Anda di halaman 1dari 18

REFERAT

PERTUSIS

Oleh:
MUHAMMAD IYAD ATSIIL WAHAB
70700120025

Supervisor
dr. Rahmi Rahim, Sp.A

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK


PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR
TAHUN 2021
Lembar Pengesahan

Referat dengan judul

“Pertusis”

Telah memenuhi persyaratan dan telah disetujui

Pada Tanggal Juli 2021

Oleh:
Pembimbing

dr. Rahmi Rahim, Sp.A

Mengetahui,
Ketua Program Pendidikan Profesi Dokter
UIN Alauddin Makassar

dr.Azizah Nurdin , Sp.OG, M.Kes


NIP : 19840905 200901 2 011

i
DAFTAR ISI

Lembar Pengesahan..................................................................................................i
DAFTAR ISI............................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA..............................................................................2
2.1 Definisi Pertusis.............................................................................................2
2.2 Etiologi...........................................................................................................2
2.3 Epidemiologi..................................................................................................3
2.4 Patomekanisme..............................................................................................4
2.5 Manifestasi Klinis……….………………..…...…………………………… 6
2.6 Diagnosis …….……………………..……………………………………… 8
2.7 Penatalaksanaan ...…………………..………………………………………9
2.8 Komplikasi………………….……………..……………………………..………11
2.9 Prognosis ..………………….……………..………………………………..……12
BAB III KESIMPULAN........................................................................................13
BAB IV DAFTAR PUSTAKA..............................................................................14

ii
BAB I

PENDAHULUAN

Pertusis atau “batuk rejan” atau “batuk 100 hari” atau “whooping cough”
merupakan salah satu penyakit menular saluran pernapasan yang sudah diketahui
adanya sejak tahun 1500-an. Penyebab tersering dari pertusis adalah bakteri gram (-)
Bordetella pertussis.

Di seluruh dunia insidensi pertussis banyak didapatkan pada bayi dan anak
kurang dari 5 tahun, meskipun anak yang lebih besar dan orang dewasa masih
mungkin terinfeksi oleh B. pertussis.Insidensi terutama didapatkan pada bayi atau
anak yang belum diimunisasi.

Dahulu pertusis adalah penyakit yang sangat epidemic karena menyerang


bukan hanya negara-negara berkembang namun juga beberapa bagian dari negara
maju. Namun setelah digalakkannya vaksinasi untuk pertusis, angka kematian dapat
ditekan, dengan semakin berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologipertusis
diharapkan tidak ditemukan lagi, meskipun ada kasusnya namun tidak signifikan.

Dengan mendiagnosa secara dini kasus pertusis, dari anamnesis, pemeriksaan


fisik, manifestasi klinis, foto rontgen, dan pemeriksaan penunjang lainnya,
diharapkan para klinisi mampu memberikan penanganan yang tepat dan cepat
sehingga derajat penyakit pertusis tidak menimbulkan komplikasi yang lebih lanjut.

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi Pertusis


Pertusis dikenal dengan whooping cough atau batuk rejan yang banyak
menyerang anak balita dengan kematian yang tertinggi pada anak usia di bawah
enam bulan yang disebabkan infeksi Bordetella pertusis. Penyakit ini di tandai
oleh suatu sindrom yang terdiri dari batuk yang sangat spasmodik dan
paroksimal disertai nada yang meninggi , karena penderita berupaya keras untuk
menarik nafas sehingga pada akhir batuk sering di sertai bunyi yang khas
(whoop), sehingga penyakit ini disebut whooping cough.

2.2. Etiologi

Pertusis pertama kali dapat di isolasi pada tahun 1900 oleh Bordet dan
Gengou, kemudian pada tahun 1906 kuman pertusis baru dapat dikembangkan
dalam media buatan. Genus Bordetella mempunyai 4 spesies yaitu B. pertusis,
B.parapertusis, B.bronkiseptika, dan B. avium. Penyebab pertusis adalah
Bordetella pertusis.

Bordetella pertusis termasuk kokobasilus, Gram negatif, kecil, ovoid,


ukuran panjang 0,5 – 1 um dan diameter 0,2 – 0,3 um, tidak bergerak, tidak
berspora. Dengan pewarnaan toloidin biru, dapat terlihat granula bipolar
metakromatik dan mempunyai kapsul. Untuk melakukan biakan Bordetella
pertusis, diperlukan suatu media pembenihan yang disebut Bordet Gengou
(potato blood glycerol agar) yang ditambah penisilin G 0,5 ug/ml untuk
menghambat pertumbuhan organisme lain. Dengan sifat – sifat pertumbuhan
kuman aerob murni, membentuk asam, tidak membentuk gas pada media yang
mengandung glukosa dan laktosa, sering menimbulkan hemolisis.

2
Organisme yang didapatkan umumnya tipe virulen (disebut fase 1).
Pasase dalam biakan dapat merangsang pembentukan varian yang avirulen (fase
2, 3 atau 4). Strain 1 berperan untuk penularan penyakit dan menghasilkan
vaksin yang efektif. Bordetella pertusis dapat mati dengan pemanasan pada suhu
500C selama setengah jam, tetapi bertahan pada suhu rendah (00 – 100C).

Faktor-faktor virulensi Bordetella pertusis :

a. Toksin pertusis: histamine sensitizing factor (HSF), lymphocytosis


promoting factor, Islet activating protein (IAP).
b. Adenilat siklase luar sel.
c. Hemaglutinin (HA): F-HA (filamentous-HA) , PT-HA (pertussis toxin-
HA).
d. Toksin tak stabil panas (heat labile toxin).

Secara morfologis terdapat beberapa kuman yang menyerupai Bodetella


Pertusis seperti Bordetella Parapertusis dan Bordetella Bronchoseptica. Untuk
membedakan jenis – jenis kuman ini, maka di tentukan dengan reaksi aglutinasi
yang khas atau tes tertentu.

2.3. Epidemiologi

Pertusis adalah penyakit endemik dengan siklus endemik setiap 3-4


tahun. Selama masa pra-vaksin tahun 1922-1948, pertusis adalah penyebab
utama kematian dari penyakit menular pada anak di bawah usia 14 tahun di
Amerika Serikat.

Menurut salah satu lembaga penelitian kesehatan dunia Communicable


Disease Control (CDC) 2010 Annual Morbidity Report mengatakan bahwa
insiden pertusis meningkat setiap 3 sampai 5 tahun sekali. Pada 2010
peningkatan kembali terjadi, seperti di Los Angeles terjadi peningkatan kasus

3
sejak 50 tahun terakhir yaitu 972 kasus saat ini (696 diagnosa pasti, 276
suspect) dengan angka kejadian 9.91 kasus per 100.000 jiwa. Sedangkan di
California angka kejadian pertusis yaitu 23,3 kasus per 100.000 jiwa.

Di Indonesia angka kejadian pertusis jarang ditemukan berkat


terselenggaranya program Imunisasi Nasional dimana lebih dari 87% anak di
Indonesia sudah mendapatkan imunisasi secara lengkap. Begitu dianggap
pentingnya pemberian kekebalan pada anak-anak sehingga imunisasi standar
diberikan secara gratis di Puskesmas. BCG untuk menangkal TBC, DPT untuk

menangkal Dipteri Pertusis (batuk) dan Tetanus, lalu vaksin Polio, Campak dan

Hepatitis D. Program imunisasi ini diperkuat oleh program imunisasi gratis di


sekolah-sekolah, yaitu vaksinasi Dipteri Tetanus untuk siswa kelas I SD dan
vaksinasi TT untuk siswa kelas II dan III SD. Program ini merupakan
perwujudan Pasal 10 UU No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan, dimana upaya
kesehatan juga dilakukan lewat pencegahan penyakit.

2.4. Patomekanisme

Bordetella pertusis setelah ditularkan melalui sekresi udara pernapasan


kemudian melekat pada silia epitel saluran pernapasan. Mekanisme pathogenesis
infeksi oleh Bordetella pertusis terjadi melalui empat tingkatan yaitu perlekatan,
perlawanan terhadap mekanisme pertahanan pejamu, kerusakan local dan
akhirnya timbul penyakit sistemik.

Filamentous Hemaglutinin (FHA), Lymphosithosis Promoting Factor


(LPF)/ Pertusis Toxin (PT) dan protein 69-Kd berperan pada perlekatan
Bordetella pertusis pada silia. Setelah terjadi perlekatan, Bordetella pertusis,

4
kemudian bermultiplikasi dan menyebar ke seluruh permukaan epitel saluran
napas.

Proses ini tidak invasif oleh karena pada pertusis tidak terjadi bakteremia.
Selama pertumbuhan Bordetella pertusis, maka akan menghasilkan toksin yang
akan menyebabkan penyakit yang kita kenal dengan whooping cough.

Toksin terpenting yang dapat menyebabkan penyakit disebabkan karena


pertusis toxin. Toksin pertusis mempunyai 2 subunit yaitu A dan B. Toksin sub
unit B selanjutnya berikatan engan reseptor sel target kemudian menghasilkan
subunit A yang aktif pada daerah aktivasi enzim membrane sel. Efek LPF
menghambat migrasi limfosit dan makrofag ke daerah infeksi.

Toxin mediated adenosine diphosphate (ADP) mempunyai efek mengatur


sintesis protein dalam membrane sitoplasma, berakibat terjadi perubahan fungsi
fisiologis dari sel target termasuk lifosit (menjadi lemah dan mati),
meningkatkan pengeluaran histamine dan serotonin, efek memblokir beta
adrenergic dan meningkatkan aktifitas insulin, sehingga akan menurunkan
konsentrasi gula darah.

Toksin menyebabkan peradangan ringan dengan hyperplasia jaringan


limfoid peribronkial dan meningkatkan jumlah mukos pada permukaan silia,
maka fungsi silia sebagai pembersih terganggu, sehingga mudah terjadi infeksi
sekunder (tersering oleh Streptococcus pneumonia, H. influenzae dan
Staphylococcus aureus). Penumpukan mucus akan menimbulkan plug yang
dapat menyebabkan obstruksi dan kolaps paru.

Hipoksemia dan sianosis disebabkan oleh gangguan pertukaran


oksigenasi pada saat ventilasi dan timbulnya apnea saat terserang batuk.

5
Terdapat perbedaan pendapat mengenai kerusakan susunan saraf pusat, apakah
akibat pengaruh langsung toksin ataukah sekunder sebagai akibat anoksia.

Terjadi perubahan fungsi sel yang reversible, pemulihan tampak apabila


sel mengalami regenerasi, hal ini dapat menerangkan mengapa kurangnya efek
antibiotic terhadap proses penyakit. Namun terkadang Bordetella pertusis hanya
menyebabkan infeksi yang ringan, karena tidak menghasilkan toksin pertusis.

2.5. Manifestasi Klinis


Beberapa faktor diketahui berpengaruh terhadap manifestasi klinis pada
infeksi Bordetella pertussis seperti usia, riwayat imunisasi atau infeksi
sebelumnya, dan pengobatan antibiotic. Beberapa faktor tambahan lain yang
mempengaruhi manifestasi klinis adalah jumlah organisme pada paparan,
imunitas individu, dan genotip organisme.

Masa inkubasi pertusis 6-20 hari, rata-rata 7 hari, sedangkan perjalanan


penyakit ini berlangsung antara 6 – 8 minggu atau lebih. Gejala timbul dalam
waktu 7-10 hari setelah terinfeksi. Bakteri menginfeksi lapisan tenggorokan,
trakea dan saluran udara sehingga pembentukan lendir semakin banyak.

Gejala klasik sering muncul pada infeksi primer pada anak dengan
imunisasi tidak lengkap. Gejala muncul kurang kebih 6-12 minggu dengan 3
tahapan:

a. Tahap Kataral

6
Mulai terjadi secara bertahap dalam waktu 7-10 hari setelah
terinfeksi, ciri-cirinya menyerupai flu ringan :
1) Bersin-bersin
2) Mata berair
3) Nafsu makan berkurang
4) Lesu
5) Batuk (pada awalnya hanya timbul di malam hari kemudian terjadi
sepanjang hari)
b. Tahap Paroksismal
Mulai timbul dalam waktu 10-14 hari (setelah timbulnya gejala awal)
5-15 kali batuk diikuti dengan menghirup nafas dalam dengan pada tinggi.
Batuk bisa disertai pengeluaran sejumlah besar lendir vang biasanya ditelan
oleh bayi / anak-anak atau tampak sebagai gelembung udara di hidungnya).
Muka anak akan merah atau sianosis, mata menonjol, lidah menjulur,
lakrimasi, salivasi dan distensi vena leher selama serangan. Episode batuk-
batuk yang paroksimal dapat terjadi lagi sampai obstruksi “mucous plug”
pada saluran nafas menghilang.
Pada stadium paroksismal dapat terjadi petekia pada kepala dan leher
atau perdarahan konjungtiva.Batuk atau lendir yang kental sering
merangsang terjadinya muntah. Serangan batuk bisa diakhiri oleh penurunan
kesadaran yang bersifat sementara.
Vomitus sesudah batuk dengan paroksimal adalah cukup khas
sehingga anak dicurigai menderita pertussis walaupun tidak ada “whoop”.
Anak akan terlihat apatis dan berat badan menurun. Pada bayi, apnea (henti
nafas) dan tersedak lebih sering terjadi dibandingkan dengan tarikan nafas
yang bernada tinggi.
c. Tahap Konvalesen
Mulai terjadi dalam waktu 4-6 minggu setelah gejala awal. Batuk
semakin berkurang, muntah juga berkurang, anak tampak merasa lebih baik.

7
Kadang batuk terjadi selama berbulan-bulan, biasanya akibat iritasi saluran
pernafasan.
Terdapat beberapa indikator kuat pertussis yang berbeda dari setiap
kelompok usia. Pada kelompok infant, gejala seperti coriza dan batuk dengan
tidak ada demam biasanya tidak nampak. Komplikasi berat seperti apnea,
ensefalopati, dan pneumonia sering muncul pada kelompok ini. Pada sebuah
penelitian mengenai komplikasi pertussis, 75% infant < 6 bulan didiagnosa
dengan pneumonia, 25% dengan apnea, 14% dengan kejang, dan 5% dengan
ensefalopati.

2.6. Diagnosis

Anamnesis dan Pemeriksaan Fisis


a. Kontak dengan penderita pertusis dan belum diimunisasi/imunisasi tidak
adekuat
b. Tanda dan gejala klinis tergantung dari stadium:
1) Stadium kataral
Gejala klinisnya minimal dengan/tanpa demam; rinorea; anoreksia;
frekuensi batuk bertambah.
2) Stadium paroksismal
Batuk paroksismal yang dicetuskan oleh pemberian makan (bayi) dan
aktivitas; fase inspiratori batuk atau batuk rejan (inspiratory whooping);
post-tussive vomiting. Dapat pula dijumpai: muka merah atau sianosis;
mata menonjol; lidah menjulur; lakrimasi; hipersalivasi; distensi vena
leher selama serangan; apatis; penurunan berat badan
3) Stadium konvalesens

8
Gejala akan berkurang dalam beberapa minggu sampai dengan
beberapa bulan; dapat terjadi petekia pada kepala/leher, perdarahan
konjungtiva, dan terdengar crackles difus.
c. Bayi <6 bulan gejalanya tidak khas, mungkin berupa tanda dan gejala:
1) Hipoksia yang terlihat lebih hebat dibandingkan gambaran klinis
2) Muntah-muntah sampai menimbulkan dehidrasi
3) Kadang hanya menunjukkan tanda dan gejala sianosis dan apneic spell,
tanpa disertai whoop

Pemeriksaan penunjang

a. Pemeriksaan Laboratorium
Pada pemeriksaan ini didapatkan leukositosis (20.000-50.000/mm3 )
dengan limfositosis absolut yang khas pada akhir stadium kataral dan selama
stadium proksismal. Pada bayi jumlah leukositosis tidak menolong untuk
diagnosa, oleh karena respon limfositosis juga terjadi pada penyakit lain.
Isolasi B. perthussis dari sekret nasofaring dipakai untuk membuat
diagnosis pertusis pada media khusus Bordet-gengou. Biakan positif dari
stadium kataral 95%-100%, stadium paroksismal 94% pada minggu ke-3 dan
menurun sampai 20% untuk waktu berikutnya.
Dengan metode PCR yang lebih sensitif dibanding pemeriksaan
kultur untuk mendeteksi B. perthussis, terutama setelah 3-4 minggu setelah
batuk dan sudah diberikan pengobatan antibiotik. PCR saat ini merupakan
pilihan yang paling tepat karena nilai sensitifitasnya tinggi. Tes serologi
berguna untuk stadium lanjut penyakit dan untuk menentukan adanya infeksi
pada individu dengan biakan. Cara ELISA dapat dipakai untuk menentukan
IgM, IgG, dan IgA serum terhadap FHA dan PT. Nilai IgM serum FHA dan
PT menggambarkan sistem imun primer baik disebabkan penyakit atau
vaksinasi. IgG toksin pertusis merupakan tes yang paling sensitif dan spesifik
untuk mengetahui infeksi alami dan tidak tampak setelah imunisasi pertusis.

9
b. Pemeriksaan Foto Thorax
Pemeriksaan lainnya yaitu foto thorax dapat memperlihatkan infiltrat
perihiler, atelektasis, atau emphisema.

2.7. Penatalaksanaan

Kasus ringan pada anak-anak umur ≥ 6 bulan dilakukan secara rawat


jalan dengan perawatan panjang. Umur < 6 bulan dirawat dirumah sakit.
Demikian juga pada anak dengan pneumonia, kejang, dehidrasi, gizi buruk, henti
nafas lama, atau kebiruan setelah batuk.

Dalam waktu 3-4 minggu setelah timbul onset gejala, 80-90% pasien
akan secara spontan terbebas dari B. pertussis pada daerah nasofaring. Ketika
pertusis dikenali lebih dini dan pemberian antibiotik dilakukan pada stadium
awal, penyakit ini akan tereliminasi sempurna. Untuk membatasi penyebaran
infeksi, terutama pada bayi, antibiotik direkomendasikan meskipun secara
alamiah, pasien jarang akan terkena infeksi.

Golongan makrolida adalah antibiotik pilihan utama untuk pengobatan


pertusis. Terdapat sangat sedikit publikasi yang menunjukkan resistensi terhadap
golongan makrolida sehingga tes sensitivitas tidak perlu dilakukan dalam hal ini.
Eritromisin, azitromisin, dan claritromisin digunakan sebagai antibiotik lini
pertama menurut American Academy of Pediatrics.
Oksigen :

a. Beri oksigen pada anak bila pernah terjadi sianosis atau berhenti napas
atau batuk paroksismal berat.
b. Gunakan nasal prongs, jangan kateter nasofaringeal atau kateter nasal,
karena akan memicu batuk. Selalu upayakan agar lubang hidung bersih
dari mukus agar tidak menghambat aliran oksigen.

10
c. Terapi oksigen dilanjutkan sampai gejala yang disebutkan di atas tidak
ada lagi.
d. Perawat memeriksa sedikitnya setiap 3 jam, bahwa nasal prongs berada
pada posisi yang benar dan tidak tertutup oleh mukus dan bahwa semua
sambungan aman.

Tatalaksana jalan napas :

a. Selama batuk paroksismal, letakkan anak dengan posisi kepala lebih


rendah dalam posisi telungkup, atau miring, untuk mencegah aspirasi
muntahan dan membantu pengeluaran sekret.
b. Bila anak mengalami episode sianotik, isap lendir dari hidung dam
tenggorokan dengan lembut dan hati-hati.
c. Bila apnu, segera bersihkan jalan napas, beri bantuan pernapasan manual
atau dengan pompa ventilasi dan berikan oksigen.

Perawatan penunjang :

a. Hindarkan sejauh mungkin segala tindakan yang dapat merangsang


terjadinya batuk, seperti pemakaian alat isap lendir, pemeriksaan
tenggorokan dan penggunaan NGT.
b. Jangan memberi penekan batuk, obat sedatif, mukolitik atau antihistamin.
c. Obat antitusif dapat diberikan bila batuk amat sangat mengganggu.
d. Jika anak demam (≥ 39º C) yang dianggap dapat menyebabkan distres,
berikan parasetamol.
e. Beri ASI atau cairan per oral. Jika anak tidak bisa minum, pasang pipa
nasogastrik dan berikan makanan cair porsi kecil tetapi sering untuk
memenuhi kebutuhan harian anak. Jika terdapat distres pernapasan,
berikan cairan rumatan IV untuk menghindari risiko terjadinya aspirasi
dan mengurangi rangsang batuk. Berikan nutrisi yang adekuat dengan

11
pemberian makanan porsi kecil dan sering. Jika penurunan berat badan
terus terjadi, beri makanan melalui NGT.

2.8. Komplikasi
a. Pneumonia
Merupakan komplikasi tersering dari pertusis yang disebabkan oleh
infeksi sekunder bakteri atau akibat aspirasi muntahan.
b. Kejang
Hal ini bisa disebabkan oleh anoksia sehubungan dengan serangan
apnu atau sianotik, atau ensefalopati akibat pelepasan toksin.
c. Gizi kurang
Anak dengan pertusis dapat mengalami gizi kurang yang disebabkan
oleh berkurangnya asupan makanan dan sering muntah.
d. Perdarahan
Perdarahan subkonjungtiva dan epistaksis sering terjadi pada pertusis.
Tidak ada terapi khusus.
e. Hernia
Hernia umbilikalis atau inguinalis dapat terjadi akibat batuk yang kuat.
Tidak perlu dilakukan tindakan khusus kecuali terjadi obstruksi saluran
pencernaan, tetapi rujuk anak untuk evaluasi bedah setelah fase akut.

2.8. Prognosis

Angka kematian karena pertussis telah menurun menjadi 10/1000


kasus.Rasio kasus kematian bayi < 2 bulan adalah 1,8 % selama tahun 2000-
2004 di USA. Persentase rawat inap pada dewasa sebesar 3 % (12% dewasa tua).
Tingkat berkembangnya menjadi pneumonia hingga 5 % dan mengalami patah
tulang rusuk sampai 4%. Kebanyakan kematian disebabkan oleh ensefalopati dan
pneumonia atau komplikasi paru-paru lain.

12
BAB III

KESIMPULAN

Pertusis merupakan salah satu penyakit menular yang menyerang saluran


pernapasan bagian atas, yang disebabkan oleh Bordetella pertussis. Penyakit ini di

13
tandai dengan batuk yang spasmodik dan paroksimal disertai nada yang meninggi,
pada akhir batuk sering di sertai bunyi yang khas (whoop), sehingga penyakit ini
disebut whooping cough.

Pertusis sering menyerang bayi dan anak-anak kurang dari 5 tahun, terutama
yang belum diimunisasi lebih rentan, demikian juga dengan anak lebih dari 12 tahun
dan orang dewasa. Stadium penyakit pertusis meliputi 3 stadium yaitu kataral,
paroxismal, dan konvalesen.

Diagnosa pertusis dengan gejala klinis memuncak pada stadium paroksismal,


riwayat kontak dengan penderita pertusis, kultur apus nasofaring, ELISA, foto thorax.
Terapi yang dapat diberikan antibiotik eritromisin 40-50mg/kgBB/hari dibagi 4 dosis
selama 14 hari, dan suportif.

Prognosis baik setelah dilakukan pemberian imunisasi. Kematian biasanya


terjadi karena ensefalopati dan pneumonia atau komplikasi penyakit paru yang
lainnya.

BAB IV

DAFTAR PUSTAKA

1. Dicky Nofriansyah Dkk. Pertusis. Fakultas Kedokteran Airlangga. 2020

14
2. Arifin IF, Prasasti CI. Faktor yang Berhubungan dengan Kasus Difteri Anak
di Puskesmas Bangkalan Tahun 2016. Jurnal Berkala Epidemiologi. 2017
3. Jeffrey A, et al. (2014). Bordetella pertussis pathogenesis: current and future
challenges. Nat Rev Microbiol; 12(4): 274–288
4. Putu Aryuda Bagus. Pertusis. Fakultas Kedokteran Universitas Malahayati.
2013.
5. Pittet et al. (2014). Diagnosis of Whooping Cough in Switzerland:
Differentiating Bordetella pertussis from Bordetella holmesii by Polymerase
Chain Reaction. Plos one; 9: 2
6. Kementerian Kesehatan RI. Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Difteri.
In: Direktorat Surveilans dan Karantina Kesehatan dan Direktorat Pencegahan
dan Pengendalian Penyakit, editor. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI. 2017.
7. Nataprawira HM dan Phangkawira E (2015). A Retrospective Study of Acute
Pertussis in Hasan Sadikin Hospital-Indonesia. Journal of Acute Disease
(2015)147-151.
8. Melvin et al. (2014). Bordetella pertussis pathogenesis: current and future
challenges. Nat Rev Microbiol; 12(4): 274–288.
9. Cherry JD (2015). The present and future control of pertussis. Clinical
Infectious Disease, 51 (6): 663-667.
10. Hewlett EL et al (2014). Pertussis Pathogenesis—What We Know and What
We Don’t Know. The Journal of Infectious Diseases 2014;209:982–5

15

Anda mungkin juga menyukai