PERTUSIS
Oleh:
MUHAMMAD IYAD ATSIIL WAHAB
70700120025
Supervisor
dr. Rahmi Rahim, Sp.A
“Pertusis”
Oleh:
Pembimbing
Mengetahui,
Ketua Program Pendidikan Profesi Dokter
UIN Alauddin Makassar
i
DAFTAR ISI
Lembar Pengesahan..................................................................................................i
DAFTAR ISI............................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA..............................................................................2
2.1 Definisi Pertusis.............................................................................................2
2.2 Etiologi...........................................................................................................2
2.3 Epidemiologi..................................................................................................3
2.4 Patomekanisme..............................................................................................4
2.5 Manifestasi Klinis……….………………..…...…………………………… 6
2.6 Diagnosis …….……………………..……………………………………… 8
2.7 Penatalaksanaan ...…………………..………………………………………9
2.8 Komplikasi………………….……………..……………………………..………11
2.9 Prognosis ..………………….……………..………………………………..……12
BAB III KESIMPULAN........................................................................................13
BAB IV DAFTAR PUSTAKA..............................................................................14
ii
BAB I
PENDAHULUAN
Pertusis atau “batuk rejan” atau “batuk 100 hari” atau “whooping cough”
merupakan salah satu penyakit menular saluran pernapasan yang sudah diketahui
adanya sejak tahun 1500-an. Penyebab tersering dari pertusis adalah bakteri gram (-)
Bordetella pertussis.
Di seluruh dunia insidensi pertussis banyak didapatkan pada bayi dan anak
kurang dari 5 tahun, meskipun anak yang lebih besar dan orang dewasa masih
mungkin terinfeksi oleh B. pertussis.Insidensi terutama didapatkan pada bayi atau
anak yang belum diimunisasi.
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.2. Etiologi
Pertusis pertama kali dapat di isolasi pada tahun 1900 oleh Bordet dan
Gengou, kemudian pada tahun 1906 kuman pertusis baru dapat dikembangkan
dalam media buatan. Genus Bordetella mempunyai 4 spesies yaitu B. pertusis,
B.parapertusis, B.bronkiseptika, dan B. avium. Penyebab pertusis adalah
Bordetella pertusis.
2
Organisme yang didapatkan umumnya tipe virulen (disebut fase 1).
Pasase dalam biakan dapat merangsang pembentukan varian yang avirulen (fase
2, 3 atau 4). Strain 1 berperan untuk penularan penyakit dan menghasilkan
vaksin yang efektif. Bordetella pertusis dapat mati dengan pemanasan pada suhu
500C selama setengah jam, tetapi bertahan pada suhu rendah (00 – 100C).
2.3. Epidemiologi
3
sejak 50 tahun terakhir yaitu 972 kasus saat ini (696 diagnosa pasti, 276
suspect) dengan angka kejadian 9.91 kasus per 100.000 jiwa. Sedangkan di
California angka kejadian pertusis yaitu 23,3 kasus per 100.000 jiwa.
menangkal Dipteri Pertusis (batuk) dan Tetanus, lalu vaksin Polio, Campak dan
2.4. Patomekanisme
4
kemudian bermultiplikasi dan menyebar ke seluruh permukaan epitel saluran
napas.
Proses ini tidak invasif oleh karena pada pertusis tidak terjadi bakteremia.
Selama pertumbuhan Bordetella pertusis, maka akan menghasilkan toksin yang
akan menyebabkan penyakit yang kita kenal dengan whooping cough.
5
Terdapat perbedaan pendapat mengenai kerusakan susunan saraf pusat, apakah
akibat pengaruh langsung toksin ataukah sekunder sebagai akibat anoksia.
Gejala klasik sering muncul pada infeksi primer pada anak dengan
imunisasi tidak lengkap. Gejala muncul kurang kebih 6-12 minggu dengan 3
tahapan:
a. Tahap Kataral
6
Mulai terjadi secara bertahap dalam waktu 7-10 hari setelah
terinfeksi, ciri-cirinya menyerupai flu ringan :
1) Bersin-bersin
2) Mata berair
3) Nafsu makan berkurang
4) Lesu
5) Batuk (pada awalnya hanya timbul di malam hari kemudian terjadi
sepanjang hari)
b. Tahap Paroksismal
Mulai timbul dalam waktu 10-14 hari (setelah timbulnya gejala awal)
5-15 kali batuk diikuti dengan menghirup nafas dalam dengan pada tinggi.
Batuk bisa disertai pengeluaran sejumlah besar lendir vang biasanya ditelan
oleh bayi / anak-anak atau tampak sebagai gelembung udara di hidungnya).
Muka anak akan merah atau sianosis, mata menonjol, lidah menjulur,
lakrimasi, salivasi dan distensi vena leher selama serangan. Episode batuk-
batuk yang paroksimal dapat terjadi lagi sampai obstruksi “mucous plug”
pada saluran nafas menghilang.
Pada stadium paroksismal dapat terjadi petekia pada kepala dan leher
atau perdarahan konjungtiva.Batuk atau lendir yang kental sering
merangsang terjadinya muntah. Serangan batuk bisa diakhiri oleh penurunan
kesadaran yang bersifat sementara.
Vomitus sesudah batuk dengan paroksimal adalah cukup khas
sehingga anak dicurigai menderita pertussis walaupun tidak ada “whoop”.
Anak akan terlihat apatis dan berat badan menurun. Pada bayi, apnea (henti
nafas) dan tersedak lebih sering terjadi dibandingkan dengan tarikan nafas
yang bernada tinggi.
c. Tahap Konvalesen
Mulai terjadi dalam waktu 4-6 minggu setelah gejala awal. Batuk
semakin berkurang, muntah juga berkurang, anak tampak merasa lebih baik.
7
Kadang batuk terjadi selama berbulan-bulan, biasanya akibat iritasi saluran
pernafasan.
Terdapat beberapa indikator kuat pertussis yang berbeda dari setiap
kelompok usia. Pada kelompok infant, gejala seperti coriza dan batuk dengan
tidak ada demam biasanya tidak nampak. Komplikasi berat seperti apnea,
ensefalopati, dan pneumonia sering muncul pada kelompok ini. Pada sebuah
penelitian mengenai komplikasi pertussis, 75% infant < 6 bulan didiagnosa
dengan pneumonia, 25% dengan apnea, 14% dengan kejang, dan 5% dengan
ensefalopati.
2.6. Diagnosis
8
Gejala akan berkurang dalam beberapa minggu sampai dengan
beberapa bulan; dapat terjadi petekia pada kepala/leher, perdarahan
konjungtiva, dan terdengar crackles difus.
c. Bayi <6 bulan gejalanya tidak khas, mungkin berupa tanda dan gejala:
1) Hipoksia yang terlihat lebih hebat dibandingkan gambaran klinis
2) Muntah-muntah sampai menimbulkan dehidrasi
3) Kadang hanya menunjukkan tanda dan gejala sianosis dan apneic spell,
tanpa disertai whoop
Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan Laboratorium
Pada pemeriksaan ini didapatkan leukositosis (20.000-50.000/mm3 )
dengan limfositosis absolut yang khas pada akhir stadium kataral dan selama
stadium proksismal. Pada bayi jumlah leukositosis tidak menolong untuk
diagnosa, oleh karena respon limfositosis juga terjadi pada penyakit lain.
Isolasi B. perthussis dari sekret nasofaring dipakai untuk membuat
diagnosis pertusis pada media khusus Bordet-gengou. Biakan positif dari
stadium kataral 95%-100%, stadium paroksismal 94% pada minggu ke-3 dan
menurun sampai 20% untuk waktu berikutnya.
Dengan metode PCR yang lebih sensitif dibanding pemeriksaan
kultur untuk mendeteksi B. perthussis, terutama setelah 3-4 minggu setelah
batuk dan sudah diberikan pengobatan antibiotik. PCR saat ini merupakan
pilihan yang paling tepat karena nilai sensitifitasnya tinggi. Tes serologi
berguna untuk stadium lanjut penyakit dan untuk menentukan adanya infeksi
pada individu dengan biakan. Cara ELISA dapat dipakai untuk menentukan
IgM, IgG, dan IgA serum terhadap FHA dan PT. Nilai IgM serum FHA dan
PT menggambarkan sistem imun primer baik disebabkan penyakit atau
vaksinasi. IgG toksin pertusis merupakan tes yang paling sensitif dan spesifik
untuk mengetahui infeksi alami dan tidak tampak setelah imunisasi pertusis.
9
b. Pemeriksaan Foto Thorax
Pemeriksaan lainnya yaitu foto thorax dapat memperlihatkan infiltrat
perihiler, atelektasis, atau emphisema.
2.7. Penatalaksanaan
Dalam waktu 3-4 minggu setelah timbul onset gejala, 80-90% pasien
akan secara spontan terbebas dari B. pertussis pada daerah nasofaring. Ketika
pertusis dikenali lebih dini dan pemberian antibiotik dilakukan pada stadium
awal, penyakit ini akan tereliminasi sempurna. Untuk membatasi penyebaran
infeksi, terutama pada bayi, antibiotik direkomendasikan meskipun secara
alamiah, pasien jarang akan terkena infeksi.
a. Beri oksigen pada anak bila pernah terjadi sianosis atau berhenti napas
atau batuk paroksismal berat.
b. Gunakan nasal prongs, jangan kateter nasofaringeal atau kateter nasal,
karena akan memicu batuk. Selalu upayakan agar lubang hidung bersih
dari mukus agar tidak menghambat aliran oksigen.
10
c. Terapi oksigen dilanjutkan sampai gejala yang disebutkan di atas tidak
ada lagi.
d. Perawat memeriksa sedikitnya setiap 3 jam, bahwa nasal prongs berada
pada posisi yang benar dan tidak tertutup oleh mukus dan bahwa semua
sambungan aman.
Perawatan penunjang :
11
pemberian makanan porsi kecil dan sering. Jika penurunan berat badan
terus terjadi, beri makanan melalui NGT.
2.8. Komplikasi
a. Pneumonia
Merupakan komplikasi tersering dari pertusis yang disebabkan oleh
infeksi sekunder bakteri atau akibat aspirasi muntahan.
b. Kejang
Hal ini bisa disebabkan oleh anoksia sehubungan dengan serangan
apnu atau sianotik, atau ensefalopati akibat pelepasan toksin.
c. Gizi kurang
Anak dengan pertusis dapat mengalami gizi kurang yang disebabkan
oleh berkurangnya asupan makanan dan sering muntah.
d. Perdarahan
Perdarahan subkonjungtiva dan epistaksis sering terjadi pada pertusis.
Tidak ada terapi khusus.
e. Hernia
Hernia umbilikalis atau inguinalis dapat terjadi akibat batuk yang kuat.
Tidak perlu dilakukan tindakan khusus kecuali terjadi obstruksi saluran
pencernaan, tetapi rujuk anak untuk evaluasi bedah setelah fase akut.
2.8. Prognosis
12
BAB III
KESIMPULAN
13
tandai dengan batuk yang spasmodik dan paroksimal disertai nada yang meninggi,
pada akhir batuk sering di sertai bunyi yang khas (whoop), sehingga penyakit ini
disebut whooping cough.
Pertusis sering menyerang bayi dan anak-anak kurang dari 5 tahun, terutama
yang belum diimunisasi lebih rentan, demikian juga dengan anak lebih dari 12 tahun
dan orang dewasa. Stadium penyakit pertusis meliputi 3 stadium yaitu kataral,
paroxismal, dan konvalesen.
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
14
2. Arifin IF, Prasasti CI. Faktor yang Berhubungan dengan Kasus Difteri Anak
di Puskesmas Bangkalan Tahun 2016. Jurnal Berkala Epidemiologi. 2017
3. Jeffrey A, et al. (2014). Bordetella pertussis pathogenesis: current and future
challenges. Nat Rev Microbiol; 12(4): 274–288
4. Putu Aryuda Bagus. Pertusis. Fakultas Kedokteran Universitas Malahayati.
2013.
5. Pittet et al. (2014). Diagnosis of Whooping Cough in Switzerland:
Differentiating Bordetella pertussis from Bordetella holmesii by Polymerase
Chain Reaction. Plos one; 9: 2
6. Kementerian Kesehatan RI. Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Difteri.
In: Direktorat Surveilans dan Karantina Kesehatan dan Direktorat Pencegahan
dan Pengendalian Penyakit, editor. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI. 2017.
7. Nataprawira HM dan Phangkawira E (2015). A Retrospective Study of Acute
Pertussis in Hasan Sadikin Hospital-Indonesia. Journal of Acute Disease
(2015)147-151.
8. Melvin et al. (2014). Bordetella pertussis pathogenesis: current and future
challenges. Nat Rev Microbiol; 12(4): 274–288.
9. Cherry JD (2015). The present and future control of pertussis. Clinical
Infectious Disease, 51 (6): 663-667.
10. Hewlett EL et al (2014). Pertussis Pathogenesis—What We Know and What
We Don’t Know. The Journal of Infectious Diseases 2014;209:982–5
15