Anda di halaman 1dari 20

PEMERIKSAAN PENUNJANG PADA PSORIASIS

DISUSUN OLEH:

ANDI NURUL HIDAYA AZZAHARA (70700120035)


RESKI NURSYIFAH HUSAIN (70700120039)

SUPERVISOR:
Dr. dr. SITTI MUSAFIRAH, Sp.KK, M.Kes,, FINS-DV

KEPANITERAAN KLINIK
DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT KULIT KELAMIN
PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR
2021
LEMBAR PENGESAHAN

Referat dengan judul


Pemeriksaan Penunjang Pada Psoriasis
Telah memenuhi persyaratan dan telah disetujui
Pada Tanggal .........................
Oleh:

Supervisor

Dr. dr. Sitti Musafirah, Sp.KK, M.kes, FINS-DV

Mengetahui,
Ketua Program Pendidikan Profesi Dokter
UIN Alauddin Makassar

dr. Azizah Nurdin, Sp.OG, M.Sc


NIP : 19840905 200901 2 006

ii
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur peneliti panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan kesempatan kepada penulis sehingga bisa menyelesaikan referat
dengan topik “Pemeriksaan Penunjang pada Psoriasis”. Salam dan Shalawat
semoga senantiasa tercurahkan kepada baginda Rasulullah SAW. yang telah
menjadi rahmatan lil ‘alamiin. Referat ini penulis susun sebagai salah satu tugas
dalam Kepaniteraan Klinik pada Departemen Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin
Program Profesi Dokter UIN Alauddin Makassar.
Penulis mengucapkan banyak terima kasih, rasa hormat dan penghargaan
atas bimbingan dan arahan selama penyusunan referat ini kepada
Dr. dr. Sitti Musafirah Sp.KK, M.Kes, FINS-DV selaku supervisor, juga kepada
dr. Andi Alifya Ayu Delima, M.kes selaku pembimbing, serta kepada semua
pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
Penulis menyadari bahwa referat ini masih memiliki banyak kekurangan.
Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan kritikan dan saran yang
membangun agar referat ini kelak bisa bermanfaat bagi semua pihak, khususnya
dalam bidang ilmu penyakit kulit dan kelamin. Semoga Allah SWT. senantiasa
melindungi kita semua. Aamiin Yaa Rabbal ‘Alamiin.

Makassar, 06 Agustus 2021

Penulis

DAFTAR ISI

iii
HALAMAN JUDUL ......................................................................................i
LEMBAR PENGESAHAN............................................................................ii
KATA PENGANTAR ..................................................................................iii
DAFTAR ISI.................................................................................................iv
BAB 1 PENDAHULUAN..............................................................................1
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA....................................................................1
A. LABORATORIUM...............................................................................1
B. BIOPSI & HISTOPATOLOGI.............................................................2
C. PEMERIKSAAN RADIOLOGI...........................................................2
D. CONJUNCTIVAL IMPRESSION CYTOLOGY...................................30
E. PEMERIKSAAN LAINNYA.............................................................33
1. PEMERIKSAAN ASTO................................................................33
2. PEMERIKSAAN KOH..................................................................33
3. PEMERIKSAAN LAMPU WOOD...............................................33
4. PEWARNAAN GRAM..................................................................33
5. AUTSPIT’Z SIGN..........................................................................33
6. TETESAN LILIN...........................................................................33
7. PEMERIKSAAN KULTUR...........................................................33
8. KOEBNER SIGN...........................................................................33
BAB 3 KESIMPULAN..................................................................................1
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................45

BAB 1

iv
PENDAHULUAN
Psoriasis adalah peradangan kulit yang bersifat kronik dengan karakteristik
berupa plak eritematosa berbatas tegas, skuama kasar, berlapis dan berwarna putih
keperakan terutama pada siku, lutut, scalp, punggung, umbilikus dan lumbal.
Awalnya psoriasis dianggap sebagai penyakit berupa proliferasi dan diferensiasi
abnormal dari keratinosit. Namun, pemahaman saat ini menunjukkan bahwa
psoriasis adalah penyakit autoimun yang dimediasi oleh sel T yang melibatkan
hiperkeratosis dan parakeratosis. Prevalensi psoriasis bervariasi dari 1 sampai
12% di antara populasi yang berbeda di seluruh dunia. Psoriasis mempengaruhi
1,5 – 2% populasi negara barat. Di Amerika Serikat, terdapat 3 sampai 5 juta
orang menderita psoriasis. Kebanyakan dari mereka menderita psoriasis lokal,
tetapi sekitar 300.000 orang menderita psoriasis generalisata.1
Beberapa penulis telah membahas masalah yang terkait dengan usia yang
akurat pada onset terjadinya psoriasis. Psoriasis dapat muncul pada usia berapa
pun, yang paling sering ditemukan antara usia 15 dan 30 tahun. WHO
menunjukkan bahwa didapatkannya Human Leucocyte Antigen (HLA) tertentu,
terutama HLA-Cw6, berkaitan dengan kejadian psoriasis usia dini dan dengan
riwayat keluarga yang positif. Sehingga diusulkan oleh para peneliti bahwa
terdapat 2 bentuk psoriasis yang berbeda yaitu psoriasis tipe I dengan usia onset
sebelum 40 tahun dan berhubungan dengan HLA, dan tipe II, dengan usia onset
setelah 40 tahun dan kurang berkaitan HLA. Sekitar 1/3 penderita psoriasis
melaporkan terdapatnya riwayat keluarga yang juga menderita psoriasis. Apabila
orang tua tidak menderita psoriasis, maka risiko mendapat psoriasis sebesar 12%,
sedangkan bila salah satu orang tua menderita psoriasi maka risikonya meningkat
menjadi 34-39%. Ada kesepakatan luas pada populasi kulit putih, bagaimanapun,
bahwa usia dini saat onset dikaitkan dengan kemungkinan riwayat keluarga positif
yang lebih tinggi dan dengan pengangkutan HLA yang terkait dengan penyakit.1
Faktor imunologi juga mempengaruhi kejadian psoriasis. Defek genetik
pada psoriasis dapat diekspresikan pada salah satu dari ketiga jenis sel yaitu
limfosit T, sel penyaji antigen (dermal) atau keratinosit. Keratinosit psoriasis
memerlukan stimuli untuk aktivasinya. Lesi psoriasis yang matang umumnya

v
penuh dengan sebukan limfosit T di dermis yang terutama terdiri atas limfosit T
CD4 dengan sedikit sebukan limfositik dalam epidermis. Pada umumnya pada lesi
baru lebih didominasi oleh sel limfosit T CD8. Pada lesi psoriasis terdapat sekitar
17 sitokin yang produksinya bertambah. Sel Langerhans juga berperan dalam
imunopatogenesis psoriasis. Terjadinya proliferasi epidermis dimulai dengan
adanya pergerakan antigen baik endogen maupun eksogen oleh sel langerhans.
Pada psoriasis, pembentukan epidermis (turn over time) lebih cepat, hanya 3-4
hari, sedangkan pada kulit normal lamanya 27 hari. Berbagai faktor pencetus pada
psoriasis yang disebutkan dalam kepustakaan diantaranya adalah stress psikis,
infeksi fokal, endokrin, gangguan metabolik, obat, alkohol dan merokok.1
Psoriasis merupakan penyakit peradangan kronik yang ditandai oleh
hiperproliferasi dan inflamasi epidermis dengan gambaran morfologi, distribusi,
serta derajat keparahan penyakit yang bervariasi. Kelainan kulit terdiri dari
bercak-bercak eritema yang meninggi (plak) dengan skuama diatasnya. Eritema
sirkumskripta dan merata, tetapi pada masa penyembuhan seringkali eritema di
tengah menghilang dan hanya terdapat di pinggir. Skuama berlapis-lapis, kasar
dan berwarna putih seperti mika serta transparan. Besar kelainan bervariasi, bisa
lentikular, numular, plakat dan dapat berkonfluensi. Jika seluruhnya atau sebagian
besar berbentuk lentikular disebut psoriasis gutata, biasanya terjadi pada anak-
anak, dewasa muda dan terjadi setelah infeksi oleh Streptococcus. Lesi kulit pada
psoriasis biasanya simetris dan dapat disertai gejala subjektif seperti gatal dan rasa
terbakar. Pada pasien psoriasis dengan kulit gelap, distribusi hampir sama, namun
papul dan plak berwarna keunguan dengan sisik abu-abu. Pada telapak tangan dan
telapak kaki, berbatas tegas dan mengandung pustul steril dan menebal pada
waktu yang bersamaan.1
Pada psoriasis terdapat fenomena tetesan lilin, Auspitz dan Kobner
(isomorfik). Kedua fenomena tetesan lilin dan Auspitz dianggap khas, sedangkan
Kobner dianggap tidak khas, hanya kira-kira 47% dari yang positif dan didapat
pula pada penyakit lain, misalnya Liken Planus dan Veruka plana juvenilis.
Fenomena tetesan lilin ialah skuama yang berubah warnanya menjadi putih pada
goresan seperti lilin yang digores, disebabkan oleh perubahan indeks bias. Cara

vi
pemeriksaannya dengan menggoresnyamenggunakan pinggir gelas alas.4 Pada
fenomena Auspitz tampak serum atau darah berbintik-bintik yang disebabkan oleh
papilomatosis. Cara pemeriksaannya dengan mengerok skuama yang berlapis
dengan menggunakan ujung gelas alas. Setelah skuama habis maka pengerokan
harus dilakukan dengan pelanpelan karena jika terlalu dalam tidak tampak
perdarahan yang berupa bintik-bintik melainkan perdarahan yang merata. Trauma
pada kulit penderita psoriasis misalnya trauma akibat garukan dapat menyebabkan
kelainan kulit yang sama dengan psoriasis dan disebut dengan fenomena Kobner
yang timbul sekitar setelah 3 minggu.1
Psoriasis juga dapat menyebabkan kelainan kuku yakni sekitar 50% yang
agak khas yaitu yang disebut dengan pitting nail atau nail pit yang berupa
lekukan-lekukan miliar. Kelainan yang tidak khas yaitu kuku yang keruh, tebal,
bagian distalnya terangkat karena terdapat lapisan tanduk di bawahnya
(hyperkeratosis subungual) dan onikolisis. Di samping menimbulkan kelainan
pada kulit dan kuku, penyakit ini dapat pula menimbulkan kelainan pada sendi.
Umumnya bersifat poliartikular, tempat predileksinya pada sendi interfalangs
distal.1
Lesi primer pada pasien psoriasis dengan kulit yang cerah adalah merah,
papul dan berkembang menjadi kemerahan, plak yang berbatas tegas (Gambar 1).
Lokasi plak pada umumnya terdapat pada siku, lutut, skalp, umbilikus, dan
intergluteal. Pada pasien psoriasis dengan kulit gelap, distribusi hampir sama,
namun papul dan plak berwarna keunguan denan sisik abu-abu.1
Kasus psoriasis makin sering dijumpai, meskipun penyakit ini tidak
menyebabkan kematian tetapi menyebabkan gangguan kosmetik. Oleh karena itu,
diperlukan kemampuan untuk melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang agar dapat membedakan psoriasis dengan penyakit
lainnya.1

BAB 2

vii
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pemeriksaan Laboratorium2–5
Diagnosis psoriasis ditegakkan berdasarkan temuan klinis dan
predileksi lokasi lesi pada pasien. Pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk
membedakan psoriasis arthritis (PsA) dengan arthritis gout atau rematoid
arthritis. Tidak ada pemeriksaan darah spesifik untuk mendiagnosa psoriasis.
Adapun beberapa tes dan hasil pemeriksaan laboratorium pada pasien psoriasis
yaitu:
1. Rheumatoid Factor (RF) negative pada pasien PsA
2. Laju Endap Darah (LED) biasanya normal, kecuali pada pustular dan
eritrodermik psoriasis
3. Kadar asam urat bisa meningkat pada pasien PsA, terutama pada pustular
psoriasis sehingga menyebabkan kesulitan dalam membedakannya dengan
arthritis gout.
4. Pemeriksaan cairan pustul memberikan gambaran infiltrasi neutrofil tanpa
ada gambaran mikroorganisme lain.
5. Pemeriksaan fungal, seperti KOH dan kultur jamur dilakukan terutama pada
hand and foot psoriasis yang diduga memburuk setelah penggunaan
kortikosteroid topical.
Sebelum memberikan terapi sistemik seperti immunological inhibitors,
perlu dilakukan pemeriksaan seperti complete blood cell count (CBC), blood
urea nitrogen (BUN) dan kreatinin, pemeriksaan fungsi hati, panel hepatitis,
skrining TB dan tes kehamilan pada pasien wanita.
B. Biopsi & Histopatologi2,3
Pemeriksaan biopsi kulit bukan merupakan pemeriksaan yang wajib
dilakukan dalam mendiagnosa psoriasis. Pada pemeriksan histopatologi plaque
psoriasis bisa ditemukan gambaran hyperkeratosis, parakeratosis, hilangnya
stratum granulosum, epidermal akantosis, vasodilatasi, dan infiltrasi leukosit.
Kulit yang tidak terdampak memberikan gambaran normal. Dua gambaran
khas pada pemeriksaan histopatologi psoriasis yaitu infiltrasi neutrofil pada
stratum korneum yang mengalami parakeratosis (Munro’s Abscesses) dan

viii
spongiform neutrophilic micropustules pada stratum spinosum (spongiform
pustules of Kogoj). Munro’s microabscessesditemukan pada 75% kasus.

C. Pemeriksaan Radiologi6
Terdapat banyak laporan yang memberikan informasi mengenai
prevalensi psoriasis arthritis pada pasien psoriasis, dengan kisaram 5%-42%.
Lesi kulit muncul lebih dulu dibandingkan gejala musculoskeletal pada
kebanyakan kasus (70%). Pada 15% kasus menunjukkan gejala arthritis

ix
muncul 2 tahun sebelum manifestasi pada kulit, dan 15% lainnya muncul
secara bersamaan. HLA-B27 dan HLA-DR7 dapat ditemukan pada pasien PsA
dengan keterlibatan spine dan sendi sakroiliaka.
Temuan radiologis pada PsA dan RA stadium awal sering tidak bisa
dibedakan sampai adanya manifestasi klinis untuk memastikan diagnosanya.
Pemeriksaan rheumatoid factor (RF) pasien PsA memberikan hasil negative,
sedangkan di RA positif. Selain itu, keterlibatan sendi pada PsA biasanya
asimetris dan oligoartikular, sedangkan RA simetris dan poliartikular.
Plain radiography bisa menjadi salah satu modalitas untuk pemeriksaan
psoriasis arthritis, akan tetapi pada stadium awal belum bisa dibedakan dengan
RA. Gambaran yang bisa didapatkan adalah adanya gambaran erosi tulang dan
penyempitan celah sendi. Lesi destruktif pada ekstremitas pasien PsA
diantaranya yaitu:
1. Daktilitis (sausage digit)
2. Tanda deformitas pada jari
3. Kista subkondral dan erosi pada sendi DIP dan IP ekstremitas
4. Phalangeal tuft acroosteolytis
5. Pencil in cup deformity
6. Ankilosis
7. Periostitis sepanjang metafisis dan korpus jari-jari tangan dan kaki
8. Ivory phalanx
9. Osteoporosis
10. Distribusi asimetris
D. Conjunctival Impression Cytology
Conjunctival impression cytology diambil dari konjungtiva bulbar pada
posisi arah jam 12, 3 mm dari limbus kornea menggunakan kertas saring Supor
200. Kertas saring tersebut ditempelkan secara lembut pada konjungtiva
kemudian diangkat. Kertas saring dengan specimen di fiksasi menggunakan
paraformaldehyde 4% dalam larutan dapar dengan pH 7.4 selama 24 jam
kemudian dilakukan pewarnaan Papanicolau. Ada tujuh parameter yang dinilai,
yaitu selularitas specimen, kontak sel ke sel, nucleus/cytoplasm ratio (N/C),

x
nuclear chromatin, distribusi sel goblet, keratinisasi dan ada/ tidaknya infiltrasi
sel inflamasi. Untuk masing-masing parameter dibuatkan system scoring, yaitu:
0 untuk gambaran normal, 1 untuk borderline dan 2 untuk gambaran abnormal,
kemudian diklasifikasikan menjadi kelas A (0-3) = gambaran normal, kelas B
(4-6) = borderline dan kelas C (≥7) = abnormal.7
E. Pemeriksaan Lainnya
1. Pemeriksaan ASTO
Hasil ASTO positif menunjukkan bahwa dugaan adanya hubungan PG
dengan infeksi streptokokus beta hemolitikus, sehingga kemungkinan faktor
pencetus PG pada kasus ini ialah karena infeksi. 8
Adapun prosedur pemeriksaan yang dilakukan
A. Pra Analitik
1. Prinsip : -
2. Persiapan sampel : Tidak memerlukan persiapan khusus
3. Persiapan sampel : Serum pasien, tidak hemolisis
4. Alat dan bahan :
-Reagen asto
-Kontrol positif
-Kontrol negatif
-Batang pengaduk
-Slide

B. Analitik
1. Metode Kualitatif
• Disiapkan alat dan bahan yang akan digunakan-Dikeluarkan kit reagen
dan serum pada suhu kamar
• Dibuat pengenceran serum 1:20-Diambil 1 tetes control positif dan
diletakkan pada lingakaran pertama-Diambil 1 tetes control negatif dan
diletakkan pada lingakaran kedua-Diambil sampel serum 50 ul dengan
mikropipet di tuang pada lingkaran ketiga-Ditambahkan 1 tetes reagent
ASTO pada masing-masing lingkaran-Dicampur sampai rata

xi
menggunakan pipet-Diputar kartu selama 2 menit-Diamati terbentuknya
aglutinasi dibandingkan dengan control negatif
2. Metode Kualitatif
• Diatur 5 tabung dan diberi label (1:2, 1:4, 1:8, 1:16, dst)
• Digunakan NaCl fisiologis untuk seri pengenceran
• Dilanjutkan perngenceran hingga hasil akhir dapat diperole
• Dimasukkan masing-masing 1tetes kontrol negatif dan positif didalam
slide.
• Diabaca hasil dalam jangka 3 menit.

C. Pasca Analitik
1. Positif : terbentuk aglutinasi pada slide sampel
2. Negatif : tidak terbentuk aglutinasi pada slide sampel

2. Pemeriksaan KOH
Pemeriksaan KOH dilakukan pada pasien psoriasis yang didiagnosa
banding dengan infeksi jamur, misalnya untuk membedakan scalp psoriasis,
inverse psoriasis, atau pustular psoriasis dengan dermatitis seboroik atau
tinea capitis. Pada psoriasis tidak ditemukan gambaran jamur, kecuali pada
pasien psoriasis dengan infeksi sekunder akibat penggunaan kortikosteroid
topical. 8
Adapun prosedur pemeriksaannya yaitu melakukan informed
consent mengenai tindakan yang akan dilakukan, kemudian menyiapkan
alat dan bahan yang dibutuhkan, yaitu: 8
a. Status pasien

xii
b. Scalpel
c. Larutan antiseptic
d. Mikroskop
e. Alcohol 70%
f. Spiritus
g. Spidol permanen
h. Objek glass dan cover glass
i. Larutan KOH 10% dan 20%
j. Handscoen
k. Cawan petri steril
l. Tempat sampah medis
Setelah alat dan bahan tersedia, siapkan objek glass yang sudah
diberi identitas pasien, kemudia minta pasien untuk duduk atau berbaring.
Sebelum melakukan pengambilan specimen lakukan cuci tangan asepsis dan
menggunakan handscoen. Objek glass yang digunakan harus disterilkan
dengan cara dilewatkan pada api Bunsen. Lokasi pengambilan specimen
dibersihkan dengan kapas alcohol dari arah luar ke dalam, lalu lakukan
kerokan kulit pada bagian pinggir lesi kea rah atas dengan kemiringan 30-
45°, kemudian specimen disimpan di cawan petri. Ambil specimen dan
letakkan di atas objek glass yang sudah ditetesi KOH 10%, pemeriksaan ini
bisa ditambahkan dengan pemberian pewarna methylene blue, lalu periksa
tutup dengan cover glass dan periksa di bawah mikroskop untuk melihat
adanya hifa atau spora.8
3. Pemeriksaan Lampu Wood
Pemeriksaan lampu wood dilakukan untuk menyingkirkan
kemungkinan diagnose lain yang memberikan manifestasi yang sama,
misalnya untuk membedakan psoriasis dengan infeksi amur atau bakteri
pada kulit. Salah satu penelitian tentang pemeriksaan lampu wood pada
pasien psoriasis menunjukkan hasil autofluorescence berwarna kemerahan
pada pasien psoriasis.9

xiii
Pemeriksaan lampu wood dilakukan pada ruangan yang tertutup dan
benar-benar gelap. Sebelum pemeriksaan lampu wood dinyalakan terlebih
dahulu dan dipanaskan selama kurang lebih 1 menit, kemudian daerah kulit
yang diperiksa harus dalam keadaan alami, tidak dicuci dan semua obat
topical atau zat yang bisa memberikan efloresensi dihapus. Penyinaran
dilakukan dengan jarak 4-5 inchi dari lesi. 8
4. Pewarnaan Gram
Indikasi pewarnaan Gram adalah untuk memperoleh karakteristik dan
klasifikasi bakteri. Pewarnaan Gram penting untuk identifikasi bakteri.
Teknik pewarnaan Gram dimulai dari pengambilan spesimen Persiapan
apusan, pewarnaan Gram, dan pemeriksaan slide di bawah mikroskop. ❑10
Prosedur pemeriksaan :
 Pewarnaan kristal violet ditambahkan pada kultur tetap.
 Setelah 10 hingga 60 detik, noda dituang, dan noda berlebih dibilas
dengan air. Tujuannya adalah untuk membersihkan noda tanpa
kehilangan kultur tetap.
 Larutan yodium digunakan untuk menutupi apusan selama 10
sampai 60 detik. Langkah ini dikenal sebagai "memperbaiki

xiv
pewarna." Larutan yodium dituangkan, dan slide dibilas dengan air
mengalir. Kelebihan air dari permukaan dihilangkan.
 Beberapa tetes decolorizer ditambahkan ke slide. Decolorizers
sering merupakan pelarut campuran etanol dan aseton. Langkah ini
dikenal sebagai "perawatan pelarut." Slide dibilas dengan air dalam
5 detik. Untuk mencegah dekolorisasi berlebih pada sel gram positif,
hentikan penambahan dekolorizer segera setelah pelarut tidak
diwarnai saat mengalir di atas slide.
 Apusan diwarnai dengan larutan fuchsin dasar selama 40 sampai 60
detik. Larutan fuchsin dicuci dengan air, dan kelebihan air disedot
dengan kertas bibulous. Slide juga dapat dikeringkan dengan udara
setelah mengibaskan kelebihan air.
Interpretasi :
1. Bakteri Gram positif memiliki lapisan peptidoglikan yang tebal (20-
80 nm), sehingga akan mengambil kompleks stain-mordant primer
dan akan tampak biru atau ungu di bawah mikroskop.
2. Bakteri Gram negatif memiliki lapisan peptidoglikan yang tipis (1-3
nm) dan persentase ikatan silang yang rendah diikuti dengan lapisan
membran luar yang tipis (7-8 nm), sehingga tidak mengikat
kompleks stain-mordant dan akan tampak merah di bawah
mikroskop.

xv
5. Auspitz Sign❑11
 Tujuan memeriksa psoriasis
 Teknik pada lesi skuama digoreskan dengan benda tajam lalu
dilepaskan lapisan demi lapis beberapa menit kemudian timbul tanda
auspitz
 Interpretasi: positif jika terdapat bintik-bintik perdarahan di atas
eritem

6. Pemeriksaan Tetesan Lilin❑11


 Tujuan memeriksa psoriasis
 Teknik pada skuama yang tebal berlapis-lapis digores dengan tepi kaca
objek glass/dengan kuku
 Interpretasi terdapat garis putih seperti goresan pada tetesan lilin
 Keterangan terjadi karena skuama tersebut patah shingga dimasuki
udara

7. Pemeriksaan Kultur ❑1 2
Pemeriksaan Kultur mengidentifikasi organisme mana yang bertanggung
jawab atas infeksi:

xvi
• Untuk mengetahui sumber infeksi mis. hewan tertentu
• Untuk memilih perawatan yang paling cocok.
• Menumbuhkan jamur dalam kultur dapat memakan waktu beberapa
minggu, diinkubasi pada 25–30ºC.
• Spesimen diinokulasi ke dalam media seperti agar dekstrosa Sabouraud
yang mengandung sikloheksimida dan kloramfenikol. Sikloheksimida
ditinggalkan jika cetakan memerlukan identifikasi.
Kultur negatif dapat muncul karena :
 Kondisi tersebut bukan karena infeksi jamur.
 Spesimen tidak dikumpulkan dengan benar.
 Ada penundaan sebelum spesimen mencapai laboratorium.
 Prosedur laboratorium tidak benar.
 Organisme tumbuh sangat lambat.

8. Koebner Sign
Fenomena Koebner (juga dikenal dengan isomorphic response)
merupakan trauma yang dapat menyebabkan timbulnya lesi psoriasis pada
kulit yang sebelumnya tidak terdapat lesi. Reaksi Koebner biasanya muncul
setelah 14 hari pascatrauma, dan ini didapatkan pada 25% pasien psoriasis.
Fenomena Koebner tidak spesifik untuk psoriasis, namun sangat membantu
menegakkan diagnosis.❑13

xvii
BAB 3
KESIMPULAN
Diagnosis psoriasis pada dasarnya ditegakkan melalui pemeriksaan klinis
pasien, akan tetapi pada beberapa kasus gejala yang diberikan mirip bahkan sama
dengan diagnosis kulit lainnya, bahkan ada juga yang terjadi secara bersamaan
sehingga memerlukan beberapa pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan
histopatologi merupakan salah satu modalitas untuk memastikan diagnosa
psoriasis berdasarkan gambaran mikroskopiknya. Selain itu, beberapa
pemeriksaan lain seperti pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan radiologi,
pemeriksaan KOH, lampu wood dan kultur bisa dilakuka untuk menyingkirkan
diagnosis banding pada psoriasis.

xviii
DAFTAR PUSTAKA
1. Aprilliana KF, Mutiara H. Psoriasis Vulgaris Pada Laki-laki 46 Tahun. J
Fak Kedokt Univ Lampung. 2017;4:160–6.
2. Habashy J. Psoriasis Workup. Medscape [Internet]. 2021; Available from:
https://emedicine.medscape.com/article/1943419-workup#showall
3. Kimmel GW, Lebwohl M. Psoriasis: Overview and Diagnosis. Nat Public
Heal Emerg Collect [Internet]. 2018;1–16. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC7122924/ doi:
https://dx.doi.org/10.1007%2F978-3-319-90107-7_1
4. Kim WB. Diagnosis and management of psoriasias. Can Fam Physician
[Internet]. 2017;63(2):278–85. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC5389757/
5. Nair PA. Psoriasis [Internet]. NCBI; 2021. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK448194/
6. Szopinska IS, Matuszewska G, Kwiatkowska B, Pracon G. Diagnostic
imaging of psoriatic arthritis. Part I: etiopathogenesis, classification and
radiographic features. 2016. p. 65–77.
7. Aragona E, Rania L, Postorino EI, Interdonato A, Giuffrida R, Cannavò
SP, et al. Tear film and ocular surface assessment in psoriasis. Br J
Ophthalmol. 2018;102(3):302–8. https://doi.org/10.1136/bjophthalmol-
2017-310307
8. Karina Dyahtantri Pratiwi, D. (2017). Psoriasis Vulgaris: A Retrospective
Study. Profil Psoriasis Vulgaris di RSUD Dr. Soetomo Surabaya: Studi
Retropektif 

8. FK UNHAS. Manual CSL Indera Khusus - Kulit. 2017. p. 1–21.


9. Bissonette R, Zeng H, McLean DI, Schreiber WE, Roscoe DL, Lui H.
Psoriatic plaques exhibit red autofluorescence that is due to protoporphyrin
IX. J Invest Dermatol [Internet]. 1998;111(4):586–91. Available from:
http://dx.doi.org/10.1046/j.1523-1747.1998.00345.x doi: 10.1046/j.1523-
1747.1998.00345.x

xix
10. O'Toole GA. Classic Spotlight: How the Gram Stain Works. J Bacteriol. 2016
Dec 01;198(23):3128

11. Djuanda A. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Edisi kelima. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia; 2007.

12. Graham, Robin. 2007. Lecture Notes : Dermatology.United kingdom: John


Wiley and Sons Ltd.

13. Ahad T, Agius E. The Koebner phenomenon. Br J Hosp Med (Lond). 2015


Nov;76(11):C170-2. [PubMed]

xx

Anda mungkin juga menyukai