Anda di halaman 1dari 32

KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

Gangguan Imunitas Myastenia Gravis


Dosen Pembimbing:
Dwi Adji Norontoko,S.kep.Ns.,M.kep
Kelompok 1
1.Adinda Dwi Anggraini (P27820720001)
2.Anizha Defy (P27820720007)
3.Haniatul Fuadah (P27820720020)
4.Ina Mufiana (P27820720022)
5.Lutfia Nur Hariati (P27820720027)
6.Nila Chusnayatul A. (P27820720033)
7.Sindy Puspita (P27820720040)
8.Zhenif Galang Sakti (P27820720047)
Myastenia Gravis
Myastenia gravis adalah Suatu gangguan Neuromuskuler yang
dicirikan oleh kelemahan dan kelelahan otot kerangka, defek yang
mendasarinya adalah pengurangan dalam jumlah reseptor asetilkolin
(AchRs) yang tersedia pada persambungan neuro muskuler akibat
suatu serangan autoimun yang diperantarai antibody (Daniel B
Drachman, 2000).
Etiologi
Penyebab pasti gangguan transmisi neromuskuler pada Miastenia gravis tidak
diketahui. Dulu dikatakan, pada Miastenia gravis terdapat kekurangan ACh atau
kelebihan kolinesterase, tetapi menurut teori terakhir, faktor imunologik yang
berperanan. Gangguan tersebut kemungkinan dipicu oleh infeksi, operasi, atau
penggunaan obat-obatan tertentu, seperti nifedipine atau verapamil (mengobati
tekanan darah tinggi), quinine (mengobati malaria), dan procainamide (mengobati
kelainan ritme jantung).
Kelainan primer pada Miastenia gravis dihubungkan dengan gangguan transmisi
pada neuromuscular junction, yaitu penghubung antara unsur saraf dan unsur otot.
Pada ujung akson motor neuron terdapat partikel –partikel globuler yang merupakan
penimbunan asetilkolin (ACh). Jika rangsangan motorik tiba pada ujung akson, partikel
globuler pecah dan ACh dibebaskan yang dapat memindahkan gaya sarafi yang
kemudian bereaksi dengan Ach Reseptor (ACHR) pada membran postsinaptik. Reaksi ini
membuka saluran ion pada membran serat otot dan menyebabkan masuknya kation,
terutama Na, sehingga dengan demikian terjadilah kontraksi otot
Patofisiologi
Melalui mekanisme autoimun pada neuromuskular junction (NMJ). Penurunan jumlah
reseptor dan aktivitas kompetitif dari anti-AChR (acetylcholine receptor) antibodi menyebabkan
insufisiensi amplitudo potensial postsinaps untuk menginervasi otot. Sekitar 20% pasien dengan
generalized myasthenia gravis menunjukkan seronegatif pada deteksi AChR antibodi. Akan tetapi,
30% dari pasien tersebut menunjukkan autoantibodi terhadap Muscle-Specific Kinase (MuSK).
AchR protein antibodi dapat ditemukan pada lebih dari 85% pasien dengan generalized myasthenia
dan 60% pasien dengan myasthenia okuler. Gejala muncul apabila jumlah AChR berkurang kira-kira
30% dari normal.
Transmisi neuromuskular bisa terganggu dalam beberapa cara, yaitu:
1. Antibodi yang memblokade reseptor tempat asetilkolin gagal berikatan
2. Serum IgG pasien MG menyebabkan peningkatan degradasi AChR yang disebabkan oleh
kapasitas antibodi untuk breaksi silang dengan resepto
3. Antibodi menyebabkan jalur penghancuran melalui aktivasi komplemen pada lipatan postsinaps.
Transmisi yang terhambat ini kemudian berujung pada penurunan kekuatan kontraksi otot.
Defisiensi pertama kali terkena pada otot okuler dan otot kranial karena otot-otot inilah yang
dipakai secara aktif dan berkepanjangan serta memiliki jumlah AChR yang paling sedikit per unit
motor.
Pathway
Manifestasi Klinis
Karakteristik penyakit berupa kelemahan otot ekstrem dan mudah mengalami
kelelahan, yang umumnya memburuk setelah aktivitas dan berkurang setelah
istirahat. Berbagai gejala yang muncul sesuai dengan otot yang terpengaruh,
sebagai berikut:
1. Apabila otot simetri yang terkena, umumnya dihubungkan dengan saraf kranial.
Karena otot - otot okular terkena, maka gejala awal yang muncul diplopia
(penglihata ganda) dan ptosis (jatuhnya kelopak mata).
2. Pengaruh terhadap laring menyebabkan disfonia (gangguan suara) dalam
pembentukan bunyi suara hidung atau kesukaran dalam pengucapan kata kata.
3. Sekitar 15% sampai 20% keluhan pada tangan dan otot otot lengan, pada otot
kaki mengalami kelemahan yang membuat pasien jatuh. Kelemahan diafragma
dan otot otot interkostal menyebabkan gawat nafas, yang merupakan keadaan
darurat akut. (Keperawatan medikal bedah, 2001)
Komplikasi
Ada dua jenis krisis yang terjadi sebagai komplikasi dari miastenia gravis (Corwin,
2009), yaitu:
1. Krisis miastenik
Ditandai dengan perburukan berat fungsi otot rangka yang memuncak pada gawat napas
dan kematian karena diafragma dan otot interkostal menjadi lumpuh.
2. Krisis kolinergik
Krisis kolinergik yaitu respons toksik akibat kelebihan obat-obat antikolinesterase. Hal ini
mungkin disebabkan karena pasien tidak sengaja telah minum obat berlebihan, atau
mungkin juga dosis menjadi berlebihan karena terjadi remisi spontan
Pemeriksaan Penunjang
1. Tes darah, dikerjakan untuk menebtukan kadar antibody tertentu didalam serum
(mis. AChR-binding antibodies, AChR-modulating antibodies, antistriational
antibodies). Tingginya kadar dari antibody dibawah ini dapat mengindikasikan
adanya MG.
2. Pemeriksaan Neurologis melibatkan pemeriksaan otot dan reflex. MG dapat
menyebabkan pergerakan mata abnormal, ketidakmampuanuntuk
menggerakkan mata secara normal, dan kelopak mata turun.
3. Foto thorax X-Ray dan CT-Scan dapat dilakukan untuk mendeteksi adanya
pembesaran thymoma, yang umum terjadi pada MG Pemeriksaan Tensilon
sering digunakan untuk mendiagnosis MG.
4. Electromyography (EMG) menggunakan elektroda untuk merangsang otot dan
mengevaluasi fungsi otot. Kontraksi otot yang semakin melemah menandakan
adanya MG.
Penatalaksanaan
Menurut Corwin (2009), penatalaksanaan pada pasien dengan miastenia gravis
adalah:
a) Periode istirahat yang sering selama siang hari untuk menghemat kekuatan
b) Timektomi (pengangkatan timus melalui pembedahan)
c) Plasmaferesis (dialisis darah dengan produksi antibodi IgG)
d) Terapi farmakologi
- Antikolinesterase
- Steroid
- Azatioprin
- Obat anti-inflamasi untuk membatasi serangan autoimun
Asuhan
Keperawatan Teori
Gangguan Imunitas
Myastenia Gravis
Pengkajian
1. Anamnesis
a. Identitas klien
Meliputi nama, umur, jenis kelamin, agama, pekerjaan, pendidikan, alamat.
b. Keluhan Utama
Hal yang sering menyebabkan klien myastenia gravis adalah kondisi penurunan atau kelemahan
otot-otot, dengan manifestasi: diplopia (penglihatan ganda), ptosis (jatuhnya kelopak mata)
merupakan keluhan utama dari 90% klien myastenia gravis, disfonia (gangguan suara), masalah
menelan, dan mengunyah makanan. Pada kondisi berat keluhan utama biasanya adalah
ketidakmampuan menutup rahang, ketidakmampuan batuk efektif dan dispnea.
c. Riwayat Penyakit Sekarang
Myastenia gravis juga menyerang otot-otot wajah, laring, dan faring. Keadaan ini dapat
menyebabkan regurgitasi melalui hidung jika klien mencoba menelan (otot-otot palatum),
menimbulkan suara abnormal atau suara nasal, dan klien tidak mampu menutup mulut yang
disebut sebagai tanda rahang menggantung. Terserangnya otot-otot pernapasan terlihat dari
adanya batuk yang lemah, akhirnya dapat berupa serangan dispnea dan klien tidak mampu lagi
membersihkan lender dari trakea dan cabang-cabangnya. Pada kasus lanjut, gelang bahu dan
panggul dapat terserang pula, dapat pula terjasi semua kelemahan otot-otot rangka.
Lanjutan
d. Riwayat Penyakit Dahulu
Kaji faktor-faktor yang berhubungan dengan penyakit yang memperberat kondisi
myastenia gravis, seperti hiprertensi dan diabetes mellitus.
e. Riwayat Penyakit Keluarga
Kaji kemungkinan dari generasi terdahulu yang mempunyai persamaan dengan
keluhan klien saat ini.
f. Pengkajian Psikososiokultural
Klien myastenia gravis sering mengalami gangguan emosi pada kebanyakan klien
kelemahan otot jika mereka berada dalam keadaan tegang. Adanya kelemahan
pada kelopak mata ptosis, diplopia, dan kerusakan dalam komunikasi verbal
menyebabkan klien sering mengalami gangguan citra diri.
Pengkajian
2. Pengkajian Fisik
a. B1 (Breathing)
Inspeksi apakah klien mengalami kemampuan atau penurunan batuk efektif, produksi sputum,
sesak nafas, penggunaan otot bantu nafas, dan peningkatan frekuensi pernapasan yang sering
didapatkan pada klien yang disertai adanya kelemahan otot-otot pernapasan. Auskultasi bunyi napas
tambahan seperti ronkhi atau stridor pada klien, menunjukkan adanya akumulasi secret pada jalan
napas dan penurunan kemampuan otot-otot pernapasan.
b. B2 (Blood)
Pengkajian pada system kardiovaskuler terutama dilakukan untuk memantau perkembangan dari
status kardiovaskular, terutama denyut nadi dan tekanan darah yang secara progresif akan berubah
sesuai dengan kondisi tidak membaiknya status pernapasan.
c. B3 (Brain)
1) Pengkajian Saraf Kranial
• Saraf I. Biasanya pada klien tidak ada kelainan, terutama fungsi penciuman
• Saraf II. Penurunan pada tes ketajaman penglihatan, klien sering mengeluh adanya
penglihatan ganda.
Lanjutan
•Saraf III, IV dan VI. Sering didapatkan adanya ptosis. Adanya oftalmoplegia, mimic
dari pseudointernuklear oftalmoplegia akibat gangguan motorik pada nervus VI.
•Saraf V. Didapatkan adanya paralisis pada otot wajah akibat kelumpuhan pada
otot-otot wajah.
•Saraf VII. Persepsi pengecapan terganggu akibat adanya gangguan motorik lidah.
•Saraf VIII. Tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan tuli persepsi.
•Saraf IX dan X. Ketidakmampuan dalam menelan.
•Saraf XI. Tidak ada atrofi otot sternokleidomastoideus dan trapezius.
•Saraf XII. Lidah tidak simetris, adanya deviasi pada satu sisi akibat kelemahan otot
motorik pada lidah.
2) Pengkajian Sistem Motorik
Karakteristik utama myastenia gravis adalah kelemahan dari system motorik. Adanya
kelemahan umum pada oto-otot rangka memberikan manifestasi pada hambatan
mobilitas dan intoleransi aktivitas.
Lanjutan
3) Pengkajian Refleks
Pemeriksaan refleks profunda, pengetukan pada tendon, ligamentum atau periosteum derajat
refleks pada respons normal.
4) Pengkajian Sistem Sensorik
Pemeriksaan sensorik pada penyakit ini biasanya didapatkan sensasi raba dan suhu normal, tidak
ada perasaan abnormal di permukaan tubuh.
d. B4 (Bladder)
Pemeriksaan pada system perkemihan biasanya menunjukkan berkurangnya volume pengeluaran
urin, yang berhubungan dengan penurunan perfuusi dan penurunan curah jantung ke ginjal.
e. B5 (Bowel)
Mual sampai muntah akibat peningkatan produksi asam lambung. Pemenuhan nutrisi pada klien
myastenia gravis menurun karena ketidakmampuan menelan makanan sekunder dari kelemahan
otot-otot menelan.
f. B6 (Bone)
Adanya kelemahan otot-otot volunter memberikan hambatan pada mobilitas dan mengganggu
aktivitas perawatan diri. (Arif Muttaqin, 2008)
Diagnosa Keperawatan
Diagnosa Keperawatan Myastenia Gravis menurut SDKI antara lain
1. Pola Napas Tidak Efektif berhubungan dengan kelemahan otot pernapasan.
(D.0005)
2. Gangguan Mobilitas Fisik berhubungan dengan penurunan kekuatan otot.
(D.0054)
3. Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan disfonia, gangguan
pengucapan kata, gangguan neuromuskular, kehilangankontrol tonus otot
fasialatau oral. (D.0119)
4. Gangguan Citra Tubuh berhubungan dengan perubahan struktur atau bentuk
tubuh (ptosis). (D.0083)
5. Risiko Aspirasi berhubungan dengan kerusakan mobilitas fisik. (D.0006)
Intervensi Keperawatan

1. Pola Napas Tidak Efektif berhubungan dengan kelemahan otot pernapasan. (D.0005)
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama ....x24 jam diharapkan pola nafas
membaik. Dengan Kriteria Hasil :
A. Ventilasi semenit meningkat
B. Frekuensi napas membaik
C. Pola napas membaik
Intervensi : Manajemen Jalan Napas (I.01011)
1. Monitor pola napas (frekuensi, kedalaman, usaha napas)
2. Posisikan semi-fowler atau fowler
3. Berikan minum hangat
4. Berikan oksigen, jika perlu
5. Observasi tanda-tanda vital (RR, nadi)
6. Ajarkan teknik napas dalam
Intervensi Keperawatan
2. Gangguan Mobilitas Fisik berhubungan dengan penurunan kekuatan otot. (D.0054)
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama ....x24 jam diharapkan
mobilitas fisik meningkat. Dengan Kriteria Hasil :
A. Pergerakan ekstremitas meningkatkan
B. Kekuatan otot meningkat
C. Rentang gerak ROM meningkat
D. Kelemahan fisik menurun
Intervensi : Dukungan Ambulasi (I.06171)
3. Identifikasi toleransi fisik melakukan ambulasi
2. Kaji kemampuan klien dalam beraktivitas
3. Fasilitasi aktivitas ambulasi dengan alat bantu (mis, tongkat, kruk, kursi roda)
4. Minta bantuan keluarga untuk membantu klien dalam meningkatkan ambulasi
5. Anjurkan ambulasi sederhana yang harus dilakukan
Intervensi Keperawatan
3. Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan disfonia, gangguan pengucapan kata,
gangguan neuromuskular, kehilangankontrol tonus otot fasialatau oral. (D.0119)
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama ....x24 jam diharapkan komunikasi
verbal meningkat. Dengan Kriteria Hasil :
A. Kemampuan berbicara menggunakan bahasa isyarat meningkat
B. Kesesuaian ekspresi wajah/tubuh meningkat
C. Respons perilaku membaik
D. Pemahaman komunikasi membaik.
Intervensi : Promosi Komunikasi: Defisit Bicara (I.13492)
4. Kaji komunikasi verbal klien
5. Lakukan metode komunikasi yang ideal sesuai dengan kondisi klien
6. Modifikasi lingkungan untuk meminimalkan bantuan dengan memberikan bel atau
lonceng
7. Ajukan pertanyaan dengan jawaban 'ya' dan 'tidak' atau dengan menggunakan gerakan
tubuh
8. Rujuk ke ahli patologi bicara atau terapis
Intervensi Keperawatan
4. Gangguan Citra Tubuh berhubungan dengan perubahan struktur atau bentuk tubuh
(ptosis). (D.0083)
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama ....x24 jam diharapkan citra
tubuh meningkat. Dengan Kriteria Hasil :
A.Hubungan sosial membaik dengan klien mampu menyatakan atau
mengkomunikasikan dengan orang terdekat tentang situasi dan perubahan yang
sedang terjadi
B. Verbalisasi kecacatan bagian tubuh membaik dengan klien menyatakan
penerimaan diri terhadap situasi
C. Verbalisasi perasaan negatif tentang perubahan tubuh menurun dengan klien
mengakui dan menggabungkan perubahan ke dalam konsep diri dengan cara yang
akurat tanpa harga diri negatif
Lanjutan

Intervensi : Promosi Citra Tubuh (I.09305)


1. Identifikasi arti dari Kehilangan atau disfungsi pada klien.
2. Monitor apakah klien bisa melihat bagian tubuh yang berubah
3. Diskusikan kondisi stres yang mempengaruhi Citra tubuh (ptosis)
4. Bantu dan anjurkan perawatan yang baik dan memperbaiki kebiasaan
5. Anjurkan orang yang terdekat untuk mengizinkan klien melakukan hal untuk
dirinya sebanyak-banyaknya
6. Anjurkan mengungkapkan gambaran diri terhadap citra tubuh
Intervensi Keperawatan
5. Risiko Aspirasi berhubungan dengan kerusakan mobilitas fisik. (D.0006)
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama ....x24 jam diharapkan tingkat
aspirasi menurun. Dengan Kriteria Hasil :
A. Tingkat kesadaran meningkat
B. Kemampuan menelan meningkat
Kelemahan otot menurun
Intervensi : Pencegahan Aspirasi (I.01018)
6. Monitor status pernapasan
7. Monitor tingkat kesadaran, kemampuan menelan
8. Posisikan semi-fowler 30 menit sebelum memberi asupan oral
9. Berikan makanan dengan ukuran yang kecil atau lunak
10. Berikan obat oral dalam bentuk cair
11. Anjurkan makan secara perlahan
12. Ajarkan strategi mencegah aspirasi.
Implementasi
NO DX KEPERAWATAN HARI/TANGGAL/JAM IMPLEMENTASI KEPERAWATAN TTD
1. Pola Napas Tidak Manajemen Jalan Napas (I.01011)  
Diisi saat melakukan
Efektif (D.0005) Observasi
berhubungan tindakan yang telah
dengan 1. Memonitor pola napas (frekuensi,
direncanakan kedalaman, usaha napas)
kelemahan otot  
pernapasan Terapeutik
2. Memposisikan semi-fowler atau fowler
3. Memberikan minum hangat
4. Memberikan oksigen, jika perlu
5. Mengobservasi tanda-tanda vital (RR, nadi)
Edukasi
6. Mengajarkan teknik napas dalam
Implementasi
NO DX KEPERAWATAN HARI/TANGGAL/JAM IMPLEMENTASI KEPERAWATAN TTD
2. Gangguan Dukungan Ambulasi (I.06171)  
Diisi saat melakukan
Mobilitas Fisik Observasi
berhubungan tindakan yang telah
dengan penurunan direncanakan 1. Mengidentifikasi toleransi fisik melakukan
kekuatan otot. ambulasi
 
(D.0054) 2. Mengkaji kemampuan klien dalam
beraktivitas
Terapeutik
3. Memfasilitasi aktivitas ambulasi dengan alat
bantu (mis, tongkat, kruk, kursi roda)
4. Meminta bantuan keluarga untuk membantu
klien dalam meningkatkan ambulasi
Edukasi
5. Menganjurkan ambulasi sederhana yang harus
dilakukan
Implementasi
NO DX KEPERAWATAN HARI/TANGGAL/JAM IMPLEMENTASI KEPERAWATAN TTD
3. Gangguan Promosi Komunikasi: Defisit Bicara (I.13492)  
Diisi saat melakukan
komunikasi Observasi
verbal tindakan yang telah
berhubungan 1.Mengkaji komunikasi verbal klien
direncanakan
dengan disfonia,   Terapeutik
gangguan
2.Melakukan metode komunikasi yang ideal
pengucapan kata,
sesuai dengan kondisi klien
gangguan
neuromuskular, 3.Memodifikasi lingkungan untuk
kehilangankontrol meminimalkan bantuan dengan memberikan bel
tonus otot atau lonceng
fasialatau oral. 4.Menganjurkan pertanyaan dengan jawaban 'ya'
(D.0119) dan 'tidak' atau dengan menggunakan gerakan
tubuh
Kolaborasi
5.Merujuk ke ahli patologi bicara atau terapis
Implementasi
NO DX KEPERAWATAN HARI/TANGGAL/JAM IMPLEMENTASI KEPERAWATAN TTD
4. Gangguan Citra Promosi Citra Tubuh (I.09305)  
Diisi saat melakukan
Tubuh Observasi
berhubungan tindakan yang telah 1. Mengidentifikasi arti dari Kehilangan atau disfungsi
dengan perubahan direncanakan pada klien.
struktur atau   2.Memonitor apakah klien bisa melihat bagian tubuh
bentuk tubuh yang berubah
(ptosis). (D.0083) Terapeutik
3.Mendiskusikan kondisi stres yang mempengaruhi Citra
tubuh (ptosis)
4. Membantu dan anjurkan perawatan yang baik dan
memperbaiki kebiasaan
5. Menganjurkan orang yang terdekat untuk mengizinkan
klien melakukan hal untuk dirinya sebanyak-banyaknya
Edukasi
6. Menganjurkan mengungkapkan gambaran diri
terhadap citra tubuh
Implementasi
NO DX KEPERAWATAN HARI/TANGGAL/JAM IMPLEMENTASI KEPERAWATAN TTD
5. Risiko Aspirasi Pencegahan Aspirasi (I.01018)  
Diisi saat melakukan
berhubungan Observasi
dengan kerusakan tindakan yang telah
1.Memonitor status pernapasan
mobilitas fisik. direncanakan
(D.0006) 2.Memonitor tingkat kesadaran, kemampuan menelan
 
Terapeutik
3.Memposisikan semi-fowler 30 menit sebelum
memberi asupan oral
4.Memberikan makanan dengan ukuran yang kecil
atau lunak
5.Memberikan obat oral dalam bentuk cair
Edukasi
6.Menganjurkan makan secara perlahan
7.Mengajarkan strategi mencegah aspirasi.
Evaluasi
Evaluasi keperawatan merupakan bentuk penilaian akhir atas intervensi yang telah dilakukan
berdasarkan tujuan dan kriteria hasil yang telah ditentukan. Dalam pendokumentasian evaluasi terdiri
dari SOAP (subjektif, objektif, assessment, planning). Evaluasi keperawatan terhadap pasien dengan
myasthenia gravis berdasarkan diagnosa keperawatan yang telah di tentukan:
1. Pola Napas Tidak Efektif (D.0005) berhubungan dengan kelemahan otot pernapasan
a) Klien tampak terlihat pola napasnya membaik
b) Klien mengatakan tidak sesak napas
c) Irama dan frekuensi napas pun membaik
d) Saturasi oksigen meningkat
2. Gangguan Mobilitas Fisik (D.0054) berhubungan dengan penurunan kekuatan otot
e)Pergerakan ektremitas klien pun tampak meningkat
f)Kekuatan otot meningkat
g)Rentang gerak ROM meningkat
h)Kelemahan fisik menurun
Lanjutan
3. Gangguan komunikasi verbal (D.0119) berhubungan dengan disfonia, gangguan pengucapan kata,
gangguan neuromuskular, kehilangan kontrol tonus otot fasial atau oral.
a)Kemampuan berbicara menggunakan bahasa isyarat meningkat
b)Kesesuaian ekspresi wajah/tubuh meningkat
c)Respons perilaku membaik
d)Pemahaman komunikasi membaik.
4. Gangguan Citra Tubuh (D.0083) berhubungan dengan perubahan struktur atau bentuk tubuh (ptosis).
e)Hubungan sosial membaik dengan klien mampu menyatakan atau mengkomunikasikan dengan orang
terdekat tentang situasi dan perubahan yang sedang terjadi
f) Verbalisasi kecacatan bagian tubuh membaik dengan klien menyatakan penerimaan diri terhadap
situasi
g)Verbalisasi perasaan negatif tentang perubahan tubuh menurun dengan klien mengakui dan
menggabungkan perubahan ke dalam konsep diri dengan cara yang akurat tanpa harga diri negative
h)Rasa percaya diri meningkat
5. Risiko Aspirasi (D.0006) berhubungan dengan kerusakan mobilitas fisik.
i) Tingkat kesadaran meningkat
j) Kemampuan menelan meningkat
k)Kelemahan otot menurun
Referensi

Fitri. F.I, 2011, ‘MYASTHENIA GRAVIS’, Universitas Sumatera Utara, Medan, Hal. 8
https://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/40820/MYASTHENIA%2
0GRAVIS.pdf?sequence=1&isAllowed=y

Dwimartyono, Fendy, 2019, ‘Nyeri Neuropatik Pada Penderita Myastenia Gravis’, Vol.
1, No.1, GREEN MEDICAL JOURNAL, hal. 1
https://greenmedicaljournal.umi.ac.id/index.php/gmj/article/download/25/19
https://id.scribd.com/document/339210141/ASKEP-Myastenia-Gravis-copy.
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2017. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia Definisi
dan Indikator Diagnostik. Jakarta: Dewan Pengurus PPNI.
Tim Pokja SLKI DPP PPNI. 2018. Standar Luaran Keperawatan Indonesia Definisi dan
Kriteria Hasil Keperawatan. Jakarta: Dewan Pengurus PPNI.
Tim Pokja SIKI DPP PPNI. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia Definisi
dan Implementasi Keperawatan. Jakarta: Dewan Pengurus PPNI.
Thankyou

Anda mungkin juga menyukai