1. PENGERTIAN
Perilaku kekerasan adalah suatu bentuk perilaku yang bertujuan untuk melukai
seseorang secara fisik maupun psikologis. Berdasarkan definisi tersebut maka
perilaku kekerasan dapat dilakukan secara verbal, diarahkan pada diri sendiri
orang lain dan lingkungan. Perilaku kekerasan dapat terjadi dalam dua bentuk,
yaitu saat sedang berlangsung perilaku kekerasan atau perilaku kekerasan
terdahulu (riwayat perilaku kekerasan) (Damaiyanti dan Iskandar, 2014)
Menurut Yosep, (2010) perilaku kekerasan merupakan status rentang emosi dan
ungkapan kemarahan yang dimanifestasikan dalam bentuk fisik. Kemarahan
tersebut merupakan suatu bentuk komunikasi dan proses penyampaian pesan dari
individu. Rentang respon kemarahan individu dimulai dari respon normal (asertif)
sampai pada respon sangat tidak normal (maladaptif) (Damaiyanti dan Iskandar,
2014).
3. TANDA DAN GEJALA
Menurut Yosep (2010), perawat dapat mengidentifikasi dan mengobservasi tanda
dan gejala perilaku kekerasan:
a. Muka merah dan tegang
b. Mata melotot/ pandangan tajam
c. Tangan mengepal
d. Rahang mengatup
e. Jalan mondar-mandir (Damaiyanti dan Iskandar, 2014).
4. FAKTOR RISIKO
Faktor risiko menurut Nanda-I, (2018-2020):
a. Risiko perilaku kekerasan terhadap orang lain
1) Akses pada senjata
2) Impulsive
3) Bahasa tubuh negative
4) Pola kekerasan tidak langsung
5) Pola kekerasan diarahkan pada orang lain
6) Pola ancaman kekerasan
7) Pola perilaku kekerasan antisosial
8) Perilaku bunuh diri
9) Riwayat penganiayaan pada masa kanak-kanak
10) Riwayat merencanakan pembakaran
11) Riwayat kasar pada binatang
12) Riwayat pelanggaran kendaraan bermotor
13) Riwayat penyalahgunaan zat
14) Riwayat menyaksikan kekerasan dalam keluarga
15) Gangguan fungsi kognitif
16) Gangguan neurologis
17) Intoksikasi patologi
18) Komplikasi perinatal
19) Komplikasi prenatal
20) Gangguan psikosis
b. Risiko perilaku kekerasan terhadap diri sendiri
1) Isyarat perilaku niat bunuh diri
2) Konflik orientasi seksual
3) Konflik hubungan interpersonal
4) Masalah pekerjaan
5) Menjalani tindakan seksual autoerotic
6) Kurang sumber personal
7) Isolasi social
8) Ide bunuh diri
9) Rencana bunuh diri
10) Petunjuk verbal niat bunuh diri
11) Usia ≥ 45 tahun
12) Usia 15 - 19 tahun
13) Riwayat upaya bunuh diri berulang
14) Status pernikahan
15) Pekerjaan
16) Pola kesulitan dalam keluarga
17) Masalah kesehatan mental
18) Masalah kesehatan fisik
19) Gangguan psikologis.
5. ETIOLOGI
a. Faktor predisposisi
Menurut Yosep (2010), faktor predisposisi klien dengan perilaku kekerasan
adalah:
1) Teori biologis
a) Neurologic factor
Beragam komponen dari sistem syaraf seperti sinap, neurotransmitter, dendrit,
akson terminalis mempunyai peran memfasilitasi atau menghambat ransangan dan
pesan-pesan yang akan mempengaruhi sifat agresif. Sistem limbik sangat terlibat
dalam menstimulasi timbulnya perilaku bermusuhan dan respon agresif.
b) Genetic factor
Adanya faktor gen yang diturunkan melalui orang tua, menjadi potensi perilaku
agresif. Menurut riset Kazuo Murakami (2007) dalam gen manusia terdapat
dormant (potensi) agresif yang sedang tidur akan bangun jika terstimulasi oleh
faktor eksternal. Menurut penelitian genetik tipe karyotype XYY, pada umumnya
dimiliki oleh penghuni pelaku tindak kriminal serta orang-orang yang tersangkut
hukum akibat perilaku agresif.
c) Cycardian rhytm (irama sirkardian tubuh)
Irama sirkardian tubuh, memegang peranan pada individu. Menurut penelitian
pada jam-jam sibuk seperti menjelang masuk kerja dan menjelang berakhirnya
pekerjaan sekitar jam 9 dan 13. Pada jam tertentu orang lebih mudah terstimulasi
untuk bersikap agresif.
d) Biochemistry factor
Faktor biokimia tubuh seperti neurotransmitter di otak (epineprin, norepineprin,
dopamin, asetilkolin dan serotonin) sangatt berperan dalam penyampaian
informasi melalui sistem persyarafan dalam tubuh, adanya stimulus dari luar
tubuh yang dianggap mengancam atau membahayakan akan dihantar melalui
impuls neurotransmitter ke otak dan meresponnya melalui serabut efferent.
Peningkatan hormon androgen dan norepineprin serta penurunan serotonin dan
GABA pada cairan cerebrospinal vertebra dapat menjadi faktor predisposisi
terjadinya perilaku agresif.
e) Brain area disorder
Gangguan pada sistem limbik dan lobus temporal, sindrom otak organik, tumor
otak, trauma otak, penyakit ensepalitis, epilepsi ditemukan sangat berpengaruh
terhadap perilaku agresif dan tindak kekerasan. (Damaiyanti dan Iskandar, 2014)
2) Teori psikologis
a) Teori psikoanalisa
Agresivitas dan kekerasan dapat dipengaruhi oleh riwayat tumbuh kembang
seseorang (life span history). Teori ini menjelaskan bahwa adanya ketidakpuasan
fase oral antara usia 0-2 tahun di mana anak tidak dapat mendapat kasih sayang
dan pemenuhan kebutuhan air susu yang cukup cenderung mengembangkan sikap
agresif dan bermusuhan setelah dewasa sebagai kompensasi adanya
ketidakpercayaan pada lingkungannya. Tidak terpenuhinya kepuasan dan rasa
aman dapat mengakibatkan tidak berkembangnya ego dan membuat konsep diri
yang rendah. Perilaku agresif dan tindak kekerasan merupakan pengungkapan
secara terbuka terhadap rasa ketidarberdayaannya dan rendahnya harga diri pelaku
tindak kekerasan.
b) Imitation, modeling and information processing thory
Menurut teori ini perilaku kekerasan bisa berkembang dalam lingkungan yang
mentolelir kekerasan. Adanya contoh, model dan perilaku yang ditiru dari media
atau lingkungan sekitar memungkinkan individu meniru perilaku tersebut. Dalam
suatu penelitian beberapa anak dikumpulkan untuk menonton tayangan
pemukulan pada boneka dengan reward positif pula (makin keras pukulannya
akan diberi coklat), anak lain menonton tayangan cara mengasihi dan mecium
boneka tersebut dengan reward positif pula (makin baik belaiannya mendapat
hadiah coklat). Setelah anak-anakkeluar dan diberi boneka ternyata masing-
masing anak berperilaku sesuai dengan tontonan yang pernah dialaminya.
c) Learning theory
Perilaku kekerasan merupakan hasil belajar individu terhadap lingkungan
terdekatnya. Ia mengamati bagaimana respon ayah saat menerima kekecewaan
dan mengamati bagaimana respon ibu saat marah. Ia juga belajar bahwa
agresivitas lingkungan sekitar menjadi peduli, bertanya, menanggapi dan
menganggap bahwa dirinya eksis dan patut untuk diperhitungkan (Damaiyanti dan
Iskandar, 2014).
b. Faktor presipitasi
Menurut Yosep (2010), faktor-faktor yang dapat mencetuskan perilaku kekerasan
seringkali berkaitan dengan:
1) Ekspresi diri, ingin menunjukkan ekstensi diri atau simbolis solidaritas seperti
dalam sebuah konser, penonton sepak bola, geng sekolah, perkelahian massal dan
sebagainya.
2) Ekspresi dari tidak terpenuhinya kebutuhan dasar dan kondisi sosial ekonomi
3) Kesulitan dalam mengonsumsikan sesuatu dalam keluarga serta tidak
membiasakan dialog untuk memecahkan masalah cenderung melakukan
kekerasan dalam menyelesaikan konflik.
4) Adanya riwayat perilaku anti social meliputi penyalahgunaan obat dan
alcoholisme dan tidak mampu mengontrol emosinya pada saat menghadapi rasa
frustasi.
5) Kematian anggota keluarga yang terpenting, kehilangan pekerjaan, perubahan
tahap perkembangan keluarga.
7. SUMBER KOPING
Menurut Stuart dan Laraia (2001), sumber koping dapat berupa aset ekonomi,
kemampuan dan keterampilan, teknik defensif, dukungan sosial dan motivasi.
Hubungan antara individu, keluarga, kelompok dan masyarakat sangat berperan
penting pada saat ini. Sumber koping lainnya termasuk kesehatan dan energi,
dukungan spiritual, keyakinan positif, keterampilan menyelesaikan masalah dan
sosial, sumber daya sosial dan material, dan kesejahteraan fisik.
Keyakinan spiritual dan melihat diri positif dapat berfungsi sebagai dasar harapan
dan dapat mempertahankan usaha seseorang mengatasi hal yang paling buruk.
Keterampilan pemecahan masalah termasuk kemampuan untuk mencari
informasi, mengidentifikasi masalah, menimbang alternatif dan melaksanakan
rencana tindakan. Keterampilan sosial memfasilitasi penyelesaian masalah yang
melibatkan orang lain, meningkatkan kemungkinan untuk mendapatkan kerjasama
dan dukungan dari orang lain, dan memberikan kontrol sosial individu yang lebih
besar. Akhirnya, aset materi beripa barang dan jasa yang bisa dibeli dengan uang.
Sumber koping sangat meningkatkan pilihan seseorang mengatasi di hampir
semua situasi stres. Pengetahuan dan kecerdasan yang lain dalam menghadapi
sumber daya yang memungkinkan orang untuk melihat cara yang berbeda dalam
menghadapi stres. Akhirnya, sumber koping juga termasuk kekuatan ego untuk
mengidentifikasi jaringan sosial, stabilitas budaya, orientasi pencegahan kesehatan
dan konstitusional (Damaiyanti dan Iskandar, 2014).
8. MEKANISME KOPING
Menurut Stuart dan Laraia (2001), mekanisme koping yang dipakai pada klien
marah untuk melindungi diri antara lain:
a) Sublimasi, yaitu menerima suatu sasaran pengganti yang mulia artinya di mata
masyarakat untuk suatu dorongan yang mengalami hambatan penyalurannya
secara normal. Misalnya seseorang yang sedang marah melampiaskan
kemarahannya pada obyek lain seperti meremas adonan kue, meninju tembok dan
sebagainya, tujuannya adalah untuk mengurangi ketegangan akibat rasa marah.
b) Proyeksi, yaitu menyalahkan orang lain mengenai kesukarannya atau
keinginannya yang tidak baik. Misalnya seseorang wanita muda yang menyangkal
bahwa ia mempunyai perasaan seksual terhadap rekan sekerjanya, berbalik
menuduh bahwa temannya tersebut mencoba merayu, mencumbunya.
c) Represi, yaitu mencegah pikiran yang menyakitkan atau membahayakan masuk
ke alam sadar. Misalnya seseorang anak yang sangat bencai pada orang tuanya
yang tidak disukainya. Akan tetapi menurut ajaran atau didikan yang diterimanya
sejak kecil bahwa menbenci orang tua merupakan hal yang tidak baik dan dikutuk
oleh Tuhan, sehingga perasaan benci itu ditekannya dan akhirnya ia dapat
melupakan.
d) Reaksi formasi, yaitu mencegah keinginan yang berbahaya bila diekspresikan,
dengan melebih-lebihkan sikap dan perilaku yang berlawanan dan
menggunakannya sebagai rintangan. Misalnya seorang yang tertarik pada teman
suaminya, akan memperlakukan orang tersebut dengan kasar.
e) Displacement, yaitu melepaskan perasaan yang tertekan biasanya bermusuhan,
pada obyek yang tidak begitu berbahaya seperti yang pada mulanya yang
membangkitkan emosi itu. Misalnya anak berusia 4 tahun marah karena ia baru
saja mendapat hukuman dari ibunya karena menggambar di dinding kamarnya.
Dia mulai bermain perang-perangan dengan temannya (Damaiyanti dan Iskandar,
2014).
9. ASUHAN KEPERAWATAN
A. PENGKAJIAN
Faktor penyebab perilaku kekerasan menurut Yosep (2009), pada dasarnya
pengkajian pada klien perilaku kekerasan ditujukan pada semua aspek, yaitu
biopsikososial-kultural-spiritual.
1) Aspek biologis
Respon fisiologis timbul karena kegiatan sistem saraf otonom bereaksi terhadap
sekresi epineprin sehingga tekanan darah meningkat, tachikardi, muka merah,
pupil melebar, pengeluaran urin meningkat. Ada gejala yang sama dengan
kecemasan seperti meningkatnya kewaspadaan, ketegangan otot seperti rahang
terkatup, tangan dikepal, tubuh kaku dan reflex cepat. Hal ini disebabkan oleh
energy yang dikeluarkan saat marah bertambah.
2) Aspek emosional
Individu yang marah merasa tidak nyaman, merasa tidak berdaya, jengkel,
frustasi, dendam, ingin memukul orang lain, mengamuk, bermusuhan dan sakit
hati, menyalahkan dan menuntut.
3) Aspek intelektual
Sebagian besar pengalaman hidup individu didapatkan melalui proses intelektual,
peran panca indra sangat penting untuk beradaptasi dengan lingkungan yang
selanjutnya diolah dalam proses intelektual sebagai suatu pengalaman. Perawat
perlu mengkaji cara klien marah, mengidentifikasi penyebab kemarahan,
bagaimana informasi diproses, diklarifikasi dan diintegrasikan.
4) Aspek social
Meliputi interaksi social, budaya, konsep rasa percaya dan ketergantungan. Emosi
marah sering merangsang kemarahan orang lain. Klien seringkali menyalurkan
kemarahan dengan mengkritik tingkah laku yang lain sehingga orang lain merasa
sakit hati dengan mengucapkan kata-kata kasar yang berlebihan disertai suara
keras. Proses tersebut dapat mengasingkan individu sendiri, menjauhkan diri dari
orang lain, menolak mengikuti aturan.
5) Aspek spiritual
Kepercayaan, nilai dan moral mempengaruhi hubungan individu dengan
lingkungan. Hal yang bertentangan dengan norma yang dimiliki dapat
menimbulkan kemarahan yang dimanifestasikan dengan amoral dan rasa tidak
berdosa (Damaiyanti dan Iskandar, 2014).
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1) Risiko perilaku kekerasan
2) Harga diri rendah kronik
3) Risiko perilaku kekerasan (diri sendiri, orang lain, lingkungan dan verbal)
(Damaiyanti dan Iskandar, 2014).
Perilaku kekerasan
CORE PROBLEM
SP2P SP2K
1 Mengevaluasi jadwal kegiatan harian klien Melatih keluarga mempraktikkan cara merawat klien dengan
2 Melatih klien mengontrol perilaku kekerasan dengan cara perilaku kekerasan
fisik yaitu 2 pukul kasur dan bantal Melatih keluarga melakukan cara merawat langsung kepada klien
3 Menganjurkan klien memasukkan kedalam kegiatan harian perilaku kekerasan
SP3P SP3K
1 Mengevaluasi jadwal kegiatan harian klien Membantu keluarga membuat jadwal aktivitas dirumah termasuk
2 Melatih klien mengontrol perilaku kekerasan sengan cara minum obat (discharge planning)
verbal/ social Menjelaskan follow up klien setelah pulang
3 Menganjurkan klien memasukkan ke dalam kegiatan harian
SP4P
1 Mengevaluasi jadwal kegiatan harian klien
2 Melatih klien mengontrol perilaku kekerasan dengan cara
spiritual
3 Menganjurkan klien memasukkan ke dalam kegiatan harian
SP5P
1 Mengevaluasi jadwal kegiatan harian klien
2 Melatih klien mengontrol perilaku kekerasan dengan minum
obat
3 Menganjurkan klien memasukkan ke dalam kegiatan harian
(Damaiyanti dan Iskandar, 2014)
F. IMPLEMENTASI DAN EVALUASI
N
DIAGNOSA RENCANA TINDAKAN
TGL O EVALUASI
KEPERAWATAN KEPERAWATAN KEPERAWATAN
DX
1 2 3 4 5 6
Perilaku kekerasan S1P1 perilaku kekerasan Melakukan SP1P perilaku S: “saya mau berbincang 10 menit saja.”
kekerasan: “Saya mudah marah bila keinginan saya tidak
1. Mengidentifikasi penyebab dipenuhi orang tua saya”
perilaku kekerasan “Saya langsung teriak - teriak dan membanting
2. Mengidentifikasi tanda dan barang apapun disekitar saya”
gejala perilaku kekerasan “Saya menjadi jengkel dan barang-barang saya
3. Mengidentifikasi akibat rusak”
perilaku kekerasan “Biasanya saya langsung pergi dan main buat
4. Menyebutkan cara mengontrol menenangkan hati”
perilaku kekerasan “Saya mau latihan kalau marah saya Tarik nafas
5. Membantu latihan cara 1 dalam.. Tarik dari hidung perlahan dan keluarkan
perilaku kekerasan: latihan lewat mulut dan diulang sebanyak 5 kali”
nafas dalam “Saya mau latihan nafas dalam setiap pagi jam
6. Menganjurkan memasukkan 7.00 dan sore jam 16.00”
dalam jadwal harian O: pembicaraan cepat, mata melotot, klien
terlihat gelisah, klien menulis dijadwal harian
latihan Tarik nafas dalam setiap hari pukul 07.00
dan 16.00
A: SP1P tercapai
P: perawat: SP2P pada pukul 09.00 diruang
perawatan klien.
Klien: motivasi klien untuk latihan mengontrol
marah Tarik nafas dalam sesuai jadwal harian
setiap hari pukul 07.00 dan 16.00.
A: SP2P tercapai
A: SP3P tercapai
A: SP4P tercapai
P:
Perawat: lakukan SP5P pada pukul 09.00 di
ruang perawatan klien
Klien: motivasi klien untuk sholat 5 waktu sesuai
jadwal sholat setiap hari
A: SP5P tercapai
P:
Perawat: lanjutkan SP budaya perilaku kekerasan
pukul 10.00 di ruang perawatan klien
Klien: motivasi klien untuk minum obat sesuai
jadwal harian setiap hari pukul 7 pagi, 1 siang,
dan 7 malam.
(Damaiyanti dan Iskandar, 2014)
Daftar Pustaka