Anda di halaman 1dari 40

REFERAT

ILMU KESEHATAN JIWA


DEPRESI DAN TENTAMEN SUICIDE

Disusun oleh:
Intan Setia Kartikasari
1102015099

Pembimbing:
AKBP dr. Karjana Sp. KJ

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KEDOKTERAN JIWA


RUMAH SAKIT BHAYANGKARA TK. I RADEN SAID SUKANTO
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI
PERIODE 29 JULI 2019 - 31 AGUSTUS 2019
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 2
BAB 1 ............................................................................................................. 3
PENDAHULUAN ........................................................................................... 3
1.1 PENDAHULUAN ................................................................................. 3
1.2 TUJUAN PENULISAN ........................................................................ 5
BAB 2 ............................................................................................................. 6
TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................... 6
2.1 DEFINISI DEPRESI ............................................................................ 6
2.2 ANGKA KEJADIAN DEPRESI ......................................................... 6
2.3 ETIOLOGI ............................................................................................ 8
2.4 KLASIFIKASI .................................................................................... 12
2.5 GAMBARAN KLINIS........................................................................ 17
2.6 DIAGNOSIS DAN DIAGNOSIS BANDING ................................... 19
2.7 PEMERIKSAAN ................................................................................. 25
2.8 TATALAKSANA ................................................................................ 26
2.9 PROGNOSIS ....................................................................................... 31
3.1 TENTAMEN SUICIDE ...................................................................... 31
KESIMPULAN ............................................................................................. 39
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 40

2
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 PENDAHULUAN
Setiap kehidupan yang dialami manusia selalu mengalami fluktuasi dalam
berbagai hal. Berbagai stressor baik fisik, psikologis maupun sosial. Depresi
merupakan satu masa terganggunya fungsi manusia yang berkaitan dengan alam
perasaan yang sedih dan gejala penyertanya, termasuk perubahan pada pola tidur
dan nafsu makan, psikomotor, konsentrasi, anhedonia, kelelahan, rasa putus asa dan
tak berdaya, serta gagasan bunuh diri.
Depresi sering ditemukan dengan prevalensi kira kira 15%. Pada
pengamatan yang universal terlepas dari kultur atau negara prevalensi gangguan
depresi berat pada wanita dua kali lebih besar dari pria. Pada umumnya onset untuk
gangguan depresi berat adalah pada usia 20 sampai 50 tahun, namun yang paling
sering adalah pada usia 40 tahun. Depresi berat juga sering terjadi pada orang yang
tidak menikah dan bercerai atau berpisah. Sebanyak dua pertiga orang dengan
depresi tidak menyadari bahwa mereka memiliki penyakit yang dapat diobati dan
karena itu mereka tidak mencari pengobatan. Banyak dari pasien pertama kali
datang mencari pengobatan dengan keluhan somatik, seperti kelelahan, sakit
kepala, gangguan lambung, atau perubahan berat badan.
Banyak pengobatan efektif yang tersedia untuk gangguan depresi, termasuk
psikoterapi singkat (misalnya, terapi perilaku-kognitif, terapi interpersonal), yang
digunakan baik dalam bentuk tunggal ataupun kombinasi dengan obat. Namun,
pendekatan gabungan umumnya memberikan respon tercepat dan berkelanjutan.
Depresi sering terjadi di tengah masyarakat merupakan salah satu gangguan
mental. Berawal dari stress yang tidak diatasi, maka seseorang bisa jatuh ke fase
depresi. Penyakit ini kerap diabaikan karena dianggap bisa hilang sendiri tanpa
pengobatan. Padahal, depresi yang tidak diterapi dengan baik bisa berakhir dengan
bunuh diri.

3
Bunuh diri merupakan kasus psikiatri yang sering dijumpai di instalasi
gawat darurat (IGD). Perilaku ini terjadi pada seseorang dengan penderitaan yang
tak tertahankan, putus asa, dan tak berdaya. Keadaan ini bisa terjadi secara
mendadak (impulsif) maupun direncanakan sebelumnya. Dahulu manula
merupakan populasi terbanyak. Namun, sekarang kebiasaan ini bergeser kepada
mereka yang berusia muda dan remaja. Bahkan, beberapa tahun terakhir ini
perilaku tersebut juga terjadi pada pelajar SD.
Terdapat beberapa istilah dalam bunuh diri seperti: (1) Suicide idea yaitu
pikiran /ide untuk menghabisi nyawanya sendiri. (2) Tentamen suicidium yaitu
upaya untuk menghabisi nyawa sendiri tetapi tidak mengakibatkan kematian, (3)
suicidal behavioral yaitu perilaku yang membahayakan diri sendiri, contoh mutilasi
diri, (4) Masced Suice yaitu bunuh diri tidak langsung /terselubung.

4
1.2 TUJUAN PENULISAN
1. Agar pembaca dapat mengetahui dan memahami tentang depresi dan
tentamen suicide untuk mencegah terjadinya kesalahan diagnosis,
mencegah terjadinya salah pengobatan, dan memberikan potensi prognosis
yang lebih baik.
2. Untuk memenuhi tugas referat di bagian kepaniteraan Ilmu Jiwa RS. Polri
Sukanto.

5
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI DEPRESI


Depresi adalah gangguan psikiatri yang menonjolkan mood sebagai
masalahnya, dengan berbagai gambaran klinis yakni gangguan episode depresif,
gangguan distimik, gangguan depresif mayor dan gangguan depresif unipolar
serta bipolar.
Depresi menyerang keseluruhan hidup seseorang yang meliputi seluruh
tubuh, suasana perasaan, pikiran, pola makan dan tidur. Depresi merupakan
gangguan mental pada fungsi manusia yang berkaitan dengan alam perasaan
yang sedih dan gejala penyertanya, termasuk perubahan pada pola tidur dan
nafsu makan, psikomotor, konsentrasi, anhedonia, kelelahan, rasa putus asa dan
tak berdaya, serta gagasan bunuh diri.
Jika gangguan depresif berjalan dalam waktu yang panjang (distimia)
maka orang tersebut dikesankan sebagai pemurung, pemalas, menarik diri dari
pergaulan, karena ia kehilangan minat hampir disemua aspek kehidupannya.

2.2 ANGKA KEJADIAN DEPRESI


Gangguan depresi berat, paling sering terjadi, dengan prevalensi seumur
hidup sekitar 15%. Perempuan dapat mencapai 25%, 12% pada laki-laki. Sekitar
10% perawatan primer dan 15% dirawat di rumah sakit. Pada anak sekolah
didapatkan prevalensi sekitar 2%. Pada usia remaja didapatkan prevalensi 5%
dari komunitas memiliki gangguan depresif berat.
1. Jenis Kelamin
Perempuan 2 kali lipat lebih besar dibanding laki-laki. Diduga adanya
perbedaan hormon, pengaruh melahirkan, perbedaan stresor psikososial
antara laki-laki dan perempuan, dan model perilaku yang dipelajari
tentang ketidakberdayaan.
Pada penelitian yang dilakukan NIMH (2002) ditemukan bahwa
prevalensi yang tinggi pada wanita dibandingkan pria kemungkinan

6
dikarenakan adanya ketidakseimbangan regulasi hormon yang langsung
mempengaruhi substansi otak yang mengatur emosi dan mood contohnya
dapat dilihat pada situasi PMS (Pre Menstrual Syndrome). Untuk wanita
yang telah menikah, depresi dapat diperparah dengan masalah keluarga
dan pekerjaan, merawat anak dan orangtua lanjut usia, kekerasan dalam
rumah tangga dan kemiskinan.

2. Usia
Rata-rata usia sekitar 40 tahun-an. Hampir 50% onset diantara
usia 20-50 tahun. Gangguan depresi berat dapat timbul pada masa anak
atau lanjut usia. Data terkini menunjukkan gangguan depresi berat
diusia kurang dari 20 tahun. Mungkin berhubungan dengan
meningkatnya pengguna alkohol dan penyalahgunaan zat dalam
kelompok usia tersebut.
Pada penelitian lain yang dilakukan oleh Akhtar (2007)
didapatkan bahwa tingkat prevalensi tertinggi terjadi pada kelompok
usia 20-24 tahun (14,3%) dan yang terendah pada kelompok usia >75
tahun (4,3%), sementara data yang didapatkan dari NIMH (2002)
menyebutkan bahwa tingkat depresi terbanyak ditemukan pada
kelompok usia >18 tahun (10%).

3. Status Perkawinan
Paling sering terjadi pada orang yang tidak mempunyai
hubungan interpersonal yang erat atau pada mereka yang bercerai atau
berpisah. Wanita yang tidak menikah memiliki kecenderungan lebih
rendah untuk menderita depresi dibandingkan dengan wanita yang
menikah namun hal ini berbanding terbalik untuk laki-laki.

4. Faktor Sosioekonomi dan Budaya

7
Tidak ditemukan korelasi antara status sosioekonomi dan
gangguan depresi berat. Depresi lebih sering terjadi di daerah pedesaan
dibanding daerah perkotaan.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh National Academy on
An Aging Society (2000) didapatkan data bahwa pada kelompok
responden dengan pendapatan rendah ditemukan tingkat depresi yang
cukup tinggi yaitu sebesar 51%. Pada penelitian Akhtar (2007)
ditemukan tingkat depresi terendah pada kelompok pendidikan Sekolah
Menengah Atas (SMA) sebesar (9,1%) dan sebaliknya tingkat depresi
yang tertinggi ditemukan pada responden dengan kelompok pendidikan
yang lebih tinggi sebesar (13,4%). Walaupun hasil ini dapat menjadi
indikasi adanya perbedaan tingkat depresi pada tingkat pendidikan,
namun hal tersebut tidak memiliki korelasi positif dengan terjadinya
gangguan depresif (Kaplan, 2010).

2.3 ETIOLOGI
Etiologi depresi terdiri dari :
1. Faktor genetik

Dari penelitian keluarga didapatkan gangguan depresi mayor dan


gangguan bipolar terkait erat dengan hubungan saudara juga pada anak
kembar, suatu bukti adanya kerentanan biologik, pada genetik keluarga
tersebut.
Data genetik dengan kuat menyatakan bahwa suatu faktor penting di
dalam perkembangan gangguan mood adalah genetika. Tetapi, pola
penurunan genetika adalah jelas melalui mekanisme yang kompleks. Bukan
saja tidak mungkin untuk menyingkirkan efek psikososial, tetapi faktor non
genetik kemungkinan memainkan peranan kausatif dalam perkembangan
gangguan mood pada sekurangnya beberapa orang. Penelitian keluarga
menemukan bahwa sanak saudara derajat pertama dari penderita gangguan

8
depresif berat berkemungkinan 2 sampai 3 kali lebih besar daripada sanak
saudara bukan derajat pertama (Kaplan, 2010; Tomb, 2004).

2. Faktor Biokmia

Sejumlah besar penelitian telah melaporkan berbagai kelainan di


dalam metabolit amin biogenik yang mencakup neurotransmitter
norepinefrin, serotonin dan dopamine (Gambar .1). Dalam penelitian lain
juga disebutkan bahwa selain faktor neurotransmitter yang telah disebutkan
di atas, ada beberapa penyebab lain yang dapat mencetuskan timbulnya
depresi yaitu neurotransmitter asam amino khususnya GABA (Gamma-
Aminobutyric Acid) dan peptida neuroaktif, regulasi neurendokrin dan
neuroanatomis.

Gambar 1. Mekanisme terjadinya depresi dengan etiologi neurotransmitter

Pada regulasi neuroendokrin, gangguan mood dapat disebabkan


terutama oleh adanya kelainan pada sumbu adrenal, tiroid dan hormon
pertumbuhan. Selain itu kelainan lain yang telah digambarkan pada pasien
dengan gangguan mood adalah penurunan sekresi nocturnal melantonin,
penurunan pelepasan prolaktin terhadap pemberian tryptophan, penurunan

9
kadar dasar FSH (Follicle Stimullating Hormon) dan LH (Luteinizing
Hormon), dan penurunan kadar testosteron pada laki-laki.

Ada dua hipotesis terjadinya depresi secara biokimia, yaitu:


a. Hipotesis Katekolamin
Beberapa penyakit depresi berhubungan dengan defisiensi
katekolamin pada reseptor otak. Reserpin yang menekan amina otak
diketahui kadang-kadang menimbulkan depresi lambat.
Disamping itu, MHPG (Metabolit primer noradrenalin otak)
menurun dalam urin pasien depresi sewaktu mereka mengalami episode
depresi dan meningkat di saat mereka gembira.

b. Hipotesis Indolamin

Hipotesis indolamin membuat pernyataan serupa untuk 5-


hidroxitriptamin (5 HT). Metabolit utamnya asam 5-hidroksi indolasetat
(5HIAA) menurun dalam LCS pasien depresi, dan 5 HIAA rendah pada
otak pasien yang bunuh diri. L-Triptofan, yang mempunyai efek
antidepresi meningkatkan 5HT otak.

3. Faktor Hormon

Kelainan depresi mayor dihubungkan dengan hipersekresi kortisol


dan kegagalan menekan sekresi kortisol sesudah pemberian dexametason.
Pasien depresi resisten terhadap penekanan dexametason dan hasil abnormal
ini didapatkan pada sekitar 50% pasien, terutama pada pasien dengan depresi
bipolar, waham dan ada riwayat penyakit ini dalam keluarga.
Wanita dua kali lebih sering dihubungkan dengan pruerperium atau
menopause. Bunuh diri dan saat masuk rumah sakit biasanya sebelum
menstruasi. Selama penyakit afektif berlangsung sering timbul amenore. Hal
ini menggambarkan bahwa gangguan endokrin mungkin merupakan faktor
penting dalam menentukan etiologi.

10
4. Faktor Kepribadian Premorbid
Personalitas siklotimik menjadi sasaran gangguan afek ringan selama
hidupnya, keadaan ini tidak berhubungan dengan penyebab eksterna.
Kepribadian depresi ditunjukkan dengan perilaku murung, pesimis dan
kurang bersemangat. Personalitas hipomania berperilaku lebih riang,
energetik dan lebih ramah dari rata-rata.
Mereka dengan rasa percaya diri rendah, senantiasa melihat dirinya
dan dunia luar dengan penilaian pesimistik. Jika mereka mengalami stres
besar, mereka cenderung akan mengalami depresi. Para psikolog
menyatakan bahwa mereka yang mengalami gangguan depresif mempunyai
riwayat pembelajaran depresi dalam pertumbuhan perkembangan dirinya.
Mereka belajar seperti model yang mereka tiru dalam keluarga, ketika
menghadapi masalah psikologik maka respon mereka meniru perasaan,
pikiran dan perilaku gangguan depresif. Orang belajar dengan proses
adaptif dan maladaptif ketika menghadapi stres kehidupan dalam
kehidupannya di keluarga, sekolah, sosial dan lingkungan kerjanya. Faktor
lingkungan mempengaruhi perkembangan psikologik dan usaha seseorang
mengatasi masalah. Faktor pembelajaran sosial juga menerangkan kepada
kita mengapa masalah psikologik kejadiannya lebih sering muncul pada
anggota keluarga dari generasi ke generasi. Jika anak dibesarkan dalam
suasana pesimistik, dimana dorongan untuk keberhasilan jarang atau tidak
biasa, maka anak itu akan tumbuh dan berkembang dengan kerentanan
tinggi terhadap gangguan depresif.

5. Faktor Lingkungan
Enam bulan sebelum depresi, pasien depresi mengalami lebih
banyak peristiwa dalam hidupnya. Mereka merasa kejadian ini tidak
memuaskan dan mereka keluar dari lingkungan sosial. 80% serangan
pertama depresi didahului oleh stress, tetapi angka ini akan jatuh menjadi
hanya 50% pada serangan berikutnya. Pasien depresi diketahui juga lebih

11
sering pada anak yang kehilangan orang tua di masa kanak-kanak
dibandingkan dengan populasi lainnya.
Menurut Freud, kehilangan obyek cinta, seperti orang yang dicintai,
pekerjaan tempatnya berdedikasi, hubungan relasi, harta, sakit terminal,
sakit kronis dan krisis dalam keluarga merupakan pemicu episode gangguan
depresif. Seringkali kombinasi faktor biologik, psikologik dan lingkungan
merupakan campuran yang membuat gangguan depresif muncul.
Satu pengamatan klinis yang telah lama direplikasi adalah bahwa
peristiwa kehidupan yang menyebabkan stress lebih sering mendahului
episode pertama gangguan mood daripada episode selanjutnya. Satu teori
yang diajukan untuk menjelaskan pengamatan tersebut adalah bahwa stress
yang menyertai episode pertama menyebabkan perubahan biologi otak yang
bertahan lama. Perubahan yang bertahan lama tersebut dapat meyebabkan
perubahan keadaan fungsional berbagai neurotransmitter dan sistem
pemberi sinyal intraneuronal. Hasil akhir dari perubahan tersebut akan
menyebabkan seseorang berada pada resiko yang lebih tinggi untuk
menderita episode gangguan mood selanjutnya, bahkan tanpa adanya
stresor external (Kaplan, 2010)

2.4 KLASIFIKASI
Episode Depresif
Pada semua tiga variasi dari episode depresif khas yang tercantum
di bawah ini: ringan, sedang dan berat, individu biasanya menderita suasana
perasaan (mood) yang depresif, kehilangan minat dan kegembiraan, dan
berkurangnya energy yang menuju meningkatnya keadaan mudah lelah dan
berkurangnya aktivitas. Biasanya ada rasa lelah yang nyata sesudah kerja
sedikit saja. Gejala lazim lainnya adalah (Depkes RI, 1993):
a. Konsentrasi dan perhatian berkurang
b. Harga diri dan kepercayaan diri berkurang
c. Gagasan tentang perasaan bersalah dan tidak berguna (bahkan pada
episode tipe ringan sekalipun)

12
d. Pandangan masa depan yang suram dan pesimistis
e. Gagasan atau perbuatan membahayakan diri atau bunuh diri
f. Tidur terganggu
g. Nafsu makan berkurang

Suasana perasaan (mood) yang menurun itu berubah sedikit dari hari
ke hari, dan sering kali tak terpengaruh oleh keadaan sekitarnya, namun
dapat memperlihatkan variasi diurnal yang khas seiring berlalunya waktu.
Untuk episode depresif dari ketiga-tiganya tingkat keparahan, biasanya
diperlukan masa sekurang-kurangnya 2 minggu untuk penegakkan
diagnosis, akan tetapi periode lebih pendek dapat dibenarkan jika gejala luar
biasa beratnya dan berlangsung cepat (Depkes RI, 1993).
Ciri paling khas gejala somatik ialah kehilangan minat/kesenangan
pada kegiatan yang disenangi, tiadanya reaksi emosional terhadap
lingkungan atau peristiwa yang biasanya menyenangkan, bangun pagi lebih
awal 2 jam atau lebih daripada biasanya, depresi yang lebih parah pada pagi
hari, bukti objektif dari retardasi atau agitasi psikomotor yang nyata
(disebutkan atau dilaporkan oleh orang lain), kehilangan nafsu makan
secara mencolok, penurunan berat badan (sering ditentukan sebagai 5% atau
lebih dari berat badan bulan terakhir), kehilangan libido secara mencolok.
Biasanya, sindrom somatik ini hanya dianggapp ada apabila sekitar empat
dari gejala itu pasti dijumpai (Depkes RI, 1993).

F32.0 Episode depresif ringan


Suasana perasaan mood yang depresif, kehilangan minat dan
kesenangan, dan mudah menjadi lelah biasanya dipandang sebagai gejala
depresi yang paling khas; sekurang-kurangnya dua dari ini, ditambah
sekurang-kurangnya dua gejala lazim di atas harus ada untuk menegakkan
diagnosis pasti. Tidak boleh ada gejala yang berat di antaranya. Lamanya
seluruh episode berlansung ialah sekurang-kurangnya sekitar 2 minggu
(Depkes RI, 1993).

13
Individu yang mengalami episode depresif ringan biasanya resah
tentang gejalanya dan agak sukar baginya untuk meneruskan pekerjaan
biasa dan kegiatan sosial, namun mungkin ia tidak akan berhenti berfungsi
sama sekali (Depkes RI, 1993).

F32.1 Episode depresif sedang


Sekurang-kurangnya harus ada 2 dari 3 gejala yang paling khas yang
ditentukan untuk episode depresif ringan, ditambah sekurang-kurangnya
tiga (dan sebaiknya empat) gejala lainnya. Beberapa gejala mungkin tampil
amat menyolok, namun ini tidak esensial apabila secara keseluruhan ada
cukup banyak variasi gejalanya. Lamanya seluruh episode berlangsung
minimal sekitar 2 minggu (Depkes RI, 1993).
Individu dengan episode depresif taraf; sedang biasanya
menghadapi kesulitan nyata untuk meneruskan kegiatan sosial, pekerjaan
dan urusan rumah tangga (Depkes RI, 1993)

F32.2 Episode depresif berat tanpa gejala psikotik


Pada episode depresif berat, penderita biasanya menunjukkan
ketegangan atau kegelisahan yang amat nyata, kecuali apabila retardasi
merupakan ciri terkemuka. Kehilangan harga diri dan perasaan dirinya tak
berguna mungkin mencolok, dan bunuh diri merupakan bahaya nyata
terutama pada beberapa kasus berat. Anggapan di sini ialah bahwa sindrom
somatik hampir selalu ada pada episode depresif berat.
Semua tiga gejala khas yang ditentukan untuk episode depresif
ringan dan sedang harus ada, ditambah sekurang-kurangnya empat gejala
lainnya, dan beberapa diantaranya harus berintensitas berat. Namun, apabila
gejala penting (misalnya agitasi atau retardasi) menyolok, maka pasien
mungkin tidak mau atau tidak mampu utnuk melaporkan banyak gejalanya
secara terinci. Dalam hal demikian, penentuan menyeluruh dalam
subkategori episode berat masih dapat dibenarkan. Episode depresif
biasanya seharusnya berlangsung sekurang-kurangnya 2 minggu, akan

14
tetapi jika gejala amat berat dan beronset sangat cepat, maka mungkin
dibenarkan untuk menegakkan diagnosis dalam waktu kurang dari 2
minggu.
Selama episode depresif berat, sangat tidak mungkin penderita akan
mampu meneruskan kegiatan sosial, pekerjaan atau urusan rumah tangga,
kecuali pada taraf yang sangat terbatas. Kategori ini hendaknya digunakan
hanya untuk episode depresif berat tunggal tanpa gejala psikotik; untuk
episode selanjutnya, harus digunakan subkategori dari gangguan depresif
berulang.

F32.3 Episode depresif berat dengan gejala psikotik


Episode depresif berat yang memenuhi kriteria menurut F32.2
terssebut di atas, disertai waham, halusinasi atau stupor depresif.
Wahamnya biasanya melibatkan ide tentang dosa, kemiskinan atau
malapetaka yang mengancam, dan pasien dapat merasa bertanggung jawab
atas hal itu. Halusinasi auditorik atau olfaktorik biasanya berupa suara yang
menghina atau menuduh atau bau kotoran atau daging membusuk. Retardasi
psikomotor yang berat dapat menuju pada stupor. Jika diperlukan, waham
atau halusinasi dapat ditentukan sebagai serasi atau tidak serasi dengan
suasana perasaan (mood).
Diagnosis banding. Stupor depresif perlu dibedakan dari skizofrenia
katatonik, stupor disosiatif, dan bentuk stupor organik lainnya. Kategori ini
hendaknya hanya digunakan untuk episode depresif berat tunggal dengan
gejala psikotik; untuk episode selanjutnya harus digunakan subkategori
gangguan depresif berulang.

F32.8 Episode depresif lainnya


Episode yang termasuk di sini adalah yang tidak sesuai dengan
gambaran yang diberikan untuk episode depresif pada F32.0-F32.3,
meskipun kesan diagnostik menyeluruh menunjukkan sifatnya sebagai
depresi. Contohnya termasuk campuran gejala depresif (khususnya jenis

15
somatik) yang berfluktuasi dengan gejala non diagnostik seperti
ketegangan, keresahan dan penderitaan; dan campuran gejala depresif
somatik dengan nyeri atau keletihan menetap yang bukan akibat penyebab
organik (seperti yang kadang-kadang terlihat pada pelayanan rumah sakit
umum).

F32.9 Episode depresif YTT

F33. Gangguan Depresif Berulang


Gangguan ini tersifat dengan episode berulang dari depresi
sebagaimana dijabarkan dalam episode depresif ringan, sedang, atau berat,
tanpa riwayat adanya episode tersendiri dari peninggian suasana perasaan
dan hiperaktivitas yang memenuhi kriteria mania dan hiperaktivitas ringan
yang memenuhi kriteria hipomania segera sesudah suatu episode depresif
(kadang-kadang tampaknya dicetuskan oleh tindakan pengobatan depresi).
Usia dari onset, keparahan, lamanya berlangsung, dan frekuensi episode
dari depresi, semuanya sangat bervariasi. Umumnya episode pertama terjadi
pada usia lebih tua dibanding dengangangguan bipolar, dengan usia onset
rata-rata lima puluhan. Episode masing-masing juga lamanya antara 3 dan
12 bulan (rata-rata lamanya sekitar 6 bulan) akan tetapi frekuensinya lebih
jarang. Pemulihan keadaaan biasanya sempurna di antara episode, namun
sebagian kecil pasien mungkin mendapat depresi yang akhirnya menetap,
terutama pada usia lanjut (untuk keadaan ini, kategori ini harus tetap
digunakan). Episode masing-masing dalam berbagai tingkat keparahan,
seringkali dicetuskan oleh peristiwa kehidupan yang penuh stress. dalam
berbagai budaya, baik episode tersendiri maupun depresi menetap dua kali
lebih banyak pada wanita daripada pria.
Bagaimanapun seringnya seseorang pasien gangguan depresif
berulang mengalami episode depresif sebagai penderitaan, tidak mustahil
baginya akan mengalami episode manik. Jika ternyata terjadi episode
manik, maka diagnosisnya harus diubah menjadi gangguan afektif bipolar.

16
2.5 GAMBARAN KLINIS
Episode depresi. Mood terdepresi, kehilangan minat dan berkurangnya
energy adalah gejala utama dari depresi. Pasien mungkin mengatakan
perasaannya sedih, tidak mempunyai harapan, dicampakkan, atau tidak
berharga. Emosi pada mood depresi kualitasnya berbeda dengan emosi duka cita
atau kesedihan yang normal.
Pasien dalam keadaan mood terdepresi memperlihatkan kehilangan
energi dan minat, merasa bersalah, sulit berkonsentrasi, hilangnya nafsu makan,
berpikir mati atau bunuh diri. Tanda dan gejala lain termasuk perubahan dalam
tingkat aktivitas, kemampuan kognitif, bicara dan fungsi vegetative (termasuk
tidur, aktivitas seksual dan ritme biologik yang lain). Gangguan ini hampir selalu
menghasilkan hendaya interpersonal, sosial dan fungsi pekerjaan.
Adapun gambaran klinik dari pasien depresi ini antara lain (Ingram dkk, 1993):
1. Adanya gejala psikologis berupa penurunan vitalitas umum, yang
mungkin dinyatakan pasien sebagai suatu kehilangan dan sedih.
Biasanya dia menarik diri dari kehidupan sosialnya. Segala sesuatu
kelihatannya tanpa harapan, selalu murung, ansietas mungkin ada atau
pasien mungkin mencoba untuk menyembunyikan keluhannya (depresi
senyum).
2. Variasi diurnal, dimana semua gejala cenderung memburuk pada dini
hari dan membaik di siang hari.
3. Bunuh diri, dapat menjadi tanda awal penyakit. Kemungkinan bunuh
diri sulit diduga sebelumnya, tetapi selalu harus diperhitungkan. Pikiran
bunuh diri seharusnya selalu ditanyakan dan jika ada harus dianggap
serius. Penderita depresi jarang membunuh keluarganya, tetapi kalau
terjadi biasanya karena dia merasa harus menyelamatkan keluarganya
dari kehidupan yang sengsara.
4. Retardasi atau perlambatan berpikir biasa ditemukan dan dicerminkan
dalam pembicaraan serta pergerakannya. Ada kemiskinan pikiran dan
kesulitan berkonsentrasi. Pada kasus lain agitasi mungkin menjadi

17
gejala dominan, disertai dengan adanya kegelisahan motorik yang
nyata.
5. Perasaan bersalah sering ditemukan disertai mengomeli diri sendiri dan
turunnya penilaian diri. Dalam kasus berat, bisa timbul waham dimana
penyakit yang dideritanya merupakan suatu hukuman untuk dosanya di
masa lampau, baik itu dosa yang dikhayalkannya maupun kesalahan
yang memang benar-benar pernah ia lakukan. Pasien juga bisa merasa
bahwa dia dipandang rendah dan dituduh bejad oleh orang lain.
Kemungkinan ada keasyikan sendiri, hipokondriasis dan waham
hipokondria. Mungkin juga ada waham kemiskinan atau waham
nihilistik.
6. Halusinasi jarang ditemukan, tetapi dapat timbul pada kasus berat.
7. Depersonalisasi dan derealisasi tidak jarang terjadi. Pasien menyatakan
bahwa dia kehilangan perasaan dan mempunyai sensasi asing. Dia
merasa tidak nyata dan baginya benda-benda terlihat tidak nyata.
8. Pikiran dan tindakan berisi perasaan bersalah atau menyalahkan diri
sendiri mungkin ditemukan.
9. Insomnia sering ditemukan. Gejala khasnya pasien mula-mula bangun
dini hari, kemudian semakin lama semakin pagi dan bahkan akhirnya
dapat menjadi insomnia total.
10. Anoreksia, konstipasi, gangguan pencernaan, penurunan berat badan,
amenore dan kehilangan libido biasa ditemukan. Mungkin terjadi
kelelahan dan letargi, atau tanda autonom ansietas.

Pikiran untuk melakukan bunuh diri dapat timbul pada sekitar dua pertiga
pasien depresi, dan 10-15% melakukan bunuh diri. Mereka yang dirawat
dirumah sakit dengan percobaan bunuh diri dan ide bunuh diri mempunyai umur
hidup lebih panjang disbanding yang tidak dirawat. Beberapa pasien depresi
terkadang tidak menyadari ia mengalami depresi dan tidak mengeluh tentang
gangguan mood meskipun mereka menarik diri dari keluarga, teman dan
aktifitas yang sebelumnya menarik bagi dirinya. Hampir semua pasien depresi

18
(97%) mengeluh tentang penurunan energi dimana mereka mengalami kesulitan
menyelesikan tugas, mengalami kendala disekolah dan pekerjaan, dan
menurunnya motivasi untuk terlibat dalam kegiatan baru. Sekitar 80% pasien
mengeluh masalah tidur, khusunya terjaga dini hari (terminal insomnia) dan
sering terbangun dimalam hari karena memikirkan masalh yang dihadapi.
Kebanyakan pasien menunjukkan peningkatan atau penurunan nafsu makan,
demikian pula dengan bertambah dan menurunnya berat badan serta mengalami
tidur lebih lama dari yang biasa (Depkes RI, 1993).

2.6 DIAGNOSIS DAN DIAGNOSIS BANDING


Berdasarkan pada PPDGJ-III dan DSM-5 kriteria diagnosis gangguan
depresi antara lain adalah sebagai berikut :
1. Gejala utama (pada derajat ringan, sedang dan berat) :
a. Afek depresif
b. Kehilangan minat dan kegembiraan
c. Berkurangnya energi yang menuju meningkatnya keadaan mudah lelah
(rasa lelah yang nyata sesudah kerja sedikit saja) dan menurunnya
aktivitas.
2. Gejala lainnya :
a. Konsentrasi dan perhatian berkurang
b. Harga diri dan kepercayaan diri berkurang
c. Gagasan tentang rasa bersalah dan tidak berguna
d. Pandangan masa depan yang suram dan pesimistis
e. Gagasan atau perbuatan membahayakan diri atau bunuh diri
f. Tidur terganggu
g. Nafsu makan berkurang
3. Untuk episode depresi dari ketiga tingkat keparahan tersebut diperlukan
masa sekurang-kurangnya 2 minggu untuk penegakkan diagnosis, akan
tetapi episode lebih pendek dapat dibenarkan jika gejala luar biasa beratnya
dan berlangsung cepat.

19
4. Kategori diagnosis episode depresi ringan (F32.0), sedang (F32.1) dan
berat (F32.2) hanya digunakan untuk episode depresi tunggal (yang
pertama). Episode depresi berikutnya harus diklasifikasi di bawah salah
satu diagnosis gangguan depresi berulang.

Kriterian diagnosis episode depresi ringan, sedang dan berat menurut PPDGJ
III dan DSM 5 :
1. Episode Depresi Ringan
 Sekurang-kurangnya harus ada 2 dari 3 gejala utama depresi seperti
tersebut diatas;
 Ditambah sekurang-kurangnya 2 dari gejala lainnya
 Tidak boleh ada gejala yang berat diantaranya
 Lamanya seluruh episode berlangsung sekurang-kurangnya sekitar 2
minggu
 Hanya sedikit kesulitan dalam pekerjaan dan kegiatan sosial yang biasa
dilakukannya.
2. Episode Depresi Sedang
 Sekurang-kurangnya harus ada 2 dari 3 gejala utama depresi
 Ditambah sekurang-kurangnya 3 (dan sebaiknya 4) dari gejala lainnya
 Lamanya seluruh episode berlangsung minimum sekitar 2 minggu
 Menghadapi kesulitan nyata untuk meneruskan kegiatan sosial,
pekerjaan dan urusan rumah tangga.
3. Episode Depresi Berat tanpa Gejala Psikotik
 Semua 3 gejala utama depresi harus ada
 Ditambah sekurang-kurangnya 4 dari gejala lainnya dan beberapa
diantaranya harus berintensitas berat
 Bila ada gejala penting (misalnya agitasi atau retardasi psikomotor)
yang mencolok, maka pasien mungkin tidak mau atau tidak mampu
untuk melaporkan banyak gejalanya secara rinci. Dalam hal demikian,
penilaian secara menyeluruh terhadap episode depresi berat masih
dapat dibenarkan.

20
 Episode depresi biasanya harus berlangsung sekurang-kurangnya 2
minggu, akan tetapi jika gejala amat berat dan beronset sangat cepat,
maka masih dibenarkan untuk menegakkan diagnosis dalam kurun
waktu dari 2 minggu.
 Sangat tidak mungkin pasien akan mampu meneruskan kegiatan sosial,
pekerjaan atau urusan rumah tangga, kecuali pada taraf yang sangat
terbatas.
4. Episode Depresi Berat dengan Gejala Psikotik
 Episode depresi berat yang memenuhi kriteria menurut F32.2
 Disertai waham, halusinasi atau stupor depresif. Waham biasanya
melibatkan ide tentang dosa, kemiskinan atau malapetaka yang
mengancam dan pasien merasa bertanggung jawab atas hal itu.
Halusinasi auditorik atau olfatorik biasanya berupa suara yang
menghina atau menuduh, atau bau kotoran atau daging membusuk.
Retardasi psikomotor yang berat dapat menuju pada stupor. Jika
diperlukan, waham atau halusinasi dapat ditentukan sebagai serasi atau
tidak serasi dengan afek (mood-congruent).

 Episode depresi berdasarkan ICD-10 :

Kriteria Umum
1. Episode depresi harus bertahan setidaknya 2 minggu
2. Tidak ada hypomanic atau manik gejala cukup untuk memenuhi
kriteria untuk episode hypomanic atau manik pada setiap saat dalam
kehidupan individu
3. Tidak disebabkan penggunaan zat psikoaktif atau gangguan mental
organik

Gejala Utama :
1. Perasaan depresi untuk tingkat yang pasti tidak normal bagi
individu, hadir untuk hampir sepanjang hari dan hampir setiap hari,

21
sebagian besar tidak responsif terhadap keadaan, dan bertahan
selama minimal 2 minggu.
2. Kehilangan minat atau kesenangan dalam aktivitas yang biasanya
menyenangkan.
3. Penurunan energi atau kelelahan meningkat.

Gejala Lainnya
1. Kehilangan percaya diri atau harga diri
2. Tidak masuk akal perasaan diri atau rasa bersalah yang berlebihan
dan tidak tepat
3. Berpikiran tentang kematian atau bunuh diri, atau perilaku bunuh
diri
4. Keluhan atau bukti kemampuan berkurang untuk berpikir atau
berkonsentrasi, seperti keraguan atau kebimbangan
5. Pandangan masa depan yang suram dan pesimis
6. Gangguan tidur
7. Perubahan nafsu makan (penurunan atau kenaikan) dengan
perubahan berat badan yang sesuai

Diagnosis Banding
1. Bereavement (Kehilangan teman atau keluarga karena kematian)
Bereavement atau rasa kesedihan yang berlebihan karena putusnya
suatu hubungan dapat memperlihatkan gejala yang sama dengan
episode depresi mayor. Tingkat keparahan dan durasi dari gejala dan
dampaknya pada fungsi sosial dapat membantu dalam menyingkirkan
antara kesedihan yang mendalam dan MDD.

Pembedaan antara bereavement dan episode depresi mayor


Gejala Bereavement Episode depresi
mayor
Waktu Kurang dari 2 bulan Lebih dari 2 bulan

22
Perasaan tidak Tidak ada Ada
berguna/tidak
pantas
Ide bunuh diri Tidak ada Kebanyakan ada
Rasa bersalah, dll Tidak ada Mungkin ada
Perubahan Agitasi ringan Melambat
psikomotor
Gangguan fungsi Ringan Sedang –Berat

2. Gangguan Afektif Disebabkan Karena Kondisi Medis Umum


Gejala depresi dapat diperlihatkan dari efek fisiologis suatu kondisi
medis khusus yang terjadi sebelumnya. Sebaliknya, gejala fisik suatu
penyakit medis utama sulit untuk dapat didiagnosis yang berkormorbid
dengan MDD. The Hospital Anxiety and Depression Scale (HADS)
sangat berguna untuk alat deteksi pasien dengan penyakit medis dimana
digunakan pertanyaan yang memfokuskan pada gejala kognitif
dibandingkan dengan gejala somatiknya. MDD sama banyaknya dengan
penyakit kronis, tetapi lebih umum diabetes, penyakit tiroid, dan
gangguan neurologis (penyakit Parkinson, multiple sklerosis).

3. Gangguan Afektif Disebabkan Karena Zat


Efek samping obat (baik yang diresepkan atau tidak) dapat
memperlihatkan gejala depresi, jadi suatu zat yang dapat mempengaruhi
gangguan mood harus dapat dipertimbangkan dalam mendiagnosis
banding MDD. Bukti dari riwayat, pemeriksaan fisik, atau temuan
laboratorium digunakan untuk dapat menentukan adanya suatu
pengalahgunaan, ketergantungan, intoksikasi/keracunan, atau kondisi
putus obat yang secara fisoilogis akan menyebabkan suatu episode
depresi. Selama gejala depresi karena pengaruh obat dapat disembuhkan
dengan menghentikan penggunaan obat tersebut, gejala putus obat dapat
berlangsung selama beberapa bulan.

23
Obat yang umum disalahgunakan dan menyebabkan
gangguan mood yang dipengaruhi zat
 Alcohol
 Amfetamin
 Anxiolitik
 Kokain
 Zat-zat halusinogen
 Hipnotik
 Inhalant
 Opioid
 Phencycline
 Sedative

4. Gangguan Bipolar
Sejarah adanya mania atau hipomania mengidentifikasikan adanya
gangguan bipolar, tetapi semenjak (1) gangguan bipolar sering berawal
dengan episode depresi, dan (2) pasien bipolar mengalami episode
depresi lebih lama dibandingkan dengan hipomania/mania, hal ini
penting untuk untuk mengeluarkan diagnosis bipolar ketika sedang
mendiagnosis MDD. Pada kenyataannya, 5-10% individu yang
mengalami episode depresi mayor akan memiliki episode hipomanik
atau manik didalam kehidupannya. Gejala depresi yang memperlihatkan
suatu gangguan bipolar termasuk didalamnya pemikiran yang kacau,
gejala psikotik, gambaran atipikal (pipersomnia, makan berlebihan),
onset usia dini, dan episode kekambuhan. Gangguan Bipolar II (dengan
hipomania) sulit untuk dikenali karena pasien tidak mengenali hipomania
sebagai suatu kondisi yang abnormal – mereka menerima itu sebagai
perasaan yang baik. Informasi yang mendukung dari pasangan hidup,
teman terdekat, dan keluarga sering menjadi hal yang penting untuk
dapat mendiagnosis.

24
2.7 PEMERIKSAAN
Selain dari klasifikasi yang telah dipaparkan di atas, ada beberapa
instrumen-instrumen pengukur tingkat depresi dapat digunakan untuk
membantu memberikan penilaian yang objektif terhadap kondisi depresi yang
dialami oleh pasien. Berikut ini adalah beberapa instrumen yang sering
digunakan, yaitu:
a. Beck’s Depression Inventory
b. Hamilton Depression Scale
c. The Zung Self-Rating Depression Scale

Beck Depression Inventory (BDI) adalah tes depresi untuk


mengukur keparahan dan kedalaman dari gejala – gejala depresi seperti
yang tertera dalam the American Psychiatric Association's Diagnostik and
Statistical Manual of Mental Disorders Fourth Edition (DSM-IV) pada
pasien dengan depresi klinis. BDI dapat digunakan untuk dewasa ataupun
remaja yang berumur 13 tahun ke atascan be used for both adults and
adolescents 13 years of age and older, dan merupakan sebuah ukuran
standar dari depresi yang terutama digunakan dalam penelitian dan untuk
mengevaluasi dari efekttivitas pengobatan dan terapi.

BDI tidak dapat digunakan sebagai instrumen untuk mendiagnosis,


tetapi lebih kepada identifikasi dari adanya depresi dan tingkat
keparahannya sesuai dengan criteria dari DSM-IV. Pertanyaan-pertanyaan
yang tertera pada BDI II menilai gejala-gejala khas dari depresi seperti
gangguan mood, pesimisme, perasaan gagal, ketidakpuasan diri, perasaan
bersalah, merasa dihukum, ketidaksukaan terhadap diri sendiri,
pendakwaan terhadap diri, pikiran untuk bunuh diri, menangis, irittabilitas,
penarikan diri dari kehidupan sosial, gambaran tubuh, kesulitan bekerja,
insomnia, kelelahan, nafsu makan, kehilangan berat badan dan kehilangan
libido.

25
2.8 TATALAKSANA

Pengobatan pasien dengan gangguan mood harus diamanahkan pada


sejumlah tujuan. Pertama, keamanan pasien harus terjamin. Kedua, pemeriksaan
diagnostik yang lengkap pada pasien harus dilakukan. Ketiga, suatu rencana
pengobatan harus dimulai yang menjawab bukan hanya gejala sementara tetapi
juga kesehatan pasien selanjutnya (Kaplan, 2010).
Dokter harus mengintegrasikan farmakoterapi dengan intervensi
psikoterapeutik. Jika dokter memandang gangguan mood pada dasarnya
berkembang dari masalah psikodinamika, ambivalensi mengenai kegunaan obat
dapat menyebabkan respons yang buruk, ketidakpatuhan, dan kemungkinan
dosis yang tidak adekuat untuk jangka waktu yang singkat. Sebaliknya, jika
dokter mengabaikan kebutuhan psikososial pasien, hasil dari farmakoterapi
mungkin terganggu (NIMH, 2002).

1. Terapi Farmakologis

Antidepresan yang tersedia sekarang cukup bervariasi di dalam efek


farmakologisnya. Variasi tersebut merupakan dasar untuk pengamatan
bahwa pasien individual mungkin berespons terhadap antidepresan lainnya.
Variasi tersebut juga merupakan dasar untuk membedakan efek samping
yang terlihat pada antidepresan (Kaplan, 2010).
Pembedaan yang paling dasar diantara antidepresan adalah pada
proses farmakologis yang terjadi, dimana ada antidepresan yang memiliki
efek farmakodinamika jangka pendek utamanya pada tempat ambilan
kembali (reuptake sites) atau pada tingkat inhibisi enzim monoamine
oksidasi. bekerja untuk menormalkan neurotransmitter yang abnormal di
otak khususnya epinefrin dan norepinefrin. Antidepresan lain bekerja pada
dopamin. Hal ini sesuai dengan etiologi dari depresi yang kemungkinan
diakibatkan dari abnormalitas dari sistem neurotransmitter di otak (NIMH,
2002). Obat antidepresan yang akan dibahas adalah antidepresi generasi

26
pertama (Trisiklik dan MAOIs), antidepresi golongan kedua (SSRIs) dan
antidepresi golongan ketiga (SRNIs).
a. Trisiklik
Trisiklik merupakan antidepresan yang paling umum digunakan
sebagai pengobatan lini pertama untuk gangguan depresif berat (Kaplan,
2010). Golongan trisiklik ini dapat dibagi menjadi beberapa golongan,
yaitu trisiklik primer, tetrasiklik amin sekunder (nortriptyline,
desipramine) dan tetrasiklik tersier (imipramine, amitriptlyne). Dari
ketiga golongan obat tersebut, yang paling sering digunakan adalah
tetrasiklik amin sekunder karena mempunyai efek samping yang lebih
minimal. Obat golongan tetrasiklik sering dipilih karena tingkat
kepuasan klinisi dikarenakan harganya yang murah karena sebagian
besar golongan dari obat ini tersedia dalam formulasi generik (Kaplan,
2010).
Golongan obat trisiklik bekerja dengan menghambat reuptake
neurotransmitter di otak. Secara biokimia, obat amin sekunder diduga
bekerja sebagai penghambat reuptake norepinefrin, sedangkan amin
tersier menghambat reuptake serotonin pada sinaps neuron.hal ini
mempunyai implikasi bahwa depresi akibat kekurangan norepinefrin
lebih responsive terhadap amin sekunder, sedangkan depresi akibat
kekurangan serotonin akan lebih responsive terhadap amin tersier.

b. MAOIs (Monoamine Oxidase Inhibitors)


MAOIs telah digunakan sebagai antidepresan sejak 15 tahun
yang lalu. Golongan ini bekerja dalam proses penghambatan deaminasi
oksidatif katekolamin di mitokondria, akibatnya kadar einefrin,
noreprinefrin dan 5-HT dalam otak naik. Obat ini sekarang jarang
digunakan sebagai lini pertama dalam pengobatan depresi karena
bersifat sangat toksik bagi tubuh. Selain karena dapat menyebabkan
krisis hipertensif akibat interaksi dengan tiramin yang berasal dari
makanan-makanan tertentu seperti keju, anggur dan acar, MAOIs juga

27
dapat menghambat enzim-enzim di hati terutama sitokrom P450 yang
akhirnya akan mengganggu metabolisme obat di hati. (Kaplan, 2010).

c. SSRIs (Selective Serotonin Reuptake Inhibitors)


SSRIs adalah jenis pengobatan yang juga menjadi pilihan lini
pertama pada gangguan depresif berat seain golongan trisiklik (Kaplan,
2010). Obat golongan ini mencakup fluoxetine, citalopram dan
setraline. SSRIs sering dipilih oleh klinisi yang pengalamannya
mendukung data penelitian bahwa SSRIs sama manjurnya dengan
trisiklik dan jauh lebih baik ditoleransi oleh tubuh karena mempunyai
efek samping yang cukup minimal karena kurang memperlihatkan
pengaruh terhadap sistem kolinergik, adrenergik dan histaminergik.
Interaksi farmakodinamik yang berbahaya akan terjadi bila SSRIs
dikombinasikan dengan MAOIs, karena akan terjadi peningkatan efek
serotonin secara berlebihan yang disebut sindrom serotonin dengan
gejala hipertermia, kejang, kolaps kardiovaskular dan gangguan tanda
vital.

d. SNRIs (Serotonin and Norepinephrine Inhibitors )


Golongan antidepresan SNRIs bekerja dengan mekanisme yang
hampir sama dengan golongan SSRIs, hanya saja pada SNRIs juga
menghambat dari reuptake norepinefrin. (NIMH, 2002).
Selain dari golongan obat yang telah dibahas sebelumnya, masih
ada beberapa alternatif yang digunakan untuk terapi medikamentosa
pada pasien depresi dengan keadaan tertentu. Hal tersebut dapat terlihat
lebih jelas pada gambar di bawah ini.

28
Gambar 2.1.10.1 Pilihan obat-obatan antidepresan pada lini pertama

2. Terapi Non Farmakologis


A. Behaviour therapy
Cognitive Behavioral Therapy (CBT) berorientasi pada
pemecahan masalah dengan terapi yang dipusatkan pada keadaan
“disini dan sekarang”, yang memandang individu sebagai pengambil
keputusan penting tentang tujuan atau masalah yang akan dipecahkan
dalam proses terapi. Dengan cara tersebut, pasien sebagai mitra kerja
terapis dalam mengatasi masalahnya dan dengan pemahaman yang
memadai tentang teknik yang digunakan untuk mengatasi masalahnya
Tujuan utama dalam teknik Cognitive Behavioral Therapy (CBT)
adalah :
 Membangkitkan pikiran pikiran negative/ berbahaya, dialog
internal atau bicara sendiri (self-talk), dan interpretasi terhadap

29
kejadian kejadian yang dialami. Pikiran pikiran negative tersebut
muncul secara otomatis, sering diluar kesadaran pasien, apabila
menghadapi situasi stress atau mengingat kejadian penting masa
lalu. Distorsi kognitif tersebut perilaku maladaptive yang
menambah berat masalahnya.
 Terapis bersama klien mengumpulkan bukti yang mendukung atau
menyanggah interpretasi yang telah diambil. Oleh karena pikiran
otomatis sering didasarkan atas kesalahan logika, maka
program Cognitive Behavioral Therapy (CBT) diarahkan untuk
membantu pasien mengenali dan mengubah distorsi kognitif.
Pasien dilatih mengenali pikiranya, dan mendorong untuk
menggunakan ketrampilan, menginterpretasikan secara lebih
rasional terhadap struktur kognitif yang maladaptive.
 Menyusun desain eksperimen (pekerjaan Rumah) untuk menguji
validitas interpretasi dan menjaring data tambahan unjtuk diskusi
di dalam proses terapi.

B. Interpersonal Therapy
Terapi interpersonal:
Dilakukan terhadap pasien yang mengalami konflik saat
ini dengan pihak-pihak lain yang bermakna sehingga ia mengalami
kesulitan dalam beradaptasi terhadap perubahan-perubahan dalam
karier atau peran sosial atau perubahan hidup lainnya. Banyak
dilakukan terhadap depresi sedang dan berat.

C. Intervensi krisis:
Dilakukan terhadap pasien yang sedang mengalami suatu
krisis dan memerlukan tindakan segera (catatan: krisis yaitu suatu
respons terhadap keadaan bahaya atau penuh risiko dan
dirasakan/dihayati sebagai keadaan yang menyakitkan, agar tercapai
kembali keadaan seimbang (emotional equilibrium). Dalam terapi

30
ini kita harus secepatnya membina hubungan interpersonal yang
adekuat serta mengerti peran psikodinamik dan hubungannya
terhadap krisis yang terjadi. Teknik yang dilakukan yaitu
reassurance, sugesti, manipulasi lingkungan dan medikasi
psikotropik. Kita ajarkan kepada pasien untuk menghindari situasi
yang berbahaya untuk mencegah terjadinya kembali krisis di masa
yang akan datang.

2.9 PROGNOSIS
Gangguan mood cenderung memiliki perjalanan penyakit yang
panjang dan pasien cenderung mengalami kekambuhan. Episode depresif
yang tidak diobati berlangsung 6 sampai 13 bulan, sementara sebagian besar
episode yang diobati berlangsung kira-kira 3 bulan. Menghentikan
antidepresan sebelum 3 bulan hampir selalu menyebabkan kembalinya
gejala.
Pasien yang dirawat di rumah sakit untuk episode pertama gangguan
depresif berat memiliki kemungkinan 50% untuk pulih dalam tahun
pertama. Banyak penelitian telah berusaha untuk mengidentifikasi indikator
prognostik yang baik dan buruk di dalam perjalanan gangguan depresif
berat. Episode ringan, tidak adanya gejala psikotik, fungsi keluarga yang
stabil, tidak adanya gangguan kepribadian, tinggal dalam waktu singkat di
rumah sakit dalam waktu yang singkat, dan tidak lebih dari satu kali
perawatan di rumah sakit adalah indikator prognostik yang baik. Prognosis
buruk dapat meningkat oleh adanya penyerta gangguan distimik,
penyalahgunaan alkohol dan zat lain, gejala gangguan kecemasan, dan
riwayat lebih dari satu episode sebelumnya.

3.1 TENTAMEN SUICIDE


A. Definisi
Bunuh diri merupakan kematian yang diperbuat oleh sang
pelaku sendiri secara sengaja (Harold I, Kaplan & Berjamin J.

31
Sadock, 1998). Bunuh diri adalah tindakan agresif yang merusak diri
sendiri dan dapat mengakhiri kehidupan (Budi Anna Kelihat, 1991).
Suicidum (bunuh diri) adalah kematian yang dengan
sengaja dilakukan oleh diri sendiri. Tentamen suicidum (percobaan
bunuh diri) adalah upaya yang dilakukan dengan tujuan menghabisi
nyawa sendiri. Gagasan Bunuh Diri adalah pikiran atau ide untuk
menghabisi nyawa sendiri, biasanya terdapat pada seseorang yang
peka terhadap stresor, dapat terjadi pada segala usia, dan dapat
berlangsung untuk waktu yang lama tanpa suatu upaya bunuh diri.
Perilaku Bunuh Diri (suicidal behavior) adalah suatu
perilaku yang disengaja atau tidak, dapat membahayakan diri
sendiri. Contoh : mutilasi diri dengan memotong pergelangan
tangan, membenturkan kepala, menelan benda asing, menggigit,
menghilangkan bagian tubuh. Dua hal yang perlu diketahui oleh
seorang dokter, yaitu :
1. Kemampuan menilai adanya resiko bunuh diri
2. Melaksanakan rencana penatalaksanaan yang layak dilakukan

B. Epidemiologi

Perilaku ini berkaitan dengan berbagai hal seperti jenis

kelamin, umur, ras, situasi kehidupan. Keterkaitan bunuh diri

dengan jenis kelamin. Pria lebih banyak yang berhasil bunuh diri

daripada wanita dengan ratio 3 :1, meskipun usaha bunuh diri lebih

banyak pada wanita dengan ratio 3 : 1. Keterkaitan bunuh diri

dengan usia. Resiko bunuh diri meningkat seiring dengan

bertambahnya usia. Resiko tertinggi adalah pada usia pertengahan

(biasanya berusia diatas 45 tahun) dan usia tua. Namun belakangan

ini dilaporkan banyak juga kasus bunuh diri pada pria muda.

32
Keterkaitannya dengan ras. Secara keseluruhan resiko bunuh diri

lebih tinggi pada kulit putih dari pada kulit berwarna, kecuali pada

suku Indian dan Eskimo. Dikota-kota besar angka bunuh diri pada

kulit hitam mendekati angka kulit putih.

Keterkaitannya dengan status pernikahan. Resiko bunuh diri

dua kali lebih banyak pada mereka yang tidak menikah dibanding

dengan yang menikah. Begitu pula pada mereka yang bercerai,

janda dan duda. Di Amerika angka bunuh diri per 100.000

penduduk, menikah : 11, janda : 24, bercerai (pria : 69 dan wanita :

18). Bunuh diri juga berhubungan dengan situasi kehidupan. Resiko

bunuh diri lebih pada mereka yang tidak mempunyai pekerjaan

termasuk pengangguran dan pensiunan.

C. Etiologi

1. Episode depresi – beberapa dari pasien menggunakan obat

antidepresi merka untuk membunuh diri. Obat SSRI baru

aman dalam hal ini

2. Gangguan Kepribadian – kepribadian paranoid dan

kepribadian ambang (emosi tak stabil).

3. Insomnia berat walaupun tanpa disertai depresi dapat

meningkatkan resiko bunuh diri.

33
4. Penggunaan alkohol dan obat-obatan sering juga merupakan

perilaku bunuh diri dalam jangka panjang maupun singkat

bila digunakan secara berlebihan.

5. Skizofrenia disertai suasana perasaan yang depresif, gagasan

bunuh diri, gangguan proses pikir (waham), mutilasi diri.

6. Skizofrenia dengan halusinasi perintah yang memerintahkan

untuk bunuh diri atau

7. Individu dengan orientasi homoseksual mempunyai resiko

bunuh diri terutama pada remaja (dengan konflik identities),

dan lanjut usia yang depresif dan/atau alkaholik.

8. Penyakit fisik yang mengancam kehidupan, seperti kanker,

AIDS atau yang disertai rasa nyeri yang berat dan kronis,

atau yang menimbulkan kecacatan.

9. Gangguan Stres Pasca Trauma yang disertai rasa malu, putus

asa, atau rasa berdosa.(misalnya akibat perkosaan,

penganiayaan, penjarahan, penculikan dll).

10. Ada riwayat anggota keluarga yang bunuh diri.

11. Hidup seorang diri disertai rasa kesepian

12. Kematian pasangan hidup.

13. Problem ekonomi.

D. Tanda dan Gejala

Tak langsung
a. Merokok

34
b. Mengebut

c. Berjudi

d. Tindakan kriminal

e. Terlibat dalam aktivitas rekreasi beresiko tinggi

f. Penyalahgunaan zat

g. Perilaku yang menyimpang secara sosial

h. Perilaku yang menimbulkan stress

i. Gangguan makan

j. Ketidakpatuhan pada pengobatan medik

Langsung
a. Keputusasaan

b. Celaan terhadap diri sendiri, perasaan gagal dan tidak berharga

c. Alam perasaan depresi

d. Agitasi dan gelisah

e. Insomnia yang menetap

f. Penurunan berat badan berbicara lamban, keletihan, menarik diri dari


lingkungan.

E. KLASIFIKASI
1. Ancaman Bunuh Diri
Peringatan verbal atau nonverbal bahwa orang tersebut

mempertimbangkan untuk bunuh diri. Orang tersebut mungkin

menunjukkan secara verbal bahwa ia tidak akan berada di sekitar kita lebih

lama lagi atau mungkin juga mengkomunikasikan secara nonverbal

35
melalui pemberian hadiah, merevisi wasiatnya dan sebagainya. Pesan-

pesan ini harus dipertimbangkan dalam konteks peristiwa kehidupan

terakhir. Ancaman menunjukkan ambivalensi seseorang tentang kematian.

Kurangnya respon positif dapat ditafsirkan sebagai dukungan untuk

melakukan tindakan bunuh diri.

2. Upaya bunuh diri

Semua tindakan yang diarahkan pada diri yang dilakukan oleh

individu yang dapat mengarah kematian jika tidak dicegah.

3. Bunuh diri

Bunuh diri mungkin terjadi setelah tanda peringatan terlewatkan

atau diabaikan. Orang yang melakukan upaya bunuh diri dan yang tidak

benar-benar ingin mati mungkin akan mati jika tanda-tanda tersebut tidak

diketahui tepat pada waktunya.

F. KOMPLIKASI

Komplikasi yang mungkin muncul pada klien dengan tentamen

suicide sangat tergantung pada jenis dan cara yang dilakukan klien untuk

bunuh diri, namun resiko paling besar dari klien dengan tentamen suicide

adalah berhasilnya klien dalam melakukan tindakan bunuh diri, serta jika

gagal akan meningkatkan kemungkingan klien untuk mengulangi

perbuatan tentamen suicide.

Pada klien dengan percobaan bunuh diri dengan cara meminum zat

kimia atau intoksikasi zat komplikasi yang mungkin muncul adalah diare,

36
pupil pi- poin, reaksi cahaya negatif , sesak nafas, sianosis, edema paru,

inkontenesia urine dan feces, kovulsi, koma, blokade jantung akhirnya

meninggal.

Pada klien dengan tentamen suicide yang menyebabkan asfiksia

akan menyebabkan syok yang diakibatkan karena penurunan perfusi di

jaringan terutama jaringan otak. Pada klien dengan perdarahan akan

mengalami syok hipovolemik yang jika tidak dilakukan resusitasi cairan

dan darah serta koreksi pada penyebab hemoragik syok, kardiak perfusi

biasanya gagal dan terjadi kegagalan multiple organ.

G. TATALAKASANA

1. Pasien yang masih ingin hidup dan minta tolong , harus ditanggapi

2. Keinginan bunuh diri yang ringan dan terasa lucu harus ditanggapi

karena banyak yang ternyata berhasil

3. Eksplorasi motivasinya, bunuh diri dapat berkaitan denagn berbagai

macam patologi

4. Atasi dulu keadaan kegawatan fisik

5. Lanjutkan dengan menggeledah pasien untuk mencegah peluang

berulangnya kejadian tersebut dan lakukan wawancara dengan pihak

keluarga

6. Setelah kegawatan fisik teratasi , perlu ditinjau:

37
a. Beratnya risiko bunuh diri dalam waktu dekat menggunakan kriteria

dari Tuckman dan Youngman yang di modofikasi (kriteria MAS

SALAD):

1. (M) Mental status: gangguan afektif berat atau psikosis

2. (A) Attempt: niat percobaan bunuh diri (PBD) yang kuat PBD

ini bukan pertama kali

3. (S) Support system : tidak ada seseorang yang penting dan dekat

dengan pasien

4. (S) Sex : wanita di atas 25 tahun dan pria di atas 45 tahun

5. (A) Age: usia lanjut

6. (L) Loss: kehilangan (status atau pasangan ) dalam 6 bulan

terakhir

7. (A) Alcoholism: peminum minuman keras

8. (D) Drug: penyalahgunaan dan ketergantungan zat

b. Kondisi klinis pasien keseluruhannya

c. Sumber-sumber intraspsikik/sosial untuk mengatasi masalah

tersebut

7. Bila keadaan di atas kurang baik , dirawat psikiatri

38
KESIMPULAN

Ketika seseorang mengalami gangguan mood atau lebih khususnya


mengalami gangguan depresi yang mana terjadi perubahan dalam kondisi
emosional, fungsi motorik, kogntif serta motivasinya dan jika tidak segera diberi
penanganan maka akan memicu timbulnya gangguan depresi mayor satu episode
dan depresi mayor barulang.
Ada beberapa sebab-sebab yang dapat menimbulkan depresi yaitu dari sisi
biologis karena adanya ketidakseimbangan otak yaitu berkurangnya
neurotransmitter, dari sisi psikologis yaitu karena adanya kepribadian-kepribadian
yang rentan terhadap timbulnya depresi, dari sisi sosial karena keadaan lingkungan-
lingkungan sekitar yang tidak mendukung berlangsungnya kehidupan yang baik
dan dari sisi spiritual adalah kurangnya keimanan dan ketakwaan.
Apabila gangguan depresi mayor berulang terjadi terus menerus maka hal
itu akan lebih susah untuk ditangani dan akan berujung pada bunuh diri. Insiden
tinggi usaha bunuh diri lebih banyak pada perempuan dengan ratio 3:1 dan resiko
bunuh diri meningkat seiring bertambahnya usia. usia rata-rata ialah 27 tahun.
Pada gangguan depresi yang sering terdapat pikiran-pikiran atau rancangan
bunuh diri, maka sebaiknya penderita dirawat di rumah sakit dengan pemberian
terapi elektrokonvulsi di samping psikoterapi dan obat anti depresan. Pemberian
anti depresan diberikan melalui tahapan-tahapan, yaitu dosis initial, titrasi,
stabilisasi, maintenance dan dosis tapering. Dimana dosis dan lama pemberiannya
berbedabeda. Kombinasi psikoterapi dan farmakoterapi adalah pengobatan yang
paling efektif untuk gangguan depresi berat.

39
DAFTAR PUSTAKA

Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas


Indonesia. 2007. Farmakologi dan Terapi. Edisi V. Jakarta : Badan Penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Departemen Neurologi Fakultas Kedokteran Univesitas Indonesia. 2018. Buku Ajar
Psikiatri U. Edisi III. Jakarta : Badan Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
Halverson JA et al. Depression. (Online). 2011. [23 Juni 2011]. Available from
http://emedicine.com
Kaplan and Saddock. Comprehensive Textbook Of Psychiatry. 7th Ed. Lippincott
Wiliams And Wilkins. Philadelphia, 2010.
Kaplan, Saddock. Sinopsis Psikiatri, Jilid II, Edisi Ketujuh Binarupa Aksara,
Jakarta, 2010 ; 685 – 817.
Maslim, Rusdi. 2013. Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan dari PPDGJ-III dan
DSM-5. Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa Fakultas Kedokteran Unika
Atma Jaya.
Maslim, Rusdi. 2014. Penggunaan Klinis Obat Psikotropik. Cetakan 2014. Jakarta
: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa Fakultas Kedokteran Unika Atma Jaya.
M Ismail, Irawati R dan Siste, Kristiana. 2013. Gangguan Depresi : Buku Ajar
Psikiatri UI. Edisi kedua. Jakarta : Badan Penerbit FKUI.

40

Anda mungkin juga menyukai