Dosen Pembimbing
Yasnina, M.Kep, Ns, Sp, Kep.Kom
Proses menua (aging process) adalah akumulasi secara progresif dari berbagai
perubahan patofisiologi organ tubuh yang berlangsung seiring dengan berlalunya waktu
dan dapat meningkatkan resiko terserang penyakit degeneratif hingga kematian. Proses
menua berlangsung secara alamiah dalam tubuh yang berlangsung terus menerus dan
berkesinambungan, selanjutnya menyebabkan perubahan anatomis, fisiologis dan
biokemis pada jaringan tubuh yang akhirnya mempengaruhi kemampuan fisik secara
keseluruhan (Sudirman, 2011). Badan kesehatan dunia (WHO) menyebutkan bahwa 60
tahun adalah usia permulaan tua (Darmojo, 2006). Jumlah proporsi lansia bertambah
setiap tahunnya. Data WHO pada tahun 2009 menunjukkan lansia berjumlah 7,49% dari
total populasi, tahun 2011 menjadi 7,69% dan pada tahun 2013 didapatkan proporsi
lansia sebesar 8,1% dari total populasi (WHO, 2015).
Batasan umur menurut organisasi WHO ada 4 tahap lansia meliputi : usia
pertengahan (Middle age )= kelompok usia 45-59 tahun, usia lanjut (Elderly)= antara
60-74 tahun, usia lanjut tua (Old)= antara 75-90 tahun, dan usia sangat tua (Very
Old)=diatas 90 tahun. Di indonesia batasan mengenai lansia adalah 60 tahun ke atas,
terdapat dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1998 tentang kesejahtereraan lanjut
usia pada Bab 1 pasal 1 ayat 2 .Menurut undang-undang tersebut diatas lanjut adalah
seseorang yang mencapai usia 60 tahun ke atas, baik pria maupun wanita
(Kurhariyadi,2011).
Satu teori telah berkembang, baik genetik maupun lingkungan mempengaruhi
fenomena multifaset penuaan. Beberapa ahli teori penuaan membagi teori biologi- ories
menjadi dua kategori:
1. Perspektif stokastik atau statistik, yang mengidentifikasi peristiwa episodik itu
terjadi sepanjang hidup seseorang yang menyebabkannya kerusakan sel acak dan
menumpuk seiring waktu, sehingga menyebabkan penuaan
2. Teori-teori nonstochastic yang memandang penuaan sebagai rangkaian yang telah
ditentukan sebelumnya peristiwa yang terjadi pada semua organisme di a kerangka
waktu.
Penuaan lebih mungkin terjadi dari konsep terprogram dan stokastik (Miquel,
1998). Misalnya ada yang spesifik acara yang diprogram dalam kehidupan sel, tetapi
mereka juga mengakumulasi kerusakan genetik pada mitokondria karena radikal bebas
dan hilangnya replikasi diri seiring bertambahnya usia. Pembahasan berikut ini
menyajikan deskripsi dari perbedaan teori dalam teori stokastik dan nonstokastik
kategori dan juga menyediakan studi itu dukung berbagai penjelasan teoritis.
Dalam keperawatan teori Erikson banyak digunakan di ilmu perilaku., Erikson
model sering digunakan sebagai kerangka kerja untuk ujian- menghadapi tantangan
yang dihadapi oleh berbagai usia kelompok. Dalam penelitian terbaru tentang pria lanjut
usia yang lemah dan wanita, Neumann (2000) menggunakan Erikson kerangka teoritis
saat bertanya kepada peserta untuk membahas persepsi mereka tentang berarti dalam
hidup mereka. Dia merasa lebih tua orang dewasa yang mengekspresikan makna yang
lebih tinggi dan Energi menggambarkan rasa keterhubungan, harga diri, cinta, dan rasa
hormat yang tidak ada antara peserta yang merasa tidak puas. Ini temuan konsisten
dengan potensi positif atau hasil negatif yang dijelaskan oleh Erikson dan koleganya
(1986) dalam tahapnya "integritas versus keputusasaan. "
C. Klasifikasi Lansia
Klasifikasi berikut ini ada lima pada lansia:
1. Pralansia (prasenilis)
Seseorang yang berusia antara 45-59 tahun
2. Lansia
Seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih
3. Lansia beresiko tinggi
Seseorang yang berusia 70 tahun atau lebih/seseorang yang berusia 60 tahun
atau lebih dengan masalah kesehatan
4. Lansia potensial
Lansia yang masih mampu melakukan pekerjaan dan/kegiatan yang dapat
menghasilkan barang/jasa (Depkes Ri, 2003)
5. Lansia tidak potensial
Lansia yang tidak berdaya mencari nafkah, sehingga hidupnya bergantung pada
bantuan orang lain (Depkes RI, 2003)
E. Tipe lansia
Beberapa tipe lansia bergantung pada karakter, pengalaman hidup, lingkungan,
kondisi fisik, mental, dan sosial, ekonominya (Nugroho, 2000)
1. Tipe arif bijaksana
Lansia dengan sikap kaya dengan hikmah, menyesuaikan diri dengan
zaman, mempunyai kesibukka, bersikap ramah, dan rendah hati
2. Tipe mandiri
Lansia dengan sikap seperti mengganti kegiatan yang hilang dengan yang
baru, selektif dalam pekerjaan
3. Tipe tidak puas
Konflik lahir bathin menentang proses penuaan sehingga menjadi pemarah,
tidak sabar dan mudah tersinggung
4. Tipe pasrah
Menerima dan menunggu nasib baik, mengikuti kegiatan agama dan
melakukan pekerjaan apa saja
5. Tipe bingung
Kaget, kehilangan kepribadian, mengasingkan diri, menyesal dan juga acuh
tak acuh
2. Konsep Rematoid
A. Pengertian Rematik
Rematik adalah penyakit yang menyerang sendi dan tulang atau jaringan
penunjang sekitar sendi. Bagian tubuh yang diserang biasanya persendian pada jari,
lutut, pinggul dan tulang punggung (Purwoastuti, 2009). Penyakit ini menyebabkan
inflamasi, kekakuan, pembengkakan, dan rasa sakit pada sendi, otot, tendon, ligamen,
dan tulang (Misnadiarly, 2007). Istilah penyakit rematik tidak memiliki batas yang
jelas. Istilah ini mencakup lebih dari 100 kondisikondisi berbeda yang dilabelkan ke
dalam penyakit rematik termasuk osteoartritis, arthritis reumatoid, gout, sistemik lupus
eritematosus, skleroderma, dan lain-lain (Sangha, 2000).
Rematik adalah orang yang menderita rheumatism (encok), arthritis (radang
sendi) yang menyebabkan pembengkakan (Utomo2005). Penyakit rematik meliputi
cakupan dari penyakit yang dikarakteristikkan oleh kecenderungan untuk mengefek
tulang, sendi, dan jaringan lunak (Soumya,2011).
B. Anatomi Fisiologi
1. Sendi fibrosa atau sendi mati terjadi bila batas dua buah tulang bertemu
membentuk cekungan yang akurat dan hanya dipusahkan oleh lapisan tipis
jaringan fibrosa. Sendi seperti ini terdapat di antara tulang-tulang kranium.
2. Sendi kartilaginosa atau sendi yang bergerak sedikit (sendi tulang rawan). Sendi
tulang rawan terjadi bila dua permukaan tulang dilapisis tulang rawan hialin dan
dan dihubungkan oleh sebuah bantalan fibrokartilago dan igamen yang tidak
membentuk sebuah kapsul sempurna disekeliling sendi tersebut. Sendi tersebut
terletak diantara badan-badan vertebra dan diantara manubrium dan badan
sternum.
3. Sendi kartilaginosa atau sendi yang bergerak sedikit (sendi tulang rawan). Sendi
tulang rawan terjadi bila dua permukaan tulang dilapisis tulang rawan hialin dan
dan dihubungkan oleh sebuah bantalan fibrokartilago dan igamen yang tidak
membentuk sebuah kapsul sempurna disekeliling sendi tersebut. Sendi tersebut
terletak diantara badan-badan vertebra dan diantara manubrium dan badan
sternum.
4. Sendi sinovial atau sendi yang bergerak bebas terdiri dari dua atau lebih tulang
yang ujung-ujungnya dilapisi tulang rawan hialin sendi. Terdapat rogga sendi
yang mengandung cairan sinovial, yang memberi nutrisi pada tulang rawan
sendi yang tidak mengandung pembuluh darah keseluruhan sendi tersebut
dikelilingi kapsul fibrosa yang dilapisi membran sinovial. Membran sinovial ini
melapisi seluruh interior sendi, kecuali ujung-ujung tulang, meniskus, dan
diskus. Tulang-tulang sendi sinovial juga dihubungkan oleh sejumlah ligamen
dan sejumlah gerakan selalu bisa dihasilkan pada sendi sinovial meskipun
terbatas, misalnya gerak luncur (gliding) antara sendi-sendi metakarpal.
Adapun jenis-jenis sendi Sinovial :
a) Sendi pelana (hinge) memungkinkan gerakan hanya pada satu arah,
misalnya sendi siku.
b) Sendi pivot memungkinkan putaran (rotasi), misalnya antara radius dan ulna
pada daerah siku dan antara vertebrata servikal I dan II yang memungkinkan
gerakan memutar pada pergelakan tangan dan kepala.
c) Sendi kondilar merupakan dua pasangan permukaan sendi yang
memungkinkan gerakan hanya pada satu arah, tetapi permukaan sendi bisa
berada dalam satu kapsul atau dalam kapsul yang berbeda, misalnya sendi
lutut.
d) Sendi bola dan mangkuk (ball and socket) sendi ini dibentuk oleh sebuah
kepala hemisfer yang masuk ke dalam cekungan berbentuk mangkuk
misalnya sendi pinggul dan bahu.
Pergerakan sendi dibagi menjadi tiga macam yaitu :
a) Gerakan meluncur, seperti yang diimplikasikan namanya, tanpa gerakan
menyudut atau ,memutar.
b) Gerakan menyudut memnyebabkan peningkatan atau penurunan sudut
diantara tulang. Gerakan ini mencangkup fleksi ( membengkok), ekstensi
( lurus), abduksi ( menjauhi garis tengah) dan aduksi ( mendekati garis
tengah).
c) Gerakan memutar memungkinkan rotasi internal ( memutar suatu bagian
pada porosnya mendekati garis tengah) dan rotasi eksterna ( menjauhi garis
tengah). Sirkumduksi adalah gerakan ekstremitas yang membentuk suatu
lingkaran. Istilah supinasi dan pronasi merujuk pada gerakan memutar
telapak tangan keatas dan kebawah.
C. Klasifikasi Rematik
Ditinjau dari lokasi patologis maka jenis rematik tersebut dapat dibedakan dalam
dua kelompok besar yaitu: rematik artikular dan rematik non artikular. Rematik
Artikular atau Arthritis (radang sendi) merupakan gangguan rematik yang berlokasi
pada persendian, diantaranya meliputi Arthritis Rheumatoid, Osteoarthritis, Olimiagia
Reumatik, Artritis gout. Rematik non artikular arau ekstra artikular yaitu gangguan
rematik yang disebabkan oleh proses diluar persendian diantaranya Bursitis, Fibrositis,
Sciatica (Hembing,2006).
Rematik dapat dikelompokkan dalam beberapa golongan yaitu:
1) Osteoatritis
Penyakit ini merupakan kerusakan tulang rawan sendi yang berkembang
lambat dan berhubungan dengan usia lanjut. Secara klinis ditandai dengan nyeri,
deformitas, pembesaran sendi,dan hambatan gerak pada sendi-sendi tangan dan
sendi besar menananggung beban.
2) Artritis Rematoid
Arthritis rematoid adalah suatu penyakit inflamasi sistemik kronik dengan
manifestasi utama Poliartritis progresif dan melibatkan seluruh organ tubuh.
Terlibatnya sendi pada pasien Atritis Rematoid terjadi setelah penyakit ini
berkembang lebih lanjut sesuai dengan sifat progresifitasnya. Pasien dapat juga
menunjukkan gejala berupa kelemahan umum cepat lelah.
3) Olimialgia Reumatik
Penyakit ini merupakan suatu sindrom yang terdiri dari rasa nyeri dan
kekakuan yang terutama mengenai otot ekstremitas proksimal, leher, bahu, dan
panggul. Terutama mengenai usia pertengahan atau usia lanjut sekitar 50 tahun
keatas.
4) Artritis gout
Suatu sindrom klinik yang mempunyai gambaran khusus, Artritis akut.
Penyakit ini terjadi pada pria dan wanita pada usia pertengahan.
D. Etiologi Rematik
Penyebab rematik hingga saat ini masih belum terungkap, Namun beberapa resiko
untuk timbulnya rematik diantara lain adalah:
1) Umur
Dari semua faktor resiko timbulnya rematik, faktor ketuaan adalah yang terkuat.
Prevalensi dan beratnya rematik semakin meningkat dengan bertambahnya umur.
Rematik terjadi pada usia lanjut.
2) Jenis kelamin
Wanita lebih sering terkena rematik pada lutut dan pria lebih sering terkena pada
paha, pergelangan tangan dan leher.
3) Genetik
Faktor herediter juga berperan timbulnya rematik miaslnya pada seorang ibu dari
seorang wanita dengan rematik pada sendi-sendi inter falang distal terdapat dua
kali lebih sering rematik pada sendi tersebut. Anaknya perempuan cenderung
mempunyai tiga kali lebih sering dari pada ibuknya.
4) Suku
Prevalensi dan pola terkenanya sendi pada rematik nampakya terdapat perbedaan
diantara masing-masing suku bangsa, misalnya rematik paha lebih jarang diantara
orang berkulit hitam dengan orang berkulit putih dan usia dari pada kaukasia.
Rematik lebih sering dijumpai pada orang-orang asli amerika dari pada orang
berkulit putih. Hal ini mungkin berkaitan dengan perbedaan cara hidup maupun
perbedaan pada frekuensi kelainanan kongenital dan pertumbuhan.
5) Kegemukan (Obesitas)
Berat badan berlebihan berkaitan dengan meningkatnya resiko untuk timbulnya
rematik pada pria dan wanita. Karena menahan beban berat badan sehinga
mengangu sendi.
E. Manifestasi Klinis
Gejala utama dari rematik adalah adanya nyeri pada sendi yang terkena,
terutama waktu bergerak. Umumnya timbul secara perlahan-lahan. Mula-mula
terasa kaku, kemudian timbul rasa nyeri yang berkurang dengan istirahat. Terdapat
hambatan pada pergerakan sendi, kaku pagi, krepitasi, pembesaran sendi dan
perubahan gaya jalan. Lebih lanjut lagi terdapat pembesaran sendi dan krepitasi
(Soeroso, J., Isbagyo, H., Kalim, H., Broto, R., Pramudiyo, R., 2010).
Tanda-tanda peradangan pada sendi tidak menonjol dan timbul belakangan,
mungkin dijumpai karena adanya sinovitis, terdiri dari nyeri tekan, gangguan
gerak,, rasa hangat yang merata dan warna kemerahan, antara lain:
1. Nyeri Sendi Keluhan ini merupakan keluhan utama. Nyeri biasanya bertambah
dengan gerakan dan sedikit berkurang dengan istirahat. Beberapa gerakan
tertentu kadang-kadang menimbulkan rasa nyeri yang lebih dibanding gerakan
yang lain.
2. Hambatan Gerakan Sendi Gangguan ini biasanya semakin bertambah berat
dengan pelan-pelan sejalan dengan bertambahnya rasa nyeri.
3. Kaku pagi Pada beberapa pasien, nyeri atau kaku sendi dapat timbul setelah
imobilitas, seperti duduk di kursi atau mobil dalam waktu yang cukup lama atau
bahkan setelah bangun tidur.
4. Krepitasi Rasa gemeretak (kadang-kadang dapat terdengar) pada sendi yang
sakit.
5. Pembesaran Sendi (deformitas) Pasien mungkin menunjukkan bahwa salah satu
sendinya (seringkali terlihat di lutut atau tangan) secara pelan-pelan membesar.
6. Perubahan Gaya Berjalan Pergelangan kaki, tumit, lutut atau panggul
berkembang menjadi pincang pada hamper semua pasien OA. Gangguan
berjalan dan gangguan fungsi sendi yang lain merupakan ancaman yang besar
untuk kemandirian pasien yang umumnya tua (Soeroso, J., Isbagyo, H., Kalim,
H., Broto, R., Pramudiyo, R., 2010)
F. Patofisiologi
Peradangan AR berlangsung terus-menerus dan menyebar ke struktur-
struktur sendi dan sekitarnya termasuk tulang rawan sendi dan kapsul fibrosa sendi.
Ligamentum dan tendon meradang. Peradangan ditandai oleh penimbunan sel darah
putih, pengaktivan komplemen, fagositosis ekstensif dan pembentukan jaringan
parut. Peradangan kronik akan menyebabkan membran sinovium hipertrofi dan
menebal sehingga terjadi hambatan aliran darah yang menyebabkan nekrosis sel
dan respons peradangan berlanjut. Sinovium yang menebal kemudian dilapisi oleh
jaringan granular yang disebut panus. Panus dapat menyebar ke seluruh sendi
sehingga semakin merangsang peradangan dan pembentukan jaringan parut. Proses
ini secara lambat merusak sendi dan menimbulkan nyeri hebat serta deformitas.
G. WOC
Panus
Hambatan Mobilitas Fisik Kurang pegetahuan
H. KOMPLIKASI
Kelainan sistem pencernaan yang sering dijumpai adalah gastritis dan ulkus
peptik yang merupakan komplikasi utama penggunaan obat anti imflamasi non
steroid (OAINS) atau obat pengubah jalan penyakit DMARD (disease modifying
antirheumatoid drugs) yang menjadi faktor penyebab mortalitas utama pada artritis
rheumatoid. Komplikasi saraf yang terjadi tidak memberikan gambaran yang jelas,
sehingga sukar dibedakan antara akibat lesi artikular dan lesi neuropatik. Umumnya
berhubungan dengan mielopati akibat ketidakstabilan vertebrata servikal dan
neuropati siskemik vaskulitis (Mansjoer, 1999).
I. Pemeriksaan Penunjang
Untuk menyokong diagnosa (ingat bahwa ini terutama merupakan diagnosa klinis)
1. Tes serologik
2. rematoid – 70% pasien bersifat seronegatif. Catatan: 100% dengan factor
rematoid yang positif jika terdapat nodul atasindroma Sjogren.
3. Antibodi antinukleus (AAN)- hasil yang positif terdapat pada kira-kira 20
kasus.
4. Foto sinar X pada sendi-sendi yang terkena, perubahanperubahan yang dapat di
temukan adalah:
- Pembengkakan jaringan lunak
- Penyempitan rongga sendi
- Erosi sendi
- Osteoporosis juksta artikule.
5. Untuk menilai aktivitas penyakit:
1) Erosi progresif pada foto sinar X serial.
2) LED. Ingat bahwa diagnosis banding dari LED yang meningkat pada
artritisreumatoid meliputi :
- penyakit aktif
- amiloidosis
- infeksi
- sindroma Sjorgen
3) Anemia : berat ringannya anemia normakromik biasanya berkaitan dengan
aktifitas.
4) Titer factor rematoid : makin tinggi titernya makin mungkin terdapat
kelainan ekstra artikuler.
5) Faktor ini terkait dengan aktifitas artritis.
J. Pencegahan Rematik
a. Hindari kegiatan tersebut apabila sendi sudah terasa nyeri, sebaiknya berat
badan diturunkan
b. Istirahat yang cukup.
c. Hindarilah makanan secara berlebihan fakor pencetus rematik. Makanan yang
mengandung banyak purin misalnya : daging, jeroan, babat, usus, hati.
B. Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri kronis berhubungkan dengan agen pencedera; distensi jaringan oleh
akumulasi cairan/ proses inflamasi, destruksi sendi.
2. Kerusakan Mobilitas Fisik berhubungan dengan Deformitas skeletal Nyeri,
ketidaknyamanan, Intoleransi aktivitas, penurunan kekuatan otot.
3. Kurang pengetahuan mengenai penyakit, prognosis dan kebutuhan pengobatan
berhubungan kurangnya pemahaman/ mengingat,kesalahan interpretasi informasi
C. Intervensi
No Diagnosa Tujuan & Kriteria Hasil Intervensi
Keperawatan
1. Nyeri kronis Setelah dilakukan tidakan keperawatan selama - Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif
(D.0078) 5x24 jam diharapkan nyeri dapat berkurang termasuk local, karakteristik, durasi, frekuensi,
(skala 0-3) dengan kriteria hasil: kualitas dan factor presipitasi.
- Mampu mengontrol nyeri (tahu penyebab - Observasi rekasi nonverbal dari ketidaknyamanan.
nyeri, mampu menggunakan tehnik - Gunakan teknik komunikasi terapeutik untuk
nonfarmakologi untuk mengurangi rasa mengetahui pengalaman nyeri pasien.
nyeri, mencari bantuna). - Kaji kultur yang mempengaruhi respon nyeri.
- Melaporkan bahwa nyeri berkurang - Control lingkungan yang dapat memepengaruhi
dengan menggunakan manajemen nyeri. nyeri seperti suhu ruangan, pencahayaan dan
- Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri kebisingan.
berkurang - Kurangi factor persitipasi nyeri.
- Pilih dan lakukan penanganan nyeri
(Farmakologi, non farmakologi dan inter
personal).
- Kaji tipe dan sumber nyeri untuk menentukan 1
intervensi.
- Ajarkan tentang teknik non farmakologi.
- Evaluasi keefekan control nyeri.
- Tingkatkan istirahat.
2. Kerusakan Setelah dilakukan tindakan keperawatan - Monitoring vital sign sebelum/ sesudah latihan
mobilitas fisik selama 5x24 jam diharapkan klien mampu dan lihat respon pasien saat latihan.
(D.0054) melakukan ambulasi dengan kriteria hasil : - Bantu klien untuk menggunakan tongkat saat
- Klien dapat menggunakan alat bantu jalan berjalan dan cegah terhadap cedera.
(kruk) dengan baik - Ajarkan pasien atau tenaga kesehatan lain tentang
teknik ambulasi.
- Kaji kemampuan pasien dalam mobilisasi.
- Latih pasien dalam pemenuhan kebutuhan ADLs
secara mandiri sesuai kemampuan.
- Berikan alat bantu jika klien mmerlukan
3. Kurang Setelah dilakukan tindakan keperawatan - Identifikasi kesiapan dan kemampuan menerima
pengetahuan selama 1x24 jam diharapkan klien mampu informasi
(D.0111) paham dengan kondisinya - Jelaskan pentingnya melakukan aktifikatas fisik
KH : - Anjurkan untuk terlibat dalam aktifitas kelompok
- Prilaku sesuai anjuran - Ajarkan mengidentifikasi kebutuhan istirahat
- Kemamouan menjelaskan pengetahuan - Ajarkan mengidentifikasi target jenis dan aktifitas
tentang topik sesuai kemampuan
- Prilaku sesuai dengan pengerahuan
- Pertanyaan tentang masalah yang dihadapi
DAFTAR PUSTAKA
Darmojo RB., (2011). Teori proses menua. dalam: Martono HH, Pranarka K,
pengarang. Buku ajar boedhi-darmojo geratri. edisi ke-4. Jakarta: Balai penerbit
fakultas kedokteran universitas indonesia;. hal. 3-12.
Sylvia a price & Lorraine M Wilson. 1994. Patofisiologi Edisi 4. Jakarta: Buku
Kedokteran EGC.
Persatuan Ahli Penyakit dalam Indonesia.1996.Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I
edisi III. Jakarta: Balai Penerbit.
Doengoes, Marilynn E , dkk. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan. Edisi 3. Jakarta:
Buku Kedokteran EGC.
Fakultas Kedokteran UI.2000. Kapita Selekta Kedokteran. edisi 3, Jilid I. Jakarta:
Media Aescul
Adellia, 2010. Libas Rematik Dan Nyeri Otot Dari Hidup Anda. Yoygyakarta :Briliant
Books.
Nurarif, H.Amin & Kusuma Hardi, 2013. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan
Diagnosa Medis & NANDA ( North American Nursing Diagnosis Association ) Nic-
Noc. Mediaction Publishing.