Anda di halaman 1dari 16

LAPORAN PENDAHULUAN

“DENGUE HAEMORRHAGIC FEVER (DHF)”


DI RUANG HCU RSSA MALANG
Disusun untuk memenuhi Tugas Kepaniteraan klinik Departemen Pediatrik

Disusun Oleh :

I Wayan Gede Saraswasta

140070300011111

PSIK A Kelompok 1

PROGRAM PROFESI NERS


JURUSAN ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA

Malang
2016
Laporan Pendahuluan DHF
1. Definisi
Dengue Haemorrhagic Fever (DHF) adalah penyakit yang disebabkan oleh
virus dengue, sejenis virus yang tergolong arbovirus dan masuk ke dalam tubuh
penderita melalui gigitan nyamuk Aedes aegypty (betina). (Effendy, 2005 ).
Dengue Haemorrhagic Fever (DHF) adalah penyakit yang terdapat pada
anak dewasa dengan gejala utama demam, nyeri otot dan sendi yang biasanya
memburuk setelah dua hari pertama. Uji tourniquet akan positif disertai ruam, tanpa
ruam dan beberapa atau semua gejala perdarahan. (Hendarwanto, 2009)
Dengue Haemorrhagic Fever (DHF) adalah penyakit menular yang
disebabkan oleh virus dengue yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti
(betina). Penyakit ini dapat menyerang semua orang dan dapat mengakibatkan
kematian terutama pada anak , serta sering menimbulkan kejadian luar biaa atau
wabah. ( Suroso Thomas, 2012 )

2. Klasifikasi
Sesuai dengan patokan dari WHO (2005) bahwa penderita DHF dalam
perjalanan penyakit terdapat derajat I dan IV. (Sumarmo, 2013) antara lain :
1). Derajat I (Ringan)
Demam mendadak 2 sampai 7 hari disertai gejala klinik lain, dengan
manifestasi perdarahan ringan. Yaitu uji tes “rumple leed’’ yang positif.
2). Derajat II (Sedang )
Golongan ini lebih berat daripada derajat pertama, oleh karena ditemukan
perdarahan spontan di kulit dan manifestasi perdarahan lain yaitu epitaksis
(mimisan), perdarahan gusi, hematemesis dan melen (muntah darah). Gangguan
aliran darah perifer ringan yaitu kulit yang teraba dingin dan lembab.
3). Derajat III ( Berat )
Penderita syok berat dengan gejala klinik ditemukannya kegagalan sirkulasi,
yaitu nadi cepat dan lembut, tekanan nadi menurun (< 20 mmHg) atau hipotensi
disertai kulit yang dingin, lembab, dan penderita menjadi gelisah.
4). Derajat IV
Penderita syok berat (profound shock) dengan tensi yang tidak dapat diukur
dan nadi yang tidak dapat diraba.

3. Etiologi
Virus dengue serotipe 1,2,3 dan 4 yang di tularkan melalui vektor nyamuk
Aedes Aegypti. Nyamuk Aedes Albopictus, Aedes Polynesiensis, dan beberapa
spesies lain merupakan vektor yang kurang berperan. Infeksi dengan salah satu
serotipe akan menimbulkan antibodi seumur hidup terhadap serotipe bersangkutan
tetapi tidak ada prlindungan terhadap serotipe lain. (capita selekta 2:419)
Demam berdarah Dengue di sebabkan oleh virus dengue yang termasuk
dalam genus Flavivirus merupakan virus dengan diameter 30 nm terdiri dari  asam
ribonukleat rantai tunggal. (Ilmu penyakit dalam vol 3 hal 1709).

4. Epidemiologi
Demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit infeksi yang disebabkan
oleh virus dengue dan mengakibatkan spectrum manifestasi klinis yang bervariasi
antara yang paling ringan, demam dengue (DD), DBD dan demam dengue yang
disertai renjatan atau dengue shock syndrome (DSS); ditularkan nyamuk Aedes
aegypti dan Ae.albopictus yang terinfeksi. Host alami DBD adalah manusia,
agentnya adalah virus
dengue yang termasuk ke dalam family Flaviridae dan genus Flavivirus, terdiri dari 4
serotipe yaitu Den-1, Den-2, Den3 dan Den-4. Dalam 50 tahun terakhir, kasus DBD
meningkat 30 kali lipat dengan peningkatan ekspansi geografis ke negara-negara
baru dan, dalam dekade ini, dari kota ke lokasi pedesaan. Penderitanya banyak
ditemukan di sebagian besar wilayah tropis dan subtropis, terutama Asia Tenggara,
Amerika Tengah, Amerika dan Karibia.
Virus dengue dilaporkan telah menjangkiti lebih dari 100 negara, terutama di
daerah perkotaan yang berpenduduk padat dan pemukiman di Brazil dan bagian lain
Amerika Selatan, Karibia, Asia Tenggara, dan India. Jumlah orang yang terinfeksi
diperkirakan sekitar 50 sampai 100 juta orang, setengahnya dirawat di rumah sakit
dan mengakibatkan 22.000 kematian setiap tahun; diperkirakan 2,5 miliar orang atau
hampir 40 persen populasi dunia, tinggal di daerah endemis DBD yang
memungkinkan terinfeksi virus dengue melalui gigitan nyamuk setempat.
Jumlah kasus DBD tidak pernah menurun di beberapa daerah tropik dan
subtropik bahkan cenderung terus meningkat dan banyak menimbulkan kematian
pada anak8 90% di antaranya menyerang anak di bawah 15 tahun. Di Indonesia,
setiap tahunnya selalu terjadi KLB di beberapa provinsi, yang terbesar terjadi tahun
1998 dan 2004 dengan jumlah penderita 79.480 orang dengan kematian sebanyak
800 orang lebih.14 Pada tahun-tahun berikutnya jumlah kasus terus naik tapi jumlah
kematian turun secara bermakna dibandingkan tahun 2004. Misalnya jumlah kasus
tahun 2008 sebanyak 137.469 orang dengan kematian 1.187 orang atau case fatality
rate (CFR) 0,86% serta kasus tahun 2009 sebanyak 154.855 orang dengan kematian
1.384 orang atau CFR 0,89%.
5. Patofisiologis (terlampir)
6. Manifestasi klinis
Seperti pada infeksi virus yang lain, maka infeksi virus Dengue juga merupakan
suatu self limiting infectious disease yang akan berakhir sekitar 2-7 hari. Infeksi virus
Dengue pada manusia mengakibatkan suatu spektrum manifestasi klinis yang
bervariasi antara penyakit yang paling ringan, dengue fever, dengue hemmorrhagic
fever dan dengue shock syndrom. (Depkes,2006)
a. Demam
Demam mendadak disertai dengan gejala klinis yang tidak spesifik seperti
anoreksia, lemah, nyeri pada punggung, tulang sendi dan kepala. Pada umumnya
gejala klinik ini tidak mengkhawatirkan. Demam berlangsung antara 2-7 hari
kemudian turun secara lysis.
b. Perdarahan
Umumnya muncul pada hari kedua sampai ketiga demam bentuk perdarahan
dapat berupa uji rumple leed positif, petechiae, purpura, echimosis, epistasis,
perdarahan gusi dan yang paling parah adalah melena.
c. Hepatomegali
Hati pada umumnya dapat diraba pada pemulaan demam, kadangkadang juga di
temukannya nyeri, tetapi biasanya disertai ikterus.
d. Shock
Shock biasanya terjadi pada saat demam menurun yaitu hari ketiga dan ketujuh
sakit. Shock yang terjadi dalam periode demam biasanya mempunyai prognosa
buruk. Penderita DHF memperlihatkan kegagalan peredaran darah dimulai
dengan kulit yang terasa lembab dan dingin pada ujung hidung, jari dan kaki,
sianosis sekitar mulut dan akhirnya shock.
e. Trombositopenia
Trombositopenia adalah berkurangnya jumlah trombosit, apabila dibawah
150.000/mm3 biasanya di temukan di antara hari ketiga sampai ketujuh sakit.
f. Kenaikan Nilai Hematokrit
Meningkatnya nilai hematokrit merupakan indikator yang peka terhadap terjadinya
shock sehingga perlu di lakukan pemeriksaan secara periodik.
g. Gejala Klinik Lain
Gejala Klinik Lain yang dapat menyertai penderita adalah epigastrium, muntah-
muntah, diare dan kejang-kejang (Depkes ,2006)
Kriteria WHO, diagnosis DBD ditegakkan bila semua hal dibawah ini terpenuhi:
 Demam atau riwayat demam akut, antara 2-7 hari, biasanya bifasik/ pola
pelana.
 Terdapat minimal satu dari manifestasi perdarahan berikut
a. Uji bendung positif
b. Petekie, ekimosis atau purpura
c. Perdarahan mukosa atau perdarahan dari tempat lain
d. Hematemesis atau melena
e. Trombositopenia (jumlah trombosit <100.000/ul)
f. Terdapat minimal satu tanda-tanda kebocoran plasma sebagai berikut:
g. Peningkatan hematokrit >20% dibandingkan standard sesuai dengan
umur dan jenis kelamin
h. Penurunan hematokrit >20% setelah mendapat terapi cairan,
dibandingkan dengan nilai hematokrit sebelumnya.
i. Tanda kebocoran plasma seperti efusi pleura, asistes atau
hipoproteinemia.

7. Pemeriksaan Diagnostik
Setiap penderita dilakukan pemeriksaan laboratorium yaitu pemeriksaan
darah lengkap, sangatlah penting karena pemeriksaan ini berfungsi untuk mengikuti
perkembangan dan diagnosa penyakit.
Darah adalah jaringan cair yang terdiri atas dua bagian. Bagian cairan
disebut plasma dan bagian padat disebut sel darah. Volume dari darah secara
keseluruhan sekitar 5 liter, yaitu 55 % cairan dan 45 % sisanya terdiri dari sel darah
yang dipadatkan yang berkisar 40-47 % (Evelyn Pearce,2010)
Sel darah meliputi sel darah merah (eritrosit), sel darah putih (lekosit) dan
trombosit. Eritrosit bentukya seperti cakram kecil bikonkaf, cekung pada sisinya.
Jumlah eritrosit pada darah normalnya 5.000.000/μl. Lekosit terdiri dari dua yaitu non
granulosit dan granulosit. Sel granulosit terdiri dari neutrofil, eosinofil, basofil. Sel non
granulosit terdiri dari limfosit dan monosit. Sel lekosit merupakan sel yang peka
terhadap masuknya agen asing dalam tubuh dan berfungsi sebagai sistim
pertahanan tubuh. Jumlah normal dalam darah 8.000 μl. Sel ini diproduksi di
sumsum tulang belakang.
Trombosit ukurannya sepertiga ukuran sel darah merah. Jumlahnya sekitar
300.000/μl. Perannya penting dalam penggumpalan darah
(A.V.Hoffbrand,J.e.Pettit,2011).
Adapun pemeriksaan yang dilakukan antara lain :
a. Pemeriksaan uji Tourniquet/Rumple leed
Percobaan ini bermaksud menguji ketahanan kapiler darah pada penderita DHF.
Uji rumpel leed merupakan salah satu pemeriksaan penyaring untuk mendeteksi
kelainan sistem vaskuler dan trombosit. Dinyatakan positif jika terdapat lebih dari
10 ptechiae dalam diameter 2,8 cm di lengan bawah bagian depan termasuk
lipatan siku (Depkes,2006).
Prinsip : Bila dinding kapiler rusak maka dengan pembendungan akan tampak
sebagai bercak merah kecil pada permukaan kulit yang di sebut Ptechiae
(R.Ganda Soebrata,2004).
b. Pemeriksaan Hemoglobin
Kasus DHF terjadi peningkatan kadar hemoglobin dikarenakan terjadi
kebocoran /perembesan pembuluh darah sehingga cairan plasmanya akan keluar
dan menyebabkan terjadinya hemokonsentrasi. Kenaikan kadar hemoglobin >14
gr/100 ml. Pemeriksaan kadar hemaglobin dapat dilakukan dengan metode sahli
dan fotoelektrik (cianmeth hemoglobin), metode yang dilakukan adalah metode
fotoelektrik.
Prinsip : Metode fotoelektrik (cianmeth hemoglobin) Hemoglobin darah diubah
menjadi cianmeth hemoglobin dalam larutan yang berisi kalium ferrisianida dan
kalium sianida. Absorbansi larutan diukur pada panjang gelombang 540 nm/filter
hijau (R.Ganda Soebrata,2004).
c. Pemeriksaan Hematokrit
Peningkatan nilai hematokrit menggambarkan terjadinya hemokonsentrasi, yang
merupakan indikator terjadinya perembesan plasma. Nilai peningkatan ini lebih
dari 20%. Pemeriksaan kadar hematokrit dapat dilakukan dengan metode makro
dan mikro.
Prinsip : Mikrometode yaitu menghitung volume semua eritrosit dalam 100 ml
darah dan disebut dengan % dari volume darah itu (R.Ganda Soebrata,2004).
d. Pemeriksaan Trombosit
Pemeriksaan jumlah trombosit ini dilakukan pertama kali pada saat pasien
didiagnosa sebagai pasien DHF, Pemeriksaan trombosit perlu di lakukan
pengulangan sampai terbukti bahwa jumlah trombosit tersebut normal atau
menurun. Penurunan jumlah trombosit < 100.000 /μl atau kurang dari 1-2
trombosit/ lapang pandang dengan rata-rata pemeriksaan 10 lapang pandang
pada pemeriksaan hapusan darah tepi.
Prinsip : Darah diencerkan dengan larutan isotonis (larutan yang melisiskan
semua sel kecuali sel trombosit) dimaksudkan dalam bilik hitung dan dihitung
dengan menggunakan faktor konversi jumlah trombosit per μ/l darah (R.Ganda
Soebrata,2004).
e. Pemeriksaan Lekosit
Kasus DHF ditemukan jumlah bervariasi mulai dari lekositosis ringan sampai
lekopenia ringan.
Prinsip : Darah diencerkan dengan larutan isotonis (larutan yang melisiskan
semua sel kecuali sel lekosit) dimasukkan bilik hitung dengan menggunakan
faktor konversi jumlah lekosit per μ/l darah (R.Ganda Soebrata,2004).
f. Pemeriksaan Bleding time (BT)
Pasien DHF pada masa berdarah, masa perdarahan lebih memanjang menutup
kebocoran dinding pembuluh darah tersebut, sehingga jumlah trombosit dalam
darah berkurang. Berkurangnya jumlah trombosit dalam darah akan
menyebabkan terjadinya gangguan hemostatis sehingga waktu perdarahan dan
pembekuan menjadi memanjang.
Prinsip : Waktu perdarahan adalah waktu dimana terjadinya perdarahan setelah
dilakukan penusukan pada kulit cuping telinga dan berhentinya perdarahan
tersebut secara spontan. (R.Ganda Soebrata,2004).
g. Pemeriksaan Clothing time (CT).
Pemeriksaan ini juga memanjang dikarenakan terjadinya gangguan hemostatis.
Prinsip : Sejumlah darah tertentu segera setelah diambil diukur waktunya mulai
dari keluarnya darah sampai membeku. (R.Ganda Soebrata,2004).
h. Pemeriksaan Limfosit Plasma Biru (LPB)
Pada pemeriksaan darah hapus ditemukan limfosit atipik atau limfosit plasma biru
≥ 4 % dengan berbagai macam bentuk : monositoid,plasmositoid dan blastoid.
Terdapat limfosit Monositoid mempunyai hubungan dengan DHF derajat penyakit
II dan IgG positif, dan limfosit non monositoid (plasmositoid dan blastoid) dengan
derajat penyakit I dan IgM positif. (E.N Kosasih,1984).
Prinsip: Menghitung jumlah limfosit plasma biru dalam 100 sel jenis-jenis lekosit.
i. Pemeriksaan Imunoessei dot-blot
Hasil positif IgG menandakan adanya infeksi sekunder dengue, dan IgM positif
menandakan infeksi primer. Tes ini mempunyai kelemahan karena sensitifitas
pada infeksi sekunder lebih tinggi, tetapi pada infeksi primer lebih rendah, dan
harganya relatif lebih mahal.
Prinsip : Antibodi dengue baik IgM atau IgG dalam serum akan diikat oleh anti-
human IgM dan IgG yang dilapiskan pada dua garis silang di strip nitrosellulosa
(Suroso dan Torry Chrishantoro,2004).

8. Penatalaksanaan Medis
Langkah penanganan pasien DHF meliputi pengkajian yang menyeluruh,
penetapan diagnosis, dan manajemen penanganan DHF secara tepat (World Health
Organization, 2009). Manajemen penanganan pasien DHF terdiri dari perawatan di
rumah, dirawat di rumah sakit, atau memerlukan perawatan yang lebih intensif dan
memerlukan rujukan. Perawatan pasien di rumah apabila pasien masih mampu
menkonsumsi cairan secara oral, pengeluaran urin tiap 6 jam, dan tidak ada tanda dan
gejala yang harus diwaspadai. Selama perawatan di rumah dilakukan monitoring setiap
hari oleh tenaga kesehatan meliputi suhu tubuh, intake dan output cairan, pengeluaran
urin, tanda dan gejala yang harus diwaspadai, tanda kebocoran plasma dan perdarahan,
hematokrit, lekosit, dan trombosit (Departemen Kesehatan RI, 2005).
Perawatan pasien selama di rumah sakit meliputi pengkajian tanda dan gejala yang
harus diwaspadai dan pengobatan yang dilakukan antara lain pemberian cairan infus
sesuai kebutuhan, mengobservasi status klinis dan pemeriksaaan laboratorim darah
secara berkala terutama hematokrit, leukosit, dan trombosit. Sampai saat ini belum ada
obat maupun vaksin untuk DBD. Prinsip dasar pengobatan adalah penggantian cairan
tubuh yang hilang karena kebocoran plasma (Depkes RI, 2005).
Pengobatan bersifat simptomatik dan suportif. Penderita dianjurkan beristirahat
saat sedang demam. Pengobatan ditujukan untuk mencegah penderita DBd masuk ke
fase syok. Pertolongan pertama yang dilakukan adalah memberi minum penderita
sebanyak mungkin, memberi obat penurun panas golongan parasetamol, kompres
dengan air hangat. Apabila penderita tidak dapat minum atau mntah-muntah maka
pasang infus cairan ringer laktat atau NaCl dan segera rujuk ke rumah sakit (Departemen
Kesehatan RI, 2005).
Alur Penanganan Pasien Dengan Demam Berdarah Dengue
9. Komplikasi
Dengue Syok Syndrome (DSS) merupakan kegagalan peredarah darah pada pasien
DBD karena kehilangan plasma dalam darah akibat peningkatan permeabilitas kapiler
darah. Syok terjadi apabila darah sudah semakin mengental karena plasma darah
merembes keluar dari pembuluh darah (Nadesul, 2007). DSS dapat terjadi pada DBD
derajat III dan derajat IV. Pasien DBD derajat III mengalami syok, yaitu nadi cepat dan
lemah, tekanan darah menurun, pasien gelisah, sianosis di sekitar mulut, kulit teraba
dingin dan lembab terutama pada ujung hidung, jari tangan, dan kaki (Departemen
Kesehatan RI, 2005). Pada pasien DBD derajat IV pasien mnaglami syok dengan
tanda yaitu penurunan tingkat kesadaran, denyut nadi tidak teraba, dan tekana darah
tidak terukur (Anggraeni, 2010).
10. Pencegahan
a. Pencegahan dengan 3M
Pencegahan demam berdarah atau DHF dapat dilakukan dengan cara 3 M, yaitu :
 Menguras dan menyikat bak mandi / penampungan air sekurang-kurangnya
1 minggu sekali agar nyamuk demam berdarah yang menempel akan lepas.
 Menutup tempat penampungan air dengan rapi dan rapat setelah
mengambil / mengisi air akan mencegah nyamuk demam berdarah masuk
untuk bertelur dan berkembang biak.
 Mengubur barang-barang bekas, seperti ban, aki, botol, kaleng, plastik yang
dapat digenangi air, jangan sampai terisi air hujan.
b. Pemberantasan Vektor
Perlindungan Perseorangan :
Memberikan anjuran untuk mencegah gigitan nyamuk Aedes Aegypti yaitu
meniadakan sarang nyamuknya di dalam rumah, yaitu dengan melakukan
penyemprotan dengan obat anti serangga yang dapat dibeli di toko-toko seperti :
baygon, raid dan lain-lain.
1. Pemberantasan vektor Jangka Panjang (pencegahan)
a. Satu cara pokok untuk pemberantasan vektor jangka panjang ialah usaha
peniadaan sarang nyamuk.
b. Vas bunga dikosongkan setiap minggu.
c. Menguras kamar mandi seminggu seklai, yaitu dengan menggosok dinding
bagian dalam dari bak mani tersebut.
d. Tempat-tempat persediaan air agar dikosongkan lebih dahulu sebelum
diisi kembali, maksudnya agar larva-larva dapat disingkirkan.
2. Dalam usaha jangka panjang untuk daerah dengan vektor tinggi dan riwayat
wabah DHF, maka kegiatan Puskesmas lebih lanjut yaitu:
a. Abatesasi untuk membunuh larva dan nyamuk, menggunakannya yaitu
dengan cara ditaburkan di dalam bak mandi.
b. Fogging dengan Malathion atau Fonitrothion, yaitu dengan cara
disemprotkan ke rumah-rumah penduduk dan di sekitar rumah.
3. Pemberantasan vektor dalam keadaan wabah :
Kegiatan Puskesmas adalah membantu :
-          Tim Propinsi / Diti II untuk survai larva dan nyamuk.
-          Membantu penyiapan rumah penduduk untuk difogging.

Adanya vektor berhubungan dengan beberapa faktor, yaitu :


a.       Kebiasaan masyarakat menampung air bersih.
b.      Sanitasi lingkungan yang jelek.
c.       Penyediaan air bersih yang berguna.

11. Asuhan Keperawatan


1. Pengkajian
a) Pola persepsi kesehatan dan pemeliharaan kesehatan
 Riwayat demam dengue, dengan minum penurun panas dan istirahat
demam tidak dirasakan lagi
 Lingkungan rumah yang berdempet, banyak air tergenang,
pembuangan barang-barang bekas dan kaleng-kaleng bekas
sembarangan
 Riwayat demam kembali dengan tanda-tanda perdarahan (tanda-
tanda perdarahan yang khas dari demam berdarah dengue)
b) Pola nutrisi metabolic
– Intake menurun karena mual dan muntah
– Adakah penurunan BB?
– Adakah kesulitan menelan?
– Demam tinggi yang tiba-tiba sampai kadang menggigil selama 2-7 hari
c) Pola eliminasi
– Konstipasi
– Diare
– Tinja berwarna hitam pada perdarahan hebat
– Produksi urine menurun (kurang dari 1cc/KgBb/jam) pada syok
d) Pola aktivitas dan latihan
– Badan lemah, nyeri otot dan sendi
– Tidak bisa beraktivitas, pegal-pegal seluruh badan
e) Pola istirahat dan tidur
– Istirahat dan tidur terganggu karena demam, nyeri kepala, nyeri otot
dan sendi, gelisah
f) Pola persepsi kognitif
– Apakah yang diketahui klien dan keluarga tentang penyakitnya?
– Apakah yang diharapkan klien/keluarga terhadap sakitnya
g) Pola persepsi dan konsep diri
– Apakah klien merasa puas terhadap keadaan dirinya?
– Adakah perasaan malu terhadap penyakitnya?
h) Pola mekanisme koping dan toleransi terhadap stress
– Adanya perasaan cemas, takut terhadap penyakitnya
– Ingin ditemani orang tua atau orang terdekat saat sakit
i) Pola reproduksi seksual
– Pada anak perempuan apakah ada perdarahan pervagina (bukan
menstruasi)?
j) Pola sistem kepercayaan
– Menyerahkan penyakitnya kepada Tuhan / pasrah
– Menyalahkan Tuhan kaerna penyakitnya
– Memanggil pemuka agama untuk mendoakan
2. Diagnosa Keperawatan
a. Hipertermi yang berhubungan dengan proses infeksi virus dengue
b. Risiko tinggi kekurangan volume cairan vascular yang berhubungan dengan
pindahnya cairan dari ruang intravascular ke ruang ekstravaskular
c. Risiko tinggi syok hipovolemik yang berhubungan dengan perdarahan
d. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan dengan
intake nutrisi yang tidak adekuat
e. Intoleransi aktivitas yang berhubungan dengan kelemahan fisik

3. Rencana Keperawatan
a. Hipertermi yang berhubungan dengan proses infeksi virus dengue
Tujuan : hipertermi dapat teratasi setelah dilakukan tindakan keperawatan
Sasaran :
1) Suhu tubuh normal (36-370 C)
2) Pasien mengatakan tidak panas lagi
Rencana tindakan :
1) Observasi TTV : suhu, nadi, tekanan darah, pernapasan
2) Berikan penjelasan tentang penyebab demam atau peningkatan suhu tubuh
3) Beri kompres hangat di daerah ketiak dan dahi
4) Anjurkan klien banyak minum ± 1-2 liter / hari
5) Anjurkan klien untuk istirahat di tempat tidur / tirah baring
6) Anjurkan untuk menggunakan pakaian yang tipis dan menyerap keringat
7) Monitor dan catat intake dan output dan berikan cairan intravena sesuai program
medic
8) Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian obat antipiretik
b. Risiko tinggi kekurangan volume cairan vascular yang berhubungan dengan pindahnya
cairan dari ruang intravascular ke ruang ekstravaskular
Tujuan : kekurangan volume cairan tidak terjadi setelah dilakukan tindakan keperawatan
Sasaran :
1) Klien tidak mengalami kekurangan volume cairan vaskuler yang ditandai dengan TTV
stabil dalam batas normal
2) Produksi urine 1 cc/KgBb/jam
3) Tidak ada tanda-tanda dehidrasi
Rencana tindakan :
1) Observasi TTV : suhu, nadi, tekanan darah, pernapasan
2) Kaji tanda dan gejala kurang volume cairan (selaput mukosa kering, rasa haus dan
produksi urine menurun)
3) Monitor dan catat cairan yang masuk dan keluar
4) Beri minum yang cukup dan sesuaikan dengan jumlah cairan infuse
5) Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian cairan intravena
6) Kolaborasi dengan petugas laboratorium dalam pemeriksaan trombosit, hematokrit
dan hemoglobin
c. Risiko syok hipovolemik yang berhubungan dengan perdarahan
Tujuan : syok hipovolemik tidak terjadi setelah dilakukan tindakan keperawatan
Sasaran :
1) TTV stabil dalam batas normal
2) Hematokrit dalam batas normal ( L : 40-52 %, P : 35-47 % )
3) Hemoglobin dalam batas normal ( L : 11,5-16,5 g/dL, P : 13-17,5 g/dL )
4) Trombosit dalam batas normal (150.000-400.000 /mm3 )
5) Tidak terjadi tanda-tanda syok
Rencana tindakan :
1) Observasi TTV : suhu, nadi, tekanan darah, pernapasan
2) Monitor tanda-tanda perdarahan
3) Observasi perkembangan bintik-bintik merah di kulit, keringat dingin, kulit lembab dan
dingin serta tanda-tanda sianosis
4) Bila terjadi syok hipovolemik, baringkan pasien dalam posisi datar
5) Segera puasakan pasien bila terjadi perdarahan saluran pencernaan
6) Anjurkan pada pasien dan keluarga untuk segera melapor jika ada tanda-tanda
perdarahan
7) Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian tranfusi dan cairan parenteral
8) Kolaborasi dengan petugas laboratorium dalam pemeriksaan trombosit, hematokrit
dan hemoglobin
d. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan dengan intake nutrisi
yang tidak adekuat
Tujuan : kebutuhan nutrisi terpenuhi setelah dilakukan tindakan keperawatan
Sasaran :
1) Klien mengalami peningkatan selera makan dan mampu menghabiskan 1 porsi
makanan yang disediakan
2) Mual, muntah hilang
3) Berat badan dalam batas normal
Rencana tindakan :
1) Kaji keluhan mual, muntah dan anoreksia yang dialami pasien
2) Kaji pola makan pasien, catat porsi makan yang dihabiskan setiap hari
3) Timbang berat badan pasien setiap hari
4) Anjurkan kepada orang tua untuk memberikan makan dalam porsi kecil tetapi sering
5) Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian therapy antiemetik dan vitamin

e. Intoleransi aktivitas yang berhubungan dengan kelemahan fisik


Tujuan : pasien mampu untuk beraktivitas setelah dilakukan tindakan keperawatan
Sasaran :
1) Klien dapat melakukan aktivitas sesuai dengan kemampuannya
2) Klien dapat mandiri untuk mandi, makan, eliminasi dan berpakaian
Rencana tindakan :
1) Kaji tingkat kemampuan pasien dalam beraktivitas
2) Libatkan keluarga/orang tua dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari pasien
3) Anjurkan mobilisasi secara bertahap sesudah demam hilang sesuai dengan pulihnya
kekuatan pasien
4) Bantu pasien dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari jika pasien belum mampu
sendiri
4. Evaluasi
 Suhu tubuh normal (36-370 C).
 Kekurangan volume cairan vascular tidak terjadi dan pasien tidak mengalami
kekurangan volume cairan.
 Syok hipovolemik tidak terjadi, pasien tidak mengalami perdarahan yang
berlebihan seperti hematemesis, melena, perdarahan gusi, epistaksis dan
ptekiae.
 Kebutuhan nutrisi pasien terpenuhi
 Aktivitas dan latihan pasien dapat dilakukan secara mandiri
DAFTAR PUSTAKA

Abdoerrachman MH. 2010. Demam : Patogenesis dan Pengobatan. In: Soedarmo dkk (ed).
Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak, Infeksi dan Penyakit Tropis Edisi Pertama. Jakarta:
IDAI, pp: 27-51.
Buyton & Hall. 2007. Fisiologi Kedokteran. Edisi 9. Jakarta; EGC.
Kresno SB. 2008. Respons Imun terhadap Infeksi Virus. In: Imunologi – Diagnosis dan
Prosedur Laboratorium. Jakarta : FK UI, pp: 178-181.
Luheshi GN, Gardner JD, Rushforth DA, Luodon SA, Rothwell NJ. 2011. Leptin actions on
food intake and body temperature are mediated by IL-1. Neurobiology Journal, pp:
7047-52.
Nainggolan L, Chen K, Pohan HT, Suhendro. 2014. Demam Berdarah Dengue. In: In:
Sudoyo dkk (ed). Buku Ajar Ilmu Peyakit Dalam Jilid III Edisi IV. Jakarta: FKUI, pp:
1731-1736.
Noer, Syaifullah. (2013). Buku Ajar Ilmu penyakit dalam. Edisi II. Jakarta; EGC.
Soedarmo PS. 2012. Infeksi Virus Dengue. In: Soedarmo dkk (ed). Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Anak, Infeksi dan Penyakit Tropis Edisi Pertama. Jakarta: IDAI, pp: 176-
209.
Sylvia, A. (2005). Patofisiologi : Konsep klinis proses penyakit. Edisi 5. Jakarta; EGC.
Waspadji, Sarwono. (1998). Ilmu penyakit dalam. Edisi III. Jakarta; Balai penerbit FKUI.

Anda mungkin juga menyukai