Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Perawat sebagai salah satu bentuk pelayanan profesional yang


merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan yang tidak dapat
dipisahkan dari sistem pelayanan di rumah sakit. Pelayanan kesehatan pada
saat ini semakin berkembang baik dari segi kualitas maupun kualifikasi
tenaga. Dari segi kualitas adalah adanya pergeseran sistem pemberian
pelayanan keperawatan dari yang bersifat intuition technical oriented menjadi
pelayanan keperawatan yang bersifat holistic dan unik kepada sistem klien,
yaitu individu, keluarga dan masyarakat. Hal tersebut merupakan sebuah
kemajuan yang baik bagi dunia keperawatan. Hal lainnya juga termasuk
banyaknya waktu perawat untuk bertemu dengan klien dan keluarganya yang
memungkinkan untuk sering berkomunikasi dengan perawat. Oleh karena itu
untuk meningkatkan kualitas pelayanan, perawat profesional harus memiliki
kemampuan dalam berkomunikasi terapeutik secara benar.

Komunikasi terapeutik antara perawat dan klien merupakan hal yang


pokok dalam asuhan keperawatan. Penggunaan komunikasi terapeutik harus
memperhatikan pengetahuan, sikap dan cara yang digunakan oleh perawat
sangat besar pengaruhnya terhadap usaha mengatasi berbagai masalah
psikologis klien maupun keluarganya (Roatib, Suhartini & Supriadi, 2007).
Hubungan perawat-klien yang terapeutik adalah pengalaman belajar bersama
dan pengalaman perbaikan emosi klien. Dalam hal ini perawat memakai
dirinya secara terapeutik dengan menggunakan tehnik dan ketrampilan yang
tepat dalam setiap tahap komunikasi agar perilaku klien berubah ke arah yang
positif seoptimal mungkin (Nurjannah, 2004).

1
Hubungan terapeutik antara perawat dengan klien lebih dari sekedar
mutual partnership. Hubungan ini merupakan sebuah proses dimana perawat
sebagai helper (penolong) mengintervensi kehidupan klien dan membantu
klien untuk meningkatkan kualitas hidupnya. Hubungan ini disebut hubungan
pertolongan atau helping relationship.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka dapat penulis ambil rumusan


masalah dari makalah ini yaitu “ Bagaimana Karakteristik Helping
Relationship?”.
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui tentang Karakteristik Helping Relationship.
1.3.2 Tujuan Khusus
a. Untuk mendeskripsikan tentang helping relationship
b. Untuk mendeskripsikan tentang fase helping relationship
c. Untuk mendeskripsikan karakteristik perawat yang memfasilitasi
tumbuhnya hubungan terapeutik
d. Untuk mendeskripsikan faktor-faktor yang mempengaruhi
hubungan perawat-klien

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Definisi Helping Relationship

Helping relationship adalah hubungan yang terjadi diantara dua atau lebih
individu maupun kelompok yang saling memberikan dan menerima bantuan
atau dukungan untuk memenuhi kebutuhan dasarnya sepanjang kehidupan.
Pada konteks keperawatan hubungan yang dimaksud adalah hubungan antara
perawat dan klien. Ketika hubungan antara perawat dan klien terjadi, perawat
sebagai penolong (helper) membantu klien sebagai orang yang membutuhkan
pertolongan, untuk mencapai tujuan yaitu terpenuhinya kebutuhan dasar
manusia klien.

Hubungan perawat-klien disebut sebagian orang sebagai hubungan


interpersonal, oleh sebagian lain disebut sebagai hubungan terapeutik, dan
sebagian lagi menyebutnya hubungan saling bantu. Menurut Egan, 1998
membantu merupakan proses yang memfasilitasi pertumbuhan untuk
mencapai dua tujuan dasar, yaitu bagi keperawatan dapat berupa:
a) Membantu klien mengatasi berbagai masalah yang mereka hadapi dalam
hidup dengan lebih efektif dan mengembangkan peluang yang tidak atau
kurang digunakan secara lebih utuh.
b) Membantu klien menjadi lebih baik dalam menolong diri sendiri pada
kehidupan mereka sehari-hari.

Helping relationship dapat terjalin setelah merawat klien selama beberapa


minggu, atau beberapa menit. Kunci untuk mencapai hubungan trsebut adalah:

a) Tumbuhnya rasa percaya dan penerimaan antara perawat dan klien


b) Keyakinan yang mendasari bahwa perawat peduli dan ingin membantu
klien

3
Helping relationship dipengaruhi oleh karakteristik personal dan
profesional perawat dan klien. Usia, jenis kelamin, penampilan, diagnosis,
pendidikan, nilai-nilai, latar belakang etnik dan budaya, kepribadian, harapan,
dan tempat dapat mempengaruhi perkembangan helping relationship antara
perawat-klien. Dengan mempertimbangkan semua faktor diatas, disertai
kemampuan komunikasi yang baik serta minat yang tulus terhadap
kesejahteraan klien, perawat dapat menciptakan helping relationship.

2.2 Fase Helping Relationship

Proses pembinaan helping relationship dapat dijelaskan dalam empat


fase berurutan, yang masing-masing dikarakteristikkan dengan tugas-tugas
dan keterampilan yang dapat diidentifikasi. Hubungan tersebut harus
melewati tahap dengan sukses, karena masing-masing tahap merupakan
landasan untuk tahap berikutnya. Perawat dapat mengidentifikasi
perkembangan hubungan dengan memahami fase berikut: fase pra-interaksi,
fase perkenalan, fase kerja (pemeliharaan) dan fase terminasi.

a. Fase Pra-Interaksi
Fase pra-interaksi mirip dengan tahap perencanaan sebelum melakukan
wawancara. Biasanya, perawat memiliki informasi tentang klien sebelum
bertatap muka untuk yang pertama kali. Informasi tersebut dapat meliputi
nama klien, alamat, usia, riwayat medis, dan/atau riwayat sosial klien.
Perencanaan untuk kecemasan pertama dapat menimbulkan perasaan cemas
pada diri perawat. Jika perawat menyadari perasaan tersebut dan
mengidentifikasi informasi yang spesifik untuk dibahas, akan diperoleh hasil
yang positif.
Prainteraksi merupakan masa persiapan sebelum berhubungan dan
berkomunikasi dengan klien. Seorang perawat perlu mengevaluasi dirinya
tentang kemampuan yang dimilikinya. Jika merasa ada ketidaksiapan maka
perlu membaca kembali, diskusi dengan teman. Jika sudah siap perlu
membuat rencana interaksi dengan klien.

4
b. Fase Perkenalan

Fase perkenalan, yang disebut juga fase orientasi atau fase prabantuan,
sangat penting karena mengatur sifat keseluruhan hubungan. Selama
pertemuan awal ini, klien dan perawat mengamati dengan cermat dan
membuat penilaian tentang perilaku mereka satu sama lain. Menurut
Brammer (1998) dalam kozier (2004), tiga tahap yang terdapat dalam fase
perkenalan adalah membuka hubungan, mengklarifikasi masalah, dan
membuat serta memformulasi kontrak. Tugas penting lain dalam fase
perkenalan ini meliputi mengenal satu sama lain dan membina rasa percaya.

Setelah perkenalan, perawat dapat mulai melakukan beberapa interaksi


sosial untuk menenangkan klien. Sebagai contoh, perawat dan klien dapat
berbicara tentang indahnya hari ini dan apa yang akan keduanya lakukan
seandainya di rumah sekarang.

Selama sesi awal fase perkenalan, klien mungkin akan menunjukkan


beberapa perilaku resistif. Perilaku resistif merupakan bentuk perilaku yang
dapat menghambat keterlibatan, kerja sama, atau perubahan perilaku tersebut
dapat disebabkan oleh adanya kesulitan dalam mengenali kebutuhan untuk
meminta bantuan dan peran ketergantungan, rasa takut untuk
mengungkapkan dan menghadapi perasaan yang ada, ansietas tentang
ketidaknyamanan yang dirasakan dalam mengubah pola perilaku yang
menyebabkan masalah, serta rasa takut atau ansietas dalam merespon
pendekatan yang dilakukan perawat, yang menurut klien mungkin tidak tepat.

Perilaku resistif dapat diatasi dengan menunjukkan sifat caring, minat


yang tulus terhadap klien, serta kompetensi. Perilaku perawat ini juga
membantu menumbuhkan rasa percaya dalam hubungan tersebut. Rasa
percaya dapat digambarkan sebagai keyakinan terhadap seseorang tanpa
diliputi keraguan atau pertanyaan, atau keyakinan bahwa orang lain mampu
mendampingi disaat-saat distres dan di segala keadaan.

Pada akhir fase perkenalan, klien harus mulai untuk:

5
1) Menumbuhkan kepercayaan terhadap perawat.
2) Memandang perawat sebagai tenaga professional yang kompeten untuk
memberikan bantuan.
3) Memandang perawat sebagai pribadi yang jujur, terbuka dan peduli
dengan kesejahteraan mereka.
4) Percaya bahwa perawat akan mencoba memahami dan menghormati
keyakinan dan nilai budaya mereka.
5) Merasa nyaman berbicara dengan perawat mengenai perasaan dan
berbagai persoalan sensitif lainnya.
6) Memahami tujuan hubungan tersebut dan juga peran yang dijalani.
7) Merasa mereka adalah partisipan yang aktif dalam menyusun sebuah
rencana perawatan yang disepakati bersama.
c. Fase Kerja
Selama fase kerja, perawat dan klien mulai memandang satu sama lain
sebagai individu yang unik. Mereka mulai menghargai keunikan tersebut dan
saling peduli. Sikap caring menunjukkan kepedulian yang dalam dan tulus
terhadap kesejahteraan orang lain.saat sikap caring tumbuh, kemungkinan
munculnya sikap empati juga sangat besar. Fase kerja memiliki dua tujuan
utama, yaitu diantaranya:
1) Menggali serta Memahami Pikiran dan Perasaan
Perawat memerlukan berbagai keterampilan berikut untuk menjalani
fase kerja pada hubungan terapeutik, yaitu:
a) Mendengar dan berespons dengan empati. Perawat harus
mendengarkan dengan penuh perhatian dan berkomunikasi (berespons)
dengan cara yang menunjukkan bahwa mereka mendengarkan apa
yang telah disampaikan dan memahami bagaimana perasaan klien.
Perawat berespons terhadap isi percakapan atau perasaan atau
keduanya, sesuai keperluan. Perilaku nonverbal klien juga penting.
Perilaku nonverbal yang menunjukkan empati meliputi anggukan
kepala yang wajar, tatapan yang stabil, gestur yang wajar dan sedikit
aktivitas atau pergerakan tubuh. Hasi akhir empati berupa sikap

6
menghibur dan caring terhadap klien serta sebuah hubungan saling
bantu yang menyembuhkan.
b) Respek. Perawat harus menunjukkan penghargaan atas kesediaan
klien, keinginan untuk bekerja sama dengan klien dan sikap yang
menunjukkan bahwa perawat memandang serius pendapat klien.
c) Ketulusan. Pernyataan pribadi dapat bermanfaat untuk memperkuat
antara perawat dan klien.
d) Kekonkretan. Perawat harus membantu klien dengan bersikap konkret
dan spesifik, bukan berbicara secara garis besar. Saat klien berkata,
“saya bodoh dan ceroboh,” perawat mempersempit pembicaraan ke
area spesifik yang menegaskan, “Anda tersandung keset.”
e) Konfrontasi. Perawat memaparkan ketidaksesuaian antara pikiran,
perasaan dan tindakan yang menghambat kesadaran diri klien atau
eksplorasi area tertentu. hal ini dilakukan dengan empati, bukan
dengan sikap menghakimi.
Selama tahap pertama fase kerja, intensitas interaksi meningkat dan
perasaan seperti rasa marah, malu atau kesadaran-diri dapat
terekspresikan. Jika perawat terampil dalam tahap ini dan klien bersedia
untuk melakukan eksplorasi-diri, hasilnya berupa pemahaman klien
tentang perilaku dan perasaan.
2) Memfasilitasi Pengambilan Tindakan
Pada akhirnya, klien harus membuat keputusan dan mengambil
tindakan untuk menjadi lebih efektif. Tanggung jawab untuk bertindak
ada di tangan klien. Meski demikian, perawat berkolaborasi terhadap
keputusan tersebut, memberi dukungan dan menawarkan pilihan atau
informasi.

d. Fase Terminasi

Fase terminasi dalam hubungan ini biasanya berjalan sulit dan diliputi
kebimbangan. Akan tetapi, jika fase sebelumnya berjalan dengan efektif,
klien umumnya memiliki pandangan yang positif serta mampu untuk

7
mengatasi masalah secara mandiri. Di sisi lain, karena perasaan caring telah
tumbuh, sangat wajar jika muncul perasaan kehilangan dan setiap individu
perlu mengembangkan cara untuk mengucapkan selamat tinggal.

Fase terminasi harus diatasi dengan memakai konsep proses


kehilangan. Proses terminasi yang sehat akan memberikan pengalaman
positif dalam membantu klien mengembangkan koping untuk perpisahan.
Reaksi klien dalam menhadapi terminasi dapat bermacam cara. Klien
mungkin mengingkari manfaat hubungan. Klien dapat mengekspresikan
perasaan marah dan permusuhannya dengan tidak menghadiri pertemuan
atau bicara dangkal.

Terminasi yang mendadak dan tanpa persiapan mungkin dipersepsikan


klien sebagai penolakan. Atau perilaku klien kembali pada perilaku
sebelumnya, dengan harapan perawat tidak akan mengakhiri hubungan
karena klien masih memerlukan bantuan.

1) Terminasi sementara
Terminasi sementara adalah setiap akhir dari pertemuan perawat
klien. Sehingga perawat masih akan bertemu lagi dengan klien.
2) Terminasi akhir
Terminasi akhir terjadi jika pasien akan pulang atau mahasiswa
yang selesai praktek dirumah sakit.

2.3 Karakteristik Perawat yang Memfasilitasi Tumbuhnya Hubungan


Terapeutik

Komunikasi terapeutik adalah komunikasi yang direncanakan secara


sadar yangdifokuskan unuk kesembuhan pasien yang dilakukan oleh perawat
atau tenaga kesehatanlainnya.

8
Berikut ini pula beberapa pengertian komunikasi terapeutik menurut para
ahli :

a. Northouse (1998): Komunikasi terapeutik adalah kemampuan perawat


dalam membantuklien untuk dapat beradaptasi dengan stress yang
dialaminya.
b. Stuart G.W (1998): komunikasi terapeutik merupakan hubungan
interpersonal antara perawat dan pasiennya.
c. Sundeen (1990): hubungan terapeutik merupakan sebuah hubungan
kerjasama. Hubunganini ditandai dengan tukar menukar perilaku,
perasaan, pikiran dan pengalaman antara perawat dan pasien untuk
membina hubungan intim yang terapeutik
d. Mahmud Machfoedz (2009): Komunikasi Terapeurik merupakan
pengalaman interaktifantara perawat dan pasien ya ng didapatkan secara
bersama melalui komunikasi.
e. Wahyu Purwaningsih dan Ina Karlina (2010): komunikasi terapeutik
berfokus pada kliendalam memenuhi kebutuhan klien, serta memiliki
tujuan spesifik, dan batas waktu yangditetapkan bersama.
Hubungan yang terapeutik antara perawat dan klien akan merupakan
pengalaman belajar dan juga merupakan pengalaman koreksi terhadap emosi
klien. Di sini perawat sebagai penolong haruslah terapeutik dan kunci untuk
menjadi terapeutik adalah dengan penggunaan diri secara terapeutik. Elemen
yang mempengaruhi perawat untuk menjadi terapeutik, sebagai berikut:Untuk
menjadi terapeutik, elemen yang diperlukan perawat adalah:
a. Kualitas personal atau pribadi perawat
b. Fasilitas komunikasi
c. Dimensi respon
d. Dimensi tindakan
e. Pilihan terapeutik
f. Hasil terapeutik

9
Menurut Roger terdapat beberapa karakteristik dari seorang perawat yang
dapatmemfasilitasi tumbuhnya hubungan terapeutik :
a. Kejujuran (trustworthy) Kejujuran merupakan modal utama agar dapat
melakukankomunikasi yang bernilai terapeutik, tanpa kejujuran mustahil
dapat membina hubungansaling percaya.
b. Tidak membingungkan dan cukup apresiasif Dalam berkomunikasi
hendaknya perawatmenggunakan kata-kata yang mudah dimengerti oleh
klien.
c. Bersikap positif. Bersikap positif dapat diunjukkan dengan sikap yang
hangat, penuh perhatian dan penghargaan terhadap klien.
d. Empati bukan simpati Sikap empati sangat diperlukan dalam asuhan
keperawatan,karena dengan sikap ini perawat akan mampu merasakan dan
memikirkan permasalahanklien seperti yang dirasakan dan dipikirkan oleh
klien.
e. Mampu melihat permasalahan dari kacamata klien Agar dapat membantu
klien dalammemecahkan masalah perawat harus memandang
permasalahan tersebut dari sudut pandang klien.
f. Menerima klien apa adanya Jika seseorang diterima dengan tulus,
seseorang akanmerasa nyaman dan aman menjalin hubungan intim
terapeutik.
g. Sensitif terhadap perasaan klien Tanpa kemampuan ini hubungan yang
terapeutik sulitterjalin dengan baik, karena jika tidak sensitif perawat dapat
saja melakukan pelanggaran batas, privasi dan menyinggung perasaan
klien.
h. Tidak mudah terpengaruh oleh masa lalu klien ataupun diri perawat sendiri
Seseorangyang selalu menyesali tentang apa yang telah terjadi di masa
lalunya tidak akan mampu berbuat yang terbaik hari ini. Sangat sulit bagi
perawat untuk membantu klien, jika perawat sendiri memiliki segudang
masalah dan ketidakpuasan dalam hidupnya.

10
2.4 Faktor -faktor yang Mempegaruhi Hubungan Perawat – Klien

Terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi hubungan antara


perawat-klien, yaitu diantaranya:

a. Perkembangan
Lingkungan yang diciptakan oleh orang tua mempengaruhi
kemampuan anak untuk berkomunikasi. Perawat menggunakan teknik
khusus ketika berkomunikasi pada anak sesuai dengan berbagai tahap
perkembangannya. Oleh karena itu, agar dapat berkomunikasi secara
efektif dengan anak, perawat harus mengerti pengaruh perkembangan
bahasa dan proses berpikir yang mempengaruhi cara dan sikap dalam
berkomunikasi.
b. Persepsi
Persepsi merupakan pandangan personal terhadap suatu kejadian.
Persepsi dibentuk oleh harapan dan pengalaman. Perbedaan persepsi
menghambat komunikasi.
c. Sistem nilai
Faktor ketiga yang menjadi faktor yang mempengaruhi adalah sistem
nilai. Nilai adalah standar yang mempengaruhi perilaku sehingga penting
bagi perawat untuk menyadari nilai seseorang. Berusaha mengetahui dan
mengklarifikasi nilai adalah penting dalam membuat keputusan dan
interaksi. Jangan sampai perawat dipengaruhi oleh nilai personalnya dalam
hubungan profesional.
d. Latar belakang sosial budaya
Seringkali ketika memberi asuhan keperawatan kepada klien, perawat
menggunakan bahasa dan gaya komunikasi yang berbeda. Gaya
komunikasi sangat dipengaruhi oleh faktor budaya. Budaya juga
membatasi cara bertindak dan berkomunikasi.
e. Faktor emosi
Emosi adalah perasaan subyektif tentang suatu peristiwa. Cara
seseorang berhubungan dan berkomunikasi dengan orang lain dipengaruhi

11
oleh keadaan emosinya. Emosi mempengaruhi kemampuan salah tafsir
atau tidak mendengarkan pesan yang disampaikan. Perawat dapat
mengkaji emosi klien dengan mengobservasi klien ketika berinteraksi
dengan keluarga, dokter atau perawat lain. Perawat juga perlu
mengevaluasi emosinya, karena sangat sulit untuk menyembunyikan
emosi, sementara klien sangat perseptik terhadap emosi yang terpindahkan
melaluikomunikasi interpersonal.
f. Pengetahuan
Faktor keenam adalah pengetahuan. Komunikasi sulit dilakukan jika
orang yang berkomunikasi memiliki tingkat pengetahuan yang berbeda.
Perawat mengkaji tingkat pengetahuan klien dengan memperhatikan
respon klien terhadap pernyataan yang diajukan. Setelah pengkajian,
perawat mempergunakan istilah dan kalimat yang dimengerti oleh klien
sehingga dapat menarik perhatian dan minatnya.
g. Faktor Peran
Cara berkomunikasi sesuai dengan peran dan hubungan orang yang
berkomunikasi. Gaya perawat berkomunikasi dengan klien akan berbeda
dengan caranya berbicara dengan dokter dan perawat lain. Perawat perlu
menyadari perannya saat berhubungan dengan klien ketika memberikan
asuhan keperawatan. Perawat menyebut nama klien untukmenunjukkan
rasa hormatnya dan tidak menggunakan humor jika baru mengenal klien.
h. Tatanan Interaksi
Komunikasi interpersonal akan lebih efektif jika dilakukan dalam
suatu lingkungan yang menunjang, karena bising, kurang keleluasaan
pribadi dan ruang yang sempit dapat menimbulkan kerancuan, ketegangan
dan ketidaknyamanan. Perawat perlu memilih tatanan yang memadai
ketika berkomunikasi dengan klien.

12
BAB III

PENUTUP

3.1 Simpulan

Berdasarkan pembahasan diatas, maka dapat diambil kesimpulan dari


makalah ini yaitu diantaranya:

a. Helping relationship adalah hubungan yang terjadi diantara dua atau lebih
individu maupun kelompok yang saling memberikan dan menerima
bantuan atau dukungan untuk memenuhi kebutuhan dasarnya sepanjang
kehidupan. Pada konteks keperawatan hubungan yang dimaksud adalah
hubungan antara perawat dan klien.
b. Proses pembinaan helping relationship dapat dijelaskan dalam empat fase
berurutan, yang masing-masing dikarakteristikkan dengan tugas-tugas
dan keterampilan yang dapat diidentifikasi. Perawat dapat
mengidentifikasi perkembangan hubungan dengan memahami fase
berikut: fase pra-interaksi, fase perkenalan, fase kerja (pemeliharaan) dan
fase terminasi.
c. Menurut Roger terdapat beberapa karakteristik dari seorang perawat yang
dapatmemfasilitasi tumbuhnya hubungan terapeutik : kejujuran, tidak
membingungkan, bersikap positif, empati, penerima klien apa adanya,
dan sensitive terhadap perasaan klien.
d. Faktor yang dapat mempengaruhi hubungan antara perawat-klien yaitu:
perkembangan, presepsi, sistem nilai, sosial budaya, dan pengetahuan.

3.2 Saran

Berdasarkan pembahasan diatas maka penulis berharap makalah ini


dapat menambah wawasan pembaca mengenaikarakteristik helping
relationship. Penulis memberi saran bagi pembaca untuk menambahkan
faktor pendukung dalam helping relationship pada makalah selanjutnya.

13
DAFTAR PUSTAKA

Blais, K., K., Hayes, J., S., Kozier, B., & Erb, G. (2007) . Praktik Keperawatan
Professional: Konsep & Perspektif, Ed. 7. Jakarta: EGC

Nasir, A., Muhith, A., Sajidin & Mubarak, W., I. (2011). Komunikasi dalam
Keperawatan: Teori dan Aplikasi. Jakarta: Salemba Medika

Aziz, A. (2005). Pengantar Ilmu Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika

Sheldon, Lisa Kennedy.2009. Komunikasi Untuk Keperawatan. Jakarta: Erlangga.

Nurjannah intansari. 2005. Komunikasi Keperawatan. Yogyakarta : MocoMedia.

14

Anda mungkin juga menyukai