Anda di halaman 1dari 23

PRESENTASI KASUS

Dengue Haemorragic Fever Grade II pada Anak

Pembimbing:
dr. Nurifah, SpA

Penulis:
Adhe Sukma Kirana Sari (1102015005)

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI
RUMAH SAKIT BHAYANGKARA TK. I RADEN SAID SUKANTO
PERIODE 8 April – 22 Juni 2019
Dengue Haemoorragic Fever Grade II pada Anak
Adhe Sukma Kirana Sari1, Nurifah2
1
Fakultas Kedokteran Universitas YARSI Jakarta
2
Bagian Anak RS Bhayangkara Tk. I R. Said Sukanto Jakarta

ABSTRAK
Dengue Haemorrahagic Fever (DHF) atau Demam Berdarah Dengue (DBD)
adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dengue dengan manifestasi klinis
demam, nyeri otot/nyeri sendi yang disertai leukopenia, ruam, limfadenopati,
trombositopenia dan diatesi hemoragik. Pada penyakit DHF terjadi perembesan plasma
yang ditandai dengan hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit) atau penumpukan cairan
di rongga tubuh. Penyebab dari penyakit DHF adalah virus dengue yang mempunyai 4
jenis serotipe yaitu den-1, den-2, den-3, dan den-4. Tatalaksana pada fase demam bersifat
simtomatik dan suportif yaitu pemberian cairan oral untuk mencegah dehidrasi. Apabila
cairan oral tidak dapat diberikan, maka cairan intervena rumatan perlu diberikan.
Keberhasilan tatalaksana DHF terletak pada bagaimana mendeteksi secara dini fase kritis,
yaitu saat suhu turun (the time of defervescence) yang merupakan fase awal terjadinya
kegagalan sirkulasi, dengan melakukan observasi klinis disertai pemantauan perembesan
plasma dan gangguan hemostasis.

Kata kunci : dengue haemorragic fever, anak

ABSTRACT
Dengue Haemorrahagic Fever (DHF) or Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) is
an infectious disease caused by dengue virus with clinical manifestations of fever, muscle
aches / joint pain accompanied by leukopenia, rash, lymphadenopathy, thrombocytopenia
and hemorrhagic diathesis. In DHF disease, plasma leakage occurs characterized by
hemoconcentration (increased hematocrit) or fluid buildup in the body cavity. The cause
of DHF disease is the dengue virus which has 4 types of serotypes : den-1, den-2, den-3,
and den-4. Management of the fever phase is symptomatic and supportive, namely oral
administration to prevent dehydration. If oral fluids cannot be given, maintenance fluids
need to be given. The success of managing DHF lies in how to detect the critical phase
early, namely when the temperature drops (the time of defervescence) which is the initial
phase of circulatory failure, by conducting clinical observations accompanied by plasma
permeation monitoring and disorders of hemostasis.

Keywords : dengue haemorragic fever, children

Pendahuluan

2
Dengue Haemorrahagic Fever (DHF) atau Demam Berdarah Dengue
(DBD) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dengue dengan
manifestasi klinis demam, nyeri otot/nyeri sendi yang disertai leukopenia, ruam,
limfadenopati, trombositopenia dan diatesi hemoragik. Pada penyakit DHF terjadi
perembesan plasma yang ditandai dengan hemokonsentrasi (peningkatan
hematokrit) atau penumpukan cairan di rongga tubuh.1
Demam berdarah meluas di seluruh daerah tropis. Data dari World Health
Organization (WHO) menunjukan sebelum tahun 1970, hanya sembilan negara
yang mengalami epidemi dengue berat dan sekarang endemi kasus dengue lebih
dari 100 negara yaitu di kawasan Afrika, Mediterania Timur, Asia Tenggara, dan
Pasifik barat; sedangkan untuk di wilayah Amerika, Asia tenggara dan pasifik
barat adalah wilayah yang paling parah terkena dampak dari penyakit demam
berdarah.2

Gambar 1. Distribusi dengue pada tahun 2016 menurut WHO.

Kasus DHF di Indonesia terus bertambah. Secara nasional, jumlah kasus


DHF hingga tanggal 3 Februari 2019 adalah sebanyak 16.692 kasus dengan 169
orang meninggal dunia. Kasus terbanyak ada di wilayah Jawa Timur, Jawa
Tengah, NTT, dan Kupang.3

3
Penyebab dari penyakit DHF adalah virus dengue termasuk kedalam group
B arthropod borne virus (arboviruses) dan sekarang dikenal sebagai genus
flavivirus, famili flaviviridae, yang mempunyai 4 jenis serotipe yaitu den-1, den-2,
den-3, dan den-4. Infeksi dengan salah satu serotipe akan menimbulkan antibodi
seumur hidup terhadap serotipe yang bersangkutan tetapi tidak ada perlindungan
terhadap serotipe yang lain, di Indonesia keempat serotipe ditemukan dan
bersirkulasi sepanjang tahun. Serotipe den-3 merupakan serotipe yang dominan
dan banyak berhubungan dengan kasus berat.4
Klasfikasi DHF menurut WHO dapat dilihat pada tabel dibawah ini.5
Tabel 1: Klasifikasi Dengue Haemorragic Fever menurut WHO
DHF Grade Tanda dan Gejala Hasil laboratorium
I Demam dan manifestasi perdarahan (tes Trombositopenia
tourniquet positive) dan adanya bukti <100.000 cells/mm3;
plasma leakage Ht : meningkat ≥ 20 %
II Seperti derajat grade I, disertai Trombositopenia
perdarahan spontan dikulit atau <100.000 cells/mm3;
perdarahan lain. Ht : meningkat ≥ 20 %
III Didapatkan kegagalan sirkulasi, yaitu Trombositopenia
nadi cepat dan lambat, tekanan nadi <100.000 cells/mm3;
menurun (≤ 20 mmHg), atau hipotensi, Ht : meningkat ≥ 20 %
sianosis disekitar mulut, kulit dingin
dan lembab, dan anak tampak gelisah
IV Syok berat (profound shock), nadi tidak Trombositopenia
teraba, tekanan darah tidak terukur. <100.000 cells/mm3;
Ht : meningkat ≥ 20 %
Source: http://www.who.int/csr/resources/publications/dengue/Denguepublication/en/
Meningginya nilai hematokrit pada kasus syok menimbulkan dugaan
bahwa syok terjadi sebagai akibat kebocoran plasma ke daerah ekstravaskular
(ruang interstisial dan rongga serosa) melalui kapiler yang rusak. Bukti yang
mendukung dugaan ini ialah meningkatnya berat badan, ditemukannya cairan
yang tertimbun dalam rongga serosa yaitu rongga peritoneum, pleura, dan
perikardium yang pada otopsi ternyata melebihi cairan yang diberikan melalui
infus, dan terdapatnya edema.4
Trombositopenia merupakan kelainan hematologis yang ditemukan pada
sebagian besar kasus DHF. Nilai trombosit mulai menurun pada masa demam dan
mencapai nilai terendah pada masa syok. Jumlah trombosit secara cepat

4
meningkat pada masa konvalesens dan nilai normal biasanya tercapai 7-10 hari
sejak permulaan sakit. Trompositopenia dihubungkan dengan meningkatnya
megakariosit muda dalam sumsum tulang dan pendeknya masa hidup trombosit
diduga akibat meningkatnya destruksi trombosit. Penyebab peningkatan destruksi
trombosit tidak diketahui, namum beberapa faktor dapat menjadi penyebab yaitu
virus dengue, komponen aktif sistem komplemen, kerusakan sel endotel dan
aktivasi sistem pembekuan darah secara bersamaan atau secara terpisah. Selain itu
fungsi trombosit pada DHF terbukti menurun yang mungkin disebabkan proses
imunologis terbukti komples imun dalam peredaran darah.4
Perdarahan kulit pada DHF umumnya disebabkan oleh faktor kapiler,
gangguan fungsi trombosit dan trombositopenia; sedangkan perdarahan masif
ialah akibat kelainan mekanisme yang lebih kompleks seperti trombositopenia,
gangguan faktor pembekuan, dan kemungkinan besar oleh faktor Disseminated
intravascular coagulation (DIC), terutama pada kasus dengan syok lama yang
tidak dapat diatasi disertai komplikasi asidosis metabolik.4
Respon leukosit pada perjalanan penyakit DHF, sejak demam hari ketiga
terlihat peningkatan limfosit atopik yang berlangsung sampai hari kedelapan.
Penelitian yang lebih mendalam dilakukan oleh Sutaryo yang menyebutnya
sebagai limfosit plasma biru (LPB). Pemeriksaan LPB secara seri dari preparat
hapus darah tepi memperlihatkan bahwa LPB pada infeksi dengue mencapai
puncak pada hari demam keenam. Selanjutnya dibuktikan pula bahwa di antara
hari keempat sampai hari kedelapan demam terdapat perbedaan bermakna proposi
LPB pada DHF dengan demam dengue. Berdasarkan uji diagnostik maka dipilih
titik potong (cut off point) LPB 4%. Nilai titik potong itu secara praktis mampu
membantu diagnosis dini infeksi dengue dan non-dengue. Dari penelitian
imunologi disimpulkan bahwa LPB merupakan campuran antara limfosit-B dan
limfosit-T.4
Antibodi yang terbentuk pada infeksi dengue terdiri dari IgG yang
berfungsi menghambat peningkatan replikasi virus dalam monosit, yaitu
enhancing-antibody dan neutralizing antibody. Pada saat ini dikenal jenis tipe
antibodi yaitu

5
1. kelompok monoklonal reaktif yang tidak mempunyai sifat menetralisasi
tetapi memacu replikasi virus, dan
2. Antibodi yang dapat menetralisasi secara spesifik tanpa disertai daya
memacu replikasi virus.
Perbedaan ini berdasarkan adanya virion determinant spesificity. Antibodi non-
neutralisasi yang dibentuk pada infeksi primer akan menyebabkan terbentuknya
kompleks imun pada infeksi sekunder dengan akibat memacu replikasi virus.
Teori ini pula yang mendasari pendapat bahwa infeksi sekunder virus dengue oleh
serotipe yang berbeda cenderung menyebabkan manifestasi berat. Dasar utama
hipotesis ialah meningkatnya reaksi immunologis (the immunological
enchancement hypotesis) yang berlangsung sebagai berikut :
a). Sel fagosit mononuklear yaitu monosit, makrofag, histiosit dan sel kuppfer
merupakan tempat utama terjadinya infeksi virus dengue primer.
b). Non neutrailizing antibody baik yang bebas dalam sirkulasi maupun yang
melekat (sitofilik) pada sel, bertindak sebagai reseptor spesifik untuk melekatnya
virus dengue pada permukaan sel fagosit mononuklear. Mekanisme pertama ini
disebut mekanisme aferen.
c). Virus dengue kemudian akan bereplikasi dalam sel fagosit mononuklear yang
telah terinfeksi.
d). Selanjutnya sel monosit yang mengandung kompleks imun akan menyebar ke
usus, hati, limpa dan sumsum tulang. Mekanisme ini disebut mekanisme eferen.
Parameter perbedaan terjadinya DHF dengan tanpa renjatan ialah jumlah sel yang
terkena infeksi.
e). Sel monosit yang telah teraktivasi akan mengadakan interaksi dengan sistem
humoral dan sistem komplemen dengan akibat dilepaskannya mediator yang
mempengaruhi permeabilitas kapiler dan mengaktivasi sistem koagulasi.
Mekanisme ini disebut mekanisme efektor.
Akibat rangsangan monosit yang terinfeksi virus dengue atau antigen virus
dengue, limfosit dapat mengeluarkan interferon (IFN-α dan γ ). Pada infeksi
sekunder oleh virus dengue (serotipe berbeda dengan infeksi pertama), limfosit T
CD4+ berproliferasi dengan menghasulkan IFN-α . IFN-α selanjutnya merangsang

6
sel yang terinfeksi virus dengue dan mengakibatkan monosit memproduksi
mediator. Oleh limfosit T CD4+ dan CD8+ spesifik virus dengue, monosit akan
mengalami lisis dan mengeluarkan mediator yang menyebabkan kebocoran
plasma dan perdarahan.4
Gejala DHF ditandai oleh 4 manifestasi klinis, yaitu demam tinggi,
perdarahan, terutama perdarahan kulit, hepatomegali dan kegagalan peredaran
darah (circulatory failure). Fenomena patofisilogi utama yang menentukan derajat
penyakit yang membedakan DHF dan dengue fever adalah peningkatan
permeabilitas dinding pembuluh darah, menurunnya volume plasma,
trombositopenia, dan diastesis hemoragik. Pada DHF petekia halus yang tersebar
di anggota gerak, muka, aksila seringkali ditemukan pada masa dini demam.
Harus diingat juga bahwa perdarahan dapat terjadi disetiap organ tubuh.
Epistaksis dan perdarahan gusi jarang di jumpai, sedangkan perdarahan saluran
penceranaan hebat lebih jarang lagi dan biasanya timbul setelah renjatan yang
tidak dapat diatasi.4
Keberhasilan tatalaksana DHF terletak pada bagaimana mendeteksi secara
dini fase kritis, yaitu saat suhu turun (the time of defervescence) yang merupakan
fase awal terjadinya kegagalan sirkulasi, dengan melakukan observasi klinis
disertai pemantauan perembesan plasma dan gangguan hemostasis. Prognosis
DHF terletak pada pengenalan awal terjadinya perembesan plasma, yang dapat
diketahui dari penigkatan kadar hematokrit dan penurunan jumlah trombosit. Fase
kritis pada umumnya terjadi pada hari sakit ketiga. Penurunan jumlah trombosit
sampai <100.000/ul atau <1-2 trombosit/LPB (rata-rata hitung pada 10 LPB)
terjadi sebelum peningkatan hematokrit dan sebelum terjadi penurunan suhu.
Peningkatan hematokrit ≥ 20 % mencerminkan perembesan plasma dan
merupakan indikasi untuk pemberian cairan.4

Tatalaksana DHF dapat di lihat dari ketiga bagan dibawah ini.

7
8
9
Tatalaksana pada fase demam bersifat simtomatik dan suportif yaitu
pemberian cairan oral untuk mencegah dehidrasi. Apabila cairan oral tidak dapat
diberikan oleh karena tidak mau minum, muntah atau nyeri perut yang berlebihan,
maka cairan intervena rumatan perlu diberikan. Antipiretik kadang-kadang
diperlukan. Paracetamol direkomendasikan untuk mempertahankan suhu di bawah
39oc dengan dosis 10-15mg/KgBB/kali. Rasa haus dan keadaan dehidrasi dapat
timbul sebagai akibat demam tinggi, anoreksia, dan muntah. Jenis minuman yang
dianjurkan adalah jus buah, teh manis, sirup susu, serta laruran oralit. Pasien perlu

10
diberikan minum 50ml/KgBB dalam 4-6 jam pertama. Setelah keadaan dehidrasi
dapat diatasi anak diberikan cairan rumatan 80-100 ml/Kg berat badan dalam 24
jam berikutnya. Bayi yang masih minum ASI, tetap harus diberikan disamping
larutan oralit. Bila terjadi kejang demam, disamping antipiretik diberikan
antikonvulsif selama pasien demam. Periode kritis adalah waktu transisi, yaitu
saat suhu turun pada umumnya hari ke 3-5 fase demam. Pemeriksaan kadar
hematokrit berkala merupakan pemeriksaan laboratorium yang terbaik untuk
monitor hasil pengobatan yaitu menggambarkan derajat kebocoran plasma dan
pedoman kebutuhan cairan intravena.4
Kebutuhan cairan awal dihitung untuk 2 atau 3 jam pertama, sedangkan
pada kasus syok mungkin lebih sering (setiap 30-60 menit). Tetesan dalam 24-48
jam berikutnya harus selalu disesuaikan dengan tanda vital, kadar hematokrit, dan
jumlah volume urin. Cairan intravena diperlukan apabila :
1. anak terus menerus muntah, tidak mau minum, demam tinggi sehingga
tidak mungkin diberikan minum peroral, ditakutkan terjadinya dehidrasi
sehingga mempercepat terjadinya syok.
2. Nilai hematokrit cenderung meningkat pada pemeriksaan berkala.
Jenis cairan yang direkomendasikan oleh WHO lauratan kristaloid yaitu larutan
ringer laktat atau dekstorsa 5% dalam larutan ringer laktat, ringer asetat atau
dekstrosa 5% dalam larutan ringer asetat, NaCl 0,9% atau dekstrosa 5% dalam
larutan garam faali. Sedangkan larutan koloid adalah dekstran-40 dan plasma
darah. Volme dan komposisi cairan yang diperlukan sesuai seperti cairan untuk
dehidrasi pada diare ringan sampai sedang, yaitu cairan rumatan ditambah defisit
6% (5-8%) seperti tertera pada tabel dibawah ini.4

pemilihan jenis dan volume cairan yang diperlukan tergantung dari umur dan
berat badan pasien. Kebutuhan cairan rumatan dapat diperhitungkan dari tabel
berikut.

11
perlu mendapat perhatian bahwa penggantian volume yang berlebihan dan terus
menerus setelah perembesan plasma berhenti akan mengakibatkan distress
pernafasan sebagai akibat udem paru. Demikian pula pada saat fase konvalesens
terjadi reabsorbsi cairan ekstravaskuler, akan menyebabkan edema paru dan
distress pernafasan apabila cairan intravena tetap diberikan. Cairan intravena
dapat dihentikan apabila hematokrit telah turun, sekitar 40%. Jumlah urin 12
ml/kgBB/jam atau lebih merupakan indikasi bahwa keadaan sirkulasi membaik.
Pada umumnya, cairan tidak perlu diberikan lagi setelah 48 jam sejak syok
teratasi. Nadi yang kuat, tekanan darah norma, diuresis cukup, tanda vital baik,
merupakan tanda terjadinya fase reabsorbsi.4
Hiponatremia dan asidosis metabolik sering menyertai pasien DHF/DSS,
maka pemeriksaan analisis gas darah dan kadar elektrolit harus selalu diperiksan
pada DBD berat. Pada umumnya, apabila penggantian cairan plasma diberikan
secepatnya dan dilakukan koreksi pada asidosis dengan natrium bikarbonat, maka
perdarahan sebagai akibat dissemintade intravascular coagulation (DIC) tidak
akan terjadi.4
Monitoring tanda vital dan kadar hematokrit harus dimonitor dan
dievaluasi secara teratur untuk menilai hasil pengobatan. Kadar hematorkit harus
diperiksa 4-6jam sampai keadaan klinis pasien stabil.4
Kriteria memulangkan pasien apabila tidak demam selama 24 jam tanpa
antipiretik, nafsu makan membaik, tampak perbaikan secara klinis, hematokrit
stabil, tiga hari setelah syok teratasi.4

12
Kasus
Anak laki-laki KA, 6 tahun, dibawa ke IGD Rumah Sakit Bhayangkara
TK.I R.Said Sukanto pada tanggal 8 April 2019 pada pukul 18.22 WIB dengan
keluhan demam tinggi setiap saat selama 2 hari disertai mimisan 1 kali,mual,
muntah 3 kali. Orangtua An. KA mengatakan, pasien belum pernah mimisan
sebelumnya. Sebelumnya pasien telah memeriksaan diri ke rumah sakit
Bhayangkara Brimob dan telah melakukan pemeriksaan darah rutin yaitu dengn
hasil hemoglobin 11.1, leukosit 2.510, hematokrit 32, trombosit 122.000, dan
langsung disarankan untuk rujuk ke IGD rumah sakit Bhayangkara TK.I R.Said
Sukanto untuk mendapatkan perawatan.
Pasien merupakan anak ketiga dari 3 bersaudara, dan saat ini tinggal
bersama kedua orang tuanya dan juga kedua kakaknya. Pada saat itu orang tua
An.KA juga mengalami DHF sama dengan pasien dan telah dirawat di rumah
sakit, setelah itu kedua kakak An. KA juga mengalami hal yang serupa dengan
pasien tetapi tidak disertai mimisan. Saat hamil pasien, ibu pasien mengatakan
kehamilanya cukup bulan 39 minggu, selama masa kehamilan tidak mengalami
keluhan atau penyulit. Ibu pasien melahirkan pasien secara sectio dikarenakan
posisi janin saat itu dalam keadaan melintang dengan berat lahir 3900 gr, panjang
badan 50 cm, lingkar kepala 31 cm, lingkar dada 29 cm, lingkar perut 31 cm dan
APGAR 9/10. Setelah lahir pasien langsung menangis. Perkembangan pasien
sesuai dengan anak seusiannya. Imunisasi yang sudah dijalani pasien menurut ibu
pasien sesuai usia.
Pada pemeriksaan fisik tanggal 8 April 2019 didapatkan pasien dalam
kondisi lemas, berat badan 17 Kg, tinggi 112 cm dengan kesan status gizi diukur
menggunakan kurva pertumbuhan CDC yaitu BB/U = 81% (berat badan baik),
TB/U = 97% (baik/normal), dan BB/TB = 81% (gizi kurang) dan perawakan
normal. Kesadaraan pasien baik, tanda vital didapatkan kenaikan suhu pasien
40,1oc, pernafasan 20x/menit, dan nadi 110x/menit. Pada pemeriksaan status
generalis, didaptkan conjungtiva anemis -/-, faring hiperemis -.
Pada pemeriksaan thoraks, terlihat pergerakan kedua hemitoraks simetris.
Suara nafas kedua hemitoraks normal vesikuler. Tidak terdapat rhonki maupun

13
wheezing pada kedua hemithoraks. Pada pemeriksaan cor, iktus kordis terlihat,
dan auskultasi bunyi jantung I dan II regular tidak terdengar murmur dan gallop.
Pada pemeriksaan abdomen auskultasi bising usus normal, terdapat nyeri
tekan daerah hipokndrium kanan.
Pada pemeriksaan laboratorium hematologi tanggal 8 April 2019
didapatkan hemoglobin 11.1, leukopenia dengan angka leukosit 3.200, hematokrit
33, dan trombositopenia dengan angka trombosit 133.000/mm3
Berdasarkan hasil pemeriksaan yang telah dilakukan saat pasien di IGD,
ditegakkan diagnosis dengan : Observasi febris hari ke 2 etcausa DHF dan
gastritis akut. Saat itu terapi yang diberikan berupa IFVD RL 1250 cc/24 jam
sebanyak 20 tpm, paracetamol syr 3x 2 ½ CTH (PO), dan donperidone syr 3 x 1
CTH (PO).
09 April 2019 (follow up hari ke 2)
S - Demam (+) setiap saat
- Mimisan 1 kali pada malam hari
- Sesak (-)
- Mual (-)
- Nafsu makan membaik
O - Suhu: 37,7℃
- Nadi: 108 kali/menit
- Frekuensi nafas: 20 kali/menit

Pemeriksaan Fisik:
- Mata: Conjunctiva Anemis -/-
- Hidung: nasal discharge -/-
- Mulut: lembab, faring hiperemis (+)
- Paru: vesicular +/+, rhonki -/-, wheezing -/-
- Abdomen: bising usus (+) normal
- Anggota gerak: akral hangat

14
Pemeriksaan Penunjang:
H2TL 9 April 2019
- Hemoglobin: 11,1 g/dl
- Leukosit 3.200/µl
- Hematokrit: 33%
- Trombosit: 138.000/µl
A Febris hari ke 3 etcausa DHF grade II
P - IVFD RL 21 tpm
- Paracetamol 3x1 cth
- Donperidon 3x1 cth
- Transamin 150 mg IV prn
- Cek DPL/24 jam
- Monitor TTV/3jam
- Monitor tanda syok
- Monitor perdarahan saluran cerna
- Tampung diuresis, target diuresis 1-2 ml KgBB/jam

10 April 2019 (follow up hari ke 3 )


S - Demam (+) naik pada siang hari turun malam hari
- Mimisan (-)
- Sesak (-)
- Mual (+)
- Batuk (+) dahak berwarna putih
- Nafsu makan menurun
O - Suhu: 37,4℃
- Nadi: 64 kali/menit
- Frekuensi nafas: 20 kali/menit
Pemeriksaan Fisik:
- Hidung: nasal discharge -/-
- Mulut: kering

15
- Paru: vesicular +/+, rhonki -/-, wheezing -/-
- Abdomen: bising usus (+) normal,nyeri tekan hipokondrium dextra
- Anggota gerak: akral hangat
Pemeriksaan tampung urin = 0,6 ml kg/jam

A DHF grade II hari ke 4


P - IVFD RL 21 tpm
- Paracetamol 3x1 cth
- Donperidon 3x1 cth
- Cek DPL/24 jam
- Monitor TTV/3jam
- Monitor tanda syok
- Monitor perdarahan saluran cerna
- Tampung diuresis, target diuresis 1-2 ml KgBB/jam

11 April 2019 (follow up hari ke 4)


S - Demam (-)
- Mimisan (-)
- Sesak (-)
- Mual (-)
- Nafsu makan membaik
- BAB (+)
- BAK jarang
O - Suhu: 36,8℃
- Nadi: 84 kali/menit
- Frekuensi nafas: 20 kali/menit

Pemeriksaan Fisik:
- Mata: Conjunctiva Anemis -/-
- Hidung: nasal discharge -/-

16
- Mulut: kering
- Paru: vesicular +/+, rhonki -/-, wheezing -/-
- Abdomen: bising usus (+) normal, perut kembung
- Anggota gerak: akral hangat
Pemeriksaan tampung urin : 0,5 ml/kg/jam

Pemeriksaan Penunjang:
H2TL 11 April 2019
- Hemoglobin: 15 g/dl
- Leukosit 4.700/µl
- Hematokrit: 44%
- Trombosit: 72.000/µl
- Natrium : 131 mmol/l
- Kalium : 4,4 mmol/l
- Chlorida : 107 mmol/l
A DHF grade II hari ke-5
P - NaCl 3% 300cc 14 tpm
- Cek DPL/24 jam
- Monitor TTV/3jam
- Monitor tanda syok
- Monitor perdarahan saluran cerna
- Tampung diuresis, target diuresis 1-2 ml KgBB/jam
- Lakukan rontgen thoraks

12 April 2019 (follow up hari ke 5)


S - Demam turun
- Mimisan (-)
- Sesak (-)
- Mual (-)
- Batuk (-)

17
- Nafsu makan membaik
- BAK : meningkat
O - Suhu: 36,8℃
- Nadi: 76 kali/menit
- Frekuensi nafas: 20 kali/menit

Pemeriksaan Fisik:
- Mata: Conjunctiva Anemis -/-
- Hidung: nasal discharge -/-
- Mulut: kering
- Paru: vesicular +/+
- Abdomen: bising usus (+) normal, perut kembung
- Anggota gerak: akral hangat
Pemeriksaan Penunjang:
H2TL 12 April 2019
- Hemoglobin: 12,8 g/dl
- Leukosit 9.200/µl
- Hematokrit: 37%
- Trombosit: 50.000/µl
- Hasil rontgen thoraks : kesan pleural effusi dextra
- Pemeriksaan tampung urin : 1,4 ml/kg/jam
A DHF grade II hari ke-6
P - IVFD RL 42 tpm
- Cek DPL/24 jam
- Monitor TTV/3jam
- Monitor tanda syok
- Monitor perdarahan saluran cerna
- Tamping diuresis, target diuresis 1-2 ml KgBB/jam

18
Tanggal 8 -13 April 2019
8 /4/19 9/4/19 10/4/19 11/4/19 11/4/19 12/4/19 12/4/19 13/4/19
malam pagi pagi pagi malam pagi malam pagi
Hb 11,1 11,9 15 12,9 12,8 12,3 12,0 11,9
Leukosit 3.200 3.000 4.700 7.400 9.200 7.900 7.000 7.000
Ht 33 36 44 38 37 38 36 34
Trombosit 138.000 105.000 72.000 63.000 50.000 65.000 66.000 119.000

DAFTAR PEMBERIAN TERAPI CAIRAN/INFUS


TGL JENIS Volume Tetesan Lama terapi WAKTU
CAIRAN (ml) (menit/jam) cairan/infuse Mulai Selesai
diberikan
8/4/19 RL 500 20 tpm 8 jam 22.30 02.30
9/4/19 RL 500 20 tpm 8 jam 02.30 10.30
9/4/19 RL 500 20 tpm 8 jam 10.30 18.30
9/4/19 RL 500 20 tpm 8 jam 18.30 02.30
10/4/19 RL 500 20 tpm 8 jam 02.30 10.30
10/4/19 RL 500 20 tpm 8 jam 10.30 18.30
10/4/19 RL 500 20 tpm 8 jam 18.30 02.30
11/4/19 RL 500 20 tpm 8 jam 02.30 10.30
11/4/19 NaCl 3% 500 20 tpm 8 jam 10.30 18.30
11/4/19 RL 500 20 tpm 8 jam 18.30 02.30
12/4/19 RL 500 20 tpm 8 jam 02.30 10.30
12/4/19 RL 500 20 tpm 8 jam 10.30 12.30
12/4/19 RL 500 42 tpm 4 jam 12.30 16.20
12/4/19 RL 500 42 tpm 4 jam 16.20 20.20
12/4/19 RL 500 42 tpm 4 jam 20.20 00.20
12/4/19 RL 500 42 tpm 4 jam 00.20 04.30
13/4/19 RL 500 42 tpm 4 jam 04.30 08.30

19
Pembahasan
Pada pasien didapatkan dari anamnesis dan pemeriksaan laboratium
bahwa pasien anak laki-laki yang berusia 6 tahun terdiagnosis dengue
haemorragic fever grade II. Kasus terjadinya DHF sangat tinggi di indonesia,
karena di indonesia memiliki keempat tipe seritope virus dengue dan yang paling
banyak yang menyebabkan gejala yang berat adalah Den-3. Keluhan yang
ditemukan pada pasien An.KA yaitu demam tinggi setiap saat, disertai mimisan
dan pada hari ketiga demam mulai menurun dengan disertai hasil laboratium yang
menunjukan trombositopenia yang terus menerus diikuti dengan kenaikan
hematokrit yang menunjukan adanya kebocoran plasma. Terjadinya mimisan
merupakan salah satu tanda terjadinya perdarahan spontan yang menguatkan
diagnosis pasien yaitu tergolong DHF grade II. Selain itu juga pada follow up hari
ke 3 diuresis pasien mulai menurun, dan pada follow up hari ke 4 terlihat perut
kembung dan dilakukan rontgen thoraks. Follow up hari ke 5 terlihat perut pasien
masih kembung dan hasil rontgen thoraks kesan pleural effusion dextra yang
semakin menguatkan bahwa terjadinya hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit)
dikarena kebocoran plasma yang termasuk salah ciri khas dari DHF yaitu
kebocoran plasma ke daerah ekstravaskular (ruang interstisial dan rongga serosa)
melalui kapiler yang rusak. Bukti yang mendukung dugaan ini ditemukannya
cairan yang tertimbun dalam rongga serosa yaitu rongga pleura yang
menyebabkan hasil foto thoraks menunjukkan pleural effusion dextra.
Pada follow up hari ke 5 pasien keadaan pasien mulai membaik, buang air
kecil (BAK) pasien mulai terlihat normal, dan perut kembung pasien mulai sedikit
membaik, demam pasien juga menurun dan terlihat dari hasil laboratorium
trombosit pasien mulai dari follow up hari ke 5 yaitu tanggal 12/04/19 meningkat
perlahan sampai tanggal 13/04/19 hasil trombosit pasien kembali menunjukan
angka 119.000 yang bisa diindikasikan pasien untuk pulang sesuai dengan teori
yang dijelaskan diatas.
Tatalaksana yang diberikan kepada pasien saat di Rumah Sakit
Bhayangkara TK.I R.Said Sukanto yaitu selain terapi cairan pasien diberikan
Paracetamol syr 3x1 CTH (PO), Donperidon syr 3x1 CTH (PO). Sesuai dengan

20
terapi pada teori pengobatan DHF bersifat simptomatik dan penggantian cairan
yang hilang karena terjadinya kebocoran plasma. Saat itu karena pada awal masuk
demam pasien diberikan obat paracetamol dan juga untuk mengurangi mual
pasien diberikan donperidon. Pada tanggal 9/04/19 pasien mengalami mimisan 1
kali saat itu diberikan tatalaksana transamin 150 mg IV, setelah itu pasien tidak
mengeluh adanya mimisan sampai pasien pulang kerumah.
Terapi cairan yang diberikan yaitu ringer laktat (RL) sesuai dengan teori
atau anjuran dari WHO untuk pilihan terapi cairan pada DHF, kebutuhan cairan
rumatan pasien berdasarkan berat badan yaitu kurang lebih 1350cc/hari, dan terapi
yang diberikan di rumah sakit sudah sesuai dengan kebutuhan cairan rumatan
yang dibutuhkan oleh pasien. Tetesan cairan yang diberikan pada awal masuk 20
tpm dan meningkat menjadi 42 tpm pada tanggal 12 dikarenakan diuresis yang
masih sedikit dan terlihat dari hasil rontgen thoraks kesan pleural effusion dextra,
dan perut kembung. Hal ini sesuai dengan teori dimana terapi cairan harus
mencukupi saat terjadi kebocoran plasma agar tidak terjadi syok.
Secara garis besar penangan untuk kasus DHF hanya berupa terapi cairan
infuse RL untuk mengganti cairan yang hilang akibat dari kebocoran plasma yang
terjadi pada kasus DHF. Selain itu juga terdapat terapi simptomatik seperti
antipiretik yaitu paracetamol untuk menurunkan demam atau terapi tambahan
yang lainnya.

Simpulan
Pada pasien sudah ditegakkan diagnosis berdasarakan keluhan yang di
alami oleh pasien yaitu DHF garde II dikarenakan terdapat gejala mimisan yang
dialami pasien. Tatalaksana yang diberikan kepada pasien sudah dilakukan
dengan baik sehingga kondisi pasien membaik dan hasil laboratorium darah
lengkap menunjukan kenaikan trombosit perlahan hingga pada tanggal 13/04/19
menunjukan di angka 119.000 dan juga hematokrit pasien kembali berangsur
normal sehingga pasien diperbolehkan pulang keesokan harinya. Prognosis pada
pasien berdasarkan klinis pasien yaitu dubia ad bonam.

21
Daftar Pustaka
1. Suhendro et al., 2015. Demam Berdarah Dengue. Di dalam : S, Siti et al,
editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I Edisi VI. Jakarta : Pusat
Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam.
2. World Health Organization. 2016. Dengue Control. Tersedia dari :
https://www.who.int/denguecontrol/epidemiology/en/. Diaskses pada 19
April 2019.
3. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2019. Kasus DBD Terus
Bertambah. Terserdia dari : http://www.depkes.go.id . Diakses pada 19 April
2019.
4. S Sumarmo et al., 2015. Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis Edisi kedua
Cetakan keempat. Jakarta : Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI.
5. World Health Organization. 2011. Comprehensive Guidelines for Prevention
and Control of Dengue and Dengue Haemorrhagic Fever. SEARO Technical
Publication Series no.60. Regional office for South-East Asia.

22
Lampiran

Gambar 1. Foto rontgen thoraks

Gambar 2. Kesan hasil rontgen thoraks.

23

Anda mungkin juga menyukai