DBD dengan trombositopenia tanpa
perdarahan masif tidak diberikan transfusi suspensi trombosit.

3. Protokol 3 DBD dengan peningkatan Ht > 20%

17

Gambar 6 : Penangan pasien demam berdarah dengue dengan peningkatan


hematocrit> 20%
Pada Gambar 6 menjelaskan mengenai tatalaksana pasien DBD
dengan peningkatan hematocrit > 20%.Meningkatnya Ht >20% menunjukkan
bahwa tubuh mengalami defisit cairan sebanyak 5%. Pada keadaan ini terapi
awal pemberian cairan adalah dengan memberikan infus kristaloid sebanyak
6-7 ml/kg/jam. Pasien kemudian dipantau setelah 3-4 jam pemberian cairan.
Bila terjadi perbaikan yang ditandai dengan tanda-tanda hematokrit turun,
frekuensi nadi turun, tekanan darah stabil, produksi urin meningkat, maka
jumlah cairan infus dikurangi 5ml/kgBB/jam. Dua jam kemudian dilakukan
18

pemantauan kembali dan bila keadaan tetap menunjukkan perbaikan maka


jumlah cairan infus dikurangi menjadi 3 ml/kgBB/jam. Bila dalam
pemantauan keadaan tetap membaik maka pemberian cairan dapat dihentikan
24-48 jam kemudian.
Apabila setelah pemberian terapi cairan awal 6-7 ml/kgBB/jam tadi
keadaan tidak membaik, yang ditandai dengan Ht dan nadi meningkat,
tekanan drah menurun <20 mmHg, produksi urin menurun, maka kita harus
menaikkan jumlah cairan infus menjadi 10 ml/kgBB/jam. Dua jam kemudian
dilakukan pemantauan kembali dan bila keadaan menunjukkan perbaikan
maka jumlah cairan dikurangi menjadi 2 ml/kgBB/jam tetapi bila keadaan
tidak menunjukkan perbaikan maka maka jumlah cairan infus dinaikkan
menjadi 15 ml/kgBB/jam dan bila dalam perkembangannya kondisi menjadi
memburuk dan didapatkan tanda-tanda syok maka pasien ditangani dengan
protokol tatalaksana sindrome syok dengue pada dewasa. Bila syok telah
teratasi maka pemberian cairan dimulai lagi seperti terapi pemberian cairan
awal.
4. Protokol 4 DBD dengan perdarahan spontan dan masif, tanpa syok
Perdarahan spontan dan masif pada pasien DBD dewasa misalnya
perdarahan hidung/epistaksis yang tidak terkendali walaupun telah diberi
tampon hidung, perdarahan saluran cerna (hematemesis dan melena atau
hematoskesia), perdarahan saluran kencing (hematuria), perdarahan otak dan
perdarahan

tersembunyi,

dengan

jumlah

perdarahan

sebanyak

4-5

ml/kgBB/jam. Pada keadaan seperti ini jumlah dan kecepatan pemberian


cairan ringer laktat tetap seperti keadaan DBD tanpa renjatan lainnya 500 ml
setiap 4 jam.
19

Pemeriksaan tekanan darah, nadi, pernafasan dan jumlah urin


dilakukan sesering mungkin dengan kewaspadaan terhadap tanda-tanda syok
sedini mungkin. Pemeriksaan Hb, Ht dan trombosit serta hemostase harus
segera dilakukan dan pemeriksaan Hb, Ht dan trombosit sebaiknya diulang
setiap 4-6 jam. Heparin diberikan apabila secara klinis dan laboratoris
didapatkan tanda-tanda KID. Transfusi komponen darah diberikan sesuai
indikasi. Fresh Frozen Plasma (FFP) diberikan bila didapatkan defisiensi
faktor-faktor pembekuan (PT dan PTT yang memanjang), Packed Red Cell
(PRC) diberikan bila nilai Hb kurang dari 10 g%. Transfusi trombosit hanya
diberikan pada DBD dengan perdarahan spontan dan masif dengan jumlah
trombosit kurang dari 100.000/mm3 disertai atau tanpa KID.
5. Protokol 5 DBD dengan syok dan perdarahan spontan
Kewaspadaan terhadap tanda syok dini pada semua kasus DBD sangat
penting, karena angka kematian pada SSD sepuluh kali lipat dibandingkan
pasien DBD tanpa syok. SSD dapat terjadi karena keterlambatan penderita
DBD mendapatkan pertolongan atau pengobatan, penatalaksanaan yang tidak
tepat termasuk kurangnya kewaspadaan terhadap tanda syok dini, dan
pengobatan SSD yang tidak adekuat.

H. Diagnosis banding
1. Demam karena infeksi virus (influenza, chikungunya dan lain
lain)
2. Demam Tifoid
I. Pencegahan
Pencegahan penyakit DBD sangat tergantung pada pengendalian vektornya,
yaitu nyamuk Aedes aegypti. Pengendalian nyamuk tersebut dapat dilakukan dengan
menggunakan beberapa metode yang tepat, yaitu (4)
20

1.

Lingkungan
Metode lingkungan untuk mengendalikan nyamuk tersebut antaralain dengan
Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN), pengelolaansampah padat, modifikasi
tempat perkembangbiakan nyamuk hasilsamping kegiatan manusia, dan
perbaikan desain rumah. Sebagaicontoh:(4)
a. Menguras bak mandi/penampungan air- sekurang-kurangnyasekali
seminggu.
b. Mengganti/menguras vas bunga dan tempat- minum burungseminggu
sekali.
c. Menutup dengan rapat tempat penampungan- air.
d. Mengubur kaleng-kaleng bekas, aki bekas dan ban bekas di sekitar
rumah- dan lain sebagainya.

2.

Biologis
Pengendalian biologis antara lain dengan menggunakan ikanpemakan jentik
(ikan adu/ikan cupang), dan bakteri (Bt.H-14). (4)

3.

Kimiawi
Cara pengendalian ini antara lain dengan:
a. Pengasapan/fogging (dengan menggunakan malathion danfenthion),
berguna untuk mengurangi kemungkinan penularansampai batas waktu
tertentu.
b. Memberikan

bubuk

abate

(temephos)

pada

tempat-

tempatpenampungan air seperti, gentong air, vas bunga, kolam, dan


lain-lain.
Cara yang paling efektif dalam mencegah penyakit DBD adalah dengan
mengkombinasikan cara-cara di atas, yang disebut dengan 3M Plus, yaitu
menutup, menguras, menimbun. Selain itu juga melakukan beberapa plus
seperti memelihara ikan pemakan jentik, menabur larvasida, menggunakan
kelambu pada waktu tidur, memasang kasa, menyemprot dengan insektisida,
menggunakan repellent, memasang obat nyamuk, memeriksa jentik berkala
dan disesuaikan dengan kondisi setempat.(4)
21

J. Kesimpulan
Demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit infeksi yang disebabkan
oleh virus dengue. Patogenesis DBD masih belum diketahui secara pasti. Berdasarkan
hipotesis yang sering dijadikan rujukan untuk menerangkannya adalah the secondary
heterotypic infection dan antibody dependent enchancement. Prinsip utama
penatalaksanaan DBD adalah terapi suportif. Pemeliharaan volume cairan sirkulasi
merupakan tindakan yang paling penting dalam penanganan kasus DBD. Pencegahan
penyakit DBD sangat tergantung pada pengendalian vektornya, yaitu nyamuk Aedes
aegypti. Pengendalian nyamuk tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan
beberapa metode yang tepat, yaitu : lingkungan, biologis dan kimiawi.

22

Daftar Pustaka

1. Aryu C. Demam berdarah dengue : epidemiologi, patogenesis dan faktor resiko


penularan. Aspirator. 2010;2(2):110-119.
2. Chen K, Herdiman T. Pohan, Sinto R. Diagnosis dan terapi cairan pada demam
berdarah dengue. Medicinus: Scientic Journal of Pharmaceutical Development and
Medical Application. 2009; 22: 3-7.
3. Maria I, Ishak H, Selomo M. Faktor Resiko Kejadian Demam Berdarah Dengue
(DBD) Di Kota Makassar Tahun 2013. Makassar: Universitas Hasanuddin; 2013.
4. Sukohar A. Demam Berdarah Dengue. Lampung: Universitas Lampung; 2014.
5. Suhendro, Nainggolan L, Chen K, Pohan HT. Demam Berdarah Dengue. Dalam Buku
ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid III Edisi V. Editor : Sudoyo AW dkk. Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Jakarta : 2007.
6. World Health Organization. Dengue Guidelines for Diagnosis, Treatment, Prevention
and Control. New edition. Geneva. 2009.
7. Zaenal A, dkk. Panduan Klinis Bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer.
Jakarta: IDI; 2013.

23

Anda mungkin juga menyukai