Anda di halaman 1dari 25

LAPORAN PENDAHULUAN

DENGAN MASALAH ARTHRITIS RHEUMATOID

Oleh :
Ufra Musyahidah, S.Kep
NS0619139

RESEPTOR INSTITUSI

( Dr. Suarnianti., S.Kep., Ns., M.Kes )

PROGRAM STUDI PROFESI NERS

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN

NANI HASANUDDINMAKASSAR

TAHUN 2020
1.1 Laporan Pendahuluan
1.1.1 Konsep Keperawatan gerontik dan Teori Menua
a. Keperawatan gerontik
Seseorang dikatakan lansia (lanjut usia) apabila usianya 65 tahun
keatas. Lansia bukan penyakit, namun merupakan tahap lanjut dari
suatu proses kehidupan yang ditandai dengan penurunan kemampuan
tubuh untuk beradaptasi dengan stress lingkungan (Muhith & Siyoto,
2016).
Lansia dikaitkan sebagai tahap akhir perkembangan pada daur
kehidupan manusia. Menurut UU No.13/Tahun 1998 tentang
Kesejahteraan Lansia disebutkan bahwa lansia adalah seseorang yang
telah mencapai usia lebih dari 60 tahun (Dewi, 2014).
Berkaitan dengan lansia, maka muncullah gerontology.
Gerontology berasal dari bahasa Yunani geros (tua) dan logos (ilmu).
Gerontology dapat diartikan sebagai ilmu yang mempelajari tentang
proses penuaan dan permasalahan yang dialami oleh lansia serta
konsekuensi akibat proses menua terhadap untuk kehidupan lansia
sendiri maupun kelompok masyarakat (Dewi, 2014).
Keperawatan gerontik atau keperawatan gerontology adalah
spesialis keperawatan lanjut usia menjalankan peran dan tanggung
jawabnya terhadap tatanan pelayanan kesehatan dengan menggunakan
ilmu pengetahuan, keahlian, keterampilan, teknologi, dan seni dalam
merawat untuk meningkatkan fungsi optimal lanjut usia secara
komprhensif (Muhith & Siyoto, 2016).
Keperawatan gerontik adalah suatu bentuk pelayanan kesehatan
yang professional dengan menggunakan ilmu dan kiat keperawatan
gerontik, mencakup biopsikososial dan spritiual, dimana klien adalah
orang yang berusia lebih dari 60 tahun, baik yang kondisinya sehat
maupun sakit. Tujuan keperawatan gerontik adalah memenuhi
kenyaman lansia, mempertahankan fungsi tubuh serta membantu
lansia menghadapi kematian dengan tenang dan damai melalui ilmu
dan teknik keperawatan gerontik. Cakupan dalam ilmu keperawatan
gerontik adalah tidak terpenuhinya kebutuhan dasar lansia sebagai
akibat dari proses menua. Sedangkan lingkup asuhan keperawatan
gerontik adalah pencegahan ketidakmampuan sebagai akibat proses
penuaan, perawatan untuk pemenuhan kebutuhan lansia dan
pemulihan untuk mengatasi keterbatasan lansia. Sifat asuhan
keperawatan gerontik adalah independen, humanistic dan holistik.
Peran dan fungsi perawat gerontik adalah sebagai pemberi asuhan
keperawatan secara langsung, sebagai pendidik bagi lansia, keluarga
dan masyarakat. Keperawatan kesehatan dasar adalah bantuan,
bimbingan, penyuluhan serta pengawasan yang diberikan oleh tenaga
keperawatan(perawat, petugas, panti terlatih) untuk memenuhi
kebutuhan dasar lansia (Dewi, 2014).
b. Teori Menua
Ada beberapa teori yang berkaitan dengan proses penuaan, yaitu teori
biologi, teori psikologi, teori social dan teori spiritiual (Dewi, 2014)
1) Teori biologi
a) Teori genetic
Teori genetic ini menyebutkan bahwa manusia dan hewan
terlahir dengan program genetic yang mengatur proses menua
selama rentang hidupnya. Setiap spesies didalam inti selnya
memiliki suatu jam genetic/jam biologis sendiri dan setiap
spesies mempunyai batas usia yang berbeda-beda yang telah
diputar menurut replicasi tertentu sehingga bila jam ini
berhenti berputar maka ia akan mati.
b) We and tear theory
Menurut teori pemakaian dan perusakan (wear and tear
theory) disebutkan bahwa proses menua terjadi akibat
kelebihan usaha dan stress yang menyebabkan sel tubuh
menjadi lelah dan tidak mampu meremajakan fungsinya.
Proses menua merupakan suatu proses fisiologis.
c) Teori nutrisi
Teori nutrisi menyatakan bahwa proses menua dan kualitas
proses menua dipengaruhi intake nutrisi seseorang sepanjang
hidupnya. Intake nutrisi yang baik pada setiap tahap
perkembangan akan membantu meningkatkan kualitas
kesehatan seseorang. Semakin lama seseorang mengkonsumsi
makanan bergizi dalam rentang hidupnya, maka ia akan hidup
lebih lama dengan sehat.
d) Teori mutasi somatic
Menurut teori ini, penuaan terjadi karena adanya mutasi
somatic akibat pengaruh lingkungan yang buruk. Terjadi
kesalahan dalam proses transkripsi DNA dan RNA dalam
proses translasi RNA protein/enzim. Kesalahan ini terjadi
secara terus-menerus sehingga akhirnya akan terjadi
penurunan fungsi organ atau perubahan sel normal menjadi sel
kanker atau penyakit.
e) Teori stress
Teori stress mengungkapkan bahwa proses menua terjadi
akibat hilangnya sel-sel yang biasa digunakan tubuh.
Regenerasi jaringan tidak dapat mempertahankan kestabilan
lingkungan internal, kelebihan usaha, dan sel yang
menyebabkan sel tubuh telah terpakai.
f) Slow immunology theory
Menurut teori ini, system imun menjadi efektif dengan
bertambahnya usia dan masuknya virus ke dalam tubuh yang
dapat menyebabkan kerusakan organ tubuh.
g) Teori radikal bebas
Radikal bebas terbentuk dialam bebas, tidak stabilnya radikal
bebas mengakibatkan oksidasi oksigen bahan-bahan organic
seperti karbohidrat dan protein. Radikal ini menyebabkan sel-
sel tidak dapat melakukan regenerasi.
h) Teori rentang silang
Pada teori rentang silang diungkapkan bahwa reaksi kimia sel-
sel yang tua dan using menyebabkan ikatan yang kuat,
khususnya jaringan kolagen. Ikatan ini menyebabkan
penurunan elastisitasm kekacauan, dan hilangnya fungsi sel.
2) Teori psikologis
a) Teori kebutuhan dasar manusia
Menurut hierarki Maslow tentang kebutuhan dasar manusia,
setiap manusia memiliki kebutuhan dan berusaha untuk
memenuhi kebutuhannya itu. Dalam pemenuhan
kebutuhannya, setiap individu memiliki prioritas. Seorang
individu akan berusaha memenuhi kebutuhan di piramida
lebih atas ketika kebutuhan di tingkat piramida di bawahnya
telah terpenuhi. Kebutuhan pada piramida tertinggal adalah
kualitas diri. Ketika individu mengalami proses menua, ia
akan berusaha memenuhi kebutuhan di piramida tertinggi
yaitu aktualitasi diri.
b) Teori individualism Jung
Menurut teori ini, kepribadian seseorang tidak hanya
berorientasi pada dunia luar namun juga pengalaman pribadi.
Keseimbangan merupakan faktor yang sangat penting untuk
menjaga kesehatan mental. Menurut teori ini proses menua
dikatakan berhasil apabila seorang individu melihat ke dalam
dan nilai dirinya lebih dari sekedar kehilangan atau
pembatasan fisiknya.
c) Teori pusat kehidupan manusia
Teori ini berfokus pada identifikasi dan pencapaian tujuan
kehidupan seseorang menurut lima fase perkembangan, yaitu:
1. Masa anak-anak; belum memiliki tujuan hidup yang
realsitik
2. Remaja dan dewasa muda; mulai memiliki konsep tujuan
hidup yang spesifik
3. Dewasa tengah; mulai memiliki tujuan hidup yang lebih
kongkrit dan berusaha untuk mewujudkannya
4. Usia pertengahan; melihat ke belakang, mengevaluasi
tujuan yang dicapai
5. Lansia; saatnya berhenti untuk melakukan pencapaian
tujuan hidup
d) Teori tugas perkembangan
Menurut tugas tahapan perkembangan ego Ericksson, tugas
perkembangan lansia adalah integrity versus despair. Jika
lansia dapat menemukan arti dari hidup yang dijalaninya,
maka lansia akan memiliki integritas ego untuk menyesuaikan
dan mengatur proses menua yang dialaminya. Jika lansia tidak
memiliki integritas maka ia akan marah, depresi dan merasa
tidak adekuat, dengan kata lain mengalami keputsasaan.
3) Teori sosiologi
a) Teori interkasi social (social exchange theory)
Menurut teori ini pada lansia terjadi penurunan kekeuasaan
dan prestasi sehingga interaksi social mereka juga berkurang,
yang tersisa hanyalah harga diri dan kemampuan mereka
untuk mengikuti perintah.
b) Teori penarikan diri (disengagement theoy)
Kemiskinan yang diderita lansia dan menurunnya derajat
kesehatan mengakibatkan seorang lansia secara perlahan-
lahan menarik diri dari pergaulan di sekitarnya. Lansia
mengalami kehilangan ganda, yang milupti :
1. Kehilangan peran
2. Hambatan kontak social
3. Berkurangnya komitmen
c) Teori aktivitas
Teori ini menyatakan bahwa penuaan yang sukses bergantung
pada bagaimana seseorang lansia merasakan kepuasan dalam
melakukan aktivitas serta mempertahankan aktivitas tesebut
lebih penting dibandingkan kuantitas dan aktivitas yang
dilakukan.
d) Teori berkesinambungan
Menurut teori ini, setiap orang pasti berubah menjadi tua
namun kepribadian dasar dan pola perilaku individu tidak
akan mengalami perubahan. Pengalaman hidup seseorang
pada suatu saat merupakan gambarannya kelak pada saat
menjadi lansia
e) Subculture theory
Menurut teori ini lansia dipandang sebagai bagian dari sub
kultur. Secara antropologi berarti lansia memiliki norma dan
standar budaya sendiri. Standard an norma budaya ini meliputi
perilaku, keyakinan dan harapan yang membedakan lansia dari
kelompok lainnya.

1.1.2 Konsep perubahan fisiologi dan psikososial pada lansia


Perubahan organ akibat proses menua dijelaskan sesuai system organ
tubuh. Kata fungsi mengarah pada kemampuan lansia untuk melakukan
aktivitas sehari-hari (ADL) dan aktivitas sehari-hari independen (IADL)
yang berpengaruh terhadap kualitas kehidupan individu lansia. Ketika
lansia mengalami perubahan akibat proses menua, fungsi independen
lansia akan mengalami gangguan. Pendekatan keperawatan diperlukan
untuk mencegah kehilangan fungsi lebih lanjut dan meningkatkan
kualitas perawatan diri (Dewi, 2014).
a. System kardiovaskular
System kardiovaskuler mengalami penurunan efesiensi sejalan
dengan proses menua. Namun, karena kebutuhan oksigen lansia saat
beristirahat ataupun beraktivitas lebih sedikit, banyak lansia yang
mampu mengkompensasi perubahan pada system sirkulasi. Namun,
tingginya insiden penyakit kardiovaskuler pada populasi lansia
membuatnya sulit untuk dibedakan antara proses menua ataupun
penyakit. Perubahan yang terjadi akibat proses menua :
1) Jantung
 Kekuatan otot jantung menurun
 Katup jantung mengalami penebalan dan menjadi lebiih kaku
 Nodus sinoatrial yang bertanggung jawab terhadap kelistrikan
jantung menjadi kurrang efektif dalam mejalankan dan implus
yang dihasilkan melemah
2) Pembuluh darah
 Dinding arteri menjadia kurang elastic
 Dinding kapiler menebal sehingga menyebabkan
melambatnya pertukaran antara nutrisi dan zat sisa
metabolism antara sel dan darah
 Dinding pembuluh darah yang semakinkaku akan
meningkatkan tekanan darah sistilik dan diastilik
3) Darah
 Volume darah menurun sejalan penurunan volume cairan
tubuh akibat proses menua
 Aktivitas sumsum tulang mengalami penurunan sehingga
terjadi penurunan jumlah sel darah merah, kadar hematokrit,
dan kadar hemoglobin.
 Kontraksi jantung melemah, volume darah yang dipompa
menurun, dan cardiac output mengalami penurunan sekitar 1%
pertahun dari volume cardiac output orang dewasa normal
sebesar 5 liter
b. System pernafasan
Proses menua memberikan pengaruh normal terhadap fungsi respirasi.
Perubahan fungsi respirasi akibat proses menua terjadi secara
bertahap sehingga umumnya lansia sudah dapat mengkompensasi
perubahan yang terjadi akibat proses menua:
1) Cavum thorak
 Cavum thorak menjadi kaku seiring dengan proses klasifikasi
kartilago
 Vetebrae thorakalis mengalami pemendekan, dan osteoporosis
menyebabkan postur bungkuk yang akan menurunkan
ekspansi paru dan membatasi pergerakan thorak
2) Otot bantu pernafasan
 Otot abdomen melemah sehingga menurunkan usaha nafas
baik inspirasi maupun ekspirasi
3) Perubahan intrapulmonal
 Daya recoil paru semakin menurun sehingga pertambahan usia
 Alveoli melar dan menjadi lebih tipis, dan walaupun
jumlahnya konstan, jumlah alveoli yang berfungsi mmenurun
secara keseluruhan
 Peningkatan ketebalan membran alveoli-kapiler, menurunkan
area permukaan fungsional untuk terjadinya pertukaran gas.
Perubahan structural pada system respirasi berpengaruh terhadap
jumlah aliran udara yang mengalir dari dan kedalam paru, demikian
pula pertukaran gas di tingkat alvcolar. Dengan adanya penurunan
daya elastic recoll, maka volume residu meningkat. Artinya pada
basis paru terjadi respirasi minimal yang mengakibatkan peningkatan
sisa udara dan sekresi yang tertinggal di paru. Pola nafas lansia yang
dalam, sekunder akibat perubahan postur, berkontribusi terhadap
penurunan aliran udara. Penurunan kekuatan otot dada berkontribusi
terhadap menurunnya kemampuan batuk efektif sehingga lansia
semakin beresiko mengalami pnemunoia. Pola nafas dalam juga
berpengaruh terhadap pertukaran gas. Saturasi oksigen menurun.
Sebagai contoh, tekanan parsial oksigen di alveoli (PaO2) sekitar 90
mmHg untuk orang dewasa normal, namun PaO2 sebesar 75 mmHg
untuk lansia berusia 70 tahun mash bisa diterima. Penurunan fungsi
ini menyebabkan penurunan toleransi saat beraktivitas dan
menyebabkan lansia membutuhkan istirahat sejenak di tengah-tengah
aktivitas yang dilakukannya.
c. System Muskuloskeletal
Sebagian besar lansia mengalami perubahan postur, penurunan
rentang gerak, dan gerakan yang melambat. Perubahan ini merupakan
contoh dari banyaknya karakteristik normal lansia yang berhubungan
dengan proses menua.
1) Struktur tulang
 Penurunan massa tulang menyebabkan tulang menjadi rapuh
dan lemah
 Columna vertebralis mengalami kompresi sehingga
menyebabkan penurunan tingi badan
2) Kekuatan otot
 Regenerasi jaringan otot berjalan lambat dan massa otot
berkurang
 Otot lengan dan betis mengecil dan bergelambir
 Seiring dengan inaktivitas otot kehilangan fleksibilitas dan
ketahanannya
3) Sendi
 Keterbatasan rentang gerak
 Kartilago menipis sehingga sendi menjadi kaku, nyeri dan
mengalami inflamasi
Penurunan massa otot merupakan proses gradual, dan mayoritas
lansia dapat beradaptasi dengan keadaan ini. Aktivitas olahraga telah
terbukti mampu menurunkan laju pengeroposan tulang, meningkatkan
kekuatan otot, meningkatkan fleksibilitas dan koordinasi otot.
Sebaliknya, inaktivitas dan gaya hidup sedentari dapat menurunkan
ukuran dan kekuatan otot.
Penurunan massa otot dan densitas tulang, menyebabkan
osteoporosis, tulang keropos dan rapuh sehingga beresiko mengalami
fraktur. Hal ini terjadi karena defisiensi oleh osteoporosis,
menurunnya pergerakan sendi, serta menurunnya kekuatan dan
ketahanan otot dapat berpengaruh terhadap kemampuan fungsional
lansia. Program latihan efektif di barengi dengan intake nutrisi
adekuat dan pandangan hidup sehat mandiri dan aktif dapat
memperlambat proses penuaan pada lansia.
d. System Integumen
Perubahan yang terjadi pada rambut dan kulit barangkali merupakan
perubahan yang menjadi simbol terjadinya proses penuaan. Kulit
kriput, terbentuknya ‘’age spot’’, rambut beruban dan kebotakan
merupakan tanda seseorang telah berubah menjadi tua.
Perubahan akibat proses menua :
1) Kulit
 Elastisitas kulit menurun, sehingga kulit berkerut dan kering
 Kulit menipis sehingga fungsi kulit sebagai pelindung bagi
pembulu darah yang terletak di bawahnya berkurang
 Lemak subkutan menipis
 Penumpukan melanosit, menyebabkan terbentuknya
pigmentasi yang dikenal sebagai ‘’aged spot’’
2) Rambut
 Aktivitas folikel rambut menurun sehingga rambut menipis
 Penurunan melanin sehingga terjadi perubahan warna rambut
3) Kuku
 Penurunan aliran darah ke kuku menyebabkan bantalan kuku
menjadi tebal, keras dan rapuh dengan garis
longitudinal
4) Kelenjar keringatk
 Terjadi penurunan ukuran dan jumlah
Kulit yang intak merupakan pertahanan pertama terhadap invasi
mikrobakteri. Kekeringan dan penurunan elastisitas kulit
meningkatkan resiko gangguan integritas kulit yang berpotensi
menimbulkan cedera dan infeksi. Regulasi suhu tubuh terganggu
karena penurunan produksi keringat. Sehingga meskipun suhu
lingkingan tinggi, langsia bisa saja tidak berkeringat. Sebaliknya,
penurunan insulasi akibat penurunan ketebalan lemak subkutan
membuat lansia mudah merasa dingin sehingga mereka membutuhkan
pakaian yang lebih tebal.
Perubahan sistem integumen akibat proses menua mempengaruhi
mekanisme pertahanan tubuh, regulasi suhu tubuh, dan juga
mempengaruhi persepsi seseorang tentang proses menua.
e. System gastrointestinal
Perubahan yang terjadi pada sistem gastrointestinal, meskipun bukan
kondisi yang mengancam nyawa, namun tetap menjadi perhatian
utama bagi para lansia.
Perubahan akibat proses menua :
1) Cavum oris
 Reabsorbsi tulang bagian rahang dapat menyebabkan
tanggalnya gigi sehingga menurunkan kemampuan
mengunyah
 Lansia yang mengenakan gigi palsu harus mengecek
ketepatan posisinya
2) Esofagus
 Reflek telan melemah sehingga meningkatkan resiko aspirasi
 Melemahnya otot halus sehingga memperlambat waktu
pengosongan
3) Lambung
 Penurunan sekresi asam lambung menyebabkan gangguan
absorbsi besi, vitamin B12, dan protein
4) Intestinum
 Peristaltik menurun
 Melemahnya peristaltik usus menyebabkan inkompetensi
pengosongan bowel
Menurunnya peristaltik usus disertai hilangnya tonus otot lambung
menyebabkanpengosongan lambung menurun sehingga langsia akan
merasa ‘’penuh’’ setelahmengomsumsi makanan meski dalam jumlah
sedikit. Pengosongan lambung yang melambat dan penurunan
seksresi asam lambung dapat menyebabkan indigesti,
ketidaknyamanan dan penurunan nafsu makan. Penurunan peristaltik
usus juga memperlambat waktu transit di kolon, sehingga absorbsi air
meningkat dan feses mengeras. Sehingga perawat harus
merekomendasikan diet dengan serat dan cairan yang adekuat.
f. System Genitourinaria
Perubahan sistem genitourinaria mempengaruhi fungsi dasar tubuh
dalam BAK dan penampilan seksual. Kepercayaan yang dipegang
masyarakat bahwa masalah pada sistem genitourinaria merupakan hal
yang wajar seiring pertambahan usia. Akibatnya ketika terjadi
masalah pada sistem ini lanjut usia terlambat mencari pertolongan.
Membantu lansia mempertahankan fungsi optimal sistem
genitourinaria merupakan tantangan bagi perawat.
Perubahan akibat proses menua :
1) Fungsi ginjal
 Aliran darah ke ginjal menurun karena penurunan candiac
output dan laju filtrasi glomerulus menurun
 Terjadi gangguan dalam kemampuan mengkonsentrasikan
urine
2) Kandung kemih
 Tonus otot menghilang dan terjadi gangguan pengosongan
kandung kemih
 Penurunan kapasitas kandung kemih
3) Miksi
 Pada pria dapat terjadi peningkatan frekuensi miksi akibat
pembesaran prostat
 Pada wanita, peningkatan frekuensi miksi dapat terjadi akibat
melemahnya otot perineal
4) Reproduksi wanita
 Terjadi atropi vulva
 Penurunan jumlah rambut pubis
 Sekresi vaginal menurun, dinding vagina menjadi tipis dan
kurang elastic
5) Reproduksi pria
 Ukuran testis mengecil
 Ukuran prostat membesar
Meski terjadi penurunan aliran darah ke ginjal dan terjadi penurunan
massa ginjal, selama tidak terjadi suatu penyakit maka sistem
genitourinaria masih dapat berfungsi dengan baik. Perubahan fungsi
terjadi akibat penurunan fungsi kandung kemih termasuk peningkatan
frekuensi miksi, nokturia, dan retensi urine. Perubahan ini dapat
menyebabkan disfungsi yang dapat menumbulkan infeksi, urgensi dan
inkontinensia. Melemahnya otot perineal pada wanita menyebabkan
berkembangnya inkontinensia stres pada wanita, pada kondisi ini
urine akan keluar jika lansia mengalami batuk, tertawa, bersin atau
mengangkat benda berat. Perubahan pada vagina dapat menyebabkan
nyeri saat koitus, infeksi pada vagina dan rasa gatal berkepanjangan.
Pembesaran prosat dapat menyebabkan retensi urine, gangguan
frekuensi miksi dan inkontinensia overflow bahkan kerusakan ginjal.
Sehingga seorang pria yang telah memasuki usia lanjut harus
melakukan pemeriksaan prostat secara rutin. Perubahan dalam
berkemih dan fungsi seksual dapat mempengaruhi konsep diri pada
lansia.
g. Perubahan system pernafasan
Perubahan pada sistem saraf mempengaruhi semua sistem tubuh
termasuk sistem vaskuler, mobilitas, koordinasi, aktifitas visual dan
kemampuan kognitif.
Perubahan akibat proses menua :
1) Neuron
 Terjadi penurunan jumlah neuron di otak dan batang otak
 Sintesa dan metabolisme neuron berkurang
 Massa otak berkurang secara progresif
2) Pergerakan
 Sensasi kinestetik berkurang
 Gangguan keseimbangan
 Penurunan reaction time
3) Tidur
 Dapat terjadi insomnia dan mudah terbangun di malam hari
 Tidur dalam (tahap IV) dan tidur REM berkurang
Sejalan dengan penurunan efisiensi kerja neuron, reaction time akan
melambat dan kemampuan untuk berespon terhadap stimulus menjadi
lambat, keakuratan dan presisi respon pada lansia semakin meningkat.
Lansia umumnya terorientasi dengan baik terhadap waktu, tempat dan
orang dengan perubahan memori yang minimal kecuali jika terdapat
penurunan sintesa neuron dan penurunan massa otak. Lansia beresiko
mengalami jatuh karena reaction time dalam mempertahankan
keseimbangan menurun dan mengalami reaksi hipotensi sekunder
akibat penurunan volume darah. Keluhan berupa gejalah pusing,
kepala berputar dan vertigo juga turut mempengaruhi keseimbangan
lansia.
Pada umumnya lansia mudah terbangun pada malam hari namun
mereka tidur cukup pada siang hari sehingga jam tidur lansia tetap
adekuat. Kejadian sering terbangun pada malam hari menyebabkan
lansia tidak dapat tidur nyenyak dan mudah lelah pada siang hari.
Perubahan pada sistem persarafan yang berupa reaction time yang
melambat, perubahan keseimbangan, perubahan istirahat tidur dan
kognisi merupakan fungsi vital yang mempengaruhi kemampuan
dalam pemenuhan ADL.
h. System sensori
Sistem sensori seperti penglihatan, pendengaran, peraba, penciuman,
dan perasa memfasilitasi komunikasi manusia dengan lingkungan
sekitarnya. Penurunan fungsi organ sensori mempengaruhi
kemampuan dan kualitas hidup lansia.
Perubahan akibat proses menua :
1) Penglihatan
 Penurunan kemampuan memfokuskan objek dekat
 Terjadi peningkatan densitas lensa, dan akumulasi lemak di
sekitar iris, menimbulkan adanya cincin kuning keabu-abuan
 Produksi air mata menurun
 Penurunan ukuran pupil dan penurunan sensitivitas pada
cahaya
 Kemampuan melihat di malam hari menurun, iris kehilangan
pigmen sehingga bola mata berwarna biru muda atau keabu-
abuan
2) Pendengaran
 Penurunan kemampuan untuk mendengarkan suara
berfrekuensi tinggi Serumen mengandung banyak keratin
sehingga mengeras
3) Perasa
 Penurunan kemampuan untuk merasakan rasa pahit, asin dan
asam
4) Peraba
 Penurunan kemampuan untuk merasakan nyeri ringan dan
perubahan suhu
Perubahan pada indera penglihatan lansia, mempengaruhi pemenuhan
kebutuhann ADLnya. Lansia membutuhkan kaca mata untuk
membantu mereka melaksanakan ADL. Pada lansia, adaptasi terhadap
gelap dan terang membutuhkan waktu lebih lama sehingga aktivitas
ringan seperti keluar masuk kamar mandi pada malam hari
mengakibatkan resiko jatuh pada lansia. Lensa mata mengalami
perubahan warna menjadi kuning menyebabkan penglihatan pada
beberapa warna seperti biru, hijau, dan ungu menjadi sulit. Sehingga
gunakan warna-warna mencolok seperti kunging, orange, atau merah
sebagai penanda atau pewarna dinding kamar mandi agar lebih mudah
teridentifikasi oleh lansia.
Penurunan produksi air mata menyebabkan mata rentan mengalami
iritasi dan infeksi. Kemampuan mendengar juga berkurang , terutama
pada suara bernada tinggi. Perawat harus berbicara dengan
menggunakan nada normal tanpa berteriak atau tanpa meninggikan
suara. Indera perasa juga mengalami penurunan fungsi, sehingga
lansia tidak perka terhadap perubahan rasa. Lansia membutuhkan
lebih banyak garam pada makanannya.
Perubahan fungsi sensori berpengaruh pada kemampuan fungsional
lansia. Perawat harus mengkaji apakah lansia membutuhkan
penggunaan alat bantu dan memastikan alat bantu tersebut tersedia
setiap saat.
Ketika lansia memasuki masa pensiun, mereka mengalami perubahan
psikososial (Muhith & Siyoto, 2016) antara lain :
a. Nilai seseorang sering diukur oleh produktivitasnya dan identitas
yang dikaitkan dengan peranan dalam pekerjaan
b. Bila seseorang pensiun (purnatugas), ia akan mengalami kehilangan-
kehilangan, antara lain kehilangan finansial (income berkurang),
kehilangan status (dulu mempunyai jabatan/posisi yang cukup tinggi,
lengkap dengan segala fasilitasnya), kehilangan teman/kenalan atau
relasi, kehilangan pekerjaan kegiatan.
c. Beberapa kondisi faktual di kalangan para pensiunan di Indonesia
disarikan dari
1) Penurunan kondisi kesehatan ternyata tidak di sebabkan secara
langsung oleh pensiunan, melainkan oleh problematika kesehatan
yang telah dialami sebelumnya
2) Tidak jarang masa pensiun malahan dapat meningkatkan
kesehatan, misalnya saja akibat berkurangnya beban tekanan
hidup yang harus dihadapi.
3) Kalangan masyarakat mulai memandang masa pensiun sebagai
masa yang berkesan dan menarik.
4) Pada masa pensiun, kemungkinan untuk bersantai berkurang,
karena waktu yang ada cenderung tersita untuk mengerjakan
rumah tangga.
5) Kepuasan perkawinan tidak secara signifikan dipengaruhi oleh
kondisi pensiun.
6) Akan ada banyak waktu dan kesempatan bersama keluarga
pasangan.
7) Penempatan kerumah jompo, meninggalnya pasangan, mengidap
penyakit serius, serta adanya cacat biasanya menyebabkan
perubahan gaya hidup yang drastis pada mereka yang pensiun.
8) Merasakan atau sadar akan kematian (sense of awarness of
mortality).
9) Perubahan dalam cara hidup, yaitu memasuki rumah perawatan
sehingga lingkup gerak lebih sempit.
10) Ekonomi akibat pemberhentian dari jabatan (economic
depriviation), meningkatnya biaya hidup, bertambahnya biaya
pengobatan.
11) Penyakit kronis dan ketidakmampuan.
12) Gangguan saraf pancaindra, timbul kebutaan dan ketulian.
13) Gangguan gizi akibat kehilangan jabatan.
14) Rangkaian dari kehilangan, yaitu kehilangan hubungan dengan
teman-teman dan keluarga.
15) Hilangnya kekuatan dan ketegapan fisik, perubahan terhadap
gambaran diri, perubahan konsep diri.

1.1.3 Konsep Penyakit


a. Definisi Athritis Reumatoid
Rheumatoid arthritis (RA) merupakan penyakit autoimun
sistemik yang penyebabnya belum diketahui. Penyakit ini merupakan
peradangan sistemik yang paling umum ditandai dengan keterlibatan
sendi yang simetris, berlangsung kronik dan mengenai lebih dari lima
sendi (poliartritis) (Muizzulatif, Sukohar, & Irawati, 2019).
Artritis reumatoid (AR) merupakan penyakit kronik, sistemik
yang menyebabkan inflamasi sinovial sehingga menyebabkan
kerusakan progresif dari kartilago artikular dan deformitas
(Mudjaddid, Puspitasari, Setyhoadi, & Dewiasty, 2017).
Artritis rheumatoid merupakan suatu penyakit yang tersebar luas
serta melibatkan semua kelompok ras dan etnik di dunia. Penyakit ini
merupakan suatu penyakit autoimun yang ditandai dengan
terdapatnya sinovitis erosive simetrik yang walaupun terutama
mengenai jaringan persendian, seringkali juga melibatkan organ tubuh
lainya yang disertai nyeri dan kaku pada sistem otot
(musculoskeletal) dan jaringan ikat/ connective tissue (Sudoyo, 2007).
Lebih mudahya artritis rheumatoid diartikan sebagai penyakit yang
menyerang sendi, otot, dan jaringan tubuh (Hidayat, 2020).
b. Etiologi
Penyebab Arthritis Rheumatoid (RA) dapat dipengaruhi oleh
beberapa faktor-faktor antara lain (Devi, Parmin, & Nadira, 2019) :
1) Mekanisme IMUN ( Antigen- Antibody) seperti interaksi antara
IGC dan faktor Reumatoid
2) Gangguan Metabolisme
3) Genetik, infeksi virus
4) Faktor lain : nutrisi, faktor usia dan faktor lingkungan yaitu
(pekerjaan dan psikososial).
c. Manifestasi Klinik
Gejala awal terjadi pada beberapa sendi. Persendian yang paling
sering terkena adalah sendi tangan, pergenalngan tangan, sendi lutut,
sendi siku, pergelangan kaki, sendi bahu serta sendi panggul dan
biasnya bersifat bilateral/simetris.
1) Stadium awal
Malaise, penurunan BB, rasa lelah, sedikit demam dan anemia.
Gejala local yang berupa pembengkakan nyeri dan gagguan gerak
pada sendi matakarpolfangeal.
Pemeriksaan fisik : tenosinofitas pada daerah ekstensor
pergelangan tangan dan fleksor jari-jari. Pada sendi besar
(misalnya sendi lutut ) gejala peradangan local berupa
pembengkakan nyeri serta tanda-tanda efusi sendi.
2) Stadium lanjut
Kerusakan sendi dan deformitas yang bersifat permanen,
selanjutnya timbul/ketidakstabilan sendi akibat rupture
tendon/ligament yang menyebabkan deformitas rheumatoid yang
khas berupa deviasi ulna jari-jari, deviasi radikal/volar
pergelangan tangan serta valgus lutut dan kaki.

1.1.4 Patofisiologi
Pada Arthritis Rheumatoid, reaksi autoimun terutama terjadi dalam
jaringan sinovial. Proses fagositosis menghasilkan enzim-enzim dalam
sendi, enzim-enzim tersebut akan memecah kolagen sehingga terjadi
edema, proliferasi membran synovial dan akhirnya pembentukan pannus.
Panus akan menghancurkan tulang rawan dan menimbulkan erosi tulang.
Akibatnya adalah menghilangnya permukaan sendi yang akan
mengganggu gerak sendi. Otot akan turut terkena karena serabut otot
akan mengalami perubahan degeneratif dengan menghilangnya elastisitas
otot dan kekuatan kontraksi otot (Devi et al., 2019).

1.1.5 Pemeriksaan penunjang


a. Faktor Reumatoid, Fiksasi lateks, reaksi-reaksi aglutinasi
b. Laju Endap Darah: Umumnya meningkat pesat (80-100 mm/h)
mungkin kembali normal sewaktu gejala-gejala meningkat
c. Protein C-reaktif: positif selama masa ekserbasi
d. Sel Darah Putih: Meningkat pada waktu timbul proses inflamasi
e. Haemoglobin: umumnya menunjukkan anemia sedang
f. Ig (Ig M dan Ig G); peningkatan besar menunjukkan proses autoimun
sebagai penyebab AR
g. Sinar X dari sendi yang sakit: menunjukkan pembengkakan pada
jaringan lunak, erosi sendi, dan osteoporosis dari tulang yang
berdekatan (perubahan awal) berkembang menjadi formasi kista
tulang, memperkecil jarak sendi dan subluksasio. Perubahan
osteoartistik yang terjadi secara bersamaan
h. Scan radionuklida: identifikasi peradangan sinovium
i. Artroskopi Langsung, Aspirasi cairan synovial
j. Biopsy membrane synovial: menunjukkan perubahan inflamasi dan
perkembangan panas

1.1.6 Penatalaksanaan medis terbaru


Setelah diagnose AR dapat ditegakkan, pendekatan pertama yang harus
dilakukan adalah segera berusaha untuk membina hubungan yang baik
antar pasien dengan keluarganya dengan dokter atau tim pengobatan yang
merawatnya. OAINS diberikan sejak dini untuk mengatasi nyeri sendi
akibat inflamasi yang sering dijumpa OAINS yang dapat diberikan:
a. Aspirin; pasien dibawah 50 tahun dapat mulai dengan dosis 3-4 x
1g/hari kemudian dinaikkan 0,3-0,6 g per minggu sampai terjadi
perbaikan atau gejala toksis. Dosis terapi 20-30 mg/dl.
b. Ibuprofen, naproksen, piroksikam, diklofenak, dan sebagainya
c. DMARD (disease-modifyng antirheumatic drugs) digunakan untuk
melindungi rawan sendi dan tulang dari proses destruksi akibat
arthritis rheumatoid. Mula khasiatnya baru terlihat setelah 3-12 bulan
kemudian. Setelah 2-5 tahun, maka efektivitasnya dalam menekan
proses rheumatoid akan berkurang. Jenis jenis yang digunakan
adalah:
1) Klorokuin ; paling banyak digunakan karena harganya terjangkau,
namun efektifitasnya lebih rendah dibandingkan yang lain. Dosis
anjuran klorokuin fosfat 250mg/hari, hidrosikklorokuin
400mg/hari.
2) Sulfazalazin dalam bentuk tablet bersalut digunakan dalam dosis
1x500mg perhari, ditingkatkan 500mg perminggu, sampai
mencapai dosis 4 untuk dipakai dalam jangka waktu panjang
sampai tercapai remisi sempurna. Jika dalam wktu 3 bulan tidak
terlihat khasiatnya, obat ini dihentikan dan digantikan dengan
yang lain, atau dikombinasi.
3) D-penisilamin, kurang disukai karena bekerja lambat digunakan
dalam dosis 250-300mg perhari, kemudian dosis ditingkatkan
setiap 2-4minggu sebesar 250-300mg perhari untuk mencapai
dosis total 4x250 – 300 mg/hari.
4) Garam emas adalah gold standard bagi DMARD. Khasiatnya
tidak diragukan lagi meski sering timbul efek samping.
Aurosodium tiummalat (AST) diberikan intramuscular, dimulai
dengan dosis percobaan pertama sebesar 10mg, seminggu dosis ke
2 20mg. Seminggu kemudian diberikan dosis penuh
50mg/minggu selama 20 minggu. Dapat dilanjutkan dengan dosis
tambahan sebesar 50mg tiap 2 minggu-3 bulan jika diperlukan
dapat diberikan dosis 50mg setiap 3 minggu – keadaan remisi
tercapai.
5) Obat imunupresif atau imunoregulator. Sangat mudah digunakan
dan waktu mula kerjanya relative pendek. Dosis dimulai 5-7,5 mg
setiap minggu. Bila dalam 4 bulan tidak menunjukkan perbaikan,
dosis harus di tingkatkan. Dosis jarang melebihi 20mg/minggu.
Penggunaan siklosforin untuk atritis rheumatoid masih dalam
penelitian.
6) Kortikosteroid hanya di gunakan dalam pengobatan atritis
rheumatoid dengan komplikasi berat dan mengancam jiwa, seperti
faskulitis, karena obat ini memiliki efek samping yang sangat
berat. Dalam dosis rendah, seperti predmison 5-7,5 mg 1xsehari.
Sangat bermanfaat sebagai breaking terapi dalam mengatasi
sinovitis sebelum DMARD. Mulai bekerja, yang kemudian
dihentikan dengan bertahap. Dapat diberikan suntikan
kortikosteroid jika terdapat peradangan yang berat. Sebelumnya,
infeksi harus di singkirkan terlebih dahulu.
d. Riwayat penyakit alamiah
Pada umumnya 25% pasien akan mengalami manifestasi penyakit
yang bersifat monosiklik (hanya mengalami 1 episode AR dan
selanjutnya akan mengalami remisi sempurna) pada pihak lain
sebagian besar pasien akan menderita penyakit ini sepanjang
hidupnya dengan hanya diselingi oleh beberapa masa remisi yang
singkat sebagian kecil lainnya akan menderita AR yang progresif
yang disertai dengan penurunan kapasitas fungsional yang menetap
pada setiap eksaserbasi sampai saat ini belum berhasil dijumpai obat
yang bersifat sebagai disease kontroling antireumatic therapy (DC-
ART)

e. Rehabilitasi
Rehabilitasi merupakan tindakan untuk mengembalikan tingkat
kemampuan pasien AR dengan tujuan :
1) Mengurangi rasa nyeri
2) Mencegah terjadinya kekakuan dan keterbatasan gerak sendi
3) Mencegah terjadinya atrofi dan kelemahan otot
4) Mencegah terjadinya deformitas
5) Meningkatkan rasa nyaman dan kepercayaan diri
6) Mempertahankan kemandirian sehingga tidka bergantung pada
orang lain.
Rehabilitasi dilaksanakan dengan mengistirahatkan sendi yang
terlibat latihan serta dengan menggunakan modalitas terapi fisis
seperti pemanasan, pendinginan, peningkatan ambang ras anyeri
dengan arus listrik.

1.1.7 Konsep tindakan keperawatan yang akan diberikan


 Terapi kompres air hangat serai
Secara nonfarmakologi yaitu menghangatkan persendian yang sakit
dengan terapi kompres hangat, yang dilakukan dengan menggunakan
kain yang direndam pada air hangat, dimana terjadi pemindahan
panas dari kain kedalam tubuh sehingga akan menyebabkan pelebaran
pembuluh darah dan akan terjadi penurunan ketegangan otot,
sehingga nyeri yang dirasakan akan berkurang atau hilang. Terapi
kompres hangat tersebut dapat dikombinasikan dengan herbal yaitu
air rebusan serai. Dalam buku Herbal Indonesia disebutkan bahwa
khasiat tanaman serei mengandung minyak atsiri, yang memiliki sifat
kimiawi dan efek farmakologi yaitu rasa pedas dan bersifat hangat
sebagai anti radang (anti inflamasi), dan menghilangkan rasa sakit
atau nyeri yang bersifat analgetik, serta melancarkan sirkulasi darah
yang di indikasikan untuk menghilangkan nyeri otot dan nyeri sendi
pada penderita arthritis rheumatoid, badan pegallinu dan sakit kepala
(Devi et al., 2019)
 Terapi kompres jahe merah
Intervensi non farmakologi yang dapat dilakukan perawat secara
mandiri dalam menurunkan skala nyeri rheumathoid arhtritis yaitu
dengan kompres jahe. Jahe (Zinger Officinale (L) Rosc) mempunyai
manfaat yang beragam, antara lain sebagai rempah, minyak atsiri,
pemberi aroma, ataupun sebagai obat. Secara tradisional,
kegunaannya antara lain untuk mengobati rematik, asma, stroke, sakit
gigi, diabetes, sakit otot, tenggorokan, kram, hipertensi, mual, demam
dan infek. Beberapa komponen kimia jahe, seperti gingerol, shogaol
dan zingerone memberi efek farmakologi dan fisiologi seperti
antioksidan, anti inflamasi, analgesik, antikarsinogenik (Syapitri,
2018). Jahe merah mengandung 19 komponen bio-aktif yang berguna
bagi tubuh. Salah satu komponen terbanyak terdapat di jahe merah
adalah subtansi rasa pedas gingerol dan panas, berkhasiat sebagai
antihelmintik, antirematik, dan pencegah masuk angin. Gingerol
bersifat antikoagulan yaitu pencagah penggumpalan darah. Khusus
sebagai obat, khasiat jahe merah sudah dikenal turun-temurun
diantaranya sebagai pereda sakit kepala, batuk, masuk angin. Jahe
merah juga kerap digunakan sebagai obat untuk meredakan gangguan
saluran pencernan, rematik, obat antimual dan mabuk perjalanan,
kembung, kolera, diare, sakit tenggorokan, difteria, penawar racun,
gatal digigit serangga, kaseleo, bengkak serta memar. Efek panas
pada jahe merah inilah yang meredakan nyeri, kaku dan spasme otot
pada RA. Jahe merah juga dapat digunakan untuk mengobati luka
lecet dan luka tikam karena duri atau benda tajam, karena jatuh, dan
luka digigit ular juga dapat disembuhkan (Virgo & Sopianto, 2019).

1.2 Pengkajian
Pengkajian merupakan tahap awal dan dasar utama dari proses keperawatan.
Tahap pengkajian terdiri atas pengumpulan data dan perumusan kebutuhan atau
masalah klien. Data yang dikumpulkan meliputi data biologis, psikologis,
sosial, dan spiritual
1.2.1 Identitas Pasien dan Penanggung Jawab
Meliputi nama, umur, jenis kelamin, agama, suku, pendidikan, status
pernikahan, alamat, nomor rekam medic, diagnosa, tanggal pengkajian,
tanggal masuk RS, nama penanggung jawab, umur, jenis kelamin, serta
hubungan dengan pasien.
1.2.2 Status Kesehatan
1.2.2.1 Keluhan Utama
Pasien mengeluh nyeri pada daerah persendian
1.2.2.2 Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien mengatakan nyeri pada persendian dan merasa kram
1.2.2.3 Riwayat Penyakit Dahulu
Perlu ditanyakan riwayat penyakit dahulu yang berhubungan
dengan penyakit rematik sebelumnya pernah menderita penyakit
rematik
1.2.2.4 Riwayat Kesehatan Keluarga
Adakah anggota keluarga yang menderita penyakit yang sama
dengan klien saat ini.
1.2.3 Pola Kebutuhan
1.2.3.1 Pernapasan
Frekuensi pernapasan meningkat, takipnea, dispnea, edema paru
(pada krisis tiroksikosis)
1.2.4 Pemeriksaan Fisik
1.2.4.1 B1 (Breathing)
Pemeriksaan paru-paru (IPPA)
1.2.4.2 B2 (Blood)
Pengisian kapiler < 1 detik, keringat dingin dan pusing
1.2.4.3 B3 (Brain)
Kesadaran composmentis, kepala dan wajah, sclera tidak ikterik,
konjungtiva anemis
1.2.4.4 B4 (Bladder)
Produksi urin dalam batas normal dan tidak terdapat keluhan
kecuali penyakit gout
1.2.4.5 B5 (Bowel)
Normal tapi harus dikaji frekuensi, warna, dan bau feses.
Biasanya mengalami nyeri lambung, mual dan tidak nafsu makan.
1.2.4.6 Bone (Bone)
- Look : keluhan nyeri sendi dan perlu segera diberi
pertolongan
- Feel : ada nyeri tekan pada kaki yang bengkak
- Move : hambatan gerak sendi biasanya semakin bertambah
berat

1.3 Diagnosa Keperawatan


Diagnose keperawatan menurut (Tim Pokja SDKI DPP PPNI, 2017)
1.3.1 Nyeri kronis berhubungan fungsi metabolic (D.0078)
Kategori : Psikologis
Subkategori : Nyeri dan Kenyamaan
1.3.2 Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri (D.0054)
Kategori : Fisiologi
Subkategori : Aktivitas/Istirahat
1.4 Rencana Asuhan Keperawatan
Intervensi (Tim Pokja SDKI DPP PPNI, 2018)
Kriteria Hasil (Tim Pokja SDKI DPP PPNI, 2019)

Diagnose Rencana Tindakan Keperawatan


No
Keperawatan Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
1. Nyeri kronis 1. Tingkat Nyeri Manajemen Nyeri
berhubungan 2. Kontrol Nyeri 1. Identifikasi lokasi,
fungsi metabolik 3. Status karakteristik, durasi,
Kenyamanan frekuensi, kualitas,
Kriteria Hasil: intensitas nyeri
1. Keluhan nyeri 2. Identifikasi skala
Meningkat pada 1 nyeri
menurun pada 5 3. Control lingkungan
2. Meringis yang memperberat
Meningkat pada 1 rasa nyeri
menurun pada 5 4. Ajarkan teknik non
3. Melaporkan nyeri farmakologi untuk
terkontrol mengurasi rasa nyeri
Menurun pada 1 (tekinik relaksasi
meningkat pada 5 napas dalam)
4. Kemampuan 5. Kolaborasi
menggunakan teknik pemberian analgetik.
non-farmakologi
Menurun pada 1
meningkat pada 5
5. Keluhan tidak nyaman
Meningkat pada 1
menurun pada 5
2. Gangguan Mobilitas Fisik Dukungan ambulasi
mobilitas fisik Criteria Hasil : 1. Identifikasi adanya
berhubungan 1. Pergerakan ektremitas nyeri atau keluhan
dengan nyeri Menurun pada 1 fisik lainnya
meningkat pada 5 2. Identifikasi toleransi
2. Gerakan terbatas fisik melakukan
Menurun pada 1 ambulasi
meningkat pada 5 3. Monitor kondisi
umum selama
melakukan ambulasi
4. Libatkan keluarga
untuk membantu
pasien dalam
meningkatkan
ambulasi
5. Anjurkan ambulasi
sederhana yang
harus dilakukan

1.5 Implementasi Keperawatan


Implementasi keperawatan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh
perawat untuk membantu klien dari masalah status kesehatan yang dihadapi ke
status kesehatan yang lebih baik menggambarkan criteria hasil yang diharapkan
(Patrica, 2010).
Implementasi keperawatan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh
perawat untuk membantu pasien dari masalah status kesehatan yang dihadapi
kestatus kesehatan yang baik yang menggambarkan kriteria hasil yang
diharapkan. Proses pelaksanaan implementasi harus berpusat kepada kebutuhan
klien, faktor-faktor lain yang mempengaruhi kebutuhan keperawatan, strategi
implementasi keperawatan, dan kegiatan komunikasi (Dinarti & Mulyanti,
2017).

1.6 Evaluasi
Evaluasi adalah tindakan intelektual untuk melengkapi proses keperawatan
yang menandakan seberapa jauh diagnose keperawatan, rencana tindakan, dan
pelaksanaannya sudah berhasil dicapai.

1.7 Program perencanaan pulang/discharger planning


Discharger Planning adalah perencanaan yang dilakukan untuk pasien dan
keluarga sebelum pasien meninggalkan rumah sakitdengan tujuan agar pasien
dapat mencapai kesehatan yang optimal dan mengurangi biaya rumah sakit
(Rakhmawati & Dian, 2013).
Sebelum pemulangan pasien, keluarga harus memahami dan mengetahui cara
manajemen pemberian perawatan yang dapat dilakukan dirumah seperti
perawatan pasien yang berkelanjutan, sehingga dapat mengurangi komplikasi
(Patrica, 2010).
1.7.1 Mengistirahatkan sendi yang nyeri
1.7.2 Menghindarkan faktor pencetus
1.7.3 Pemberian obat anti inflamasi
1.7.4 Minum 2-3 liter cairan setiap hari dan meningkatkan masukan makanan
pembuat alkalis, serta menghindari makanan yang mengandung purin
tinggi
1.7.5 Hindari minuman beralkohol
DAFTAR PUSTAKA

Devi, R., Parmin, & Nadira. (2019). Asuhan Keperawatan Keluarga pada Kasus
Arthritis Reumatoid Untuk Mengurangi Nyeri Kronis Melalui Pemberian
Terapi Kompres Hangat Serai. Jurnal Kesehatan Tadulako, 5(2), 54–62.

Dewi, S. R. (2014). Buku Ajar Keperawatan Gerontik (1st ed.). Retrieved from
https://books.google.co.id/books?
id=3FmACAAAQBAJ&printsec=frontcover&hl=id&source=gbs_ge_summar
y_r&cad=0#v=onepage&q&f=false

Dinarti, & Mulyanti, Y. (2017). Bahan Ajar Keperawatan Dokumentasi


Keperawatan (Edisi 1). Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.

Hidayat, R. (2020). Efektivitas Kompres Serei Hangat Terhadap Penurunan Skala


Nyeri Arthritis Rheumatoid pada Lansia di Desa Naumbai Wilayah Kerja
Psukesmas Kampar. Jurnal Ners, 4(23), 29–34. Retrieved from
http://journal.universitaspahlawan.ac.id/index.php/ners%0AEFEKTIFITAS

Mudjaddid, Puspitasari, M., Setyhoadi, B., & Dewiasty, E. (2017). Hubungan


Derajat Aktivitas Penyakit dengan Depresi pada Pasien Artritis Reumatoid.
Jurnal Penyakit Dalam Indonesia, 4(4), 194–198.

Muhith, A., & Siyoto, S. (2016). Pendidikan Keperawatan Gerontik (1st ed.; P.
Christian, ed.). Retrieved from https://books.google.co.id/books?
id=U6ApDgAAQBAJ&printsec=frontcover&hl=id&source=gbs_ge_summar
y_r&cad=0#v=onepage&q&f=false

Muizzulatif, M., Sukohar, A., & Irawati, N. A. V. (2019). Efektivitas Pengobatan


Herbal Untuk Rheumatoid Arthritis. 8, 206–210.

Patrica, P. (2010). Fundamental of Nurisng (Edisi 7). Jakarta: Salemba Medika.

Rakhmawati, N., & Dian. (2013). Pengaruh Discharge Planning Terhadap


Penambahan Berat Badan Pada BBLR Dalam 3 Bulan Pertama Di Kota
Semarang. Jurnal Keperawatan Anak, Volume 1,.

Syapitri, H. (2018). Kompres Jahe Berkhasiat dalam Menurunkan Intensitas Nyer


pada Penderita Rheumatoid Arthritis. Jurnal Mutiara Ners, 1(1), 57–64.

Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia:
Definisi dan Indikator Diagnostik. Jakarta Selatan: Dewan Pengurus Pusat
PPNI.

Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia:
Definisi dan Tindakan Keperawatan (1st ed.). Jakarta Selatan: Dewan
Pengurus Pusat PPNI.
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2019). Standar Luaran Keperawatan Indonesia:
Definisi dan Kriteris Hasil Keperawatan (1st ed.). Jakarta Selatan: Dewan
Pengurus Pusat PPNI.

Virgo, G., & Sopianto. (2019). Efektivitas Kompres Jahe Merah Terhadap
Penurunan Skala Nyeri pada Lansia yang Menderita Rheumatoid Arthritis di
Puskesmas Pembantu Bakau Aceh Wilayah Kerja Puskesmas Batang Tumu.
Jurnal Ners, 3(23).

Anda mungkin juga menyukai