Anda di halaman 1dari 38

TUGAS KEPERAWATAN KRITIS

MAKALAH DAN KONSEP

ASUHAN KEPERAWATAN MYASTHENIA GRAVIS

DISUSUN OLEH

1. EKA SEPRIYANI (P07120317007)


2. MUHAMMAD MUTTAQIEN (P07120317020)
3. SILVIA RISMAWATI (P07120317030)

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES MATARAM

JURUSAN KEPERAWATAN MATARAM

PROGRAM STUDI DIV KEPERAWATAN MATARAM

TAHUN 2020
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena
atas berkat dan rahmat-Nyalah kami dapat menyelesaikan makalah ini. Pada
kesempatan ini kami mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah
membantu dan memberikan dukungan dalam penyusunan makalah ini, terutama
kami mengucapkan Terima Kasih.

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih sangat


banyak kekurangan baik dari segi materi, tata bahasa, maupun penyusunan.
Dengan rendah hati penulis mengharapkan kritik dan saran yang selanjutnya
membangun untuk lebih menyempurnakan makalah ini.

Akhirnya penulis berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita
semua.

Mataram, agustus 2020

(penulis)

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...................................................................................i

DAFTAR ISI .................................................................................................ii

BAB I : PENDAHULUAN.............................................................................1

A. LATAR BELAKANG……………………………………………………………………...1
B. RUMUSAN MASALAH ………...…………………………………………………….......2
C. TUJUAN…………………………………………………………………...…………..…....2

BAB II : PEMBAHASAN……………………………………………………………..…....3

A. KONSEP DASAR MEDIK………………………………………………………..……....3


1. DEFINSI MYASTHENIA GRAVIS. ………………………………………………...3
2.  KLASIFIKASI KLINIS MYASTHENIA GRAVIS. ………………………….…...4
3.  ETIOLOGI MYASTHENIA GRAVIS .. ……………………………………….…..5
4. KLASIFIKASI MENURUT OSSEMAN………………………………………….…6
5.  PREVALENSI/KELAZIMAN MYASTHENIA GRAVIS.. …………………..….7
6. KRISIS PADA MYASTHENIA GRAVIS………………………………………….8
7. PATOFISIOLOGI MYASTHENIA GRAVIS. …………………………………...1O
8.   MANESFESTASI KLINIS MYASTHENIA GRAVIS. …………………………14
9. PEMERIKSAAN PENUNJANG MYASTHENIA GRAVIS. ………………… ...14
10. PENATALAKSANAAN MYASTHENIA GRAVIS………………… ……………15
11. KOMPLIKASI MYASTHENIA GRAVIS…….……………………………………20
12. PENCEGAHAN MYASTHENIA GRAVIS ………………………………………...22

B. KONSEP DASAR ASKEP MYASTHENIA GRAVIS.. ……………………………….24


1. PENGKAJIAN...................................................................................24
2. DIAGNOSA KEPERAWATAN..........................................................28.
3. INTERVENSI KEPERAWATAN........................................................28
4. IMPLEMENTASI ……………………………………………………………… ..33
5. EVALUASI…………………………………………………………………..............33

BAB III : PENUTUP....................................................................................34

A. KESIMPULAN.......................................................................................34
B. SARAN DAN KRITIK ………………………………………………………………..34

DAFTAR PUSTAKA35

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Miastenia gravis adalah kelemahan otot yang cukup berat dimana terjadi
kelelahan otot-otot secara cepat dengan lambatnya pemulihan (dapat
memakan waktu 10 hingga 20 kali lebih lama dari normal). Myasthenia
gravis mempengaruhi sekitar 400 per 1 juta orang. Kelemahan otot yang
parah yang disebabkan oleh penyakit tersebut membawa sejumlah komplikasi
lain, termasuk kesulitan  bernapas, kesulitan mengunyah dan menelan,
bicaracadel, kelopak mata murung dan kabur atau penglihatan ganda.

Myasthenia gravis dapat mempengaruhi orang-orang dari segala umur.


Namun lebih sering terjadi pada para wanita, yaitu wanita berusia antara 20
dan 40 tahun. Pada laki-laki lebih dari 60 tahun. Dan jarang terjadi selama
masa kanak-kanak.
Siapapun bisa mewarisi kecenderungan terhadap kelainan autoimun ini.
Sekitar 65% orang yang mengalami myasthenia gravis mengalami
pembesaran kelenjar thymus, dan sekitar 10% memiliki tumor pada kelenjar
thymus (thymoma). Sekitar setengah thymoma adalah kanker (malignant).
Beberapa orang dengan gangguan tersebut tidak memiliki antibodi untuk
reseptor acetylcholine tetapi memiliki antibodi terhadap enzim yang
berhubungan dengan pembentukan persimpangan neuromuskular sebagai
pengganti. Orang ini bisa memerlukan pengobatan berbeda.
Pada 40% orang dengan myasthenia gravis, otot mata terlebih dahulu
terkena, tetapi 85% segera mengalami masalah ini. Pada 15% orang, hanya
otot-otot mata yang terkena, tetapi pada kebanyakan orang, kemudian seluruh
tubuh terkena, kesulitan berbicara dan menelan dan kelemahan pada lengan
dan kaki yang sering terjadi. Pegangan tangan bisa berubah-ubah antara
lemah dan normal. Otot leher bisa menjadi lemah. Sensasi tidak terpengaruh.
Ketika orang dengan myasthenia gravis menggunakan otot secara
berulang-ulang, otot tersebut biasanya menjadi lemah. Misalnya, orang yang
dahulu bisa menggunakan palu dengan baik menjadi lemah setelah memalu

1
untuk beberapa menit. Meskipun begitu, kelemahan otot bervariasi dalam
intensitas dari jam ke jam dan dari hari ke hari, dan rangkaian penyakit
tersebut bervariasi secara luas. Sekitar 15% orang mengalami peristiwa berat
(disebut myasthenia crisis), kadangkala dipicu oleh infeksi. Lengan dan kaki
menjadi sangat lemah, tetapi bahkan kemudian, mereka tidak kehilangan rasa.
Pada beberapa orang, otot diperlukan untuk pernafasan yang melemah.
Keadaan ini dapat mengancam nyawa.

A. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana konsep miastenia gravis?
2. Bagaimana konsep Asuhan Keperawatan pada miastenia gravis?

B. TUJUAN
1. Mengetahui definisi miastenia gravis
2. Mengetahui etiologi miastenia gravis
3. Mengetahui pravelensi miastenia gravis
4. Mengetahui patofisiologi myasthenia gravis
5. Mengetahui manifestasi klinis miastenia gravis
6. Mengetahui pemeriksaan diagnostik miastenia gravis
7. Mengetahui penatalaksanaan miastenia gravis
8. Mengetahui komplikasi miastenia gravis
9. Mengetahui pencegahan myasthenia gravis
10. Mengetahui asuhan keperawatan pada miastenia gravis

2
BAB II

PEMBAHASAN

1. KONSEP DASAR MEDIK


1. DEFINISI
Myastenia gravis merupakan gangguan yang mempengaruhi trasmisi
neuromuskuler pada otot tubuh yang kerjanya dibawah kesadaran
seseorang (volunteer) . Karakteristik yang muncul berupa kelemahan
yang berlebihan dan umumnya terjadi kelelahan pada otot-otot volunter
dan hal itu dipengaruhi oleh fungsi saraf cranial  (Brunner and Suddarth
2002)
Myasthenia gravis adalah gangguan neuromuskuler yang
mempengaruhi transmisi impuls pada otot-otot volunter tubuh  (Sandra
M. Neffina 2002)
Miastenia gravis (MG) ialah penyakit kronik Miastenia gravis merupakan
bagian dari penyakit neuromuskular. Miastenia gravis dlah gangguan
yang mempengaruhi transmisi neuromuskular pada otot tubuh yang
kerjanya di bawah kesadaran seseorang(volunter). Miastenia grafis
merupakan kelemahan otot yang parah dan satu-satunya penyakit
neuromuskular dengan gabungan antar cepatnya terjadi kelelahan otot-
otot volunter dan lambatnya pemulihan (dapat memakan waktu 10-20
kali lebih lama dari normal) (price dan wilson, 1995)
Myasthenia Gravis (MG) adalah penyakit autoimun kronis dari
transmisi neuromuskular yang menghasilkan kelemahan otot. Istilah
Myasthenia adalah bahasa Latin untuk kelemahan otot, dan Gravis
untuk berat atau serius.
Miastenia gravis merupakan bagian dari penyakit neuromuskular.
Miastenia gravis adalah gangguang yang memengaruhi transmisi
neuromuskular pada otot tubuh yang kerjanya di bawah kesadaran
seseorang (volunter). Miastenia gravis merupakan kelemahan otot yang
parah dan satu-satunya penyakit neuromuskular dengan gabungan antara
cepatnya terjadi kelelahan otot-otot volunter dan lambatnya pemulihan

3
(dapat memakan waktu 10-20 kali lebih lama dari normal). (Price dan
Wilson, 1995).
Karakteristik yang muncul berupa kelemahan yang berlebihan dan
umumnya terjadi kelelahan pada otot-otot volunter yang dipengaruhi oleh
fungsi saraf kranial. Serangan dapat terjadi pada beberapa usia, ini
terlihat paling sering pada wanita antara 15-35 tahun dan pada pria
sampai 40 tahun. 

2. KLASIFIKASI KLINIS MYASTHENIA GRAVIS


a. Kelompok I Myasthenia Okular
Hanya menyerang otot-otot ocular, disertai ptosis dan diplopia. Sangat
ringan, tidak ada kasus kematian.
b. Kelompok II Myasthenia Umum
1) Myasthenia umum ringan
progress lambat, biasanya pada mata, lambat laun menyebar ke otot-
otot rangka dan bulbar. Sistem pernafasan tidak terkena. Respon
terhadap terapi obat baik. Angka kematian rendah.
2) Myasthenia umum sedang
progress bertahap dan sering disertai gejala-gejala ocular, lalu
berlanjut semakin berat dengan terserangnya seluruh otot-otot rangka
dan bulbar. Disartria (gangguan bicara), disfagia (kesulitan menelan)
dan sukar mengunyah lebih nyata dibandingkan dengan Myasthenia
umum ringan. Otot-otot pernafasan tidak terkena. Respon terhadap
terapi obat kurang memuaskan dan aktivitas pasien terbatas, tetapi
angka kematian rendah.
3) Myasthenia umum berat
a) Fulminan akut : progress yang cepat dengan kelemahan otot-otot
rangka dan bulbar yang berat disertai mulai terserangnya otot-otot
pernafasan. Biasanya penyakit berkembang maksimal dalam waktu
6 bulan. Dalam kelompok ini, persentase thymoma paling tinngi.
Respon terhadap obat buruk. Insiden krisis Myasthenik, kolinergik,
maupun krisis gabungan keduanya tinggi. Tingkat kematian tinggi.

4
b) Lanjut : Myasthenia Gravis berat timbul paling sedikit 2 tahun
sesudah progress gejala-gejala kelompok I atau II. Myasthenia
Gravis dapat berkembang secara perlahan-lahan atau secara tiba-
tiba. Persentase thymoma menduduki urutan kedua. Respon
terhadap obat dan prognosis buruk.
c. Myasthenia Gravis bisa juga diklasifikasikan dengan lebih singkat dan
sederhana menjadi :
1) Golongan I = Gejala-gejalanya hanya terdapatpada otot-otot ocular
2) Golongan II A = Myasthenia Gravis umum ringan
Golongan II B = Myasthenia Gravis umum berat
3) Golongan III = Myasthenia Gravis akut yang berat, yang juga
mengenai otot-otot pernafasan
4) Golongan IV = Myasthenia Gravis kronik yang berat

3. ETIOLOGI
Penyebab miastenia gravis masih belum diketahui secara pasti, diduga
kemungkinan terjadi karena gangguan atau destruksi reseptor asetilkolin
(Acetyl Choline Receptor (AChR)) pada persimpangan neoromuskular
akibat reaksi autoimun. Etiologi dari penyakit ini adalah:
1) Kelainan autoimun: direct mediated antibody, kekurangan AChR, atau
kelebihan kolinesterase
2) Genetik: bayi yang dilahirkan oleh ibu MG
Faktor risiko yang mempengaruhi terjadinya miastenia gravis adalah:
1) Infeksi (virus)
2) Pembedahan
3) Stress
4) Perubahan hormonal
5) Alkohol
6) Tumor mediastinum
7) Obat-obatan:
- Antikolinesterase
- Laksative atau enema

5
- Sedatif
- Antibiotik (Aminoglycosides, ciprofloxacin, ampicillin,
erythromycin)
- Potassium depleting diuretic
- Narkotik analgetik
- Diphenilhydramine
- B-blocker (propranolol)
- Lithium
- Magnesium
- Procainamide
- Verapamil
- Chloroquine
- Prednisone
4. KLASIFIKASI MENURUT OSSERMAN ADA 4 TIPE :
a. Oeular miastenia
terkenanya otot-otot mata saja, dengan ptosis dan diplopia sangat ringan
dan tidak ada kematian
b. Mild generalized myiasthenia
Permulaan lambat, sering terkena otot mata, pelan-pelan meluas ke otot-
otot skelet dan bulber. System pernafasan tidak terkena. Respon terhadap
otot baik
1) Moderate generalized myasthenia
Kelemahan hebat dari otot-otot skelet dan bulbar dan respon
terhadap obat tidak memuaskan
c. Severe generalized myasthenia
1) Acute fulmating myasthenia
Permulaan cepat, kelemahan hebat dari otot-otot pernafasan, progesi
penyakit biasanya komlit dalam 6 bulan. Respon terhadap obat
kurangmemuaskan, aktivitas penderita terbatas dan mortilitas tinggi,
insidens tinggi thymoma
2) Late severe myasthenia

6
Timbul paling sedikit 2 tahun setelah kelompok I dan II progresif
dari myasthenia gravis dapat pelan-pelan atau mendadak, prosentase
thymoma kedua paling tinggi. Respon terhadap obat dan prognosis
jelek
d. Myasthenia crisis
Menjadi cepat buruknya keadaan penderita myasthenia gravis dapat
disebabkan:
1) pekerjaan fisik yang berlebihan
2) emosi
3)  infeksi
4) melahirkan anak
5) progresif dari penyakit
6) obat-obatan yang dapat menyebabkan neuro muskuler, misalnya
streptomisin, neomisisn, kurare, kloroform, eter, morfin sedative
dan muscle relaxan
7) Penggunaan urus-urus enema disebabkan oleh karena hilangnya
kalium
5. PREVALENSI / KELAZIMAN MYASTHENIA GRAVIS
Myasthenia Gravis dapat dikatakan sebagai penyakit yang masih
jarang ditemukan. Umumnya menyerang wanita dewasa muda dan pria
tua. Penyakit ini bukan suatu penyakit turunan ataupun jenis penyakit
yang bisa menular. Kasus MG adalah 5-10 kasus per 1 juta populasi per
tahun, yang mengakibatkan kelaziman di Amerika Serikat sekitar 25.000
kasus. MG betul-betul dipertimbangkan sebagai penyakit yang jarang,
artinya MG kelihatannya menyerang dengan sembarangan dan tanpa
disengaja dan tidak dalam hubungan keluarga. Tidak ada kelaziman
rasial, tapi orang-orang yang terkena MG pada usia < 40 tahun, 70 % nya
adalah wanita. Yang > 40 tahun, 60 % nya adalah pria. Pola ini sering
disimpulkan dengan menyebutkan bahwa MG adalah penyakit wanita
muda dan pria tua. Pada pasien yang mengalami MG sebagai akibat
karena memiliki thymoma, tidak ada kelaziman usia dan jenis kelamin.

7
Menurut James F.Howard, Jr, M.D, kelaziman dari Myasthenia Gravis
di Amerika Serikat diperkirakan sekitar 14/100.000 populasi, kira-kira
36.000 kasus. Tetapi Myasthenia Gravis dibawah diagnosa dan
kelaziman, mungkin lebih tinggi. Sebelum dipelajari, terlihat bahwa
wanita lebih sering terserang disbanding pria. Usia yang paling umum
terserang adalah pada usia 20 dan 30-an pada wanita dan 70 dan 80-an
pada pria. Berdasarkan populasi umur, rata-rata usia yang terserang
meningkat, dan sekarang pria lebih sering terserang dibanding wanita,
dan permulaan munculnya tanda-tanda biasanya setelah usia 50.
Pada Myasthenia bayi, janin mungkin memperolah protein imun
(antibodi) dari ibu yang terkena Myasthenia Gravis. Umumnya, kasus-
kasus dari Myasthenia bayi adalah sementara dan gejala-gejala anak-anak
umumnya hilang dalam beberapa minggu setelah kelahiran. Myasthenia
Gravis tidak secara langsung diwarisi ataupun menular. Adakalanya,
penyakit ini mungkin terjadi pada lebih dari satu orang dalam keluarga
yang sama.

6. KRISIS PADA MIAESTANIA GRAVIS

Pada miastenia gravis dikatakan berada dalam krisis jika ia tidak


dapat menelan, membersihkan sekret, atau bernapas secara adekuat tanpa
bantuan alat-alat. Ada dua jenis krisis, yaitu:

a. Krisis miastenik
Krisis miastenik yaitu keadaan dimana dibutuhkan antikolinesterase
yang lebih banyak. Keadaan ini dapat terjadi pada kasus yang tidak
memperoleh obat secara cukup dan dapat dicetuskan oleh infeksi.
Tindakan terhadap kasus demikian adalah sebagai berikut:
1) Kontrol jalan napas
2) Pemberian antikolinesterase
3) Bila diperlukan: obat imunosupresan dan plasmaferesis

8
Bila pada krisis miastenik pasien tetap mendapat pernapasan buatan
(respirator), obat-obat antikolinesterase tidak diberikan terlebih dahulu,
karena obat-obat ini dapat memperbanyak sekresi saluran pernapasan dan
dapat mempercepat terjadinya krisis kolinergik. Setelah krisis terlampaui,
obat-obat dapat mulai diberikan secara bertahap, dan seringkali dosis
dapat diturunkan.

b. Krisis kolinergik
Krisis kolinergik yaitu keadaan yang diakibatkan kelebihan obat-
obat antikolinesterase. Hal ini mungkin disebabkan karena pasien
tidak sengaja telah minum obat berlebihan, atau mungkin juga dosis
menjadi berlebihan karena terjadi remisi spontan. Golongan ini sulit
dikontrol dengan obat-obatan dan batas terapeutik antara dosis yang
terlalu sedikit dan dosis yang berlebihan sempit sekali. Respons
mereka terhadap obat-obatan seringkali hanya parsial.

Tindakan terhadap kasus demikianadalah sebagai berikut:

1) Kontrol jalan napas


2) Penghentian antikolinesterase untuk sementara waktu, dan dapat
diberikan atropine 1 mg intravena dan dapat diulang bila perlu.
Jika diberikan atropine, pasien harus diawasi secara ketat,
karena secret saluran napas dapat menjadi kental sehingga sulit
dihisap atau mungkin gumpalan lender dapat menyumbat
bronkus, menyebabkan atelektasis. Kemudian antikolinesterase
dapat diberikan lagi dengan dosis yang lebih rendah
3) Bila diperlukan: obat imunosupresan dan plasmaferesis.

Untuk membedakan kedua tipe krisis tersebut dapat diberikan


tensilon 2-5 mg intravena. Obat ini akan memberikan perbaikan
sementara pada krisis miastenik, tetapi tidak akan memberikan
perbaikan atau bahkan memperberat gejala-gejala krisis kolinergik.

9
7. PATOFISIOLOGI
Dasar ketidak normalan pada mestenia grafis adalah adanya
kerusakan pada transmisi impuls saraf menuju sel-sel otak karena
kehilangan kemampuanatau hilangnya reseptor normal membran
postsinaps pada sambungan neuro muscular.
Otot kerangka atau otot lurik di persarafi oleh saraf besar bermielin
yang berasal dari sel kornum anterior medula spinalis dan batang otak.
Saraf-saraf ini mengirimkan aksonnya dalam bentuk saraf-saraf spinal
dan kranial menuju ke perifer. Masing-masing saraf memiliki banyak
sekali cabang dan mampu merangsan sekitar 2.000 serabut otot rangka.
Gabungan antara saraf motorik dan serabut-serabut otot yang di persarafi
disebut unit motorik. Meskipun setiap neuron motorik mempersarafi
banyak serbut otot, tetapi setiap serabut otot di persarafi oleh hanya satu
neuron motorik(price dan wilson, 1995).
Daerah khusus yang merupakan tempat pertemuan antara saraf
motorik dan serabut otot disebut sinaps neuromuskular dan hubungan
neuromuskular. Hubungan neuromuskukar merupakan suatu sinap kimia
antara saraf dan otot yang terdiri atas tiga komponen dasar, yaitu unsur
prasinaps, elemen postsinaps, dan celah sinaps yang mempunyai lebar
sekitar 200 A. Unsur prasinaps terdiri atas akson terminal dengan vesikel
sinaps yang berisi asetilkolin yang merupakan neurotransmiter.
Asetilkolin disintesis dan disimpan dalam akson terminal.
Membran plasma akson terminal diebut membran prasinaps. Unsur
prosinaps terdiri dari membran membran post sinaps ( post – functional
membrane ) atu lempeng akhir motorik serabut otot.
Membran post sinaps dibentuk oleh invaginasi selaput otot atau
sarkolema yang dinamakan alur atau palung sinaps tempat akson terminal
menonjol masuk ke dalamnya. Bagian ini mempunyai banyak lipatan
( celah- celah subneular ) yang sangat menambah luas permukaan.
Membran post sinaps memiliki reseptor reseptor asetilkolin dan sanggup
menghasilkan potensial lempeng akhir yang selanjutny dapat
mencetuskan potensial aksi otot. pada membran post sinaps juga terdapat

10
suatu enzim yang dapat menghancurkan asetilkolin yaitu asetilkolinerase.
Celah sinaps adalah ruang yang terdapat antara membran pra sinaps dan
post sinaps. Ruang tersebut terisi macam zat gelatin dan melalui gelatin
ini cairan ekstrasel dapat berdifusi.
Bila impuls saraf mencapai hubungan neuromuskular maka mebran
akson terminal prasinaps mengalami depolaisasi sehingga asetilkolin
akan dilepaskan dalam celah sinaps.  Asetilkolin berdifusi melalui celah
sinaps dan bergabung dengan reseptor asetilkolin pada membran
postsinaps. Penggabungan ini menimbulkan perubahan permeabilitas
terhadap natrium maupun kalium pada membran postsinaps.
Infulks ion natrium dan pengeluaran ion kalium secara tiba-tiba
menyebabkan depolarisasi lempeng akhir dikenal sebagai potensial
lempeg akhir (EPP). Jika EPP ini mencapai ambang akan terbentuk
potensial aksi dalam membran otot yang tidak berhubungan dengan sarf,
yang akan disalurkan sepanjang sarkolema. Potensial aksi ini memicu
serangkaian reaksi yang melibatkan kontraksi serabut otot. Setelah
transmisi melewati hubungan neuromuskular terjadi, asetilkolin akan
dihancurkan oleh enzim asetilkolinesterase.
Pada orang normal jumlah asetilkolin yang dilepaskan sudah lebih
dari cukup untuk menghasilkan potensial aksi. Pada miastenia gravis,
konduksi neuromuskular terganggu. Jumlah resiptor  asekotilkolin
berkurang, mungkin akibat cidera autoimun. Antibodi terhadap protein
reseptor  asetilkolin banyak ditemukan dalam serum penderita miestenia
gravis. Akibat dari kerusakan reseptor primer atau sekunder oleh suatu
agen primer yang belum di kenal merupakan faktor yang penting nilainya
dalam penentuan patogenesis yang tepat dari miastenia gravis.
Pada klien miastenia gravis, secara makroskopis otot-ototnya
tampak normal. Jika ada atrofi, maka itu disebabkan karena otot tidak di
pakai.secara mikroskopis beberapa kasus dapat ditemukan infiltrasi
limfosit dalam otot rangka tidak dapat ditemukan kelainan yang
konsisten(price dan Wilson 1995).

11
Pada orang normal, bila ada impuls saraf mencapai hubungan
neuromuskular, maka membran akson terminal presinaps mengalami
depolarisasi sehingga asetilkolin akan dilepaskan dalam celah sinaps.
Asetilkolin berdifusi melalui celah sinaps dan bergabung dengan reseptor
asetilkolin pada membran postsinaps. Penggabungan ini menimbulkan
perubahan permeabilitas terhadap natrium dan kalium secara tiba-tiba
menyebabkan depolarisasi lempeng akhir dikenal sebagai potensial
lempeng akhir (EPP). Jika EPP ini mencapai ambang akan terbentuk
potensial aksi dalam membran otot yang tidak berhubungan dengan saraf,
yang akan disalurkan sepanjang sarkolema. Potensial aksi ini memicu
serangkaian reaksi yang mengakibatkan kontraksi serabut otot. Sesudah
transmisi melewati hubungan neuromuscular terjadi, astilkolin akan
dihancurkan oleh enzim asetilkolinesterase
Pada miastenia gravis, konduksi neuromuskular terganggu.
Abnormalitas dalam penyakit miastenia gravis terjadi pada endplate
motorik dan bukan pada membran presinaps. Membran postsinaptiknya
rusak akibat reaksi imunologi. Karena kerusakan itu maka jarak antara
membran presinaps dan postsinaps menjadi besar sehingga lebih banyak
asetilkolin dalam perjalanannya ke arah motor endplate dapat dipecahkan
oleh kolinesterase. Selain itu jumlah asetilkolin yang dapat ditampung
oleh lipatan-lipatan membran postsinaps motor end plate menjadi lebih
kecil. Karena dua faktor tersebut maka kontraksi otot tidak dapat
berlangsung lama.
Kelainan kelenjar timus terjadi pada miastenia gravis. Meskipun
secara radiologis kelainan belum jelas terlihat karena terlalu kecil, tetapi
secara histologik kelenjar timus pada kebanyakan pasien menunjukkan
adanya kelainan. Wanita muda cenderung menderita hiperplasia timus,
sedangkan pria yang lebih tua dengan neoplasma timus. Elektromiografi
menunjukkan penurunan amplitudo potensial unit motorik apabila otot
dipergunakan terus-menerus.

12
Dasar ketidaknormalan pada miastenia gravis adalah adanya
kerusakan pada tranmisi impuls saraf menuju sel otot karena kehilangan
kemampuan atau hilangnya reseptor normal membrane postsinaps pada
sambungan neuromuscular. Penelitian memperlihatkan adanya
penurunan 70 % sampai 90 % reseptor asetilkolin pada sambungan
neuromuscular setiap individu. Miastenia gravis dipertimbangkan sebagai
penyakit autoimun yang bersikap lansung melawan reseptor asetilkolin
(AChR) yang merusak tranmisi neuromuscular.
Pada myasthenia gravis, sistem kekebalan menghasilkan antibodi
yang menyerang salah satu jenis reseptor pada otot samping pada simpul
neuromukular-reseptor yang bereaksi terhadap neurotransmiter
acetycholine. Akibatnya, komunikasi antara sel syaraf dan otot
terganggu. Apa penyebab tubuh untuk menyerang reseptor acetylcholine
sendiri-reaksi autoimun-tidak diketahui. Berdasarkan salah satu teori,
kerusakan kelenjar thymus kemungkinan terlibat. Pada kelenjar thymus,
sel tertentu pada sistem kekebalan belajar bagaimana membedakan antara
tubuh dan zat asing. Kelenjar thymus juga berisi sel otot (myocytes)
dengan reseptor acetylcholine. Untuk alasan yang tidak diketahui,
kelenjar thymus bisa memerintahkan sel sistem kekebalan untuk
menghasilkan antibodi yang menyerang acetylcholine. Orang bisa
mewarisi kecendrungan terhadap kelainan autoimun ini. sekitar 65%
orang yang mengalami myasthenia gravis mengalami pembesaran
kelenjar thymus, dan sekitar 10% memiliki tumor pada kelenjar thymus
(thymoma). Sekitar setengah thymoma adalah kanker (malignant).
Beberapa orang dengan gangguan tersebut tidak memiliki antibodi untuk
reseptor acetylcholine tetapi memiliki antibodi terhadap enzim yang
berhubungan dengan pembentukan persimpangan neuromuskular sebagai
pengganti. Orang ini bisa memerlukan pengobatan berbeda.

                       

13
8. MANIFESTASI KLINIS
Karakteristik penyakit berupa kelemahan otot ekstrem dan mudah
mengalami kelelahan, yang umumnya memburuk setelah aktivitas dan
berkurang setelah istirahat. Berbagai gejala yang muncul sesuai denagn
otot yang terpenagaruh, sebagai berikut:
a) Apabila otot simetri yang terkena, umumnya dihubungkan dengan
saraf kranial. Karena otot – otot okular terkena, maka gejala awal
yang muncul diplopia (penglihata ganda) dan ptosis (jatuhnya
kelopak mata). Ekspresi wajah pasien seperti sedang tidur terlihat
seperti patung hal ini dikarenakan otot wajah terkena
b) Pengaruh terhadapa laring menyebabkan disfonia (gangguan suara)
dalam pembentukan bunyi suara hidung atau kesukaran dalam
pengucapan kata kata. Kelemahan pada otot otot bulbar
menyebabkan masalah mengunyah dan menelan dan adanya bahaya
tersedak dan aspirasi.
c) Sekitar 15% sampai 20% keluhan pada tangan dan otot otot lengan,
pada otot kaki mengalami kelemahan yang membuat pasien jatuh.
d) Kelemahan diafragma dan otot – otot interkostal menyebabkan
gawat nafas, yang merupakan  keadaan darurat akut. (Keperawatan
medikal bedah, 2001)

9. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a) Tes darah dikerjakan untuk menebtukan kadar antibody
tertentu didalam serum(mis, AChR-binding antibodies, AChR-
modulating antibodies, antistriational antibodies). Tingginya
kadar dari antibody dibawah ini dapat mengindikasikan adanya
MG.
b) Pemeriksaan Neurologis melibatkan pemeriksaan otot dan
reflex. MG dapat menyebabkan pergerakan mata abnormal,
ketidakmampuanuntuk menggerakkan mata secara normal, dan
kelopak mata turun. Untuk memeriksa kekuatan otot lengan
dan tungkai, pasien diminta untuk mempertahankan posisint

14
melawan resistansi selama beberapa periode. Kelemahan yang
terjadi pada pemeriksaan ini disebut fatigabilitas.
c) Foto thorax X-Ray dan CT-Scan dapat dilakukan untuk
mendeteksi adanya pembesaran thymoma, yang umum terjadi
pada MG
d) Pemeriksaan Tensilon sering digunakan untuk mendiagnosis
MG. Enzim acetylcholinesterase memecah acetylcholine
setelah otot distimulasi, mencegah terjadinya perpanjangan
respon otot terhadap suatu rangsangan saraf tunggal.
Edrophonium Chloride merupakan obat yang memblokir aksi
dari enzim acetylcholinesterase.
e) Electromyography (EMG) menggunakan elektroda untuk
merangsang otot dan mengevaluasi fungsi otot. Kontraksi otot
yang semakin melemah menandakan adanya MG.

10. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan diarahkan pada perbaikan fungsi melalui pemberian
obat antikolinestrase dan mengurangi serta membuang antibodi yang
bersikulasi
a) obat Antikolinesterase
Obat-obatan kemungkinan digunakan untuk membantu
meningkatkan kekuatan dengan cepat atau untuk menekan reaksi
autoimun dan memperlambat kemajuan gangguan tersebut.
Dapat diberikan piridostigmin bromide (mestinon) 30-120 mg per
oral tiap 3 jam atau neostigmin bromida 15-45 mg per oral tiap 3 jam.
Piridostigmin biasanya bereaksi secara lambat. Terapi kombinasi tidak
menunjukkan hasil yang menyolok. Apabila diperlukan, neostigmin
metilsulfat dapat diberikan secara subkutan atau intramuskularis (15 mg
per oral setara dengan 1 mg subkutan/intramuskularis), didahului dengan
pemberian atropin 0,5-1,0 mg. Neostigmin  dapat menginaktifkan atau
menghancurkan kolinesterase sehingga asetilkolin tidak segera
dihancurkan. Akibatnya aktifitas otot dapat dipulihkan mendekati

15
normal, sedikitnya 80-90% dari kekuatan dan daya tahan semula.
Pemberian antikolinesterase akan sangat bermanfaat pada miastenia
gravis golongan IIA dan IIB. Efek samping pemberian antikolinesterase
disebabkan oleh stimulasi parasimpatis,termasuk konstriksi pupil, kolik,
diare, salivasi berkebihan, berkeringat, lakrimasi, dan sekresi bronkial
berlebihan. Efek samping gastro intestinal (efek samping muskarinik)
berupa kram atau diare dapat diatasi dengan pemberian propantelin
bromida atau atropin. Penting sekali bagi pasien-pasien untuk menyadari
bahwa gejala-gejala ini merupakan tanda terlalu banyak obat yang
diminum, sehingga dosis berikutnya harus dikurangi untuk menghindari
krisis kolinergik. Karena neostigmin cenderung paling mudah
menimbulkan efek muskarinik, maka obat ini dapat diberikan lebih dulu
agar pasien mengerti bagaimana sesungguhnya efek smping tersebut.
pyridostigmine (diminum), bisa meningkatkan kekuatan otot.
Kapsul beraksi lama tersedia untuk malam hari digunakan untuk
membantu orang yang mengalami kelemahan berat atau kesulitan
menelan ketika mereka bangun di pagi hari. Dokter harus secara bertahap
menyesuaikan dosis tersebut, yang bisa meningkat selama peristiwa
kelemahan. Meskipun begitu, dosis yang terlalu tinggi bisa menyebabkan
kelemahan yang sulit untuk dibedakan dari penyebab gangguan tersebut.
Juga, keefektifan obat-obatan ini bisa berkurang dengan penggunaan
jangka panjang. Peningkatan kelemahan, yang kemungkinan disebabkan
penurunan keefektifan obat tersebut, harus diteliti oleh dokter dengan
keahlian mengobati myasthenia gravis.
Efek samping yangs sering terjadi pada pyridostigmine termasuk
kram perut dan diare. Obat-obatan yang memperlambat kegiatan pada
saluran pencernaan, seperti atropine atau propantheline, kemungkinan
diperlukan untuk menetralkan efek ini.

b) Terapi imunosupresif

ditujukan pada penurunan pembentukan antibody antireseptor atau


pembuangan antibody secara langsung dengan pertukaran plasma

16
1) Kortikostreoid
untuk menekan respon imun, menurunkan jumlah antibody yang
menghambat ,dokter bisa juga meresepkan kortikosteroid, seperti
prednison, atau immunosuppressant, seperti cyclosporine atau
azathioprine. Obat-obatan ini diminum. Kebanyakan orang
membutuhkan untuk menggunakan kortikosteroid dengan tidak
terbatas. Ketika kortikosteroid mulai diminum, gejala-gejala
awalnya bisa memburuk, tetapi kemajuan terjadi dalam beberapa
bulan. Dosis tersebut kemudian dikurangi hingga dosis minimum
yang masih efektif. Kortokosteroid, ketika digunakan untuk
waktu yang lama, bisa memiliki efek samping ringan atau berat.
Dengan demikian, azathioprine kemungkinan diberikan sehingga
kortikosteroid tersebut bisa dihentikan atau dosisnya dikurangi.
Dengan azathioprine, perbaikan memerlukan waktu sekitar 18
bulan
Di antara preparat steroid, prednisolon paling sesuai untuk
miastenia gravis, dan diberikan sekali sehari secara selang-seling
(alternate days) untuk menghindari efek samping. Dosis awalnya
harus kecil (10 mg) dan dinaikkan secara bertahap (5-10
mg/minggu) untuk menghindari eksaserbasi sebagaimana halnya
apabila obat dimulai dengan dosis tinggi. Peningkatan dosis
sampai gejala-gejala terkontrol atau dosis mencapai 120 mg
secara selang-seling. Pada kasus yang berat, prednisolon dapat
diberikan dengan dosis awal yang tinggi, setiap hari, dengan
memperhatikan efek samping yang mungkin ada. Hal ini untuk
dapat segera memperoleh perbaikan klinis. Disarankan agar
diberi tambahan preparat kalium. Apabila sudah ada perbaikan
klinis maka dosis diturunkan secara perlahan-lahan (5 mg/bulan)
dengan tujuan memperoleh dosis minimal yang efektif.
Perubahan pemberian prednisolon secara mendadak harus
dihindari.

17
2) Azatioprin
Azatioprin merupakan suatu obat imunosupresif, juga
memberikan hasil yang baik, efek sampingnya sedikit jika
dibandingkan dengan steroid dan terutama berupa gangguan
saluran cerna,peningkatan enzim hati, dan leukopenia. Obat ini
diberikan dengan dosis 2,5 mg/kg BB selama 8 minggu pertama.
Setiap minggu harus dilakukan pemeriksaan darah lengkap dan
fungsi hati. Sesudah itu pemeriksaan laboratorium dikerjakan
setiap bulan sekali. Pemberian prednisolon bersama-sama
dengan azatioprin sangat dianjurkan.

c) Timektomi
Jika thymoma ada, kelenjar thymus harus diangkat dengan cara
operasi untuk mencegah thymoma menyebar. Jika tidak terdapat
thymoma, manfaat mengangkat kelenjar thymus tidak pasti.
Thimektomi (pengangkatan kalenjer thymus dengan operasi)
menyebabkan remisi subtansial, terutama pada pasien dengan tumor atau
hiperlasia kalenjer timus.Perawatan pasca operasi dan kontrol jalan napas
harus benar-benar diperhatikan. Melemahnya penderita beberapa hari
pasca operasi dan tidak bermanfaatnya pemberian antikolinesterase
sering kali merupakan tanda adanya infeksi paru-paru. Hal ini harus
segera diatasi dengan fisioterapi dan antibiotik.
1) Plasmaferesis
pertukaran plasma (plasmaferesis) menyebabkan reduksi sementara
dalam titer antibody. Ketika obat-obatan tidak menghasilkan
keringanan atau ketika myasthenic crisis terjadi, plasmapheresis
kemungkinan digunakan. Pada plasmapheresis, zat beracun (pada
kasus ini, kelainan antibodi) disaring dari darah.
11. Tiap hari dilakukan penggantian plasma sebanyak 3-8 kali dengan dosis
50 ml/kg BB. Cara ini akan memberikan perbaikan yang jelas dalam
waktu singkat. Plasmaferesis bila dikombinasikan dengan pemberian
obat imusupresan akan sangat bermanfaat bagi kasus yang berat. Namun

18
demikian belum ada bukti yang jelas bahwa terapi demikian ini dapat
memberi hasil yang baik sehingga penderita mampu hidup atau tinggal di
rumah. Plasmaferesis mungkin efektif padakrisi miastenik karena
kemampuannya untuk membuang antibodi pada reseptor asetilkolin,
tetapi tidak bermanfaat pada penanganan kasus kronik
2) Cuci darah atau hemodialisis
dengan menyaring antibodi dan membuatnya tidak aktif lagi
3) Immune globulin
cairan berisi berbagai antibodi berbeda dikumpulkan dari kelompok
donor. kemungkinan diberikan dengan infus sekali sehari untuk 5
hari. Lebih dari dua pertiga orang bertambah baik dalam 1 sampai 2
minggu, dan efeknya bisa berlangsung 1 sampai 2 bulan.

Menurut Corwin (2009), penatalaksanaan pada pasien dengan


miastenia gravis adalah:
a) Periode istirahat yang sering selama siang hari untuk menghemat
kekuatan
b) Timektomi (pengangkatan timus melalui pembedahan)
Pada penderita tertentu perlu dilakukan timektomi.
Perawatan pasca operasi dan kontrol jalan napas harus benar-
benar diperhatikan. Melemahnya penderita beberapa hari pasca
operasi dan tidak bermanfaatnya pemberian antikolinesterase
sering kali merupakan tanda adanya infeksi paru-paru. Hal ini
harus segera diatasi dengan fisioterapi dan antibiotik.
c) Plasmaferesis (dialisis darah dengan pengeluaran antibodi IgG)
Tiap hari dilakukan penggantian plasma sebanyak 3-8 kali
dengan dosis 50 ml/kg BB. Plasmaferesis mungkin efektif pada
krisis miastenik karena kemampuannya untuk membuang
antibodi pada reseptor asetilkolin, tetapi tidak bermanfaat pada
penanganan kasus kronik.

19
d) Terapi farmakologi
1) Antikolinesterase (piridostigmin 30-120 mg per oral tiap 3 jam
atau neostigmin bromida 15-45 mg per oral tiap 3 jam) untuk
memperpanjang waktu paruh asetilkolin di taut neuromuskular.
Pemberian antikolinesterase sangat bermanfaat pada miastenia
gravis golongan IIA dan IIB. Efek samping pemberian
antikolinesterase disebabkan oleh stimulasi parasimpatis,
termasuk konstriksi pupil, kolik, diare, salivasi berkebihan,
berkeringat, lakrimasi, dan sekresi bronkial berlebihan.
2) Steroid (prednisolon sekali sehari secara selang-seling/alternate
days dengan dosis awal kecil (10 mg) dan dinaikkan secara
bertahap (5-10 mg/minggu). Apabila sudah ada perbaikan klinis
maka dosis diturunkan secara perlahan-lahan (5 mg/bulan)
dengan tujuan memperoleh dosis minimal yang efektif.
Perubahan pemberian prednisolon secara mendadak harus
dihindari.
3) Azatioprin (merupakan obat imunosupresif dengan efek samping
lebih sedikit jika dibandingkan dengan steroid, yaitu berupa
gangguan saluran cerna, peningkatan enzim hati, dan leukopenia).
Obat ini diberikan dengan dosis 2,5 mg/kg BB selama 8 minggu
pertama. Setiap minggu harus dilakukan pemeriksaan darah
lengkap dan fungsi hati. Sesudah itu pemeriksaan laboratorium
dikerjakan setiap bulan sekali.
4) Obat anti-inflamasi untuk membatasi serangan autoimun

12. KOMPLIKASI
Miastenia gravis dikatakan berada dalam krisis jika ia tidak dapat
menelan, membersihkan sekret, atau bernapas secara adekuat tanpa
bantuan alat-alat. Ada dua jenis krisis yang terjadi sebagai komplikasi
dari miastenia gravis (Corwin, 2009), yaitu:

20
a) Krisis miastenik
Ditandai dengan perburukan berat fungsi otot rangka yang
memuncak pada gawat napas dan kematian karena diafragma dan
otot interkostal menjadi lumpuh. Dalam kondisi ini, dibutuhkan
antikolinesterase yang lebih banyak. Keadaan ini dapat terjadi pada
kasus yang tidak memperoleh obat secara cukup, terjadi setelah
pengalaman yang menimbulkan stres seperti penyakit, gangguan
emosional, pembedahan, atau selama kehamilan, serta infeksi.
Tindakan terhadap kasus ini adalah:
1) kontrol jalan napas
2) pemberian antikolinesterase
3) bila diperlukan: obat imunosupresan dan plasmaferesis

Bila pada krisis miastenik pasien tetap mendapat pernapasan


buatan (respirator), obat-obat antikolinesterase tidak diberikan
terlebih dahulu, karena obat-obat ini dapat memperbanyak sekresi
saluran pernapasan dan dapat mempercepat terjadinya krisis
kolinergik. Setelah krisis terlampaui, obat-obat dapat mulai
diberikan secara bertahap, dan seringkali dosis dapat diturunkan.

b) Krisis kolinergik
Krisis kolinergik yaitu respons toksik akibat kelebihan obat-obat
antikolinesterase. Hal ini mungkin disebabkan karena pasien tidak
sengaja telah minum obat berlebihan, atau mungkin juga dosis
menjadi berlebihan karena terjadi remisi spontan. Golongan ini
sulit dikontrol dengan obat-obatan dan batas terapeutik antara dosis
yang terlalu sedikit dan dosis yang berlebihan sempit sekali.
Respons mereka terhadap obat-obatan seringkali hanya parsial.
Status hiperkolinergik ditandai dengan peningkatan motilitas usus,
konstriksi pupil, bradikardia, mual dan muntah, berkeringat, diare,
serta dapat pula timbul gawat napas. Tindakan terhadap kasus ini
adalah:

21
1) kontrol jalan napas
penghentian antikolinesterase untuk sementara waktu, dan dapat
diberikan atropine 1 mg intravena dan dapat diulang bila perlu.
Jika diberikan atropine, pasien harus diawasi secara ketat,
karena sekret saluran napas dapat menjadi kental sehingga sulit
dihisap atau mungkin gumpalan lender dapat menyumbat
bronkus, menyebabkan atelektasis. Kemudian, antikolinesterase
dapat diberikan lagi dengan dosis yang lebih rendah
2) bila diperlukan: obat imunosupresan dan plasmaferesis.
Untuk membedakan kedua tipe krisis tersebut dapat diberikan
tensilon 2-5 mg intravena. Obat ini akan memberikan perbaikan
sementara pada krisis miastenik, tetapi tidak akan memberikan
perbaikan atau bahkan memperberat gejala-gejala krisis
kolinergik.

13. PENCEGAHAN MYASTHENIA GRAVIS


Seperti pada penyakit autoimun lainnya, tidak ada yang dapat
dilakukan untuk mencegah terjadinya myasthenia gravis, karena bukan
disebabkan oleh sesuatu yang bisa kita hindari.
a) Pendidikan pasien dan pemeliharaan kesehatan
1) Instruksikan pasien dan keluarga berkaitan dengan gejala krisis
miastenia
2) Ajari pasien cara-cara untuk mencegah krisis dan
memburuknya gejala
- Hindari terpajan flu dan inveksi lain
- Hindari panas atau dingin yang berlebihan
- Beritahu pasien untuk menginformasikan pada dokter gigi
tentang kondisi, karena penggunaan prokain (navokaine)
tidak ditoleransi dengan baik dan dapat mencetuskan krisis
- Hindari kesedihan secara emosional
3) Ajari pasien dan keluarga berkaitan dengan penggunaan pengisap
rumah

22
4) Tinjau kembali masa puncak obat dan bagaimana menjadwalkan
akivitas untuk mendapatakn hasil yang baik
5) Tekankan pentingnya priode istirahat yang terjadwal untuk
menghindari keletihan
6) Anjurkan pasien untuk memakai gelang kewaspadaan medis.

23
B. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

1. PENGKAJIAN
a. Anamnesa
1) Identitas klien : Meliputi nama, alamat, umur, jenis kelamin,
status
2) Keluhan utama yang sering menyebabkan klien miastenia gravis
minta pertolongan kesehatan sesuai kondisi dari adanya
penurunan atau kelemahan otot-otot dengan manifestasi diplopia
(penglihatan ganda), ptosis ( jatuhnya kelopak mata, dapat
gambar 8-4) merupakan keluhan utama dari 90% klien miestenia
gravis, disfonia (gangguan suara), masalah menelan, dan
menguyah makanan. Pada kondisi berat keluhan utama biasanya
adalah ketidak mampuan menutup rahang, ketidakmampuan
batuk efektif, dan dispenia
b. Riwayat Penyakit Saat Ini
1) Miastenia gravis juga menyerang otot-otot wajah, laring, dan
faring. Keadaan ini dapat menyebabkan regurgitasi melalui
hidung jika klien mencoba menelan (otot-otot palatum)
menimbulkan suara yang abnormal atau suara nasal, dan klien
tidak mampu menutup mulut yang dinamakan sebagi tanda
rahang menggantung
2) Terserangnya otot-otot pernapasan terlihat dari adanya batuk yang
lemah dan akhirnya dapat berupa serangan dispenea dan klien tak
lagi mampu membersihkan lendir dari trakea dan cabang-
cabangnya.Pada kasus lanjut, gelang bahu dan panggul dapat
terserang dan terjadi kelemahan semua otot-otot rangka. Biasanya
gejala-gejala miastenia gravis dapat diredakan dengan beristirahat
dan memberikan obat antikolinesterase

24
c. Riwayat Penyakit Dahulu
Kaji faktor-faktor yang berhubungan dengan penyakit yang
memperberat kondisi miastenia grafis seperti hipertensi dan diabetes
militus.
d. Riwayat Penyakit Keluarga
kaji kemungkinan dari generasi terdahulu yang mempunyai
persamaan dengan keluhan klien saat ini
e. Pengkajian Psiko Sosial Spiritual
Klien miastenia gravis sering mengalami gangguan emosi dan
kelemahan otot apabila mereka berada dalam keadan tegang. Adanya
kelemahan pada kelopak mata (ptosis), dilopia, dan kerusakan dalam
komunikasi verbal menyebabkan klien sering mengalami gangguan
citra diri.
f. Pemeriksaan Fisik
Seperti telah disebutkan sebelumnya, miastenia gravis diduga
merupakan gangguan autoimun yang merusak fungsi reseptor
asetilkolin dan mengurangi efisiensi hubungan neuromuskular.
Keadaan ini sering bermanifestasi sebagai penyakit yang berkembang
progresif lambat. Tetapi penyakit ini dapat tetap terlokalisasi pada
sekelompok otot tertentu saja. Karena perjalanan penyakitnya sangat
berbeda pada masing-masisng klien, maka prognosisnya sulit
ditentukan
1) B1 (breathing)
Inspeksi apakah klien mengalami kemampuan atau penurunan
batuk efektif, produksi sputum, sesak napas, penggunaan otot
bantu napas, Dispnea, resiko terjadi aspirasi dan gagal
pernafasan akut dan peningkatan frekuensi pernafasan sering
didapatkan pada klien yang disertai adanya kelemahan otot-otot
pernapasan. Auskultasi bunyi napas tambahan seperti ronkhi dan
stridor pada klien menandakan adanya akumulasi sekret pada
jalan napas dan penurunan kemampuan otot-otot pernapasan

25
2) B2 (blood)
Pengkajian pada sistem kardiovaskuler terutama dilakukan untuk
memantau perkembangan status kardiovaskuler, terutama denyut
nadi dan tekanan darah yang secara progresif akan berubah
sesuai dengan kondisi tidak membaikya status
pernapasan,Hipotensi / hipertensi, takikardi / bradikardi
3) B3(brain)
Pengkajian B3 (brain) merupakan pemeriksaan fokus dan lebih
lengkap dibandingkan pengkajian pada sistem lainnya.
Kelemahan otot ektraokular yang menyebabkan palsi ocular,
jatuhnya kelopak mata atau dislopia intermien, bicara klien
mungkin disatrik
4) B4 (bladder)
Pemeriksaan pada sistem perkemihan biasanya didapatkan
berkurangnya volume output urine,ini berhubungan dengan
penurunan perfusi dan penurunan curah jantung ke ginjal.
Pemeriksaan lainnya berhubungan dengan Menurunkan fungsi
kandung kemih, retensi urine, hilangnya sensasi saat berkemih.
5) B5 (bowel)
Mual sampai muntah dihubungkan dengan peningkatan produksi
asam lambung. Pemenuhan nutrisi pada klien miastenia gravis
menurun karena ketidakmampuan menelan maknan sekunder
dari kelemahan otot-otot menelan.pemeriksaan lainnya
berhubungan dengan  kelemahan otot diafragma dan peristaltic
usus turun.
6) B6 (bone)
Adanya kelemahan otot-otot volunter memberikan hambatan
pada mobilitas dan mengganggu aktifitas perawatan diri.
Pemeriksaan lainnya berhubungan dengan Gangguan aktifitas/
mobilitas fisik, kelemahan otot yang berlebihan.

26
g. Tingkat Kesadaran
Biasanya pada kondisi awal kesadaran klien masih baik

h. Fungsi Serebral
Status mental: observasi penampilan klien dan tingkah lakunya, nilai
gaya bicara dan observasi ekspresi wajah, aktifitas motorik yang
mengalami perubhan seperti adanya gangguan perilaku, alam
perasaan, dan persepsi.

i. Pemeriksaan Syaraf Cranial


1) Saraf I : Biasanya pada klien epilepsi tidak ada kelainan dan
fungsi penciuman tidak ada kelainan
2) Saraf II : Penurunan pada tes ketajaman penglihatan, klien sering
mengeluh adanya penglihatan ganda
3) Saraf III, IV dan VI : Sering didaptkan adanya ptosis. Adanya
oftalmoglegia (dapat dilihat pada gambar 8-5), mimik dari
pseudointernuklear oftalmoglegia akibat gangguan motorik pada
saraf VI
4) Saraf V : Didapatkan adanya paralisis pada otot wajah akibat
kelumpuhan pada otot-otot wajah.
5) Saraf VII : Persepsi pengecapan teganggu akibat adanya
gangguan motorik lidah/triple-furrowed lidah
6) Saraf VIII : Tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan tuli
persepsi
7) Saraf IX dan X : Ketidakmampuan dalam menelan
8) Saraf XI : Tidak ada atrofi otot sternoklidomastoideus dan
trapezius
9) Saraf XII : Lidah tidak simetris, adanya deviasi pada satu sisi
akibat kelemahan otot motorik pada lidah/triple-furrowed lidah

27
j. Sistem Motorik
Karakteristik utama miastenia gravis adalah kelemahan dari sistem
motorik. Adanya kelemahan umum pada otot-otot rangka memberikan
manifestasi pada hambatan mobilitas dan intoleransi aktivitas klien.

k. Pemeriksaan Refleks
Pemeriksaan refleks dalam, pengetukan pada tendon, ligamentum,
atau periosteum derajat refleks pada respon normal.

l. Sistem Sensorik
Pemeriksaan sensorik pada epilepsi biasanya didapatkan perasaan raba
normal, perasaan suhu normal, tidak ada perasaan abnormal di
permukaan tubuh.

2. DIAGNOSA KEPERAWATAN
a. Ketidakefektifan pola nafas yang berhubungan dengan kelemahan
otot pernafasan

b. Resiko cedera bd fungsi indra penglihatan tidak optimal

c. Hambatan komunikasi verbal berhubungan dengan


disfonia,gangguan pengucapan kata, gangguan neuromuskular,
kehilangan kontrol tonus otot fasial atau oral

d. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan ptosis, 

3. INTERVENSI KEPERAWATAN
a. Ketidakefektifan pola nafas yang berhubungan dengan kelemahan
otot pernafasan
Tujuan: Dalam waktu 1 x 24 jam setelah diberikan intervensi
polapernapasan klien kembali efektif
Kriteria hasil :
1) Irama, frekuensi dan kedalaman pernapasan dalam batas
normal
2) Bunyi nafas terdengar jelas

28
3) Respirator terpasang dengan optimal

Intervensi Rasionalisasi
1. Kaji Kemampuan ventilasi  Untuk klien dengan penurunan
kapasitasventilasi, perawat
mengkaji frekuensipernapasan,
kedalaman, dna bunyi
nafas,pantau hasil tes fungsi paru-
paru tidal, kapasitas vital,
kekuatan inspirasi),dengan interval
yang sering dalammendeteksi
masalah pau-paru,
sebelumperubahan kadar gas darah
arteri dansebelum tampak gejala
klinik.
2. Kaji kualitas, frekuensi,Dan  Dengan mengkaji kualitas,
kedalaman frekuensi, dankedalaman
pernapasan,laporkansetiap pernapasan, kita dapatmengetahui
perubahan yang terjadi. sejauh mana perubahan
kondisiklien.
3. Baringkan klien dalamposisi  Penurunan diafragma memperluas
yang nyamandalam posisi daerah dada sehingga ekspansi
duduk paru bisa maksimal
4. Observasi tanda-tanda vital  Peningkatan RR dan takikardi
(nadi,RR) merupakan indikasi adanya
penurunan fungsi paru
b. Resiko cedera bd fungsi indra penglihatan yang tidak optimal
Tujuan: Menyatakan pemahaman terhadap faktor yang terlibat
dalam kemungkinan cedera.
Kriteria hasil :
1) Menunjukkan perubahan perilaku, pola hidup untuk
menurunkan faktor resiko dan melindungi diri dari cedera.

29
2) Mengubah lingkungan sesuai dengan indikasi untuk meningkatkan
keamanan

Intervensi Rasionalisasi
1. Kaji kemampuan klien dalam  Menjadi data dasar dalam
melakukan aktivitas melakukan intervensi selanjutnya
2. Atur cara beraktivitas klien  Sasaran klien adalah memperbaiki
sesuai kemampuan kekuatandan daya tahan. Menjadi
partisipan dalampengobatan, klien
harus belajar tentangfakta-faakta
dasar mengenai agen-
agenantikolinesterase-kerja,
waktu, penyesuaiandosis, gejala-
gejala kelebihan dosis, danefek
toksik. Dan yang penting
padapengguaan medikasi dengan
tepat waktuadalah ketegasan.
3. Evaluasi Kemampuan  Menilai singkat keberhasilan dari
aktivitas motorik terapi yang boleh diberikan

c. Hambatan komunikasi verbal berhubungan dengan


disfonia,gangguan pengucapan kata, gangguan neuromuskular,
kehilangankontrol tonus otot fasial atau oral
Tujuan: Klien dapat menunjukkan pengertian terhadap masalah
komunikasi, mampu mengekspresikan perasaannya, mampu
menggunakan bahasa isyarat
Kriteria hasil :
1) Terciptanya suatu komunikasi di mana kebutuhan klien dapat
dipenuhi
2) Klien mampu merespons setiap berkomunikasi secara verbal
maupun isyarat.

Intervensi Rasionalisasi

30
1. Kaji komunikasi verbal klien.  Kelemahan otot-otot bicara klien
krisis miastenia gravis dapat
berakibat pada komunikasi
2. Lakukan metode komunikasi  Teknik untuk meningkatkan
yang idealsesuai dengan komunikasimeliputi
kondisiklien mendengarkan klien,
mengulangiapa yang mereka coba
komunikasikan dengan jelas dan
membuktikan yang
diinformasikan, berbicara dengan
klienterhadap kedipan mata
mereka dan ataugoyangkan jari-
jari tangan atau kaki
untukmenjawab ya/tidak. Setelah
periode krisis klien selalu mampu
mengenal kebutuhan mereka.
3. Beri peringatan bahwaklien  Untuk kenyamanan yang
di ruang inimengalami berhubungan dengan
gangguanberbicara, sediakan ketidakmampuan komunikasi
bel khusus bila perlu
4. Antisipasi dan bantu  Membantu menurunkan frustasi
kebutuhan klien oleh karenaketergantungan atau
ketidakmampuanberkomunikasi
5. Ucapkan langsung kepada  Mengurangi kebingungan atau
klien dengan berbicara pelan kecemasanterhadap banyaknya
dan tenang,gunakan informasi. Memajukanstimulasi
pertanyaan denganjawaban komunikasi ingatan dan kata-kata.
”ya” atau”tidak” dan
perhatikanrespon klien
6. Kolaborasi: konsultasi ke ahli  Mengkaji kemampuan verbal
terapi bicara individual,sensorik, dan motorik,
serta fungsi kognitif untuk

31
mengidentifikasi defisit
dankebutuhan terapi
d. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan ptosis,
ketidakmampuan komunikasi verbal
Tujuan : Citra diri klien meningkat
Kriteria hasil :
1) Mampu menyatakan atau mengkomunikasikan dengan orang
terdekat tentang situasi dan perubahan yangsedang terjadi
2) Mampu menyatakan penerimaan diriterhadap situasi
3) Mengakui dan menggabungkan perubahan ke dalam kosep
diri dengan cara yang akurat tanpa harga diri yang negatif.

Intervensi Rasionalisasi
1. Kaji perubahan darigangguan  Menentukan bantuan individual
persepsi danhubungan dengan dalammenyusun rencana
derajat ketidakmampuan perawatan ataupemilihan
intervensi.
2. Identifikasi arti dari  Beberapa klien dapat menerima
Kehilangan atau disfungsi danmengatur beberapa fungsi
pada klien. secara efektifdengan sedikit
penyesuaian diri, sedangkanyang
lain mempunyai
kesulitanmembandingkan
mengenal dan
mengaturkekurangan.
3. Bantu dan anjurkan  Membantu meningkatkan perasaan
perawatan yang baik dan hargadiri dan mengontrol lebih
memperbaiki kebiasaan dari satu areakehidupan
4. Anjurkan orang yang  Menghidupkan kembali perasaan
Terdekat untuk mengizinkan kemandirian dan membantu
klien melakukan hal untuk perkembanganharga diri serta
dirinya sebanyak-banyaknya mempengaruhi prosesrehabilitasi

32
5. Kolaborasi: rujuk pada ahli  Dapat memfasilitasi perubahan
neuropsikologi dan konseling peran yang penting untuk
bila ada indikasi. perkembangan perasaan

4. IMPLEMENTASI
Implementasi dilakukan sesuai dengan intervensi di atas
5. EVALUASI
a. Pola napas kembali efektif
b. Terhindar dari resiko cedera
c. Tidak terjadi hambatan dalam komunikasi
d. Citra tubuh klien meningkat

33
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Myastenia gravis adalah suatu kelainan autoimun yang ditandai oleh
suatu kelemahan abnormal dan progresif pada otot rangka yang
dipergunakan secara terus-menerus dan disertai dengan kelelahan saat
beraktivitas . Penyakit ini timbul karena adanya gangguan dari synaptic
transmission atau pada neuromuscular junction. Sebelum memahami
tentang myastenia gravis, pengetahuan tentang anatomi dan fungsi normal
dari neuromuscular junction sangatlah penting. Membran presinaptik
(membran saraf), membran post sinaptik (membran otot), dan celah sinaps
merupakan bagian-bagian pembentuk neuromuscular junction.
Mekanisme imunogenik memegang peranan yang sangat penting pada
patofisiologi miastenia gravis, dimana antibodi yang merupakan produk
dari sel B justru melawan reseptor asetilkolin. Penatalaksanaan miastenia
gravis dapat dilakukan dengan obat-obatan, thymomectomy ataupun
dengan imunomodulasi dan imunosupresif terapi yang dapat memberikan
prognosis yang baik pada kesembuhan miastenia gravis.

B. KRITIK DAN SARAN


Kelompok kami menyarankan, khususnya pada semua
mahasiswa disarankan untuk mengetahui dan memahami tentang
Myestenia Gravis, sehingga mahasiswa dapat mengerti tentang Myastenia
Gravis dan dapat menghindari penyebab-penyebab dari Myastenia Gravis,
mengetahui tanda dan gejala dari Myastenia Gravis untuk mencegah
terjadinya Myastenia Gravis. Lebih memahami komplikasi yang
ditimbulkan dari Myastenia Gravis dan mahasiswa diharapkan dapat lebih
menggunakan waktu sebaik-baiknya.

34
DAFTAR PUSTAKA

Arie, Gde Agung Anom, Made Oka Adnyana & I Putu Eka Wisyadharma.
Diagnosis dan Tata Laksana Myasthenia Gravis (Jurnal), diakses pada
13 Maret 2016 pk. 20.32 WIB.

Black, Joys & Jane Hokanson. 2009. Medical Surgical nursing : Clinical
Management for Positive Outcomes 8th Edition. USA: Elsevier

Doenges, Marlynn E. 2000. RencanaAsuhan Keperawatan, Pedoman Untuk


Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. EGC: Jakarta

Morton, Patricia Gonce & Dorre K. Fontaine. 2009. Critical Care Nursing : a
Holistic Approach 9th Edition. China: Lippicont

MGFA, Inc. Facts About Autoimmune Myasthenia Gravis for Patients &
Families (www.myasthenia.org )

Mutakhin, Arif. 2008. Pengantar Asuhan Keperawatan dengan Gangguan


Sistem Persarafan. Salemba Medika : Jakarta

Smeltzer, suzanne C. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah Brunner


& Suddarth.Vol.3 Edisi 8.EGC :Jakarta

35

Anda mungkin juga menyukai