Anda di halaman 1dari 17

ASUHAN KEPERAWATAN KRITIS PADA KASUS MIASTENIA GRAVIS

Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Keperawatan Kritis

Dosen :

Disusun Oleh :
Acep Rizky R
Lia Himatul Aliyah

PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH TASIKMALAYA
2019
ASUHAN KEPERAWATAN KRITIS

PADA KASUS MIASTENIA GRAVIS

A. Konsep Penyakit
a. Definisi
Miastenia gravis adalah salah satu karakteristik penyakit autoimun yang
menyerang neurotransmitter di tautan neuromuskular dan melemahkan otot, yang
ditandai suatu kelemahan abnormal dan progresif pada otot rangka yang dipergunakan
secara terus-menerus dan disertai dengan kelelahan saat beraktivitas. Pada Miastenia
gravis terjadi permasalahan transmisi yang mana terjadi pemblokiran reseptor
asetilkolin (AChR) di serat otot (post synaptic) mengakibatkan tidak sampainya
impuls dari serat saraf ke serat otot (tidak terjadi kontraksi otot).
Kelemahan otot yang terjadi pada pasien miastenia gravis menjadi salah satu
faktor penting yang menentukan tingkat kesehatan baik fisik maupun mental.
Miastenia gravis termasuk penyakit yang mematikan dengan karakter progresif yakni
semakin lama seiring berjalannya waktu maka kelemahan yang dapat ditimbulkan
akan semakin luas.
Menurut Myasthenia Gravis Foundation of America (MGFA) terdapat 4
klasifikasi :
1. Kelas I, adanya kelemahan otot-otot okular, kelemahan pada saat menutup mata,
dan kekuatan otot-otot lain normal.
2. Kelas II, adanya kelemahan ringan pada otot-otot lain selain otot okular, otot
okular mengalami kelehaman dalam berbagai derajat.
3. Kelas III, adanya kelemahan tingkat sedang pada otot-otot lain selain otot okular,
otot okular mengalami kelemahan dalam berbagai derajat.
4. Kelas IV, adanya kelemahan dalam derajat yang berat pada otot-otot selain otot
okular, sedangkan otot-otot okular mengalami kelemahan dalam berbagai derajat.

b. Epidemiologi
Departemen kesehatan Amerika Serikat mencatat jumlah pasien miastenia gravis
diestimasikan sebanyak 5 sampai 14 dari 100.000 orang populasi pada seluruh etnis
maupun jenis kelamin . Angka tersebut jauh berbeda dengan angka insidensi di
wilayah Eropa seperti Inggris, Italia, dan Pulau Farou di Islandia yaitu sebesar 21-30
per 1.000.000 populasi.
Di Indonesia sendiri belum ditemukan data yang akurat terkait angka kejadian
Miastenia gravis. Populasi Miastenia gravis terbilang kecil apabila dibandingkan
dengan jumlah seluruh penduduk di Indonesia. Meskipun jumlahnya yang sedikit
namun pasien tetap merasakan berbagai dampak fisik maupun psikososial yang
ditimbulkan oleh proses penyakit. Studi pendahuluan yang dilakukan pada bulan
Oktober – November 2017 di Poliklinik Saraf Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Dr.
M. Djamil Padang, didapatkan 62 pasien MGdari periode Mei 2015 – Mei 2017.
Yayasan Miastenia Gravis Indonesia (YMGI) selaku support group utama sampai saat
ini masih mengupayakan pendataan yang maksimal terkait jumlah pasien dengan
miastenia gravis di Indonesia.
Biasanya penyakit ini lebih sering tampak pada usia diatas 50 tahun.Wanita lebih
sering menderita penyakit ini dibandingkan pria dan dapat terjadi pada berbagai usia.
Pada wanita, penyakit ini tampak pada usia yang lebih muda, yaitu sekitar 28 tahun,
sedangkan pada pria, penyakit ini sering terjadi pada usia 60 tahun.

c. Tanda dan Gejala


1. Gejala ptosis (menurunnya kelopak mata)
2. Binocular diplopia (penglihatan ganda)
3. Dysathria (penderita mengalami sulit berbicara)
4. Dysphagia (sulit menelan)
5. Kelemahan pada tangan dan kaki
6. Kesulitan mengekspresikan wajah dan tersenyum
7. Kelemahan pada otot dengan karakteristik tidak ada nyeri dan seringkali
diperburuk dengan melakukan aktivitas
8. bila penderita minum air, mungkin air itu dapat keluar dari hidungnya

d. Patofisiologi
Observasi klinik yang mendukung hal ini mencakup timbulnya kelainan autoimun
yang terkait dengan pasien yang menderita miastenia gravis, misalnya autoimun
tiroiditis, sistemik lupus eritematosus, arthritis rheumatoid, dan lain-lain.Sehingga
mekanisme imunogenik memegang peranan yang sangat penting pada patofisiologi
miastenia gravis.
Hal inilah yang memegang peranan penting pada melemahnya otot penderita
dengan miatenia gravis.Sejak tahun 1960, telah didemonstrasikan bagaimana
autoantibodi pada serum penderita miastenia gravis secara langsung melawan
konstituen pada otot.Tidak diragukan lagi, bahwa antibodipada reseptor nikotinik
asetilkolin merupakan penyebab utama kelemahan otot pasien dengan miastenia
gravis. Autoantibodi terhadap asetilkolin reseptor (anti-AChRs), telah dideteksi pada
serum 90% pasien yang menderita acquired myasthenia gravis generalisata.
Miastenia gravis dapat dikatakan sebagai “penyakit terkait sel B”, dimana antibodi
yang merupakan produk dari sel B justru melawan reseptor asetilkolin.Peranan sel T
pada patogenesis miastenia gravis mulai semakin menonjol.Walaupun mekanisme
pasti tentang hilangnya toleransi imunologik terhadap reseptor asetilkolin pada
penderita miastenia gravis belum sepenuhnya dapat dimengerti.Timus merupakan
organ sentral terhadap imunitas yang terkait dengan sel T, dimana abnormalitas pada
timus seperti hiperplasia timus atautimoma, biasanya muncul lebih awal pada pasien
dengan gejala miastenik. Subunit alfa juga merupakan binding site dari
asetilkolin.Sehingga pada pasien miastenia gravis, antibodi IgG dikomposisikan
dalam berbagai subklas yang berbeda, dimana satu antibodi secara langsung melawan
area imunogenik utama pada subunit alfa.Ikatan antibodi reseptor asetilkolin pada
reseptor asetilkolin akan mengakibatkan terhalangnya transmisi neuromuskular
melalui beberapa cara, antara lain : ikatan silang reseptor asetilkolin terhadap antibodi
anti-reseptor asetilkolin dan mengurangi jumlah reseptor asetilkolin pada
neuromuscular junction dengan cara menghancurkan sambungan ikatan pada
membran post sinaptik, sehingga mengurangi area permukaan yang dapat digunakan
untuk insersi reseptor-reseptor asetilkolin yang baru disintesis.
Pathway
e. Faktor/ Penyebab
Etiologi dari penyakit ini adalah :
1. Kelainan autoimun
2. Genetik
Faktor resiko yang mempengaruhi terjadinya miasteni gravis :
1. Infeksi (virus)
2. Pembedahan
3. Stress
4. Perubahan hormonal
5. Alkohol
6. Tumor mediastinum
7. Obat-obatan

B. Data Fokus
1. Pengkajian
a) Identitas klien yang meliputi nama, alamat, umur, jenis kelamin (wanita) dan
status
b) Keluhan utama : kelemahan otot
c) Riwayat kesehatan : diagnosa miastenia gravis didasarkan pada riwayat dan
presentasi klinis. Riwayat kelemahan otot setelah aktivitas dan pemulihan
kekuatan parsial setelah istirahat sangatlah menunjukkan miastenia gravis,
pasien mungkin mengeluh kelemahan setelah melakukan pekerjaan fisik yang
sederhana. Riwayat adanya jatuhnya kelopak mata pada pandangan atas dapat
menjadi signifikan, juga bukti tentang kelemahan otot.
d) Pemeriksaan fisik :
1) B1 (Breathing)
Inspeksi apakah klien mengalami kemampuan atau penurunan batuk efektif,
produksi sputum, sesak nafas, penggunaan otot bantu nafas, dan peningkatan
frekuensi pernapasan yang sering didapatkan pada klien yang disertai adanya
kelemahan otot-otot pernapasan. Auskultasi bunyi napas tambahan seperti
ronkhi atau stridor pada klien, menunjukkan adanya akumulasi secret pada
jalan napas dan penurunan kemampuan otot-otot pernapasan.
2) B2 (Blood)
Pengkajian pada system kardiovaskuler terutama dilakukan untuk memantau
perkembangan dari status kardiovaskular, terutama denyut nadi dan tekanan
darah yang secara progresif akan berubah sesuai dengan kondisi tidak
membaiknya status pernapasan.
3) B3 (Brain)
e) Pengkajian Saraf Kranial
1) Saraf I (olfaktorius)
Biasanya pada klien tidak ada kelainan, terutama fungsi penciuman
2) Saraf II (optikus)
Penurunan pada tes ketajaman penglihatan, klien sering mengeluh adanya
penglihatan ganda.
3) Saraf III, IV dan VI (okulomotoris,troklearis,abdusens)
Sering didapatkan adanya ptosis. Adanya oftalmoplegia, mimic dari
pseudointernuklear oftalmoplegia akibat gangguan motorik pada nervus
VI.
4) Saraf V (trigeminus)
Didapatkan adanya paralisis pada otot wajah akibat kelumpuhan pada otot-
otot wajah.

2. Analisa Data

Data Etiologi Masalah


Ds : Otot pernafasan Ketidakefektif Pola nafas
1. Klien mengeluh sulit
bernafas Ketidakmampuan batuk
Do : efektif dan kelemahan otot-
1. Frekuensi nafas otot pernafasan
meningkat
2. Pernafasan cuping Ketidakefektif Pola nafas
hidung
3. Terdapat alat bantu
pernafasan
Ds : Otot valunteer Intoleransi aktivitas
1. Klien mengatakan tidak
dapat beraktivitas seperti kelemahan otot-otot
biasa
Do : Intoleransi aktivitas
1. Aktivitas dibantu
keluarga
Ds : kelemahan otot-otot Gangguan komunikasi verbal
1. Keluarga mengatakan
klien kesulitan dalam otot wajah, laring dan faring
berkomunikasi
2. Keluarga mengatakan Gangguan komunikasi verbal
klien sulit
mengungkapkan kata-
kata
Do :
1. Klien tampak sulit
menyusun kata-kata
2. Klien selalu berusaha
berkomunikasi dengan
bahasa isyarat
DS : biasanya klien Kelemahan ototpada mata Resiko cidera
mengeluh pandangan
berkunang-kunang / tidak Visus menurun
jelas
DO : tekanan darah, suhu, Resiko cidera
respirasi, nadi dan
dilakukannya pemeriksaan
penunjang lainnya
3. Diagnosa:
a) Ketidakefektif Pola nafas
Definisi :
Pertukaran udara inspirari dan atau ekspirasi tidak adekuat.
Batasan Karakteristik :
 Penurunan tekanan inspirasi dan ekspirasi
 Penurunan pertukaran udara per menit
 Menggunakan otot pernafasan tambahan
 Nasal flaring
 Dyspnea
 Orthopnea
 Perubahan penyimpangan dada
 Nafas pendek
 Assumption of 3 point position
 Pernafasan pursed-lip
 Tahap ekspirasi berlangsung sangat lama
 Peningkatan diameter anterior-posterior
 Pernafasan rata-rata/minimal :
1. Bayi : < 25 tau >60
2. Usia 1-4 : < 20 atau 30
3. Usia 5-14 : <14 atau >25
4. Usia > 14 : <11 atau >24
 Penurunan kapasitas vital
Faktor yang berhubungan :
 Hiperventilasi
 Deformitas tulang
 Kelainan bentuk dingding dada
 Penurunan energi atau kelelahan
 Perusakan/pelemahan muskuloskeletal
 Obesitas
 Posisi tubuh
 Kelelahan otot pernafasan
 Hipoventilasi sindrom
 Nyeri
 Kecemasan
 Disfungsi neuromuskuler
 Kerusakan persepsi/kognitif
 Perlukaan pada jaringan syaraf tulang belakang
 Imaturitas neurologis
Tujuan dan kriteria hasil:
 Respiratory status : ventilation
 Respiratory status :airway patency
 Vital sign status
Kriteria hasil :
 Mendemontrasikan batuk efektif dan suara nafas yang bersih , tidak ada
sianosis dan dyspneu (mampu nmngeluarkan sputum, mampu bernafas dengan
mudah, tidak da pursed list)
 Menunjukan jalan nafas yang paten( klien tidak merasa tercekik, irama nafas,
frekuensi pernafasan dalam rentang normal, tidak da suara nafas abnormal)
 Tanda-tanda vital dalam rentang normal (tekanan darah, nadi, pernafasan)
Intervensi :
Airway Management
 Buka jalan nafas ,gunakan teknik chin lift ataujaw thrust bila perlu
 Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi
 Identifikasi pasien perlunya alat jalan nafas buatan
 Pasang mayo bila perlu
 Lakukan fisiotrpi dada bila perlu
 Keluarkan secret dengan batuk atau suction
 Auskultasi suara nafas , catat adanya suara tambahan
 Lakukan suction pada mayo
 Berikan bronkodilator bila perlu
 Berikan pelembab udara kasa basah NaCL lembab
 Atur intake untuk caoran untuk mengoptimalkan keseimbangan
 Monitor respirasi dan status 02
Oxygen Therapy
 Bersihkan mulut, hidung dan secret trakea
 Pertahankan jalan nafasyang paten
 Atur peralatan oksigenasi
 Pertahankan posisi pasien
 Observasi adanya tanda-tanda hipoventilasi
 Monitor adanya kecemasan pasien terhadap oksigenasi
Vital Sign Monitoring
 Monitor tanda-tanda vital
 Catat adanya fluktuasi tekanan darah
 Monitor VS saat pasien berbaring atau duduk
 Auskultasi tekanan daarah pada kedua lengan dan bandingkan
 Monitor kualitas dari nadi
 Monitor frekuensi dan irama pernafasan
 Monitor suara paru
 Monitor suara nafasa abnormal
 Monitor suhu, warna dan kelembaban kulit
 Monitor sianosis perifer
 Monitor adanya cushing triad
 Identifikasi penyebab dari perubahan vital sign

b) Intoleransi Aktivitas
Definisi :
Energi fisiologis atau psikologis yang tidak mencukupi untuk bertahan atau
menyelesaikan aktivitas sehari-hari yang dibutuhkan atau di inginkan.
Batasan Karakteristik :
 Kelemahan umum
 Keadaan didekondisi
 Gaya hidup tak bertenaga
 Depresi
 Kurang motivasi
 Tempat istirahat yang lama
 Kurang tidur
 Batasan aktivitas
 Pasokan dan permintaan oksigentidak seimbang
 Rasa sakit
 Lemahnya denyut nadi
 Perubahan ritme
 Dispneu berlebihan
 Sesak napas
 Secara berlebihan meningkat atau menurun respirasi
 Respon tekanan darah abnormal terhadap aktivitas

Faktor Yang Berhubungan :

 Kelmahan umum ketidakseimbangan antara suplai dan permintaan suplai


oksigen
 Dkondisi sekunder akibat imobilisasi dan rasa sakit berkepanjangan
 Gaya hidup tak bertenaga
 Meningkatnya kebutuhan metabolik
 Sumber energi yang tidak memadai
 Tidak aktif sekunderuntuk peralatan bantu
 Rasa sakit
 Efek samping obat
 Batasan aktivitas terlarang
 Depresi atau kurang motivasi

Tujuan dan Kriteria Hasil :

 Pasien akan menunjukan toleransi selama aktivitas fisik sebagaimana


dibuktikan oleh fluktuasi tanda vital yang normal selama aktivtas fisik
 Pasien akan mengidentifikasi faktor-faktor yang memperparah aktivitas
intoleransi
 Pasien akan verbalisasi dan mengginakan teknik konservasi energi
 Pasien akan mengidentifikasi metode untuk mengurangi intolerasi aktivitas
 Pasien akan mempertahankantekanan darah dalam batas normal 3 menit
setelah aktivitas

Intervensi :

 Kolaborasikan dengan tenaga rehabilitasi medik dalam merencanakan


program terapi yang tepat
 Bantu klien untuk mengidentifikasi aktivitas yang mampu dilakukan
 Bantu untuk memilih aktivitas konsisten yang sesuai dengan kemampuan fisik,
psikologi dan social
 Bantu untuk mengidentifikasi dan mendapatkan sumber yang diperlukan untuk
aktivitas yang diinginkan
 Bantu untuk mendapatkan alat bantuan aktivitas seperti kursi roda, krek
 Bantu untuk mengidentifikasi aktivitas yang disukai
 Bantu klien untuk membuat jadwal latihan diwaktu luang
 Bantu pasien/keluarga untuk mengidentifikasi kekurangan dalam beraktivitas
 Sediakan penguatan positif bagi yang aktif beraktivitas
 Bantu pasien untuk mengembangkan motivasi diri dan penguatan
 Monitor respon fisik, emosi, social dan spiritual

c) Gangguan komunikasi verbal


Definisi :
Berkurang,tertunda atau tidak ada kemampuan untuk menerima, memproses,
mentransmisikan, dan menggunakan sistem simbol.
Batasa Karakteristik :
 Ketidakmampuan untuk menemukan, mengenali atau memahami kata-kata
 Ketidakmampuan mengingat kata, frasa atau nama orang, objek dan tempat
yang dikenal
 Verbalisasi yang tidak tepat
 Masalah dalam menerimajenis input sensorik dikirim atau mengirimkan jenis
masukan yang diperlukanuntuk pemahaman
Faktor Yang Berhubungan :
 Persepsi yang berubah
 Perubahan biokimia di otak
 Cidera otak atau tumor
 Perbedaan budaya (misalnya, berbicara dengan bahasa yang berbeda)
 Dispnea
 Kelelahan
 Hambatan psikologis
 Tantangan sensorik melibatkan pendengaran atau penglihatan
 Efek samping obat
 Masalah struktural (misalnya selah langit-langit mulut, laringektomi,
trakeostomi, intubasi, rahang kabel)
Tujuan Dan Kriteria Hasil :
 Pasien mengungkapkan pikiran dan perasaan secara koheren, logis, diarahkan
pada tujuan
 Pasien menunjikan proses pemikiran berbasis realitas dalam komunikasi
verbal
 Pasien menghabiskan waktu dengan satu orang atau dua orang lainya dalam
aktivitas terstuktur topik netral
 Pasien menghabiskan dua atau tiga sesi 5 menit dengan observasi berbagai
perawat dilingkungan dalam 3 hari
 Pasien berkomunikasi dengan cara yang bisa dimengerti oleh orang lain
dengan bantuan pengobatan dan mendengarkan dengan penuh perhatian saat
waktu pelepaan
 Pasien belajar satu atau dua taktik pengalihan perhatian yang bekerja untuk
mengurangi kecemasan, sehingga meningkatkan kemampuan untuk berpikir
jernih dan berbicara lebih logis
Intervensi :
 Pelajari kebutuhan pasien dan perhatikan isyarat non verbal
 Tempatkan benda-benda yang penting yang bisa dijangkau
 Berikan sarana komunikasi alternatif untuk saat kuru bahasa tidak tersedia
 Jangan pernah berbicara di depan pasien seolah-olah dia tidak mengerti apa-
apa
 Perjelas pemahaman anda tentang komunikasi pasien dengan pasien atau
penerjemah
 Jauhkan gangguan seperti televisi dan radio minimal saat berbicara dengan
pasien

d) Risiko cidera

Definisi :
Beresiko mengalami cedera sebagai akibat kondisi lingkungan yang berinteraksi
dengan sumber adaptif dan sumber defensif individu
Faktor Resiko :
Eksternal
 Biologis (mis, tingkat imunisasi komunitas, mikroorganisme)
 Zat kimia (mis, racun, polutan, obat, agenens farmasi, alkohol, nikotin,
pengawet, kosmetik, pewarna)
 Manusia (mis, agens nosokomial, pola ketegangan, atau faktor kognitif,
afektif, dan psikomotor)
 Cara pemindahan/transport
 Nutrisi (mis, desain, struktur, dan pengaturan komunitas, bangunan, dan/atau
peralatan)
Internal
 Profil darah yang abnormal (mis, leukositosis / leukopenia, gangguan faktor
Koagulasi, trombositopenia, sel sabit, talasemia, penurunan hemoglobin)
 Disfungsi biokimia
 Usia perkembangan (fisiologis, psikososial)
 Disfungsi efektor
 Disfungsi imun-autoimun
 Disfungsi integrative
 Malnutrisi
 Fisik (mis, integritas kulit tidak utuh, gangguan mobilitas)
 Psikologis (orientasi afektif)
 Disfungsi sensorik
 Hipoksia jaringan

Tujuan dan Kriteria Hasil :

 Risk Kontrol
Kriteria Hasil :
 Klien terbebas dari cedera
 Klien mampu menjelaskan cara/metode untuk mencegah injury/cedera
 Klien mampu menjelaskan faktor resiko dari lingkungan/perilaku personal
 Mampu memodifikasi gaya hidup untuk mencegah injury
 Menggunakan fasilitas kesehatan yang ada
 Mampu mengenali perubahan status kesehatan
Intervensi :

Environment Management (Manajemen lingkungan)

 Sediakan Iingkungan yang aman untuk pasien


 Identifikasi kebutuhan keamanan pasien, sesuai dengan kondisi fisik dan
fungsi kognitif pasien dan riwayat penyakit terdahulu pasien
 Menghindarkan lingkungan yang berbahaya (misalnya memindahkan
perabotan)
 Memasang side rail tempat tidur
 Menyediakan tempat tidur yang nyaman dan bersih
 Menempatkan saklar lampu ditempat yang mudah dijangkau pasien.
 Membatasi pengunjung
 Menganjurkan keluarga untuk menemani pasien.
 Mengontrol lingkungan dari kebisingan
 Memindahkan barang-barang yang dapat membahayakan
 Berikan penjelasan pada pasien dan keluarga atau pengunjung adanya
perubahan status kesehatan dan penyebab penyakit.
DAFTAR PUSTAKA

Muhammad fadel, syafrita yuliami, susanti lydia, 2019, Gambaran Kualitas


Hidup Pasien Miastenia Gravis Di RSUP Dr. M. Djamil Padang, Padang,
Jurnal kesehatan andalas : 8(1).
Rizki Kusuma Putri Tri Andika, 2017, Status Emosional Dan Kualitas Hidup
Pada Pasien Miastenia Gravis, STIK PPNI JABAR,jurnal keperawatan
komprehensif vol 3 no. 2.
Chairunnisa, Zanariah, Saputra, Karyanto, 2016, Myasthenia gravis pada
Pasien Laki-laki 39 Tahun dengan Sesak Napas, Universitas Lampung, J
Medula Unila|Volume 6|Nomor 1|Desember 2016|108.
file:///C:/Users/Ida%20Rosida%20S.Pd/AppData/Local/Packages/Microsoft.M
icrosoftEdge_8wekyb3d8bbwe/TempState/Downloads/DIAGNOSISDANTA
TALAKSANAMIASTENIAGRAVIS.pdf
file:///C:/Users/Ida%20Rosida%20S.Pd/AppData/Local/Packages/Microsoft.M
icrosoftEdge_8wekyb3d8bbwe/TempState/Downloads/bccf7d50d5873e07c32
11e891fa2769c.pdf

Anda mungkin juga menyukai