MODUL MENGAMUK
DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 3
KELOMP
OK 3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Skenario
B. Kata Kunci
- Laki-laki 33 tahun
- Sering mengamuk
- Marah-marah
- Menghancurkan barang-barang
- Sejak 3 bulan yang lalu
- Diberhentikan dari tempat kerjanya sebgai buruh bangunan
- Pendiam
- Melamun
- Sering bicara sendiri
- Membenturkan kepalanya
C. Daftar Pertanyaan
1. Jelaskan definisi mengamuk
2. Jelaskan anatomi dan fisiologi dari skenario
3. Jelaskan patomekanisme mengamuk
4. Jelaskan etiologi mengamuk
5. Sebutkan dan jelaskan penyakit apa yang mungkin diderita pada skenario!
6. Bagaimana integrasi Keislaman sesuai skenario?
D. Learning Outcome
1. Mahasiswa mampu menjelaskan definisi dari mengamuk
2. Mahasiswa mampu menjelaskan anatomi dan fisiologi dari scenario
3. Mahasiswa mampu menjelaskan patomekanisme mengamuk
4. Mahasiswa mampu menjelaskan etiologi mengamuk
5. Mahasiswa mampu menjelaskan penyakit yang terkait dari skenario
6. Mahasiswa mampu menjelaskan integrasi keislaman yang terkait dengan
skenario.
E. Problem Tree
BAB II
PEMBAHASAN
1. Definisi mengamuk
Menyerang dengan membabi buta (karena marah, mata gelap, dsb):
dan orang yang mengamuk itu kurang beres pikirannya. Mengamuk atau
gaduh gelisah adalah suatu keadaan peningkatan aktifitas mental dan
motorik seseorang sedemikian rupa sehingga sukar dikendalikan. (kbbi)
Encephalon (otak)
Medulla spinalis
MEDULLA SPINALIS
3. Patomekanisme mengamuk
PATOMEKANISME MENGAMUK
Bagaimana proses terjadinya mengamuk sampai saat ini belum diketahui. Diduga
psikosis disebabkan oleh banyak faktor (biologik, biokimia, genetik, dsb)
1) Biologik
Tidak ada kelainan fungsional dan struktur yang patognomonik ditemukan pada
penderita skizofrenia, meskipun demikian terdapat sejumlah kelainan (yang telah
direplikasi dan dibandingkan) pada sub-populasi skizofrenia. Gangguan yang
paling banyak dijumpai adalah pelebaran ventrikel tiga dan lateral yang stabil dan
kadang-kadang sudah terlihat sebelum onset penyakit; atropi lobus temporal
bilateral, yang lebih spesifik lagigirus parahipokampus, hipokampus dan
amigdala; disorientasi spasial sel pyramid hipokampus dan penurunan volume
korrteksprefrontal dorso lateral. Beberapa penelitian melaporkan bahwa semua
perubahan ini tampaknya statis dan telah ada kira-kira sejak lahir (tidak ada
gliosis) dan pada beberapa kasus, perjalanannya progresif. Laokasinya
menunjukkan gangguan perilaku yang ditemukan pada skizofrenia ; misalnya
gangguan pada hipokampus dikaitkan dengan gangguan memori dan atropi lobus
frontalis dihubungkan dengan gejala negatif skizofrenia. Penemuan yang lain
diantaranya yaitu adanya antibodi sitomegalovirus didalam cairan cerebtospinal
(CSS). Limposit atipikal tipe P (terstimulasi), kelainan hemisfer kiri, gangguan
transmisi dan pengurangan ukuran korpus kalosum, pengecilan vermis serebri,
penurunan aliran darah dan metabolisme glukosa di lobus frontalis (dilihat dengan
PET), kelainan EEG dan EP P300 auditorik (dengan QEEM) sulit memusatkan
perhatian, dan perlambatan waktu reaksi. Pada individu yang berkembang
menjadi skizofrenia terdapat peningkatan insiden komplikasi persalinan (prematus
dan BBLR).
2) Biokimia
Rtiologi biokimia skizofrenia belum diketahui. Hipotesis yang paling banyak
yaitu adanya gangguan neurotransmitter sentral. Teori penelitian mengemukakan
adanya aktivitas berlebihan dopamine sentral (hipotesis dopamine), dan ini
berdasarkan tiga penemuan utama :
Penelitian reseptor D1, D3, D4 saat ini tidak banya memberikan hasil. Teori baru
yaitu peningkatan serotonin SSP (terutama 5 HT) dan kelebihan norepinefrin (NE)
di otak depan limbik (terjadi pada beberapa penderita skizofrenia, berkurang
dengan pemberian obat dan terdapat perbaikan klinis.
3) Genetika
Skizofrenia mempunyai komponen diwariskan yang bermakna kompleks dan
poligen. Sesuai dengan penelitian hubungan darah, (konsanguitas)skizofrenia
adalah ganggua yang familial. Semakin dekat hubungan kekerabatan semakin
tinggi resiko..Pada penelitian kembar, kembar monozygot mdmpunyai resiko 4 –
6 kali lebih tinggi dibanding dengan kembar dizygote. Pada anak adopsi, anak
yang mempunyai orang tua skizofrenia, bila diadopsi saat lahir, oleh keluarga
normal, peningkatan angka kesakitan sama dengan anka bila diasuh sendiri oleh
orantuanya yang skizofrenia.
FACTOR PENCETUS
1. Pengalaman traumatis sebelumnya.
Trauma berasal dari bahasa Yunani yang berarti.Kata trauma
digunakan untuk menggambarkan kejadian atau situasi yang dialami oleh
korban. Kejadian atau pengalaman traumatic akan dihayati secara berbeda-
beda antara individu yang satu dengan lainnya,sehingga setiap orang akan
memiliki reaksi yang berbeda pula pada saat menghadapi kejadian yang
traumatik. Oleh sebab itu, merupakan suatu hal yang wajar ketika
seseorang mengalami shock baik secara fisik maupun emosional sebagai
suatu reaksi stres atas kejadian traumatik tersebut. Kadangkala efek
aftershock ini baru terjadi setelah beberapa jam, hari, atau bahkan
berminggu-minggu.
2. Faktor Biologi
a. Faktor genetik
Hingga saat ini belum ditemukan adanya gen tertentu yang
menyebabkan terjadinya gangguan jiwa. Akan tetapi telah ditemukan
adanya variasi dari multiple gen yang telah berkontribusi pada
terganggunya fungsi otak (Mohr, 2003) . Sebuah penelitian yang
dilakukan oleh National Institute of Health di Amerika serikat telah
menemukan adanya variasi genetik pada 33000 pasien dgn diagnosa
skizofrenia, Autis, ADHD, bipolar disorder dan mayor deppressive
disorder. Penelitian tersebut menemukan bahwa Variasi CACNA1C dan
CACNB2 diketahui telah mempengaruhi circuitry yang meliputi memori,
perhatian, cara berpikir dan emosi. Disamping itu juga telah ditemukan
bahwa dari orang tua dan anak dapat menurunkan sebesar 10%. Dari
keponakan atau cucu sebesar 2 – 4 % dan saudara kembar identik sebesar
48%.
b. Gangguan Struktur dan Fungsi Otak.
Hipoaktifitas lobus frontal telah menyebabkan afek menjadi
tumpul, isolasi sosial dan apati. Sedangkan gangguan pada lobus temporal
telah ditemukan terkait dengan munculnya waham, halusinasi dan
ketidakmampuan mengenal objek atau wajah.
c. Neurotransmitter
Neurotransmiter adalah senyawa organik endogenus membawa
sinyal diantara neuron. Neurotransmitter terdiri dari :
Dopamin : berfungsi membantu otak mengatasi depresi,
meningkatkan ingatan dan meningkatkan kewaspadaan mental.
Serotonin : pengaturan tidur, persepsi nyeri, mengatur status
mood dan temperatur tubuh serta berperan dalam perilaku aggresi
atau marah dan libido.
Norepinefrin : Fungsi Utama adalah mengatur fungsi kesiagaan,
pusat perhatian dan orientasi; mengatur “fight-flight”dan proses
pembelajaran dan memory.
Asetilkolin : mempengaruhi kesiagaan, kewaspadaan, dan
pemusatan perhatian.
Glutamat : pengaturan kemampuan memori dan memelihara
fungsi automatic.
3. Faktor Koping
Koping adalah cara yang dilakukan individu dalam menyelesaikan
masalah, menyesuaikan diri dengan perubahan, respon terhadap situasi
yang mengancam. Upaya individu dapat berupa perubahan cara berfikir
(kognitif), perubahan perilaku atau perubahan lingkungan yang bertujuan
untuk meyelesaikan stres yang dihadapi. Koping yang efektif akan
menghasilkan adaptasi. Koping dapat diidentifikasi melalui respon,
manifestasi (tanda dan gejala) dan pertanyaan klien dalam wawancara.
Ketika individu mengalami masalah, secara umum ada dua strategi
koping yang biasanya digunakan oleh individu tersebut, yaitu :
- Problem-solving focused coping, dimana individu secara aktif mencari
penyelesaian dari masalah untuk menghilangkan kondisi atau situasi
yang menimbulkan stress.
- Emotion-focused coping, dimana individu melibatkan usaha-usaha
untuk mengatur emosinya dalam rangka menyesuaikan diri dengan
dampak yang akan timbul akibat suatu kondisi atau situasi yang penuh
tekanan.
Individu yang menggunakan problem-solving focused coping cenderung
berorientasi pada pemecahan masalah yang dialaminya sehingga bisa
terhindar dari stres yang berkepanjangan sebaliknya individu yang
senantiasa menggunakan emotion-focused coping cenderung berfokus
pada ego mereka sehingga masalah yang dihadapi tidak pernah ada
pemecahannya yang membuat mereka mengalami stres yang
berkepanjangan bahkan akhirnya bias jatuh kekeadaan gangguan jiwa
berat.
4. Stressor Psikososial
Faktor stressor psikososial juga turut berkontribusi terhadap
terjadinya gangguan jiwa. Seberapa berat stressor yang dialami seseorang
sangat mempengaruhi respon dan koping mereka. Seseorang mengalami
stressor yang berat seperti kehilangan suami tentunya berbeda dengan
seseorang yang hanya mengalami strssor ringan seperti terkena macet
dijalan. Banyaknya stressor dan seringnya mengalami sebuah stressor juga
mempengaruhi respon dan koping. Seseorang yang mengalami banyak
masalah tentu berbeda dengan seseorang yang tidak punya banyak
masalah.
5. Pemahaman dan Keyakinan Agama
Pemahaman dan keyakinan agama ternyata juga berkontribusi
terhadap kejadian gangguan jiwa. Beberapa penelitian telah membuktikan
adanya hubungan ini. Sebuah penelitian ethnografi yang dilakukan oleh
Suryani (2011).Pada pasien yang mengalami halusinasi pendengaran,
halusinasinya tidak muncul kalau kondisi keimanan mereka kuat .
(Suryani, 2013)
ETIOLOGI MENGAMUK :
-gangguan bipolar
-depresi atau stress
-lesi otak yang akan menyebabakan epilepsy
-tekanansosial
1. DEFINISI
Skizofrenia adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan suatu
gangguan psikiatrik mayor yang ditandai dengan adanya perubahan pada persepsi,
pikiran, afek, dan perilaku seseorang. Kesadaran yang jernih dan kemampuan
intelektual biasanya tetap terpelihara, walaupun defisit kognitif tertentu dapat
berkembang kemudian (Sadock, 2003).
Menurut Temes (2011) skizofrenia adalah bentuk paling umum dari
penyakit mental yang parah. Penyakit ini adalah penyakit yang serius dan
mengkhawatirkan yang ditandai dengan penurunan atau ketidakmampuan
berkomunikasi, gangguan realitas (berupa halusinasi dan waham), gangguan
kognitif (tidak mampu berpikir abstrak) serta mengalami kesulitan untuk
melakukan aktivitas sehari-hari.
2. KLASIFIKASI
1. Tipe Paranoid
Ciri utama skizofrenia tipe ini adalah waham yang mencolok atau
halusinasi auditorik dalam konteks terdapatnya fungsi kognitif dan afektif yang
relatif masih terjaga. Waham biasanya adalah waham kejar atau waham
kebesaran, atau keduanya, tetapi waham dengan tema lain (misalnya waham
kecemburuan, keagamaan, atau somalisas) mungkin juga muncul. Ciri-ciri lainnya
meliputi ansietas, kemarahan, menjaga jarak dan suka berargumentasi, dan
agresif.
2. Tipe Disorganized (tidak terorganisasi)
Ciri utama skizofrenia tipe disorganized adalah pembicaraan kacau,
tingkah laku kacau dan afek yang datar atau inappropriate. Pembicaraan yang
kacau dapat disertai kekonyolan dan tertawa yang tidak erat kaitannya dengan isi
pembicaraan. Disorganisasi tingkah laku dapat membawa pada gangguan yang
serius pada berbagai aktivitas hidup sehari-hari.
3. Tipe Katatonik
Ciri utama skizofrenia tipe ini adalah gangguan pada psikomotor yang
dapat meliputi ketidakbergerakan motorik (waxy flexibility). Aktivitas motor
yangberlebihan, negativism yang ekstrim, sama sekali tidak mau bicara dan
berkomunikasi (mutism), gerakan-gerakan yang tidak terkendali, mengulang
ucapan orang lain (echolalia) atau mengikuti tingkah laku orang lain
(echopraxia).
4. Tipe Undifferentiated (tidak berdiferensiasi)
Tipe Undifferentiated merupakan tipe skizofrenia yang menampilkan
perubahan pola simptom-simptom yang cepat menyangkut semua indikator
skizofrenia. Misalnya, indikasi yang sangat ruwet, kebingungan (confusion),
emosi yang tidak dapat dipegang karena berubah-ubah, adanya delusi, referensi
yang berubah-ubah atau salah, adanya ketergugahan yang sangat besar, autisme
seperti mimpi, depresi, dan sewaktu-waktu juga ada fase yang menunjukkan
ketakutan.
5. Tipe Residual
Tipe ini merupakan kategori yang dianggap telah terlepas dari skizofrenia
tetapi masih memperlihatkan gejala-gejala residual atau sisa, seperti keyakinan-
keyakinan negatif, atau mungkin masih memiliki ide-ide tidak wajar yang tidak
sepenuhnya delusional. Gejala-gejala residual itu dapat meliputi menarik diri
secara sosial, pikiran-pikiran ganjil, inaktivitas, dan afek datar.
3. ETIOLOGI
Faktor predisposisi meliputi faktor genetika, prenatal, dan kepribadian.
Faktor prespitasi meliputi stress psikososial. Faktor penyebab berkelanjutan
meliputi faktor sosial dan keluarga pasien.
1. Faktor Predisposisi
Faktor Genetika
Resiko seumur hidup untuk mengalami skizofrenia lebih besar pada keluarga
biologis pasien daripada sekitar 1% populasi umum. Oleh karena itu, risiko pada
anak-anak lebih besar jika kedua orang tua menderita skizofrenia daripada hanya
salah satunya.
Faktor Prenatal
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa skizofrenia lebih sering dialami
mereka yang menderita komplikasi obstetrik selama kelahiran. Hal ini mungkin
disebabkan trauma pada otak misalnya persalinan dengan forseps dan hipoksia.
Kepribadian
Pasien yang mengalami gangguan kepribadian skizotipal mempunyai
keanehan dan anomali pada ide, penampilan bicara dan perilaku (mungkin
eksentrik), serta defisit pada hubungan antarpersonel. Keadaan tersebut lebih
sering terjadi pada keluarga tingkat pertama pasien dan dianggap sebagai bagian
dari spektrum genetik skizofrenia.
2. Faktor presipitasi
Stressor Psikososial
Perhatian terhadap adanya suatu efek pemicu menimbulkan anggapan bahwa
peristiwa hidup dapat bertindak sebagai faktor presipitasi pada orang yang
beresiko mengalami skizofrenia.
4. EPIDEMIOLOGI
Insidensi skizofrenia adalah antara 15 sampai 30 kasus baru per 100.000
populasi per tahun. Prevalensi titik kurang dari 1%. Terdapat resiko seumur hidup
terjadinya skizofrenia sekitar 1% pada populasi umum.Usia awitan biasanya
antara 15 dan 45 tahun, dengan usia awitan rata-rata lebih dini pada laki-laki
daripada perempuan. Rasio jenis kelamin sama, yaitu sama seringnya pada laki-
laki dan perempuan. Insidensi skizofrenia lebih tinggi pada mereka yang tidak
menikah.
Skizofrenia juga diketahui paling sering terjadi pada golongan sosial IV
dan V. Hal tersebut dapat disebabkan oleh penyimpangan sosial; orang tua pasien
dengan skizofrenia mempunyai distribusi kelas sosial yang lebih normal tetapi
pasien sendiri dapat terjun ke golongan sosial lebih rendah (misalnya, yang
berhubungan dengan pekerjaan) akibat penyakitnya.
5. GEJALA
1. “Gejala positif”, juga disebut sebagai “gejala akut”, merupakan pikiran dan
indera yang tidak biasa, bersifat surreal, yang mengarah ke perilaku pasien
yang tidak normal. Gejala-gejala ini bisa kambuh, termasuk:
Delusi: memiliki keyakinan yang kuat terhadap suatu hal tanpa dasar yang
jelas, tetap teguh walaupun bukti menyatakan sebaliknya dan tidak bisa
dikoreksi dengan logika dan akal sehat, misalnya berpikir bahwa dirinya
dianiaya, seseorang sedang mengendalikan pikiran dan perilakunya, atau
berpikir bahwa orang lain sedang membicarakannya.
Halusinasi: pasien merasakan sesuatu yang sangat nyata, yang sebenarnya
tidak ada, misalnya melihat beberapa gambar yang tidak bisa dilihat oleh
orang lain, mendengar suara atau sentuhan yang tidak ada.
Gangguan pikiran: pikiran tidak jelas, kurangnya kontinuitas dan logika,
bicara dengan tidak teratur, berbicara dengan dirinya sendiri atau berhenti
berbicara secara tiba-tiba.
Perilaku aneh: berbicara dengan dirinya sendiri, menangis atau tertawa
secara tidak terduga atau bahkan berpakaian dengan cara yang aneh.
2. “Gejala negatif”, juga disebut sebagai “gejala kronis”, lebih sulit untuk
dikenali dari pada “gejala positif” dan biasanya menjadi lebih jelas setelah
berkembang menjadi gejala positif. Jika kondisinya memburuk, kemampuan
kerja dan perawatan diri pasien akan terpengaruh. Gejala-gejala ini antara
lain:
Penarikan sosial: menjadi tertutup, dingin, egois, terasing dari orang lain,
dll.
Kurangnya motivasi: hilangnya minat terhadap hal-hal di sekitarnya,
bahkan kebersihan pribadi dan perawatan diri.
Berpikir dan bergerak secara lambat.
Ekspresi wajah yang datar.
6. DIAGNOSIS
Thought echo = isi pikiran dirinya sendiri yang bergema dan berulang
dalam kepalanya (tidak keras) dan isi pikiran ulangan, walaupun isinya
sama, namun kualitasnya berbeda.
Thought insertion or withdrawal = isi pikiran asing dari luar masuk ke
dalam pikirannya (insertion) atau isi pikirannya diambil keluar oleh
sesuatu dari luar dirinya (withdrawal).
Thought broadcasting = isi pikirannya tersiar keluar sehingga orang lain
atau umum mengetahuinya.
8. PENATALAKSANAAN
1. Perumahsakitan
Orang yang mengalami gejala-gejala skizofrenia akut harus dirawat
di rumah sakit, jika perlu dipaksa, sehingga investigasi yang sesuai dapat
dilakukan dan pengobatan dapat diberikan. Setelah keluar dari rumah
dakit, pasien-pasien tersebut perlu di-follow-up teratur oleh ahli psikiatri
dan terutama pada skizofrenia kronik, oleh seorang perawat psikiatri
komunitas. Pasien skizofrenia kronik harusnya dirawat untuk keadaan
rekurensi, tetapi sebaliknya sering juga tetap berada di lingkungan
masyarakat atau di tempat penampungan.
2. Pengobatan fisik
a. Farmakoterapi
Cara utama pengobatan skizofrenia adalah penggunaan
obat-obat anti neuroleptik, diseebut juga obat-obat antipsikotik.
Gejala-gejala “positif” umumnya memberikan refleks lebih baik
dari gejala-gejala “negatif”.
Salah satu neuroleptik yang paling luas digunakan adalah
chlorpromazine. Bila efek hipotensi chlorpromazine harus
dihindari, misalnya pada lansia, neuroleptik alternatif yang
kemungkinan kecil menyebabkan hipotensi sebaiknya digunakan,
seperti haloperidol dan trifluoperazine. Namun, pada penggunaan
dua zat tadi, efek samping ekstrapiramidal lebih mungkin terjadi.
Sulprid berbeda secara struktural dengan neuroleptik lain dan tidak
terlalu sedatif dibandingkan chlorpromazine.
Antipsikotik atipikal clozapine dapat digunakan pada
pasien yang tidak memberikan respons terhadap atau tidak dapat
menoleransi neuroleptik lain karena clozapine dapat menyebabkan
agranulositosis, jumlah sel darah putih, neutrofil serta kadar
trombosit pasien-pasien ini perlu diperiksa secara regular (awalnya
tiap minggu). Tanda-tanda infeksi, seperti nyeri tenggorokan atau
terjadinya influenza pada pasien juga perlu dipantau secara klinis.
Pasien yang dirawat dirumah sakit dengan gejala-gejala
positif akut harus diobati dengan neuroleptik oral jika pasien
bersedia minum obat melalui mulut. Jika keputusan pasien masih
sangat meragukan, obat-obatan harus diberikan dalam bentuk
sirup. Meskipun demikian, terdapat risiko bahwa pasien mungkin
menyembunyikan tablet dibawah lidah dan tidak ditelan. Jika
pasien yang dirawat dipaksa menolak minum obat, pikirkan
pemberian secara intramuskular.
Untuk pasien skizofrenia kronik yang hidup ditengah
masyarakat, farmakoterapi neuroleptik rumatan dapat membantu
mengurangi frekuensi rekurensi. Meskipun paisen-pasien tersebut
dapat diminta untuk minum sendiri neuroleptik oral, metode
pemberian yang lebih nyaman adalah melalui injeksi intramuskular
dalam satu neuroleptik depot-lepas-lambat setiap 1-4 minggu. Obat
ini dapat diberikan oleh seorang perawat psikiatri kominitas, di
suatu klinik depot, oleh dokter keluarga atau di unit rawat jalan.
Neuroleptik yang tersedia dalam bentuk depot meliputi flupentixol
deconoate, pipotiazine palmitate dan zuclopenthixol decanoate.
Injeksi pertama sebaiknya berupa dosis uji yang kecil untuk
memeriksa efek samping yang tidak dapat diterima.
Aktivitas antidopaminergik sentral neuroleptik
menimbulkan jenis efek samping ekstrapiramidal berikut : a)
gejala-gejala parkinson yaitu tremor saat istirahat, bradikinesia, b)
distonia yaitu kelainan gerakan wajah dan tubuh involunter yang
disebabkan oleh kontraksi otot kontinu dan lambat seperti lidah
terjulur, menyeringai, c) akatisia : cenderung bergerak involunter
menyebabkan kelelahan.
b. Terapi elektrokonvulsif (ECT)
Seperti juga dengan terapi konvulsi yang lain, cara
bekerjanya elektrokonvulsi belum diketahui dengan jelas. Dapat
dikatakan bahwa terapi konvulsi dapat memperpendek serangan
skizofrenia dan mempermudah kontak dengan penderita. Akan
tetapi terapi ini tidak dapat mencegah serangan yang akan datang.
Bila dibandingkan dengan terapi koma insulin, maka dengan ECT
lebih sering terjadi serangan ulangan. Akan tetapi ECT lebih
mudah diberikan dapat dilakukan secara ambulant, bahaya lebih
kurang, lebih murah dan tidak memerlukan tenaga yang khusus
pada terapi koma insulin. Terapi elektrokonvulsif digunakan untuk
pengobatan stupor katatonik, yang jarang terjadi akhir-akhir ini
(kemungkinan karena ketersediaan dan pemakaian antipsikotik
dini)
3. Pengobatan psikososial
a. Pergaulan sosial
Kemiskinan pergaulan sosial, seperti yang telah disebutkan,
harus direduksi agar gejala-gejala “negatif” tidak meningkat.
Tindakan ini dapat berupa latihan keterampilan sosial, yaitu
penggunaan metode psikoterapeutik kelompok untuk mengajari
pasien bagaimana berinteraksi secara tepat dengan orang lain.
Terapi okupasi juga sangat berguna dan dapat digunakan untuk
mengajari keterampilan yang berguna bagi pasien-pasien agar
dapat hidup di luar rumah sakit, seperti memasak. Harus diingat
bahwa stimulasi sosial yang berlebihan juga dapat menyebabkan
efek simpang dengan bekerja sebagai stresor psikososial.
b. Emosi yang diekspresikan
Untuk pasien-pasien yang selalu berada di dalam
lingkungan dengan ekspresi emosi yang tinggi, dapat diterapkan
kelompok kerja. Jika pengurangan tingkat emosi yang
diekspresikan tidak memungkinkan, mungkin lebih baik pasien
tidak kembali ke kehidupan keluarga seperti ini, me;lainkan
ditempatkan dalam staffed hostel.
c. Terapi perilaku
Selain latihan keterampilan sosial, jenis terapi perilaku lain
yang dapat digunakan adalah penerapan ekonomi mata uang ;
dengan cara ini pelaku yang baik dihargai dengan mata uang yang
dapat ditukar dengan bentuk penghargaan atau barang tertentu.
d. Sanggar kerja yang dinaungi (sheltered workshops)
Menghadiri sanggar kerja seperti ini, yang terutama
diadakan untuk pasien, memungkinkan pasien rawat jalan maupun
rawat inap memperoleh sensasi pencapaian dengan melakukan
beberapa pekerjaan setiap minggu dan mendapatkan gaji yang
sebenarnya relatif kecil. Selain itu, keterampilan yang berguna,
seperti pekerjaan pertukangan, dapat dikuasai.
9. PROGNOSIS
Hampir seperempat kasus skizofrenia mengalami perbaikan klinis dan sosial
yang baik, dan hanya sebagian penelitian memperlihatkan hanya kurang dari
separuh yang mengalami hasil jangka panjang yang buruk. Faktor-faktor yang
akan dihubungkan dengan prognosis baik meliputi :
Perempuan
Memiliki keluarga yang menderita gangguan mood bipolar (yang pasien
nya lebih cenderung mengalami gejala-gejala afektif atau mood selama
penyakit skizofrenia akut)
Usia awitan lebih tua
Awitan mendadak
Cepat mengalami perbaikan
Respon baik terhadap pengobatan
Lebih berupa afektif
Penyesuaian psikoseksual baik
Tidak memperlihatkan gangguan kognitif
Tidak mengalami pembesaran ventrikel (seperti yang diperlihatkan pada
CT atau MRI)
B. BIPOLAR
1. DEFINISI
2. ETIOLOGI
Subseksi ini membahas etiologi baik gangguan bipolar maupun episode depresif
bersama-sama. Faktor predisposisi meliputi faktor-faktor genetika dan
kepribadian. Faktor-faktor presipitasi meliputi stress psikososial dan penyakit
fisik. Faktor penyebab berkelanjutan (perpetuasi) dan perantara meliputi:
• Faktor-faktor psikososial
• Faktor-faktor sosial
• Neurotransmitter
• Faktor-faktor psikoneuroendokrinologis
• Perubahan tidur
• Perubahan fotik
3. EPIDEMIOLOGI
• Gangguan bipolar I terjadi hampir sama rata pada pria dan wanita dengan
prevalensi sebesar 0,4 – 1,6%.
4. GAMBARAN KLINIS
Selama episode manic, seorang pasien dapat bersifat sangat boros, memulai
projek yang tidak realistis, berganti-ganti pasangan seksual dan, jika sedang
sensitif atau marah, menjadi sangat agresif.
Pada mania berat, mungkin terdapat aktifitas fisik serta kegembiraan yang berat
dan terus menerus sehingga menyebabkan agresi atau kekerasan. Penolakan untuk
makan, minum dan mengabaikan kebersihan pribadi dapat menyebabkan dehidrasi
yang berbahaya, dan pengabaian diri.
5. KRITERIA DIAGNOSTIK
Peningkatan aktifitas
Ekspresif
Lebih banyak bicara/adanya dorongan untuk terus berbicara
Pikiran terfokus perihal dosa dan rasa diri tidak berguna lagi
Pesimistik
Gagasan melukai diri sendiri/ bunuh diri
Gangguan tidur
Mood : depersif
Prognosis gangguan bipolar jauh lebih baik pada mereka yang secara teratur
minum obat prolaktif (gram litium atau carbamazepine).
6. Integrasi Keislaman
Kurangnya pengetahuan masyarakat mengenai penyakit mental
membuat mereka menganggap bahwa penyakit mental adalah kutukan dan
hal yang memalukan. Seseorang yang memiliki penyakit mental pun
sering kali mendapatkan stigma. Bahkan tidak jarang, orang dengan
penyakit mental akan terisolasi dari lingkungan. Padahal, mengisolasi
mereka tidak akan membantu proses penyembuhan mereka.
Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dalam kitab Sunan-nya, dari hadist Abu
Said Al-Khudri ia menceritakan: Rasulullah SAW bersabda: