Anda di halaman 1dari 16

Dengue Hemorrhagic Fever

A. Definisi

Demam Berdarah Dengue atau Dengue Hemorrhagic Fever


(DBD/DHF) adalah penyakit yang disebabkan oleh virus dengue melalui
gigitan nyamuk Aedes terutama Aedes aegypti.1 Infeksi Dengue disebabkan
oleh salah satu dari 4 serotipe virus Dengue (DENV) yakni DENV-1, DENV-
2, DENV-3,dan DENV-4.2
Infeksi dengue merupakan penyakit sistemik yang dinamis dan
memiliki spectrum manifestasi klinis yang sangat luas, mulai dari tanpa gejala
klinis (asimptomatik) sampai dengan gejala yang sangat serius seperti syok
hipovolemi.2 Gejala klinis berupa demam yang muncul secara tiba-tiba
setelah fase inkubasi selesai (4-10 hari).3 Gejala klinis yang muncul terbagi
atas tiga fase, yaitu fase febris, fase kritis, dan fase penyembuhan.2
Dengue Hemorrhagic Fever dapat diawali dengan gejala demam
tinggi mendadak berlangsung 2-7 hari.4 Adapun manifestasi klinis terjadinya
tanda- tanda perdarahan antara lain, uji tourniket positif atau adanya peteki,
epistaksis, perdarahan gusi, melena, atau hematemesis. Selain itu adanya
hepatomegali dan kegagalan sirkulasi (syok), pada pemeriksaan laboratorium
ditemukan adanya trombositopenia (<100.000) serta peningkatan
hemokonsentrasi (hematokrit) > 20%. 4

A. Epidemiologi

Menurut World Health Organization (WHO) diperkirakan 50-100 juta


penduduk mengalami dengue hemorrhagic fever setiap tahun.5 Terdapat
500.000 kasus diantara terdapat 22.000 kasus kematian dengue hemorrhagic
fever yang banyak terjadi pada anak-anak.6 Jumlah kasus dengue
hemorrhagic
fever di negara Amerika, Asia Tenggara, dan negara Pasifik berjumlah

1.200.000 juta kasus pada tahun 2008, dan pada tahun 2013 terjadi
peningkatan jumlah kasus lebih dari 3.000.000 juta kasus.7
Penyakit dengue hemorrhagic fever masih menjadi permasalahan
kesehatan yang ada di Indonesia, dimana pada tahun 2015 jumlah kasus
demam berdarah sebanyak 129.650 kasus dengan jumlah kematian sebanyak
1.071 orang.11 Penyebaran penyakit DBD terkait dengan perilaku masyarakat
yang sangat erat hubungannya dengan kebiasaan hidup bersih. Faktor lain
yaitu masih kurangnya pengetahuan, sikap, dan tindakan untuk menjaga
kebersihan lingkungan.12 Dari data Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Barat
tahun 2014 terdapat 2.282 kasus demam berdarah dengan angka kematian 12
orang, dan pada tahun 2014 kasus kejadian demam berdarah meningkat
hampir dua kali lipat dari angka kejadian sebelumnya.7

B. Etiologi

Demam berdarah dengue dan demam dengue disebabkan oleh virus


dengue yang termasuk dalam genus Flavirus, keluarga Flaviridae. Flavirus
merupakan virus dengan diameter 30 nm terdiri dari asam ribonukleat rantai
tunggal.8
Terdapat 4 serotipe virus yaitu DENV-1, DENV-2, DENV-3, dan
DENV-4 yang semuanya dapat menyebabkan demam dengue atau demam
berdarah dengue. Keempat jenis serotipe dapat ditemukan di Indonesia
dengan DENV-3 merupakan serotipe terbanyak.8
Vektor virus dengue adalah nyamuk Aedes aegypti atau Aedes
albopictus. Virus dengue ditransmisikan ke manusia melalui gigitan nyamuk
Aedes betina yang terinfeksi. Setelah melewati masa inkubasi yang biasanya
sekitar 8-10 hari, nyamuk tersebut dapat menularkan infeksi virus dengue
kepada manusia lain hingga seumur hidupnya saat sedang mencari makanan
dalam darah manusia. Nyamuk betina tersebut juga dapat menularkan infeksi
virus melalui telur yang dikeluarkannya, tetapi mekanisme transmisi tersebut
hingga saat ini belum diketahui secara rinci.9

C. Patogenesis

Virus dengue yang telah masuk ke tubuh penderita akan menimbulkan


viremia. Hal tersebut akan menimbulkan reaksi oleh pusat pengatur suhu di
hipotalamus yang diakibatkan oleh karena pelepasan zat-zat mediator radang
seperti bradikinin, histamine, serotonin, dsb dan akibatnya akan terjadi
perubahan suhu. Selain itu, viremia menyebabkan pelebaran pada dinding
pembuluh darah yang menyebabkan perpindahan cairan dan plasma dari
intravascular ke interstisial yang menyebabkan hipovolemia.
Trombositopenia dapat terjadi akibat dari penurunan produksi trombosit
sebagai reaksi dari antibody melawan virus.9
Pada pasien dengan trombositopenia terdapat adanya perdarahan
seperti petekie, atau perdarahan mukosa di mulut. Hal ini mengakibatkan
adanya kehilangan kemampuan tubuh untuk melakukan mekanisme
hemostatitis secara normal. Hal tersebut dapat menimbulkan perdarahan dan
jika tidak tertangani maka akan menimbulkan syok. Masa inkubasi virus
dengue rata-rata 5-8 hari. Virus ini akan masuk ke dalam tubuh melalui
gigitan nyamuk Aedes aegypti.9
Virus akan bereaksi dengan antibody dan terbentuklah kompleks virus
antibodi. Dalam sirkulasi, akan mengaktifkan sistem komplemen. Akibat dari
aktivasi C3 dan C5 akan dilepas C3a dan C5a untuk melepaskan histamine,
akibat yang ditimbulkan oleh hal tersebut akan terjadi peningkatan
permeabilitas dinding kapiler pembuluh darah dan terjadi kebocoran plasma.
Akibat kebocoran tersebut terjadi kekurangan volume plasma, terjadi
hipotensi, hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit> 20%), hipoproteinemia,
dan syok. Indikasi pemeriksaan hematokrit menjadi penting sebagai patokan
pemberian cairan intravena. Setelah pemberian cairan intravena, peningkatan
jumlah trombosit menunjukkan kebocoran plasma teratasi, sehingga
pemberian cairan harus dikurangi jumlah tetesan per menit dan jumlahnya
untuk mencegah terjadi edema paru. Sebaliknya jika tidak mendapat cairan
yang cukup, pasien akan mengalami kekurangan cairan yang akan
mengakibatkan kondisi yang buruk bahkan mengalami renjatan (syok). Jika
renjatan (syok) berlangsung lama maka akan timbul anoksia jaringan, dan
kematian apabila tidak segera diatasi dengan baik. 9
D. Klasifikasi dan Gejala Klinis

Klasifikasi infeksi Dengue berdasarkan WHO 2011 dibagi menjadi 2


berdasarkan gejala klinis yang ditemukan, yaitu asimptomatik (tanpa gejala)
dan simptomatik (dengan gejala klinis). Dengue simptomatik terbagi menjadi
4, yaitu undifferentiated fever (viral syndrome), Dengue fever (DF/demam
Dengue), Dengue hemorrhagic fever (DHF/demam berdarah Dengue), dan
expand Dengue syndrome (Dengue dengan manifestasi yang tidak umum).
DHF terbagi menjadi 4 kelompok yaitu DHF grade I dan DHF Grade II
berlangsung tanpa fase syok hipovolemi.10
1. Undifferentiated Fever (viral syndrome)

Undifferentiated fever merupakan demam yang sulit


dibedakan dengan demam yang disebabkan oleh virus lainnya.
Anak-anak, remaja, atau dewasa muda yang terinfeksi Dengue
untuk pertama kalinya (infeksi primer) memiliki gejala demam
yang sulit dibedakan dari demam yang disebabkan oleh virus lain.10
Terdapat Makulopapular rash bisa timbul pada fase febris
atau pada saat fase penyembuhan. Biasa disertai gejala-gejala
gangguan pernapasan dan saluran cerna.10
2. Dengue Fever (DF)

Dengue Fever atau demam Dengue merupakan bentuk


infeksi Dengue yang paling ringan. DF paling sering ditemukan
pada usia anak-anak yang telah beranjak dewasa. Pasien dapat
didiagnosis DF jika memenuhi 2 kriteria berikut:9
a. Sefalgia
b. Nyeri retroorbital
c. Myalgia/Arthralgia
d. Leukopenia (WBC < 5000/uL)
e. Trombositopenia (<150.000/uL)
f. Peningkatan Hematokrit (5-10%)

Pada anak-anak, DF biasanya ringan. Pada orang dewasa,


DF biasanya sering disertai nyeri tulang atau persendian yang hebat
(Break Bone Fever).
3. Dengue Hemorrhagic Fever (DHF)

DHF terbagi menjadi 4 kategori, yaitu:11


a. DHF Grade I

Jika terdapat manifestasi klinis berupa demam,


sefalgia, nyeri retroorbital, nyeri sendi atau nyeri otot
ditambah dengan tes Rumple Leed positif, leukopenia,
trombositopenia, dan peningkatan nilai hematocrit >
20%.
b. DHF Grade II

Jika telah memenuhi kriteria DHF Grade I,


ditambah adanya manifestasi perdarahan spontan
(peteki, ekimosis, purpura, perdarahan gusi, epistaksis,
melena, dan perdarahan mukosa lainnya.
c. DHF Grade III

Jika telah memenuhi kriteria DHF Grade II,


ditambah adanya tanda-tanda syok atau kegagalan
sirkulasi seperti:
1) Gelisah
2) Akral dingin
3) Takikardi
4) Nadi lemah
5) Hipotensi
6) Nadi melemah

d. DHF Grade IV

Jika telah memenuhi kriteria DHF Grade III,


ditambah adanya nadi tidak teraba, dan tekanan darah
tidak dapat diukur.
e. Dengue Shock Syndrome (DSS)

Pasien dapat diagnosis DSS jika telah memenuhi


kriteria diagnosis DHF Grade III, atau DHF Grade IV
4. Expanded Dengue Syndrome

Merupakan bentuk infeksi Dengue dengan manifestasi


klinis yang melibatkan beberapa organ seperti ginjal, jantung, dan
otak, yang dimana tidak ditemukan adanya tanda-tanda kebocoran
plasma.
E. Diagnosis

Diagnosis DHF ditegakkan berdasarkan kriteria diagnosis menurut


WHO tahun 2011 terdiri dari kriteria klinis dan pemeriksaan labolatorium:11
1. Kriteria Klinis

- Demam berlangsung antara 2-7 hari, bersifat bifasik

- Terdapat minimal satu dari manifestasi perdarahan:

- Rumple Leede positif

- Petekie, ekimosis, atau purpura

- Perdarahan mukosa (paling sering epistaksis atau perdarahan


gusi) atau perdarahan dari tempat lain
- Hematemesis atau melena

2. Kriteria Hasil Pemeriksaan Labolatorium

- Trombositopenia (<100.000 sel/mm3)

- Hemakonsentrasi (perningkatan hematokrit >20%)

Dua kriteria pertama ditambah trombositopenia dan peningkatan


hematokrit cukup untuk menegakkan diagnosis DHF

F. Pemeriksaan Penunjang

1. Pemeriksaan Darah Lengap

Pemeriksaan ini untuk memeriksa kadar hemoglobin ,

hematokrit, jumlah trombosit. Peningkatan hemtokrit yang selalu

dijumpai pada pasien DHF, didapatkan juga trombositopenia, dan

leukopenia.

2. Pemeriksaan Labolatorium Lain

Pemeriksan PT, APPT, untuk melihat apakah ada tidaknya

kelainan pembekuan darah. Pemeriksaan ureum kreatinin berguna untuk

melihat apakah ada gangguan fungsi ginjal. Pemeriksaan


protein/albumin bila terjadi hypoproteinemia kita bisa mencurigai

adanya kebocoran plasma. Pemeriksaan SGPT/SGOT untuk melihat

apakah ada peningkatan dari enzim hati.

3. Pemeriksaan Serologi

Pemeriksaan menggunakan metode RT-PCR (Reverse

Transcriptase Polymerase Chain Reaction).

4. Pemeriksaan Radiologi

Pada Pemeriksaan Foto Thoraks dada dapat ditemukan efusi

pleura, dan apabila terjadi perembesan plasma hebat dapat ditemukan

pada kedua hemitoraks. Pada pemeriksaan USG dapat ditemukan Asites

G. Penatalaksanaan

Tidak ada terapi yang spesifik untuk DD dan DBD, prinsip utama

adalah terapi suportif. Dengan terapi suportif yang adekuat, angka kematian

dapat diturunkan hingga kurang dari 1%. Pemeliharaan volume cairan sirkulasi

merupakan tindakan yang paling penting dalam penanganan kasus DBD.

Asupan cairan pasien harus tetap dijaga, terutama cairan oral. Jika asupan

cairan oral pasien tidak mampu dipertahankan, maka dibutuhkan suplemen

cairan melalui intravena untuk mencegah dehidrasi dan hemokonsentrasi.10

H. TATALAKSANA PADA DEWASA

Perhimpunan Dokter Ahli Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI) bersama

dengan Divisi Penyakit Tropik dan Infeksi dan Divisi Hematologi dan

Onkologi
Medik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia telah menyusun protokol

penatalaksanaan DBD pada pasien dewasa berdasarkan kriteria :10

1. Tatalaksana dengan rencana tindakan sesuai indikasi

2. Praktis dalam pelaksanaannya

3. Mempertimbangkan cost

effectiveness Protokol ini terbagi dalam 5

kategori :10

a. Protokol 1. Penanganan pasien (Probable) DBD dewasa tanpa syok.

b. Protokol 2. Pemberian cairan pada pasien DBD dewasa di ruang

rawat.

c. Protokol 3. Penatalaksanaan DBD dengan peningkatan Ht > 20%.

d. Protokol 4. Penatalaksanaan Perdarahan Spontan pada DBD dewasa.

e. Protokol 5. Tatalaksana Sindoma Syok Dengue pada dewasa.

1. Protokol 1 Penanganan pasien DBD dewasa tanpa syok

Potokol 1 ini digunakan sebagai petunjuk dalam memberikan

pertolongan pertama pada penderita DBD atau yang diguga DBD di

Instalasi Gawat Darurat dan juga dipakai sebagai petunjuk dalam

memutuskan indikasi rawat.

Seseorang yang tersangka menderita DBD di ruang Gawat

Darurat dilakukan pemeriksaan Hemoglobin (Hb), hematoktrit dan

trombosit apabila didapatkan :

 Hb, Ht dan trombosit normal atau trombosit antara 100.000 –

150.000, pasien dapat dipulangkan dengan anjuran kontrol atau


berobat jalan ke Poliklinik dalam waktu 24 jam berikutnya

(dilakukan pemeriksaan Hb, Ht, Leukosit dan trombosit tiap 24

jam) atau bila keaadaan penderita memburuk segera kembali ke

Instansi Gawat Darurat)

 Hb, Ht normal tetapi trombosit <100.000 dianjurkan untuk dirawat.

 Hb, Ht meningkat dan trombosit normal atau turun juga

dianjurkan untuk dirawat.

2. Protokol 2 Pemberian cairan pada pasien DBD dewasa di ruang

rawat

Pasien yang tersangka DBD tanpa perdarahan spontan dan

masif dan tampak syok maka di ruang rawat diberikan cairan infus

kristaloid dengan jumlah seperti rumus berikut ini:

Volume cairan kristaloid per hari yang diperlukan

Sesuai rumus berikut 1500 + 20 x (BB dalam kg – 20)

Contoh volume rumatan untuk BB 55kg : 1500 + 20 x (55 – 20)

= 2200 ml

Setelah pemberian cairan dilakukan pemeriksaan HB, Ht tiap

24 jam :

 Bila Hb, HT meningkat 10 – 20% dan trombosit <100.000 jumlah

pemberian cairan tetap seperti rumus diatas tetapi pemantauan

Hb, Ht dan trombosit dilakukan tian 12 jam.


 Bila Hb, Ht meningkat >20% dan trombosit <100.000 maka

pemberian cairan sesuai dengan protokol penatalaksanaan DBD

dangan peningkatan Ht > 20 %.

3. Protokol 3 Penatalaksanaan DBD dengan Peningkatan Ht >20%

Meningkatnya Ht > 20 % menunjukkan bahwa tubuh mengalami

defisit sebanyak 5%. Pada keadaan ini terapi awal pemberian cairan

adalah dengan memberikan infus cairan kristaloid sebnayal 6-7

ml/kgBB/jam. Pasien kemudian dipantau setelah 3-4 jam pemberian

cairan. Bila terjadi perbaikan yang ditandai dengan tanda- tanda Ht

turun, frekuensi nadi turun, tekanan darah stabil, produksi urin

meningkat maka jumlah cairan harus dikurangi menjadi 5

ml/kgBB/jam. 2 jam kemudian dilakukan pemantauan keadaan tetap

membaik maka pemberian cairan dapat dihentikan 24-48 jam

kemudian.

Apabila setelah pemberian terapi cairan awal 6 – 7 ml/ kgBB/

jam tadi keadaan tetap tidak membaik, yang ditandai dengan Ht dan

nadi meningkat, tekanan nadi menurun <20 mmHg, produksi urin

menurun, maka kita harus menaikkan jumlah cairan infus menjadi 10

ml/kgBB/jam. 2 jam kemudian dilakukan pemantauan kembali dan

bila keadaan menunjukkan perbaikan maka jumlah cairan dikurangi

menjadi 5 ml/kgBB/jam tetapi bila keaadaan tidak menunjukkan

perbaikan maka jumlah cairan infus dinaikkan menjadi

15ml/kgBB/jam dan bila dalam perkembangannya kondisi menjadi


memburuk dan didapatkan tanda-tanda syok maka pasien ditangani

sesuai dengan protokol tatalaksana sindrom syok dengue pada

dewasa. Bila syok telah teratasi maka pemberian cairan dimulai lagi

seperti terapi cairan awal.

4. Protokol 4 Penatalaksanaan Perdarahan spontan pada DBD

dewasa

Perdarahan spontan dan masif pada penderita DBD dewasa

adalah : perdarahan hidung/epistaksis yang tidak terkendali

walaupun telah diberikan tampon hidung, perdarahan saluran cerna

(hematemesis dan melena atau hematoskesia), perdarahan saluran

kencing (hematuria), perdarahan otak atau perdarahan tersembunyi

dengan jumlah perdarahan sebanyak 4-5 cc/kgBB/jam. Pada keadaan

ini jumlah dan kecepatan pemberian cairan tetap seperti keadaan

DBD tanpa syok lainnya. Pemeriksaan tekanan darah, nadi,

pernafasan dan jumlah urin dilakukan sesering mungkin dengan

kewaspadaan Hb, Ht dan trombosit serta hemostase harus segera

dilakukan dan pemeriksaan Hb, Ht dan trombosit sebaiknya diulang

setiap 4-6 jam.

Pemberian heparin diberikan apabila secara klinis dan

laboratoris didapatkan tanda-tanda KID. Transfusi komponen darah

diberikan sesuai indikasi. FFP diberikan bila didapatkan defisiensi

faktor-faktor pembekuan (PT dan aPTT yang memanjang), PRC

diberikan bila nilai Hb kurang dari 10g%. Transfusi trombosit hanya


diberikan pada pasien DBD dengan perdarahan spontan dan masif

dengan jumlah trombosit <100.000/ul disertai atau tanpa DIC.

5. Protokol 5 Tatalaksana Sindrom Syok Dengue pada dewasa

Bila kita berhadapan dengan Sindroma Syok Dengue (SSD)

maka hal pertama yang harus diingat adalah bahwa renjatan ini harus

segera diatasi oleh karena itu penggantian cairan intravaskuler yang

hilang harus segera dilakukan. Angka kematian sindrom syok

dengue sepuluh kali lipat dibandingkan dengan penderita DBD tanpa

renjatan, dan renjatan dapat terjadi karena keterlambatan penderita

DBD mendapatkan pertolongan / pengobatan, penatalaksanaan yang

tidak tepat termasuk kurangnya kewaspadaan terhadap tanda – tanda

renjatan dini, dan penatalaksanaan renjatan yang tidak adekuat.

Pada kasus SSD cairan kristaloid adalah pilihan utama yang

diberikan. Selain resusitasi cairan, penderita juga diberikan oksigen

2- 4 liter/menit. Pemeriksaan – pemeriksaan yang harus dilakukan

adalah pemeriksaan darah perifer lengkap (DPL), hemostasis, AGD,

kadar natrium, kalium dan klorida, serta ureum dan kereatinin.

Pada fase awal, cairan kristaloid diguyur sebanyak 10-20

ml/kgBB dan dievaluasi setelah 15-30 menit. Bila renjatan telah

teratasi (ditandai dengan TD sistolik 100mmHg dan tekanan nadi

lebih dari 20 mmHg, frekuensi nadi kurang dari 100 kali per menit

dengan volume yang cukup, akral teraba hangat, dan kulit tidak

pucat serta diuresis 0,5-1cc/kgBB/jam) jumlah cairan dikurangi

menjadi
7ml/kgBB/jam. Bila dalam waktu 60 – 120 menit keadaan tetap

stabil pemberian cairan menjadi 5ml/kgBB/jam. Bila dalam 60 – 120

menit kemudian keadaan tetap stabil pemberian caira menjadi

3ml/kgBB/jam. Bila 24-48 jam setelah renjatan teratasi tanda-tanda

vital dan hematokrit tetap stabil serta diuresis cukup maka pemberian

cairan perinfus harus dihentikan (karena jika rebsorbsi cairan plasma

yang mengalami ekstravasasi telah terjadi, ditandai dengan turunnya

hematokrit, cairan infus terus diberikan maka keadaan hipervolemi

edema paru atau gagal jantung dapat terjadi).

Pengawasan dini kemungkinan terjadinya renjatan berulang

harus dilakukan terutama dalam waktu 48 jam pertama sejak terjadin

renjatan (karena selain proses patogenesis penyakit masih

berlangsung, ternyata cairan kristaloid hanya sekitar 20% saja yang

menetap dalam pembuluh darah setelah 1 jam saat pemberian). Oleh

karena untuk mengetahui apakah renjatan telah teratasi dengan baik,

diperlukan pemantauan tanda vital yaitu status kesadaran, tekanan

darah, frekuensi nadi, frekuensi jantung dan napas, pembesaran hati,

nyeri tekan daerah hipokondrium kanan dan epigastrik serta jumlah

diuresis. Diuresis diusahakan 2ml/kgBB/kam. Pemantauan kadar

hemoglobin, hematoktrit, dan jumlah trombosit dapat dipergunakan

untuk pemantauan perkalanan penyakit.

Bila stelah fase awal pemberian cairan ternyata renjatan

belum teratasi, maka pemberian cairan kristaloid dapat ditingkatkan

menjadi
20-30 ml/kgBB dan kemudian dievaluasi detelah 20-30 menit. Bila

nilai hematokrit meningkat berarti perembesan plasma masih

berlangsung maka pemberian cairan koloid merupakan pilihan, tetapi

bila nilai hematokrit menurun , berarti terjadi perdarahan ( internal

bleeding) maka pada penderita diberikan transfusi darah segar

10ml/kgBB dan dapat diulang sesuai kebutuhan.

Sebelum cairan koloid diberikan maka sebaiknya kita harus

mengetahui sifat-sifat cairan tersebut. Pemberian koloid sendiri

mulu- mula diberikan dengantetesan cepat 10-20 ml/kgBB dan

dievaluasi setelah 10-30 menit. Bila keadaan tetap belum teratasi

maka untuk memantau kecukupan cairan dilakukan pemasangan

kateter vena sentral dan pemberian koloid dapat ditambah hingga

jumlah maksimum 30ml/kgBB (maksimal 1-1,5 1/hari) dengan

sasaran tekanan vena sentral 15-18 smH2O. Bila keadaan tetap

belum teratasi harus diperhatikan dan dilakukan koreksi terhadap

gangguan asam basa, elektrolit, hipoglikemia, anemia, KID, infeksi

sekunder. Bila tekanan vena sentral penderita sudah sesuai dengan

target tetapi renjatan belum teratasi maka dapat diberikan obat

inotropik/vasopresor.

I. KRITERIA PEMULANGAN PASIEN DHF

Pasien DHF dapat dipulangkan jika memenuhi seluruh kriteria berikut:

1. Bebas demam paling tidak 24 jam tanpa penggunaan antipiretik

2. Nafsu makan baik


3. Keadaan klinis membaik

4. Trombosit di atas 50.000/ul

5. Produksi urin lancer

6. Tidak ada distress pernafasan

J. Prognosis

Kematian oleh Demam Dengue (DD) hampir tidak

ada. Sebaliknya pada kasus DHF/DSS mortalitasnya cukup

tinggi.

DAFTAR PUSTAKA

1. Sukohar A. Demam Berdarah Dengue. Jurnal Medulla Fakultas Kedokteran


Universitas Lampung. 2014.
2. Timothy J, Prasan K, Robert W. Wolford. Dengue Fever. StatPearls NCBI. 2019.
3. Shamimul Hasan, Sami Faisal Jamdar, Munther Alalowi. Dengue virus: A global
human threat: Review of literature. Journal of International Society of Preventive
and Community Dentistry. 2016.
4. Anish Laul, Poonam Laul, Vamsi Merugamala. Clinical Profile of Dengue
Infection during an Outbreak in Northern India. Journal of Tropical Medicine.
2016.
5. Centers for Disease Control and Prevention. Epidemiology Dengue. 2014.
6. World Health Organization. Dengue and severe dengue. Fact Sheet No.117,
Geneva. 2012.
7. Suhendro, Nainggolan Leonard, Chen Khie. Demam Berdarah Dengue. Buku Ilmu
Penyakit Dalam Jilid I Edisi VI: Interna Publishing. 2014.
8. Priesley Fuka, Reza Mohamad, Rusjdi Renita Selfi. Artikel Penelitian: Hubungan
Perilaku Pemberantasan Sarang Nyamuk dengan Menutup, Menguras, dan
Mendaur Ulang Plus (PSN M Plus) terhadap Kejadian Demam Berdarah Dengue
(DBD) di Kelurahan Andalas. Jurnal Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas
Andalas. 2018.
9. World Health Organization. Dengue Guidelines for Diagnosis, Treatment, and
Control of Dengue and Dengue Hemorrhagic Fever. New Delhi: WHO Press.
2011.
10. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Laporan kasus angka kejadian
Demam Berdarah di Indonesia. Indonesia. 2015.
11. Wang Hung-Wen, Urbina Nayim Aspiro, Chang R. Max. Dengue hemorrhagic
fever a systemic literature review of current perspective on pathogenesis,
prevention, and control. Division Of Infection Disease, Departement Internal
Medicine, Kaahsiung Medical University, Taiwan. 2019.
12.

Anda mungkin juga menyukai