Anda di halaman 1dari 28

LAPORAN PENDAHULUAN

KEPERAWATAN GERONTIK

OLEH :

SITI AKHIRUSSANAH,S.KEP.
NIM.2030102

PRODI PENDIDIKAN PROFESI NERS


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN HANG TUAH SURABAYA
2020

A. Konsep Gerontik
1.1. Definisi Penuaan
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 1998
tentang Kesejahteraan Lanjut Usia, yang dimaksud Lanjut Usia (lansia) adalah
seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun keatas (Kemenkes.RI, 2014).
Fatimah (2010) mengungkapkan menua atau menjadi tua (aging) merupakan
proses yang akan dialami oleh semua orang dan tidak dapat dihindari. Yang dapat
diusahakan adalah tetap sehat pada saat menua (menua sehat atau healthy aging).
Proses menua dipengaruhi oleh faktor eksogen dan endogen yang dapat menjadi
faktor risiko penyakit degenerative yang bisa dimulai sejak usia muda atau
produktif, namun bersifat subklinis.

1.2. Definisi Lansia


Lanjut usia merupakan proses alamiah dan berkesinambungan yang
mengalami perubahan anatomi, fisiologis, dan biokimia pada jaringan atau organ
yang pada akhirnya mempengaruhi keadaan fungsi dan kemampuan badan secara
keseluruhan. (Fatimah, 2010). Penduduk Lanjut Usia adalah penduduk berumur
60 tahun ke atas (Undang – Undang No. 13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan
Lanjut Usia) (BAPPENAS, 2015). Lanjut usia (lansia) merupakan kelompok
orang yang sedang mengalami suatu proses perubahan secara bertahap dalam
jangka waktu tertentu.

Menurut WHO dalam (Fatimah, 2010) lansia dikelompokkan menjadi 4


kelompok, yaitu :

1. Usia pertengahan (middle age) : usia 45 – 59 tahun


2. Lansia (elderly) : usia 60 – 74 tahun
3. Lansia tua (old) : usia 75 – 90 tahun
Pengertian lansia dibedakan atas 2 macam, yaitu lansia kronologis
(kalender) dan lansia biologis. Lansia kronologis mudah diketahui dan dihitung,
sedangkan lansia biologis berpatokan pada keadaan jaringan tubuh. Individu yang
berusia muda tetapi secara biologis dapat tergolong lansia jika dilihat dari keadaan
jaringan tubuhnya.

1.3. Klasifikasi Lansia


Menurut WHO, lansia dikategorikan menjadi Elderly (60-74 tahun), Old
(75-89 tahun) dan Very old (> 90 tahun). Depkes RI (2008) dalam (Dewi &
Rhosma, 2014) menentukan lansia dengan kategori sebagai berikut :
1. Pralansia : berusia 45-59 tahun.
2. Lansia : berusia 60 tahun atau lebih.
3. Lansia risiko tinggi : berusia 70 tahun atau lebih/ seseorang berusia 60 tahun
atau lebih dengan masalah kesehatan.
4. Lansia potensial : lansia yang masih mampu melakukan pekerjaan dan/ atau
kegiatan yang dapat menghasilkan barang atau jasa.
5. Lansia tidak potensial : lansia yang tidak berdaya mencari nafkah sehingga
hidupnya bergantung pada bantuan orang lain.
1.4. Tipe-tipe Lansia
Tipe lansia menurut Nugroho dalam (Dewi & Rhosma, 2014) yang dapat
dikatakan cenderung rentan mengalami depresi, antara lain :

1. Tipe Tidak Puas


Tipe lansia yang mengalami konflik batin, menentang proses penuaan yang
menyebabkan lansia banyak menuntut karena selalu merasa kurang, pemarah dan
mudah tersinggung. Hal tersebut termasuk salah satu tanda gejala depresi yang
diawali ketidakmampuan diri dalam penyesuaian.

2. Tipe Pasrah
Lansia yang selalu mengikuti situasi sekitar dengan melakukan berbagai
jenis kegiatan yang ada disekelilingnya, menerima dan menunggu nasib baik,
serta tidak adanya keinginan diri untuk menuangkan bakat dan minatnya, sehingga
lansiarentan mengalami depresi.

3. Tipe Bingung
Tipe lansia yang kehilangan kepribadian, mengasingkan diri, merasa
kurang, menyesali perbuatan yang lalu sehingga menjadikan lansia pasif dan acuh
tak acuh. Hal ini terjadi pada tahap akhir dari semua tanda gejala dimana lansia
mulai mengasingkan diri karena merasa tidak berdaya.

Beberapa tipe yang disebutkan diatas dialami oleh lansia yang tidak dapat
melakukan penyesuaian dalam menghadapi proses menua.

1.5. Teori dan Tugas Perkembangan Lansia


Teori tahap perkembangan menurut Erikson (Erikson’s Development Stage
Theory), tugas perkembangan lansia adalah ego integrity vs despair,dimana dalam
tahap perkembangan ini, lansia melakukan penilaian terhadap apa yang telah
dialami dan dicapai dalam kehidupannya dan mampu menerima apabila
terjadiketidaksesuaian antara tujuan yang diinginkan dengan pencapaiannya, serta
keadaan saat ini atau kematian yang akan menjelang, dan jika lansia berhasil
menerima dan melewatinya maka lansia akan merasa puas (ego-integrity), namun
apabila gagal dan tidak mampu menyesuaikan maka lansia akan merasakan
keputusasaan (despair) (Papalia, et al, dalam Indriani, 2012). Kesiapan lansia
dalam beradaptasi terhadap perkembangan usia lanjut tentunya diperlukan untuk
menghindari berada pada fase despair atau keputusasaan dengan memahami tugas
perkembangan lansia, antara lain :

1. Mempersiapkan diri untuk menghadapi kondisi yang menurun.


Penting bagi lansia melakukan penyesuaian terhadap perubahan diri yang
dihadapi, agar lansia tidak merasa lemah dan tidak berdaya yang dapat dilakukan
dengan cara melakukan aktivitas ringan atau bersosialisasi.

2. Mempersiapkan diri untuk melepas pekerjaannya atau pensiun.


Lansia yang tidak dapat menyesuaikan penurunan pendapatan dan tetap mengikuti
gaya hidup semasa bekerja, maka lansia dapat berisiko mengalami hutang dan
gelisah dalam hidupnya.

3. Membentuk hubungan baik dengan orang seusianya.


Kemampuan lansia dalam bersosialisasi di masa tua sangat diperlukan untuk
menjaga kemampuan bersosialisasi dan harga diri lansia.
4. Mempersiapkan kehidupan baru.
Penting bagi lansia untuk memulai hidup baru dan membiasakan diri beraktivitas
sesuai kemampuan dirinya.

5. Melakukan adaptasi dengan lingkungan sosial atau masyarakat.


Lansia perlu menyesuaikan diri dengan perubahan peran sosial yang dialaminya
agar hubungannya dengan orang lain dan lingkungan di sekitarnya tetap baik.

6. Mempersiapkan diri untuk kematiannya atau kematian pasangannya.


Lansia yang tidak siap menghadapi kematiannya atau pendampingnya dapat
menyebabkan depresi, untuk itu mendekatan diri pada Tuhan penting bagi lansia.

Kemampuan lansia dalam mengenali tugas perkembangan di usianya


tentunya memerlukan pengajaran atau pendidikan sebelumnya, dan hal ini
bukanlah sesuatu yang mudah mengingat tidak semua orang memiliki tipe yang
peduli terhadap pendidikan di masa usia lanjut. Lanjut usia memiliki beberapa tipe
yang digolongkan berdasarkan sikap dan perilakunya namun beberapa tipe dapat
dikatakan rentan mengalami depresi.

1.6. Perubahan Pada Lansia


Semakin bertambahnya umur manusia, tentunya terjadi proses penuaan
secara degeneratif yang akan berdampak pada perubahan-perubahan pada diri
manusia, tidak hanya perubahan fisik, tetapi juga kognitif, perasaan, sosial, dan
seksual Wahab (2014).

1. Perubahan Fisik
a. Sistem Indra
Terjadi gangguan pendengaran karena tulang-tulang pendengaran mulai
mengalami kekakuan, dan gangguan pada pengelihatan karena lensa
kehilangan elastisitas dan kaku sehingga terjadi penurunan lapang pandang
dan daya akomodasi mata (presbiopi). Terjadi penurunan kemampuan dalam
indra pengecap, serta papil berasa berkurang, penurunan penghidu menurun,
dan pada indra sentuhan jumlah reseptor kulit menurun (Potter & Perry,
2012).

b. Sistem Muskuloskeletal
Perubahan sistem ini pada lansia antara lain jaringan penghubung
(kolagen & elastin), kartilago, penurunan masa otot dan pengenduran, cairan
tulang menurun sehingga mudah rapuh (osteoporosis).

c. Sistem kardiovaskuler
Bertambahnya masa jantung, ventrikel kiri mengalami hipertrofi dan
kemampuan peregangan jantung berkurang, meningkatnya resistensi
pembuluh darah perifer sehingga tekanan darah meningkat.
d. Sistem respirasi
Terjadi perubahan jaringan ikat paru, penurunan elastisitas paru,
kapasitas vital paru meningkat sehingga proses inspirasi lebih berat.

e. Pencernaan dan Metabolisme


Perubahan yang dapat terjadi pada sistem pencernaan, meliputi kesehatan
gigi yang buruk dan gizi yang buruk. Indera pengecap menurun adanya
iritasi yang kronis dari selaput lendir atropi indera pengecap, hilangnya
sensitifitas dan saraf pengecap lidah terutama pada rasa asin, asam, dan
pahit. Penurunan produksi asam lambung sehingga rasa lapar menurun.

f. Sistem Perkemihan
Lansia mulai tidak dapat menahan kencing karena pengenduran otot-otot
kapasitas kandung kemih menurun, yang dapat berdampak pada laju filtrasi,
ekskresi, dan reabsorpsi oleh ginjal.

g. Sistem Saraf
Sistem susunan saraf mengalami perubahan anatomi dan atrofi yang
progresif pada serabut saraf lansia. Lansia mengalami penurunan koordinasi
dan kemampuan dalam melakukan aktifitas sehari-hari.

h. Sistem Reproduksi
Perubahan sistem reproduksi lansia wanita ditandai dengan pengecilan
organ-organ reproduksi seperti ovarium dan uterus dan pengeringan selaput
lendir.

2. Perubahan Fungsional
Fungsi pada lansia meliputi bidang fisik, psikososial, kognitif dan sosial.
Penurunan fungsional yang terjadi pada lansia berhubungan dengan penyakit dan
tingkat keparahan. Perubahan fungsional ini tentunya juga merujuk pada
kemampuan dan perilaku lansia dalam aktivitas harian. Aktivitas harian atau ADL
(Activity Daily Living) berfungsi untuk menentukan tingkat kemandirian lansia.
Perubahan mendadak pada status ADL merupakan tanda perburukan masalah atau
penyakit kronis, contoh penyakit kronis dengan perubahan fungsi adalah diabetes,
penyakit kardiovaskuler, atau penyakit paru-paru kronis (Potter & Perry, 2012).
3. Perubahan Kognitif
Perubahan kognitif yang terjadi pada lansia meurut Potter dan Perry (2012)
meliputi delirium, demensia, dan depresi.

a. Delirium
Delirium merupakan kondisi bingung akibat gangguan kognitif yang
reversibel dan biasanya disebabkan oleh beberapa faktor antara lain :

1) Faktor fisiologis, penyebabnya antara lain adalah gangguan elektrolit,


anoksia, hipoglikemi, dan pendarahan serebrovaskular. Penyakit penyerta
seperti infeksi dari berbagai sistem seperti perkemihan, pernafasan dan
lain sebagainya.
2) Faktor lingkungan, disebabkan lingkungan yang asing, dan defisit
sensorik
3) Faktor psikososial, disebabkan adanya stres emosional atau pun nyeri.
b. Demensia
Demensia adalah gangguan intelektual akibat disfungsi serebral tidak
reversibel dan progresif lambat yang dapat mengganggu fungsi kerja dan
sosial. Lansia dengan demensia memerlukan pertimbangan khusus dalam
memenuhi kebutuhannya seperti kebutuhan fisik, keamanan dan psikososial
yang disesuaikan untuk meningkatkan kualitas hidupnya.

c. Depresi
Depresi pada lansia diakibatkan ketidakampuan penyesuaian diri lansia
terhadap perubahan yang dialaminya. Kejadian depresi juga banyak dialami
pada lansia yang menjalani perawatan di rumahsakit atau panti perawatan.
Biasanya juga terjadi pada lansia dengan demensia yang dapat terjadi
bersamaan dengan stres.

4. Perubahan Psikososial
Perubahan psikososial selama proses penuaan akan melibatkan proses
transisi kehidupan dan kehilangan. Transisi hidup meliputi pengalaman
kehilangan, masa pensiun dan perubahan keadaan finansial, perubahan peran dan
hubungan, perubahan kesehatan dan kemampuan fungsional, perubahan jaringan
sosial, dan relokasi.

a. Masa Pensiun
Masa ini merupakan tahap kehidupan yang ditandai transisi perubahan peran
terkadang juga timbul masalah yang berkaitan dengan isolasi sosial dan
keuangan. Lansia yang pensiun harus membangun identitas baru, mereka
juga kehilangan struktur pada kehidupan harian karena tidak lagi memiliki
jadwal kerja serta kehilangan interaksi sosial dan interpersonal di
lingkungan kerja.

b. Isolasi Sosial
Isolasi sosial pada lansia terjadi akibat respons dari kehilangan peran lansia
dan menurunnya interaksi dengan orang lain. Beberapa mengalami isos juga
karena merasa ditolak dan tidak adanya dukungan keluarga.

c. Seksualitas
Masa pensiun tentunya mempengaruhi kepercayaan diri, dan seksualitas
berperan penting dalam membantu lansia mempertahankan kepercayaan
diri. Pemeliharaan kesehatan seksual pada lansia membutuhkan integrasi
dari seksual somatik, emosional, intelektual dan sosial. Namun, banyak
lansia menggunakan obat untuk menekan aktivitas seksual seperti
antihipertensi, antidepresan, sedatif atau hipnotif.

5. Perubahan Psikologis
Perubahan psikologis pada lansia sering terjadi karena perubahan fisik, dan
mengakibatkan berbagai masalah kesehatan jiwa di usia lanjut. Beberapa masalah
psikologis lansia menurut Yusuf, et al (2015) antara lain :

a. Paranoid
Respon perilaku yang ditunjukkan pada lansia yang mengalami perubahan
psikologis yaitu rasa curiga terhadap orang-orang disekelilingnya, agresif,
dan menarik diri.

b. Gangguan tingkah laku


Sifat buruk pada lansia bertambah seiring perubahan fungsi fisik. Lansia
merasa kehilangan harga diri, kehilangan peran, merasa tidak berguna dan
tidak berdaya, kesepian, kurang percaya diri sehingga berakibat
bertambahnya sifat buruk setiap perubahan fungsi fisik.

c. Gangguan tidur
Lansia mengalami tidur superfisial, tidak pernah mencapai total bed sleep,
merasa tengen, desakan mimpi buruk sehingga lansia bangun lebih cepat
dan tidak dapat tidur lagi.

d. Keluyuran (wandering)
Lansia yang tidak betah berada dirumah dapat menyebabkan keluyuran
namun biasanya lansia tidak dapat pulang kembali, akibat demensia.

e. Sun downing
Lansia mengalami peningkatan kecemasan saat menjelang malam, terus
mengeluh, agitasi, gelisah dan apabila hal ini terjadi dipanti dapat
mempengaruhi lansia yang lain.

f. Depresi
Banyak jenis depresi yang terjadi pada lanisa, diantaranya depresi
terselubung, keluhan fisik menonjol, berkonsultasi dengan banyakdokter,
pusing, nyeri dan sebagainya. Umumnya depresi lebih banyak dialami oleh
lansia wanita karena ketidaksiapan menghadapi masa menopause.

g. Demensia
Demensia merupakan sindrom gejala gangguan fungsi luhur kortikal yang
multipel, seperti daya ingat, daya tangkap, orientasi, berhitung, berbahasa,
dan fungsi nilai sebagai akibat dari gangguan fungsi otak.

h. Sindrom pasca kekuasaan (postpower syndrome)


Sindrom pasca kekuasaan adalah sekumpulan gejala yang timbul setelah
lansia tidak punya kekuasaan, kedudukan, penghasilan, pekerjaan, pasangan,
teman dan lain sebagainya. Beberapa penyebab yang mengakibatkan lansia
tidak siap menghadapi pensiun adalah kepribadian yang kurang matang,
kedudukan sebelumnya terlalu tinggi dan tidak menduduki jabatan lain.
Proses kehilangan terlalu cepat yang terjadi, serta lingkungan yang tidak
mendukung.Perubahan yang terjadi pada lansia seringkali juga disertai
dengan adanya penyakit penyerta yang menambah buruk kondisi psikologis
lansia.

1.7. Masalah Pada Lansia


Masalah yang sering dijumpai pada lansia dapat dijabarkan dalam 14 item
gangguan yang disebut Giant Syndrome Geriatric. Adapun penjelasannya dalah
sebagai berikut:

1. Imobilisasi
Didefinisikan sebagai keadaan tidak bergerak/tirah baring selama 3 hari atau
lebih, dengan gerak anatomi tubuh menghilang akibat perubahan fungsi fisiologis.
Berbagai faktor fisik, psikologis, dan lingkungan dapat menyebabkan imobilisasi
pada usia lanjut. Penyebab utama imobilisasi adalah adanya rasa nyeri, lemah,
kekakuan otot, ketidak seimbangan, dan masalah psikologis. Beberapa informasi
penting meliputi lamanya menderita disabilitas yang menyebabkan imobilisasi,
penyakit yang mempengaruhi kemampuan mobilisasi, dan pemakaian obat-obatan
untuk mengeliminasi masalah iatrogenesis yang menyebabkan imobilisasi.

2. Instability (Instabilitas dan Jatuh)


Terdapat banyak faktor yang berperan untuk terjadinya instabilitas dan jatuh
pada orang usia lanjut. Berbagai faktor tersebut dapat diklasifikasikan sebagai
faktor intrinsik (faktor risiko yang ada pada pasien) dan faktor risiko ekstrinsik
(faktor yang terdapat di lingkungan). Prinsip dasar tatalaksana usia lanjut dengan
masalah instabilitas dan riwayat jatuh adalah: mengobati berbagai kondisi yang
mendasari instabilitas dan jatuh, memberikan terapi fisik dan penyuluhan berupa
latihan cara berjalan, penguatan otot, alat bantu, sepatu atau sandal yang sesuai,
serta mengubah lingkungan agar lebih aman seperti pencahayaan yang cukup,
pegangan, lantai yang tidak licin (Kane et al., 2008; Cigolle et al., 2007).

3. Incontinence (Inkontinensia Urin dan Alvi)


Inkontinensia urin didefinisikan sebagai keluarnya urin yang tidak
dikehendaki dalam jumlah dan frekuensi tertentu sehingga menimbulkan masalah
sosial dan atau kesehatan. Inkontinensia urin merupakan salah satu sindroma
geriatrik yang sering dijumpai pada usia lanjut. Diperkirakan satu dari tiga wanita
dan 15-20% pria di atas65 tahun mengalami inkontinensia urin. Inkontinensia urin
merupakan fenomena yang tersembunyi, disebabkan oleh keengganan pasien
menyampaikannya kepada dokter dan di lain pihak dokter jarang mendiskusikan
hal ini kepada pasien (Kane et al., 2008; Cigolle et al., 2007). International
Consultation on Incontinence, WHO mendefinisikan Faecal Incontinence sebagai
hilangnya tak sadar feses cair atau padat yang merupakan masalah sosial atau
higienis. Definisi lain menyatakan, Inkontinensia alvi/fekal sebagai perjalanan
spontan atau ketidakmampuan untuk mengendalikan pembuangan feses melalui
anus. Kejadian inkontinensia alvi/fekal lebih jarang dibandingkan inkontinensia
urin (Kane et al., 2008).

4. Intelectual Impairement (Gangguan Intelektual)


Keadaan yang terutama menyebabkan gangguan intelektual pada pasien
lanjut usia adalah delirium dan demensia. Demensia adalah gangguan fungsi
intelektual dan memori didapat yang disebabkan oleh penyakit otak, yang tidak
berhubungan dengan gangguan tingkat kesadaran. Demensia tidak hanya masalah
pada memori. Demensia mencakup berkurangnya kemampuan untuk mengenal,
berpikir, menyimpan atau mengingat pengalaman yang lalu dan juga kehilangan
pola sentuh, pasien menjadi perasa, dan terganggunya aktivitas (Geddes et
al.,2005; Blazer et al., 2009).

5. Infection (infeksi)
Infeksi pada usia lanjut (usila) merupakan penyebab kesakitan dan kematian
no. 2 setelah penyakit kardiovaskular di dunia. Hal ini terjadi akibat beberapa hal
antara lain: adanya penyakit komorbid kronik yang cukup banyak, menurunnya
daya tahan/imunitas terhadap infeksi, menurunnya daya komunikasi usia sehingga
sulit/jarang mengeluh, sulitnya mengenal tanda infeksi secara dini. Ciri utama
pada semua penyakit infeksi biasanya ditandai dengan meningkatnya temperatur
badan, dan hal ini sering tidak dijumpai pada usia lanjut, 30-65% usia lanjut yang
terinfeksi sering tidak disertai peningkatan suhu badan, malah suhu badan
dibawah 360C lebih sering dijumpai. Keluhan dan gejala infeksi semakin tidak
khas antara lain berupa konfusi/delirium sampai koma, adanya penurunan nafsu
makan tiba-tiba, badan menjadi lemas, dan adanya perubahan tingkah laku sering
terjadi pada pasien usia lanjut (Kane et al., 2008).

6. Impairement of hearing, vision and smell (gangguan pendengaran,


penglihatan dan penciuman)
Gangguan pendengaran sangat umum ditemui pada geriatri. Prevalensi
gangguan pendengaran sedang atau berat meningkat dari 21% pada kelompok usia
70 tahun sampai 39% pada kelompok usia 85 tahun. Pada dasarnya, etiologi
gangguan pendengaran sama untuk semua umur, kecuali ditambah presbikusis
untuk kelompok geriatri.

Otosklerosis biasanya ditemui pada usia dewasa muda, ditandai dengan


terjadinya remodeling tulang di kapsul otik menyebabkan gangguan pendengaran
konduktif, dan jika penyakit menyebar ke telinga bagian dalam, juga dapat
menimbulkan gangguan sensorineural. Penyakit Ménière adalah penyakit telinga
bagian dalam yang menyebabkan gangguan pendengaran berfluktuasi, tinnitus dan
pusing. Gangguan pendengaran karena bising yang disebabkan oleh energi akustik
yang berlebihan yang menyebabkan trauma permanen pada sel-sel rambut.
Presbikusis sensorik yang sering sekali ditemukan pada geriatri disebabkan oleh
degenerasi dari organ korti, dan ditandai gangguan pendengaran dengan frekuensi
tinggi. Pada pasien juga ditemui adanya gangguan pendengaran sehingga sulit
untuk diajak berkomunikasi. Penatalaksanaan untuk gangguan pendengaran pada
geriatri adalah dengan cara memasangkan alat bantu dengar atau dengan tindakan
bedah berupa implantasi koklea (Salonen, 2013).

Terapi pengobatan pada pasien usia lanjut secara signifikan berbeda dari
pasien pada usia muda, karena adanya perubahan kondisi tubuh yang disebabkan
oleh usia, dan dampak yang timbul dari penggunaan obat-obatan yang digunakan
sebelumnya. Masalah polifarmasi pada pasien geriatri sulit dihindari dikarenakan
oleh berbagai hal yaitu penyakit yang diderita banyak dan biasanya kronis, obat
diresepkan oleh beberapa dokter, kurang koordinasi dalam pengelolaan, gejala
yang dirasakan pasien tidak jelas, pasien meminta resep, dan untuk
menghilangkan efek samping obat justru ditambah obat baru. Karena itu diusulkan
prinsip pemberian obat yang benar pada pasien geriatri dengan cara mengetahui
riwayat pengobatan lengkap, jangan memberikan obat sebelum waktunya, jangan
menggunakan obat terlalu lama, kenali obat yang digunakan, mulai dengan dosis
rendah, naikkan perlahan-lahan, obati sesuai patokan, beri dorongan supaya patuh
berobat dan hatihati mengguakan obat baru (Setiati dkk.,2006).

7. Isolation (Depression)
Isolation (terisolasi) dan depresi, penyebab utama depresi pada usia lanjut
adalah kehilangan seseorang yan disayangi, pasangan hidup, anak, bahkan
binatang peliharaan. Selain itu kecenderungan untuk menarik diri dari lingkungan,
menyebabkan dirinya terisolasi dan menjadi depresi. Keluarga yang mulai
mengacuhkan karena merasa direpotkan menyebabkan pasien akan merasa hidup
sendiri dan menjadi depresi. Beberapa orang dapat melakukan usaha bunuh diri
akibat depresi yang berkepajangan

Kelemahan nutrisi merujuk pada hendaya yang terjadi pada usia lanjut
karena kehilangan berat badan fisiologis dan patologis yang tidak disengaja.
Anoreksia pada usia lanjut merupakan penurunan fisiologis nafsu makan dan
asupan makan yang menyebabkan kehilangan berat badan yang tidak diinginkan
(Kane et al., 2008). Pada pasien, kekurangan nutrisi disebabkan oleh keadaan
pasien dengan gangguan menelan, sehingga menurunkan nafsu makan pasien.

Impecunity (kemiskinan), usia lansia dimana seseorang menjadi kurang


produktif (bukan tidak produktif) akibat penurunan kemampuan fisik untuk
beraktivitas. Usia pensiun dimana sebagian dari lansia hanya mengandalkan hidup
dari tunjangan hari tuanya. Pada dasarnya seorang lansia masih dapat bekerja,
hanya saja intensitas dan beban kerjanya yang harus dikurangi sesuai dengan
kemampuannya, terbukti bahwa seseorang yang tetap menggunakan otaknya
hingga usia lanjut dengan bekerja, membaca, dsb., tidak mudah menjadi “pikun” .
Selain masalah finansial, pensiun juga berarti kehilangan teman sejawat, berarti
interaksi sosialpun berkurang memudahakan seorang lansia mengalami depresi.
8. Iatrogenic
Iatrogenics (iatrogenesis), karakteristik yang khas dari pasien geriatri yaitu
multipatologik, seringkali menyebabkan pasien tersebut perlu mengkonsumsi obat
yang tidak sedikit jumlahnya. Akibat yang ditimbulkan antara lain efek samping
dan efek dari interaksi obat-obat tersebut yang dapat mengancam jiwa. Pemberian
obat pada lansia haruslah sangat hati-hati dan rasional karena obat akan
dimetabolisme di hati sedangkan pada lansia terjadi penurunan fungsi faal hati
sehingga terkadang terjadi ikterus (kuning) akibat obat. Selain penurunan faal hati
juga terjadi penurunan faal ginjal (jumlah glomerulus berkurang), dimana
sebagaian besar obat dikeluarkan melalui ginjal sehingga pada lansia sisa
metabolisme obat tidak dapat dikeluarkan dengan baik dan dapat berefek toksik.

9. Insomnia
Insomnia, dapat terjadi karena masalah-masalah dalam hidup yang
menyebabkan seorang lansia menjadi depresi. Selain itu beberapa penyakit juga
dapat menyebabkan insomnia seperti diabetes melitus dan hiperaktivitas kelenjar
thyroid, gangguan neurotransmitter di otak juga dapat menyebabkan insomnia.
Jam tidur yang sudah berubah juga dapat menjadi penyebabnya.

10. Immuno-defficiency (penurunan sistem kekebalan tubuh)


Immuno-defficiency (penurunan sistem kekebalan tubuh) banyak hal yang
mempengaruhi penurunan sistem kekebalan tubuh pada usia lanjut seperti atrofi
thymus (kelenjar yang memproduksi sel-sel limfosit T) meskipun tidak begitu
bermakna (tampak bermakna pada limfosit T CD8) karena limfosit T tetap
terbentuk di jaringan limfoid lainnya. Begitu juga dengan barrier infeksi pertama
pada tubuh seperti kulit dan mukosa yang menipis, refleks batuk dan bersin -yang
berfungsi mengeluarkan zat asing yang masuk ke saluran nafas-yang melemah.
Hal yang sama terjadi pada respon imun terhadap antigen, penurunan jumlah
antibodi. Segala mekanisme tersebut berakibat terhadap rentannya seseorang
terhadap agen-agen penyebab infeksi, sehingga penyakit infeksi menempati porsi
besar pada pasien lansia.

11. Impotence
Impotency (impotensi), ketidakmampuan melakukan aktivitas seksual pada
usia lanjut terutama disebabkan oleh gangguan organik seperti gangguan hormon,
syaraf, dan pembuluh darah. Ereksi terjadi karena terisinya penis dengan darah
sehingga membesar, pada gangguan vaskuler seperti sumbatan plak aterosklerosis
(juga terjadi pada perokok) dapat menyumbat aliran darah sehingga penis tidak
dapat ereksi. Penyebab lainnya adalah depresi.

12. Irritable bowel


Irritable bowel (usus besar yang sensitif -mudah terangsang-) sehingga
menyebabkan diare atau konstipasi/ impaksi (sembelit). Penyebabnya tidak jelas,
tetapi pada beberapa kasus ditemukan gangguan pada otot polos usus besar,
penyeab lain yang mungkin adalah gangguan syaraf sensorik usus, gangguan
sistem syaraf pusat, gangguan psikologis, stres, fermentasi gas yang dapat
merangsang syaraf, kolitis.

1.8. Upaya Perawatan dan Pelayanan Kesehatan Lansia


Upaya pelayanan kesehatan yang diterima orang lanjut usia menurut Padila
(2014), meliputi:

1. Azas
Azas yang dianut oleh Departemen Kesehatan RI adalah meningkatkan
mutu kehidupan lanjut usia,meningkatkan kesehatan dan memperpanjang usia.

2. Pendekatan
Pendekatan berdasarkan penerapan WHO (1982) yaitu :

a. Menikmati hasil pembangunan.


b. Masing-masing lansia memiliki keunikan.
c. Mengusahakan kemandirian lansia dalam segala hal.
d. Melibatkan lansia dalam pengambilan kebijakan.
e. Memberikan perawatan di rumah.
f. Pelayanan harus dicapai dengan mudah.
g. Mendorong keakraban antar kelompok atau antar generasi.
h. Transportasi dan bangunan yang ergonomis dengan lansia.
i. Keluarga dan lansia turut aktif dalam usaha pemeliharaan kesehatan
lansia.
3. Jenis
Jenis pelayanan kesehatan lansia meliputi peningkatan (promotion),
pencegahan (prevention), diagnosis dini dan pencegahan (early diagnosis and
prompt treatment), pembatasan kecacatan (disability limitation), serta pemulihan
(rehabilitation).

a. Upaya promotion
Upaya ini merupakan proses advokasi kesehatan untuk meningkatkan
dukungan klien, tenaga professional dan masyarakat terhadap praktik
kesehatan yang positif menjadi norma-norma sosial meliputi :

1) Mengurangi cedera oleh karena jatuh maupun kebakaran, meningkatkan


penggunaan alat pengaman dan mengurangi keracunan makanan.
2) Meningkatkan keamanan terhadap paparan bahan-bahan kimia dan
peningkatan sistem keamanan kerja.
3) Meningkatkan perlindungan terhadap kualitas udara yang buruk dengan
membatasi penggunaan bahan-bahan kimia berbahaya yang dapat
menimbulkan kontaminasi terhadap udara, makanan dan obat-obatan.
4) Meningkatkan perhatian terhadap kebutuhan gigi dan mulut yang
bertujuan untuk mengurangi karies gigi serta memelihara kebersihan gigi
dan mulut.
b. Upaya prevention
Upaya pencegahan mencakup pencegahan primer, sekunder dan tersier.

1) Pencegahan primer : meliputi pencegahan pada lansia sehat, terdapat


faktor risiko, tidak ada penyakit dan promosi kesehatan. Jenis pelayanan
yang diberikan yaitu konseling dalam upaya menghentikan kecanduan
terhadap rokok dan alkohol, nutrisi, exercise, keamanan di dalam dan
sekitar rumah, manajemen stress dan penggunaan medikasi yang tepat.
2) Pencegahan sekunder : meliputi pemeriksaan terhadap penderita tanpa
gejala hingga yang memiliki faktor risisko tertentu melalui upaya kontrol
hipertensi, deteksi dan pengobatan kanker, screening berupa pemeriksaan
anorektal, mammogram, papsmear, gigi mulut dan lain-lain.
3) Pencegahan tersier : meliputi tindakan yang dilakukan pada lansia setelah
didapatkan suatu gejala penyakit dan kecacatan melalui upaya
pencegahan penambahan kecacatan dan ketergantungan, perawatan
bertahap melalui (1) perawatan rumah sakit, (2) rehabilitasi pasien rawat
jalan dan (3) perawatan jangka panjang. Jenis pelayanan yang diberikan
dapat berupa fasilitasi rehabilitasi dan membatasi ketidakmampuan
akibat kondisi kronis serta mendukung usaha dalam mempertahankan
kemampuan berfungsi.
c. Early diagnosis and prompt treatment
Diagnosis dini dapat dilakukan oleh lansia sendiri maupun petugas
kesehatan. Atas inisiatif sendiri lansia dapat melakukan tes diri, screening
kesehatan, memanfaatkan Kartu Menuju Sehat (KMS) lansia,
memanfaatkan Buku Kesehatan Pribadi (BKP) serta penandatanganan buku
kontrak kesehatan.

Diagnosis dini juga dapat diinisiasi oleh petugas kesehatan melalui


pemeriksaan status fisik, wawancara mengenai riwayat yang lalu dan saat
ini, obat-obatan yang dikonsumsi, riwayat keluarga dan sosial, riwayat
penggunaan alcohol dan rokok, pemeriksaan fisik diagnostik, skrining
kesehatan (tinggi badan, berat badan, kolesterol dan tumor), pemeriksaan
status mental, serta pemeriksaan status fungsi tubuh.

d. Disability limitation
Dalam hal ini, lansia telah mengalami kecacatan yang diamati melalui
kesulitan dalam memfungsikan kerangka, otot dan sistem saraf. Adapun
kecacatan dapat bersifat sementara maupun menetap. Hal-hal yang dapat
dilakukan yaitu pemeriksaan, identifikasi masalah, perencanaan,
pelaksanaan dan penilaian.

e. Rehabilitation
Prinsip dalam rehabilitasi adalah mempertahankan kenyamanan lingkungan,
istirahat dan aktivitas rehabilitasi yang dilaksanakan oleh tim rehabilitasi
yang terdiri dari petugas medis, paramedis dan non medis. Hal-hal yang
perlu diperhatikan pada proses rehabilitasi yaitu kecukupan nutrisi, fungsi
pernafasan, fungsi pencernaan, saluran kemih, psikososial dan komunikasi.
Adapun upaya rehabilitasi dilakukan untuk mengatasi berbagai keluhan
pada lansia antara lain gangguan penglihatan, gangguan pendengaran,
kesulitan dalam pergerakan, serta rehabilitasi bagi lansia yang mengalami
kepikunan (demensia).

B. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN GERONTIK


2.1. Pengkajian Keperawatan Lansia
Pengkajian keperawatan pada lansia adalah suatu tindakan peninjauan
situasi lansia untuk memperoleh data dengan maksud menegaskan situasi
penyakit, diagnosis masalah, penetapan kekuatan dan kebutuhan promosi
kesehatan lansia. Data yang dikumpulkan mencakup data subyektif dan data
obyektif meliputi data bio, psiko, sosial, dan spiritual, data yang
berhubungan dengan masalah lansia serta data tentang faktor-faktor yang
mempengaruhi atau yang berhubungan dengan masalah kesehatan lansia
seperti data tentang keluarga dan lingkungan yang ada.
2.2. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pengkajian Pada Lansia
1. Interelasi (saling keterkaitan) antara aspek fisik dan psikososial: terjadi
penurunan kemampuan mekanisme terhadap stres, masalah psikis
meningkat dan terjadi perubahan pada fisik lansia.
2. Adanya penyakit dan ketidakmampuan status fungsional.
3. Hal-hal yang perlu diperhatikan saat pengkajian, yaitu: ruang yang
adekuat, kebisingan minimal, suhu cukup hangat, hindari cahaya
langsung, posisi duduk yang nyaman, dekat dengan kamar mandi,
privasi yang mutlak, bersikap sabar, relaks, tidak tergesa- gesa, beri
kesempatan pada lansia untuk berpikir, waspada tanda-tanda keletihan.
2.3. Data Perubahan Fisik, Psikologis Dan Psikososial
1. Perubahan Fisik
Pengumpulan data dengan wawancara
a. Pandangan lanjut usia tentang kesehatan
b. Kegiatan yang mampu di lakukan lansia
c. Kebiasaan lanjut usia merawat diri sendiri
d. Kekuatan fisik lanjut usia: otot, sendi, penglihatan, dan
pendengaran
e. Kebiasaan makan, minum, istirahat/tidur, BAB/BAK,
f. Kebiasaan gerak badan/olahraga/senam lansia
g. Perubahan-perubahan fungsi tubuh yang dirasakan sangat
bermakna
h. Kebiasaan lansia dalam memelihara kesehatan dan kebiasaan
dalam minum obat.
Pengumpulaan data dengan pemeriksaan fisik : Pemeriksanaan dilakukan
dengan cara inspeksi, palpilasi, perkusi, dan auskultasi untuk mengetahui
perubahan sistem tubuh.

a. Pengkajian sistem persyarafan: kesimetrisan raut wajah, tingkat


kesadaran adanya perubahan-perubahan dari otak, kebanyakan
mempunyai daya ingatan menurun atau melemah,
b. Mata: pergerakan mata, kejelasan melihat, dan ada tidaknya katarak.
Pupil: kesamaan, dilatasi, ketajaman penglihatan menurun karena
proses pemenuaan,
c. Ketajaman pendengaran: apakah menggunakan alat bantu dengar,
tinnitus, serumen telinga bagian luar, kalau ada serumen jangan di
bersihkan, apakah ada rasa sakit atau nyeri ditelinga.
d. Sistem kardiovaskuler: sirkulasi perifer (warna, kehangatan),
auskultasi denyut nadi apical, periksa adanya pembengkakan vena
jugularis, apakah ada keluhan pusing, edema.
e. Sistem gastrointestinal: status gizi (pemasukan diet, anoreksia, mual,
muntah, kesulitan mengunyah dan menelan), keadaan gigi, rahang dan
rongga mulut, auskultasi bising usus, palpasi apakah perut kembung
ada pelebaran kolon, apakah ada konstipasi (sembelit), diare, dan
inkontinensia alvi.
f. Sistem genitourinarius: warna dan bau urine, distensi kandung kemih,
inkontinensia (tidak dapat menahan buang air kecil), frekuensi,
tekanan, desakan, pemasukan dan pengeluaran cairan. Rasa sakit saat
buang air kecil, kurang minat untuk melaksanakan hubungan seks,
adanya kecacatan sosial yang mengarah ke aktivitas seksual.
g. Sistem kulit/integumen: kulit (temperatur, tingkat kelembaban),
keutuhan luka, luka terbuka, robekan, perubahan pigmen, adanya
jaringan parut, keadaan kuku, keadaan rambut, apakah ada gangguan-
gangguan umum.
h. Sistem muskuloskeletal: kaku sendi, pengecilan otot, mengecilnya
tendon, gerakan sendi yang tidak adekuat, bergerak dengan atau tanpa
bantuan/peralatan, keterbatasan gerak, kekuatan otot, kemampuan
melangkah atau berjalan, kelumpuhan dan bungkuk.
2. Perubahan psikologis, data yang dikaji:
a. Bagaimana sikap lansia terhadap proses penuaan,
b. Apakah dirinya merasa di butuhkan atau tidak,
c. Apakah optimis dalam memandang suatu kehidupan,
d. Bagaimana mengatasi stres yang di alami,
e. Apakah mudah dalam menyesuaikan diri,
f. Apakah lansia sering mengalami kegagalan,
g. Apakah harapan pada saat ini dan akan datang,
h. Perlu di kaji juga mengenai fungsi kognitif: daya ingat, proses
pikir, alam perasaan, orientasi, dan kemampuan dalam
menyelesaikan masalah.
3. Perubahan sosial ekonomi, data yang dikaji:
a. Darimana sumber keuangan lansia,
b. Apa saja kesibukan lansia dalam mengisi waktu luang,
c. Dengan siapa dia tinggal,
d. Kegiatan organisasi apa yang diikuti lansia,
e. Bagaimana pandangan lansia terhadap lingkungannya,
f. Seberapa sering lansia berhubungan dengan orang lain di luar
rumah,
g. Siapa saja yang bisa mengunjungi,
h. Seberapa besar ketergantungannya,
i. Apakah dapat menyalurkan hobi atau keinginan dengan fasilitas
yang ada.
4. Perubahan spiritual, data yang dikaji :
a. Apakah secara teratur melakukan ibadah sesuai dengan keyakinan
agamanya,
b. Apakah secara teratur mengikuti atau terlibat aktif dalam kegiatan
keagamaan, misalnya pengajian dan penyantunan anak yatim atau
fakir miskin.
c. Bagaimana cara lansia menyelesaikan masalah apakah dengan
berdoa,
d. Apakah lansia terlihat tabah dan tawakal.
2.4. Diagnosis Keperawatan
Diagnosis keperawatan adalah “ Clinical Judgment” yang berfokus
pada respon manusia terhadap kondisi kesehatan atau proses kehidupan
atau kerentanan (vulnerability) baik pada individu, keluarga, kelompok
atau komunitas (NANDA, 2015-2017). Berdasarkan pengertian tersebut,
pengertian dari diagnosis keperawatan gerontik adalah keputusan klinis
yang berfokus pada respon lansia terhadap kondisi kesehatan atau
kerentanan tubuhnya baik lansia sebagai individu, lansia di keluarga
maupun lansia dalam kelompoknya.
2.5. Katagori Diagnosis Keperawatan
Ada beberapa tipe diagnosis keperawatan, diantaranya: tipe aktual,
risiko, kemungkinan, sehat dan sejahtera (welfare),dan sindrom.
1. Diagnosis keperawatan aktual Diagnosis berfokus pada masalah
(diagnosis aktual) adalah clinical judgment yang menggambarkan
respon yang tidak diinginkan klien terhadap kondisi kesehatan atau
proses kehidupan baik pada individu, keluarga, kelompok dan
komunitas. Hal ini didukung oleh batasan karakteristik kelompok data
yang saling berhubungan.
Contoh :
a. Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh,
b. gangguan pola nafas,
c. gangguan pola tidur,
d. disfungsi proses keluarga,
e. ketidakefektifan manajemen regimen terapeutik keluarga.
2. Diagnosis keperawatan risiko atau risiko tinggi Adalah clinical
judgment yang menggambarkan kerentanan lansia sebagai individu,
keluarga, kelompok dan komunitas yang memungkinkan
berkembangnya suatu respon yang tidak diinginkan klien terhadap
kondisi kesehatan/proses kehidupannya. Setiap label Dari diagnosis
risiko diawali dengan frase: “risiko” (NANDA, 2014).
Contoh diagnosis risiko adalah:
a. Risiko kekurangan volume cairan,
b. Risiko terjadinya infeksi,
c. Risiko intoleran aktifitas,
d. Risiko ketidakmampuan menjadi orang tua,
e. Risiko distress spiritual.
3. Diagnosis keperawatan promosi kesehatan Adalah Clinical judgement
yang menggambarkan motivasi dan keinginan untuk meningkatkan
kesejahteraan dan untuk mengaktualisasikan potensi kesehatan pada
individu, keluarga, kelompok atau komunitas. Respon dinyatakan
dengan kesiapan meningkatkan perilaku kesehatan yang spesifik dan
dapat digunakan pada seluruh status kesehatan. Setiap label diagnosis
promosi kesehatan diawali dengan frase: “Kesiapan
meningkatkan”…… (NANDA, 2014).
Contoh :
a. Kesiapan meningkatkan nutrisi,
b. Kesiapan meningkatkan komunikasi,
c. Kesiapan untuk meningkatkan kemampuan pembuatan keputusan,
d. Kesiapan meningkatkan pengetahuan,
e. Kesiapan meningkatkan religiusitas.
4. Diagnosis keperawatan sindrom Adalah clinical judgement yang
menggambarkan suatu kelompok diagnosis keperawatan yang terjadi
bersama, mengatasi masalah secara bersama dan melalui intervensi
yang sama. Sebagai contoh adalah sindrom nyeri kronik
menggambarkan sindrom diagnosis nyeri kronik yang berdampak
keluhan lainnya pada respon klien, keluhan tersebut biasanya diagnosis
gangguan pola tidur, isolasi sosial, kelelahan, atau gangguan mobilitas
fisik. Kategori diagnosis sindrom dapat berupa risiko atau masalah.
Contoh:
a. Sindrom kelelahan lansia,
b. Sindrom tidak berguna,
c. Sindrom post trauma,
d. Sindrom kekerasan.
2.6. Perencanaan Keperawatan Gerontik
Perencanaan keperawatan gerontik adalah suatu proses penyusunan
berbagai intervensi keperawatan yang berguna untuk untuk mencegah,
menurunkan atau mengurangi masalah masalah lansia.
1. Prioritas Masalah Keperawatan
Penentuan prioritas diagnosis ini dilakukan pada tahap perencanaan
setelah tahap diagnosis keperawatan. Dengan menentukan diagnosis
keperawatan, maka perawat dapat mengetahui diagnosis mana yang
akan dilakukan atau diatasi pertama kali atau yang segera dilakukan.
Terdapat beberapa pendapat untuk menentukan urutan prioritas, yaitu:
Berdasarkan tingkat kegawatan (mengancam jiwa) Penentuan prioritas
berdasarkan tingkat kegawatan (mengancam jiwa) yang
dilatarbelakangi oleh prinsip pertolongan pertama, dengan membagi
beberapa prioritas yaitu prioritas tinggi, prioritas sedang dan prioritas
rendah.
a. Prioritas tinggi: Prioritas tinggi mencerminkan situasi yang
mengancam kehidupan (nyawa seseorang) sehingga perlu
dilakukan terlebih dahulu seperti masalah bersihan jalan napas
(jalan napas yang tidak effektif).
b. Prioritas sedang: Prioritas ini menggambarkan situasi yang tidak
gawat dan tidak mengancam hidup klien seperti masalah higiene
perseorangan.
c. Prioritas rendah: Prioritas ini menggambarkan situasi yang tidak
berhubungan langsung dengan prognosis dari suatu penyakit yang
secara spesifik, seperti masalah keuangan atau lainnya.
Berdasarkan kebutuhan Maslow Maslow menentukan prioritas
diagnosis yang akan direncanakan berdasarkan kebutuhan,
diantaranya kebutuhan fisiologis keselamatan dan keamanan,
mencintai dan memiliki, harga diri dan aktualisasi diri. Untuk
prioritas diagnosis yang akan direncanakan, Maslow membagi
urutan tersebut berdasarkan kebutuhan dasar manusia, diantaranya:
1) Kebutuhan fisiologis Meliputi masalah respirasi, sirkulasi,
suhu, nutrisi, nyeri, cairan, perawatan kulit, mobilitas, dan
eliminasi.
2) Kebutuhan keamanan dan keselamatan Meliputi masalah
lingkungan, kondisi tempat tinggal, perlindungan, pakaian,
bebas dari infeksi dan rasa takut.
3) Kebutuhan mencintai dan dicintai Meliputi masalah kasih
sayang, seksualitas, afiliasi dalam kelompok antar
manusia.
4) Kebutuhan harga diri Meliputi masalah respect dari
keluarga, perasaaan menghargi diri sendiri.
5) Kebutuhan aktualisasi diri Meliputi masalah kepuasan
terhadap lingkungan.
2.7. Penentuan Tujuan Dan Hasil Yang Di Harapkan
Tujuan merupakan hasil yang ingin dicapai untuk mengatasi
masalah diagnosis keperawatan, dengan kata lain tujuan merupakan
sinonim kriteria hasil (hasil yang diharapkan) yang mempunyai komponen
sebagai berikut: S (subyek) P (predikat) K (kriteria) K (kondisi) W
(waktu), dengan penjabaran sebagai berikut:
S : Perilaku lansia yang diamati.
P : Kondisi yang melengkapi lansia.
K : Kata kerja yang dapat diukur atau untuk menentukan tercapainya
tujuan. K : Sesuatu yang menyebabkan asuhan diberikan.
W : Waktu yang ingin dicapai.
Kriteria hasil (hasil yang diharapkan) merupakan standard evaluasi
yang merupakan gambaran faktor-faktor yang dapat memberi petunjuk
bahwa tujuan telah tercapai. Kriteria hasil ini digunakan dalam membuat
pertimbangan dengan cirri-ciri sebagai berikut: setiap kriteria hasil
berhubungan dengan tujuan yang telah ditetapkan, hasil yang ditetapkan
sebelumnya memungkinkan dicapai, setiap kriteria hasil adalah pernyataan
satu hal yang spesifik, harus sekongkrit mungkin untuk memudahkan
pengukuran, kriteria cukup besar atau dapat diukur, hasilnya dapat dilihat,
didengar dan kriteria menggunakan kata-kata positif bukan menggunakan
kata negatif. Contoh: gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh pada
lansia teratasi dengan kriteria hasil berat badan seimbang, porsi makan
habis; setelah dilaksanakan asuhan keperawatan selama 7 hari.
2.8. Rencana Tindakan
Setelah menetapkan tujuan, kegiatan berikutnya adalah menyusun rencana
tindakan. Berikut ini dijelaskan rencana tindakan beberapa masalah
keperawatan yang lazim terjadi pada lansia.
1. Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi Penyebab gangguan nutrisi
pada lansia adalah penurunan alat penciuman dan pengecapan,
pengunyahan kurang sempurna, gigi tidak lengkap, rasa penuh pada
perut dan susah buang air besar, otot-otot lambung dan usus melemah.
Rencana makanan untuk lansia :
a. Berikan makanan sesuai dengan kalori yang dibutuhkan,
b. Banyak minum dan kurangi makanan yang terlalu asin,
c. Berikan makanan yang mengandung serat,
d. Batasi pemberian makanan yang tinggi kalori,
e. Batasi minum kopi dan teh.
2. Gangguan keamanan dan keselamatan lansia : Penyebab kecelakaan
pada lansia :
a. Fleksibilitas kaki yang berkurang.
b. Fungsi pengindraan dan pendengaran menurun.
c. Pencahayaan yang berkurang.
d. Lantai licin dan tidak rata.
e. Tangga tidak ada pengaman.
f. Kursi atau tempat tidur yang mudah bergerak.
Tindakan mencegah kecelakaan :

1) Anjurkan lansia menggunakan alat bantu untuk meningkatkan


keselamatan.
2) Latih lansia untuk pindah dari tempat tidur ke kursi.
3) Biasakan menggunakan pengaman tempat tidur jika tidur.
4) Bila mengalami masalah fisik misalnya reumatik, latih klien
untuk menggunakan alat bantu berjalan.
5) Bantu klien kekamar mandi terutama untuk lansia yang
menggunakan obat penenang/deuretik.
6) Anjurkan lansia memakai kaca mata jika berjalan atau
melakukan sesuatu.
7) Usahakan ada yang menemani jika berpergian.
8) Tempatkan lansia diruangan yang mudah dijangkau.
9) Letakkan bel didekat klien dan ajarkan cara penggunaannya.
10) Gunakan tempat tidur yang tidak terlalu tinggi.
11) Letakkan meja kecil didekat tempat tidur agar lansia
menempatkan alat-alat yang biasa digunakannya.
12) Upayakan lantai bersih, rata dan tidak licin/basah.
13) Pasang pegangan dikamar mandi/WC
14) Hindari lampu yang redup/menyilaukan, sebaiknya gunakan
lampu 70-100 watt.
15) Jika pindah dari ruangan terang ke gelap ajarkan lansia untuk
memejamkan mata sesaat.
2.9. Tindakan Keperawatan Gerontik
Tindakan keperawatan gerontik adalah realisasi rencana tindakan untuk
mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Strategi mempertahankan kebutuhan
aktifitas pada lansia meliputi :
1. Exercise/olahraga bagi lansia sebagai individu/ kelompok Aktifitas fisik
adalah gerakan tubuh yang membutuhkan energi; seperti berjalan,
mencuci, menyapu dan sebagainya. Olah raga adalah aktifitas fisik yang
terencana dan terstruktur, melibatkan gerakan tubuh berulang yang
bertujuan untuk meningkatkan kebugaran jasmani Manfaat olah raga :
a. Meningkatkan kekuatan jantung sehingga sirkulasi darah meningkat,
b. Menurunkan tekanan darah
c. Meningkatkan keseimbangan dan koordinasi,
d. Mencegah jatuh & fraktur
e. Memperkuat sistem imunitas,
f. Meningkatkan endorphin zat kimia di otak menurunkan nyeri
sehingga perasaan tenang & semangat hidup meningkat,
g. Mencegah obesitas,
h. Mengurangi kecemasan dan depresi,
i. Kepercayaan diri lebih tinggi,
j. Menurunkan risiko terjadinya penyakit kencing manis, hipertensi
dan jantung,
k. Memfasilitasi pemenuhan kebutuhan tidur,
l. Mengurangi konstipasi,
m. Meningkatkan kekuatan tulang, otot dan fleksibilitas.
2. Latihan senam aerobik adalah olah raga yang membuat jantung dan paru
bekerja lebih keras untuk memenuhi peningkatan kebutuhan oksigen.
Contoh: berjalan, berenang, bersepeda atau senam, dilakukan sekurang-
kurangnya 30 menit dengan intensitas sedang, dilakukan 5 kali dalam
seminggu, 20 menit dengan intensitas tinggi dilakukan 3 kali dalam
seminggu, kombinasi 20 menit intensitas tinggi dalam 2 hari dan 20
menit intensitas sedang dalam 2 hari. Latihan penguatan otot adalah
aktifitas yang memperkuat dan menyokong otot dan jaringan ikat.
Latihan dirancang supaya otot mampu membentuk kekuatan untuk
menggerakkan dan menahan beban seperti aktivitas yang melawan
gravitasi (gerakan berdiri dari kursi, ditahan beberapa detik dan
dilakukan berulang-ulang). Penguatan otot dilakukan 2 hari dalam
seminggu dengan istirahat untuk masing-masing sesi dan untuk masing-
masing kekuatan otot.
3. Fleksibilitas dan latihan keseimbangan adalah aktifitas untuk membantu
mempertahankan rentang gerak sendi (ROM) yang diperlukan untuk
melakukan aktifitas fisik dan tugas sehari-hari secara teratur.

DAFTAR PUSTAKA

Dewi, RS. (2014). Ebook Buku Ajar Keperawatan Gerontik. Yogyakarta :


Depublish.

Fatmah. (2010). Gizi Usia Lanjut, Jakarta : Penerbit Erlangga.

Kementerian RI. (2014). InfoDATIN PUSAT DATA DAN INFORMASI


KEMENTRIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA. Hipertensi.
Jakarta Selatan.
http://www.pusdatin.kemkes.go.id/folder/view/01/structure-publikasi-
pusdatin-info-datin.html. Disitasi pada tanggal 22 Desember 2016.

Potter, P.A & Perry, A.G. (2010). Fundamentals Of Nursing Buku 1 Edisi 7
Fundamental Keperawatan. Jakarta : Salemba Medika.

Wahab, A.F. (2014). Pengaruh Terapi Aktivitas Kelompok Terhadap Peningkatan


Harga Diri Dan Motivasi Lansia. Tesis Universitas Sebelas Maret diunduh
pada tanggal 30 Desember 2016 jam 16.05 WIB.

Anda mungkin juga menyukai