Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Keperawatan Kritis
Dosen :
Disusun Oleh :
Acep Rizky R
Lia Himatul Aliyah
A. Konsep Penyakit
a. Definisi
Miastenia gravis adalah salah satu karakteristik penyakit autoimun yang
menyerang neurotransmitter di tautan neuromuskular dan melemahkan otot, yang
ditandai suatu kelemahan abnormal dan progresif pada otot rangka yang dipergunakan
secara terus-menerus dan disertai dengan kelelahan saat beraktivitas. Pada Miastenia
gravis terjadi permasalahan transmisi yang mana terjadi pemblokiran reseptor
asetilkolin (AChR) di serat otot (post synaptic) mengakibatkan tidak sampainya
impuls dari serat saraf ke serat otot (tidak terjadi kontraksi otot).
Kelemahan otot yang terjadi pada pasien miastenia gravis menjadi salah satu
faktor penting yang menentukan tingkat kesehatan baik fisik maupun mental.
Miastenia gravis termasuk penyakit yang mematikan dengan karakter progresif yakni
semakin lama seiring berjalannya waktu maka kelemahan yang dapat ditimbulkan
akan semakin luas.
Menurut Myasthenia Gravis Foundation of America (MGFA) terdapat 4
klasifikasi :
1. Kelas I, adanya kelemahan otot-otot okular, kelemahan pada saat menutup mata,
dan kekuatan otot-otot lain normal.
2. Kelas II, adanya kelemahan ringan pada otot-otot lain selain otot okular, otot
okular mengalami kelehaman dalam berbagai derajat.
3. Kelas III, adanya kelemahan tingkat sedang pada otot-otot lain selain otot okular,
otot okular mengalami kelemahan dalam berbagai derajat.
4. Kelas IV, adanya kelemahan dalam derajat yang berat pada otot-otot selain otot
okular, sedangkan otot-otot okular mengalami kelemahan dalam berbagai derajat.
b. Epidemiologi
Departemen kesehatan Amerika Serikat mencatat jumlah pasien miastenia gravis
diestimasikan sebanyak 5 sampai 14 dari 100.000 orang populasi pada seluruh etnis
maupun jenis kelamin . Angka tersebut jauh berbeda dengan angka insidensi di
wilayah Eropa seperti Inggris, Italia, dan Pulau Farou di Islandia yaitu sebesar 21-30
per 1.000.000 populasi.
Di Indonesia sendiri belum ditemukan data yang akurat terkait angka kejadian
Miastenia gravis. Populasi Miastenia gravis terbilang kecil apabila dibandingkan
dengan jumlah seluruh penduduk di Indonesia. Meskipun jumlahnya yang sedikit
namun pasien tetap merasakan berbagai dampak fisik maupun psikososial yang
ditimbulkan oleh proses penyakit. Studi pendahuluan yang dilakukan pada bulan
Oktober – November 2017 di Poliklinik Saraf Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Dr.
M. Djamil Padang, didapatkan 62 pasien MGdari periode Mei 2015 – Mei 2017.
Yayasan Miastenia Gravis Indonesia (YMGI) selaku support group utama sampai saat
ini masih mengupayakan pendataan yang maksimal terkait jumlah pasien dengan
miastenia gravis di Indonesia.
Biasanya penyakit ini lebih sering tampak pada usia diatas 50 tahun.Wanita lebih
sering menderita penyakit ini dibandingkan pria dan dapat terjadi pada berbagai usia.
Pada wanita, penyakit ini tampak pada usia yang lebih muda, yaitu sekitar 28 tahun,
sedangkan pada pria, penyakit ini sering terjadi pada usia 60 tahun.
d. Patofisiologi
Observasi klinik yang mendukung hal ini mencakup timbulnya kelainan autoimun
yang terkait dengan pasien yang menderita miastenia gravis, misalnya autoimun
tiroiditis, sistemik lupus eritematosus, arthritis rheumatoid, dan lain-lain.Sehingga
mekanisme imunogenik memegang peranan yang sangat penting pada patofisiologi
miastenia gravis.
Hal inilah yang memegang peranan penting pada melemahnya otot penderita
dengan miatenia gravis.Sejak tahun 1960, telah didemonstrasikan bagaimana
autoantibodi pada serum penderita miastenia gravis secara langsung melawan
konstituen pada otot.Tidak diragukan lagi, bahwa antibodipada reseptor nikotinik
asetilkolin merupakan penyebab utama kelemahan otot pasien dengan miastenia
gravis. Autoantibodi terhadap asetilkolin reseptor (anti-AChRs), telah dideteksi pada
serum 90% pasien yang menderita acquired myasthenia gravis generalisata.
Miastenia gravis dapat dikatakan sebagai “penyakit terkait sel B”, dimana antibodi
yang merupakan produk dari sel B justru melawan reseptor asetilkolin.Peranan sel T
pada patogenesis miastenia gravis mulai semakin menonjol.Walaupun mekanisme
pasti tentang hilangnya toleransi imunologik terhadap reseptor asetilkolin pada
penderita miastenia gravis belum sepenuhnya dapat dimengerti.Timus merupakan
organ sentral terhadap imunitas yang terkait dengan sel T, dimana abnormalitas pada
timus seperti hiperplasia timus atautimoma, biasanya muncul lebih awal pada pasien
dengan gejala miastenik. Subunit alfa juga merupakan binding site dari
asetilkolin.Sehingga pada pasien miastenia gravis, antibodi IgG dikomposisikan
dalam berbagai subklas yang berbeda, dimana satu antibodi secara langsung melawan
area imunogenik utama pada subunit alfa.Ikatan antibodi reseptor asetilkolin pada
reseptor asetilkolin akan mengakibatkan terhalangnya transmisi neuromuskular
melalui beberapa cara, antara lain : ikatan silang reseptor asetilkolin terhadap antibodi
anti-reseptor asetilkolin dan mengurangi jumlah reseptor asetilkolin pada
neuromuscular junction dengan cara menghancurkan sambungan ikatan pada
membran post sinaptik, sehingga mengurangi area permukaan yang dapat digunakan
untuk insersi reseptor-reseptor asetilkolin yang baru disintesis.
Pathway
e. Faktor/ Penyebab
Etiologi dari penyakit ini adalah :
1. Kelainan autoimun
2. Genetik
Faktor resiko yang mempengaruhi terjadinya miasteni gravis :
1. Infeksi (virus)
2. Pembedahan
3. Stress
4. Perubahan hormonal
5. Alkohol
6. Tumor mediastinum
7. Obat-obatan
B. Data Fokus
1. Pengkajian
a) Identitas klien yang meliputi nama, alamat, umur, jenis kelamin (wanita) dan
status
b) Keluhan utama : kelemahan otot
c) Riwayat kesehatan : diagnosa miastenia gravis didasarkan pada riwayat dan
presentasi klinis. Riwayat kelemahan otot setelah aktivitas dan pemulihan
kekuatan parsial setelah istirahat sangatlah menunjukkan miastenia gravis,
pasien mungkin mengeluh kelemahan setelah melakukan pekerjaan fisik yang
sederhana. Riwayat adanya jatuhnya kelopak mata pada pandangan atas dapat
menjadi signifikan, juga bukti tentang kelemahan otot.
d) Pemeriksaan fisik :
1) B1 (Breathing)
Inspeksi apakah klien mengalami kemampuan atau penurunan batuk efektif,
produksi sputum, sesak nafas, penggunaan otot bantu nafas, dan peningkatan
frekuensi pernapasan yang sering didapatkan pada klien yang disertai adanya
kelemahan otot-otot pernapasan. Auskultasi bunyi napas tambahan seperti
ronkhi atau stridor pada klien, menunjukkan adanya akumulasi secret pada
jalan napas dan penurunan kemampuan otot-otot pernapasan.
2) B2 (Blood)
Pengkajian pada system kardiovaskuler terutama dilakukan untuk memantau
perkembangan dari status kardiovaskular, terutama denyut nadi dan tekanan
darah yang secara progresif akan berubah sesuai dengan kondisi tidak
membaiknya status pernapasan.
3) B3 (Brain)
e) Pengkajian Saraf Kranial
1) Saraf I (olfaktorius)
Biasanya pada klien tidak ada kelainan, terutama fungsi penciuman
2) Saraf II (optikus)
Penurunan pada tes ketajaman penglihatan, klien sering mengeluh adanya
penglihatan ganda.
3) Saraf III, IV dan VI (okulomotoris,troklearis,abdusens)
Sering didapatkan adanya ptosis. Adanya oftalmoplegia, mimic dari
pseudointernuklear oftalmoplegia akibat gangguan motorik pada nervus
VI.
4) Saraf V (trigeminus)
Didapatkan adanya paralisis pada otot wajah akibat kelumpuhan pada otot-
otot wajah.
2. Analisa Data
b) Intoleransi Aktivitas
Definisi :
Energi fisiologis atau psikologis yang tidak mencukupi untuk bertahan atau
menyelesaikan aktivitas sehari-hari yang dibutuhkan atau di inginkan.
Batasan Karakteristik :
Kelemahan umum
Keadaan didekondisi
Gaya hidup tak bertenaga
Depresi
Kurang motivasi
Tempat istirahat yang lama
Kurang tidur
Batasan aktivitas
Pasokan dan permintaan oksigentidak seimbang
Rasa sakit
Lemahnya denyut nadi
Perubahan ritme
Dispneu berlebihan
Sesak napas
Secara berlebihan meningkat atau menurun respirasi
Respon tekanan darah abnormal terhadap aktivitas
Intervensi :
d) Risiko cidera
Definisi :
Beresiko mengalami cedera sebagai akibat kondisi lingkungan yang berinteraksi
dengan sumber adaptif dan sumber defensif individu
Faktor Resiko :
Eksternal
Biologis (mis, tingkat imunisasi komunitas, mikroorganisme)
Zat kimia (mis, racun, polutan, obat, agenens farmasi, alkohol, nikotin,
pengawet, kosmetik, pewarna)
Manusia (mis, agens nosokomial, pola ketegangan, atau faktor kognitif,
afektif, dan psikomotor)
Cara pemindahan/transport
Nutrisi (mis, desain, struktur, dan pengaturan komunitas, bangunan, dan/atau
peralatan)
Internal
Profil darah yang abnormal (mis, leukositosis / leukopenia, gangguan faktor
Koagulasi, trombositopenia, sel sabit, talasemia, penurunan hemoglobin)
Disfungsi biokimia
Usia perkembangan (fisiologis, psikososial)
Disfungsi efektor
Disfungsi imun-autoimun
Disfungsi integrative
Malnutrisi
Fisik (mis, integritas kulit tidak utuh, gangguan mobilitas)
Psikologis (orientasi afektif)
Disfungsi sensorik
Hipoksia jaringan
Risk Kontrol
Kriteria Hasil :
Klien terbebas dari cedera
Klien mampu menjelaskan cara/metode untuk mencegah injury/cedera
Klien mampu menjelaskan faktor resiko dari lingkungan/perilaku personal
Mampu memodifikasi gaya hidup untuk mencegah injury
Menggunakan fasilitas kesehatan yang ada
Mampu mengenali perubahan status kesehatan
Intervensi :