Oleh :
Nama : Mewan Tony
NIM : 2018.C.10a.0978
LEMBAR PENGESAHAN
PEMBIMBING PRAKTIK
KATA PENGANTAR
Dengan memanjatkan Puji Syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena
atas berkat dan anugerah-Nya sehingga penyusun dapat menyelesaikan Laporan
Pendahuluan yang berjudul “Laporan Pendahuluan dan Asuhan Keperawatan Pada
Tn. M dengan Diagnosa Medis Penyakit Paru Obstruktif Kronik dan Kebutuhan
Dasar Manusia tentang Oksigenasi di Ruang Gardenia RSUD dr. Doris Sylvanus
Palangka Raya”. Laporan pendahuluan ini disusun guna melengkapi tugas (PPK1).
Laporan Pendahuluan ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh
karena itu, saya ingin mengucapkan terimakasih kepada :
1. Ibu Maria Adelheid Ensia, S.Pd., M.Kes selaku Ketua STIKes Eka Harap
Palangka Raya.
2. Ibu Meilitha Carolina, Ners., M.Kep selaku Ketua Program Studi Ners
STIKes Eka Harap Palangka Raya.
3. Ibu Rimba Aprianti, S.Kep.,Ners selaku pembimbing akademik yang telah
banyak memberikan arahan, masukkan, dan bimbingan dalam penyelesaian
asuhan keperawatan ini
4. Semua pihak yang telah banyak membantu dalam pelaksaan kegiatan
pengabdian kepada masyarakat ini.
Saya menyadari bahwa laporan pendahuluan ini mungkin terdapat kesalahan
dan jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu penyusun mengharapkan saran dan
kritik yang membangun dari pembaca dan mudah-mudahan laporan pendahuluan
ini dapat mencapai sasaran yang diharapkan sehingga dapat bermanfaat bagi kita
semua.
Palangka Raya, 15 Oktober 2020
Penyusun
4
DAFTAR ISI
SAMPUL DEPAN
LEMBAR PENGESAHAN..................................................................................ii.
LEMBAR PENGESAHAN.................................................................................iii.
KATA PENGANTAR..........................................................................................iv.
DAFTAR ISI..........................................................................................................v.
BAB 1 PENDAHULUAN........................................................................................
1.1 latar Belakang..............................................................................................2
1.2 Rumusan Masalah........................................................................................2
1.3 Tujuan Penulisan.......................................................................................2
1.4 Manfaat Penulisan.....................................................................................3
BAB 2 Tinjauan Pustaka
2.1 Konsep Penyakit........................................................................................4
2.1.1 Anatomi Fisiologi..............................................................................4
2.1.2 Definisi...............................................................................................4
2.1.3 Etiologi...............................................................................................9
2.1.4 Klasifikasi........................................................................................10
2.1.5 Patofisiologi (Pathways)..................................................................11
2.16 Manifestasi Klinis (Tanda dan Gejala)............................................14
2.1.7 Komplikasi.......................................................................................15
2.1.8 Pemeriksaan Penunjang...................................................................16
2.1.9 Penatalaksanaan Medis....................................................................17
2.2 Manajemen Asuhan Keperawatan.......................................................24
2.2.1 Pengkajian Keperawatan..................................................................24
2.2.2 Diagnosa Keperawatan....................................................................30
2.2.3 Intervensi Keperawatan....................................................................31
2.2.4 Implementasi Keperawatan..............................................................33
2.2.5 Evaluasi Keperawatan......................................................................33
BAB 4 PENUTUP.................................................................................................42
4.1 Kesimpulan..............................................................................................42
4.2 Saran........................................................................................................42
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................44
5
BAB I
PENDAHULUAN
Tinea Cruris adalah dermatofitosis pada sela paha, perineum dan sekitar
anus. Kelainan ini dapat bersifat akut atau menahun, bahkan dapat merupakan
penyakit yang berlangsun seumur hidup. Lesi kulit dapat terbatas pada daerah
genito-krural saja atau bahkan meluas ke daerah sekitar anus, daerah gluteus dan
perut bagian bawah atau bagian tubuh yang lain.
Tinea cruris dapat ditemui diseluruh dunia dan paling banyak di daerah
tropis. Angka kejadian lebih sering pada orang dewasa, terutama laki-laki
dibandingkan perempuan. Tidak ada kematian yang berhubungan dengan tinea
cruris. Jamur ini sering terjadi pada orang yang kurang memperhatikan kebersihan
diri atau lingkungan sekitar yang kotor dan lembab.
Dari data beberapa rumah sakit di Indonesia pada tahun 1998 didapatkan
persentase dermatomikosis terhadap seluruh kasus dermatosis bervariasi dari
2,93% (Semarang) sampai 27,6% (Padang). Di Jakarta menunjukkan tinea kruris
banyak terdapat pada golongan umur 25-45 tahun, yakni sebesar 31,6%, pasien
laki-laki 71,1%, dan berpendidikan rendah 78,9%. Penelitian tersebut juga
mendapatkan hubungan yang bermakna antara kejadian tinea kruris dengan
6
frekuensi ganti pakaian; persentase tinea kruris pada subyek yang berganti
pakaian 1x sehari 0,14%, sedangkan pada subyek yang berganti pakaian 2x sehari
hanya 0,01%. Sedangkan di RSUP Sanglah Denpasar pada tahun 2016 terdapat
274 (7,02%) kasus baru dermatomikosis superfisialis, 58 kasus (21,16%)
diantaranya adalah tinea korporis dan 61 kasus (22,26%) adalah tinea kruris. Dari
segi usia, data dari beberapa rumah sakit di Indonesia menunjukkan bahwa remaja
dan kelompok usia produktif adalah kelompok usia terbanyak menderita
dermatomikosis superfisialis dibandingkan dengan kelompok usia yang lebih
muda atau lebih tua. Kemungkinan karena segmen usia tersebut lebih banyak
mengalami faktor predisposisi atau pencetus misalnya pekerjaan basah, trauma,
banyak berkeringat, selain pajanan terhadap jamur lebih lama.
1.4 Manfaat
1.4.1 Bagi Mahasiswa
Diharapkan agar mahasiswa dapat menambah wawasan dan ilmu
pengetahuan dengan menerapkan proses keperawatan dan memanfaatkan ilmu
pengetahuan yang diperoleh selama menempuh pendidikan di Program Studi
Serjana Keperawatan Stikes Eka Harap Palangka Raya.
1.4.2 Bagi Institusi
3.4.3.1 Bagi Institusi Pendidikan
Sebagai sumber bacaan tentang Penyakit Tinea cruris/Kurap dan Asuhan
Keperawatannya.
3.4.3.2 Bagi Institusi Rumah Sakit
Memberikan gambaran pelaksanaan Asuhan Keperawatan dan
Meningkatkan mutu pelayanan keperawatan di Rumah Sakit kepada pasien
dengan diagnosa medis Penyakit Tinea cruris/Kurap melalui Asuhan Keperawatan
yang dilaksanakan secara komprehensif.
1.4.3 Bagi IPTEK
Sebagai sumber ilmu pengetahuan teknologi, apa saja alat-alat yang dapat
membantu serta menunjang pelayanan perawatan yang berguna bagi status
kesembuhan klien.
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
ADENAKSA KULIT
Adenaksa kulit terdiri atas kelenjar-kelenjar, kulit, rambut dan kuku.
a. Kelenjar kulit terdapat di lapisan dermis, terdiri atas :
1) Kelenjar keringat (Grandula Suporifera).
Ada 2 macam kelenjar keringat yaitu kelenjar ekrin yang kecil-kecil,
terletak dangkal di dermis dengan sekret yang encer dan kelenjar apokrin yang
lebih besar terletak lebih dalam dan sekretnya lebih kental.
2) Kelenjar Parit (Grandula Sebasea)
Terletak diseluruh permukaan kulit manusia kecuali di telapak tangan dan
kaki. Kelenjar ini biasanya terdapat di samping akar rambut dan muaranya
terdapat pada lumen akar rambut.
b. Kuku
Kuku, adalah bagian terminal lapisan tanduk yang menebal. Bagian kuku
yang terbenam dalam kulit jari disebut akar kuku. Bagian yang terbuka di atas
dasar jaringan lunak kulit pada ujung jari disebut badan kuku dan bagian paling
ujungt yaitu bagian kuku yang bebas.
10
c. Rambut
Rambut, terdiri atas bagian yang berada di kulit. Ada 2 macam rambut yaitu
lanugo (rambut halus) biasanya terdapat pada bayi dan rambut terminal (rambut
kasar) yang terdapat pada orang dewasa.
2.1.2 Fisiologi
Kulit dapat mudah dilihat dan diraba, hidup dan menjamin kelangsungan
hidup. Kulit pun menyokong penampilan dan kepribadian seseorang.Fungsi kulit
antara lain :
a. Fungsi proteksi, kulit menjaga bagian dalam tubuh terhadap gangguan fisik
atau mekanis, misalnya tekanan, gesekan, tarikan, gangguan kimiawi. Hal
tersebut dimungkinkan karena adanya bantalan lemak, tebalnya lapisan kulit
dan serabut-serabut jaringan penunjang yang berperan sebagai pelindung
terhadap gangguan fisik.
b. Fungsi absorpsi, kulit yang sehat tidak mudah menyerap air, larutan dan
benda padat, tetapi cairan yang mudah menguap lebih mudah diserap,
begitupun yang larut lemak.
c. Fungsi ekskresi, kelenjar-kelenjar kulit mengeluarkan zat-zat yang tidak
berguna lagi atau sisa metabolisme dalam tubuh berupa amonia, Nacl, urea,
asam urat.
d. Fungsi persepsi, kulit mengandung ujung-ujung saraf sensorik di dermis dan
subkutis. Terhadap rangsangan panas diperankan oleh badan-badan Ruffini
di dermis dan subkutis. Terhadap dingin diperankan oleh badan-badan
krause di dermis. Terhadap rabaan oleh badak taktil meissner ravier di
epidermis, sedangkan terhadap tekanan diperankan oleh badan vacer vaccini
di epidermis.
e. Fungsi pengaturan suhu tubuh, kulit melakukan peranan ini dengan cara
mengeluarkan keringat dan mengurutkan pembuluh darah kulit.
f. Fungsi pembentukan pigmen, sel pembentuk pigmen (melanosit) terletak di
lapisan basal dan sel ini berasal dari rigi saraf.
g. Fungsi keratinasi, lapisan epidermis mempunyai 3 jenis sel utama yaitu
keratinosit, sel langerhans, melanosit.
11
2
3
4
5
6
7
8
9
10
2.1.4 Etiologi
Tinea kruris disebabkan oleh infeksi jamur golongan dermatofita.
Dermatofita adalah golongan jamur yang menyebabkan dermatofitosis. Golongan
jamur ini mempunyai sifat mencernakan keratin (Budimulja, 1999). Menurut
Emmons (1934) dalam Budimulja (1999), dermatofita termasuk kelas Fungi
imperfecti, yang terbagi dalam tiga genus, yaitu Microsporum, Trichophyton, dan
Epidermophyton.
Penyebab Tinea kruris sendiri sering kali oleh Epidermophyton floccosum,
namun dapat pula oleh Trichophyton rubrum, Trichophyton mentagrophytes, dan
Trichophyton verrucosum (Siregar R.S., 2004).
12
Golongan jamur ini dapat mencerna keratin kulit oleh karena mempunyai
daya tarik kepada keratin (keratinofilik) sehingga infeksi jamur ini dapat
menyerang lapisan-lapisan kulit mulai dari stratum korneum sampai dengan
stratum basalis (Boel, 2003).
Menurut Rippon (1974) dalam Budimulja (1999), selain sifat keratofilik
masih banyak sifat yang sama di antara dermatofita, misalnya sifat faali,
taksonomis, antigenik, kebutuhan zat makanan untuk pertumbuhannya, dan
penyebab penyakit. Jamur ini mudah hidup pada medium dengan variasi pH yang
luas. Jamur ini dapat hidup sebagai saprofit tanpa menyebabkan suatu kelainan
apapun di dalam berbagai organ manusia atau hewan. Pada keadaan tertentu sifat
jamur dapat berubah menjadi patogen dan menyebabkan penyakit bahkan ada
yang berakhir fatal.
Beberapa jamur hanya menyerang manusia (antropofilik), dan yang lainnya
terutama menyerang hewan (zoofilik) walau kadang-kadang bisa menyerang
manusia. Apabila jamur hewan menimbulkan lesi kulit pada manusia, keberadaan
jamur tersebut sering menyebabkan terjadinya suatu reaksi inflamasi yang hebat.
Penularan biasanya terjadi karena adanya kontak dengan debris keratin yang
mengandung hifa jamur (Graham-Brown, 2002).
2.1.5 Klasifikasi
Dermatofitosis dibagi oleh beberaapa penulis, misalnya SIMINS dan
GOHAR (1954), menjadi dermatomikosis, trikomikosis, dan onikomikosis
berdasarkan bagian tubuh manusia terserang. Pembagian yang lebih praktis dan
dianut oleh para spesialis kulit adalah yang berdasarkan lokasi. Dengan demikian
dikenl bentuk-bentuk :
1. Tinea kapitis, dermatofitosis pada kulit dan rambut kepala.
2. Tinea barbe, dermatofitosis pada dagu dan jenggot.
3. Tinea kruris, dermatofitosis pada daerah genitokrural, sekitar anus, bokon,
dan kadang-kadang sampai perut bagian bawah.
4. Tinea pedis et manum, dermatofitosis pada kaki dan tangan.
5. Tinea unguium, dermatofitosis pada kuku jari tangan dan kaki.
6. Tinea korporis, dermatofitosis pada bagian lain yang tidak termasuk
bentuk 5 tinea diatas.
13
Selain 6 bentuk tinea masih dikenal istilah yang mempunyai arti khusus, yaitu :
1. Tinea imbrikata, dermatofitosis dengan susunan skuama yang konsentris
dan disebabkan Trichophyton concentricum.
2. Tinea favosa atau favus, dermatofitosis yang terutama disebabkan
trichophyton schoenleini: secara klinis antara lain terbentuk skutula dan
berbau seperti tikus (mousyodor).
3. Tinea fasialis, tinea aksilaris, yang juga menunjukkan daerah kelainan.
4. Tine sirsinata, arkuata yang merupakan penamaan deskriptif morfologis.
Keenam istilah tersebut dapat dianggap sebagai sinonim tinea korporis.
2.1.6 Patofisiologi
Infeksi dermatofita melibatkan tiga langkah utama: perlekatan ke
keratinosit, penetrasi melalui dan diantara sel, dan perkembangan respon host.
1. Perlekatan
Jamur superfisial harus melewati berbagai rintangan untuk bisa melekat
pada jaringan keratin diantaranya sinar UV, suhu, kelembaban, kompetisi
dengan flora normal dan sphingosin yang diproduksi oleh keratinosit. Asam
lemak yang diproduksi oleh glandula sebasea juga bersifat fungistatik
2. Penetrasi
Setelah terjadi perlekatan, spora harus berkembang dan menembus stratum
korneum pada kecepatan yang lebih cepat daripada proses desquamasi.
Penetrasi juga dibantu oleh sekresi proteinase, lipase dan enzim mucinolitik,
yang juga menyediakan nutrisi untuk jamur. Trauma dan maserasi juga
membantu penetrasi jamur kejaringan. Fungal mannan didalam dinding sel
dermatofita juga bisa menurunkan kecepatan proliferasi keratinosit.
Pertahanan baru muncul ketika begitu jamur mencapai lapisan terdalam dari
epidermis.
3. Perkembangan respons host
Derajat inflamasi dipengaruhi oleh status imun pasien dan organisme yang
terlibat. Reaksi hipersensitivitas tipe IV, atau Delayed Type Hipersensitivity
(DHT) memainkan peran yang sangat penting dalam melawan dermatofita.
Pada pasien yang belum pernah terinfeksi dermatofita sebelumnya, infeksi
primer menyebabkan inflamasi minimal dan trichopitin tes hasilnya
14
2.1.8 Komplikasi
Jika kulit penjamu diinokulasi pada kulit yang sesuai, timbul beberapa tingkatan
dimana infeksi berlanjut yaitu periode inkubasi yang berlangsung selama 1-3 minggu, periode
refrakter dan periode involusi.
Pertumbuhan jamur yang radial pada stratum korneum mengakibatkan timbul lesi sirsinar
dengan memberikan batas yang jelas dan meninggi, yang disebut ringworm. Reaksi kulit
semula berupa bercak atau papul bersisik yang berkembang menjadi suatu reaksi peradangan.
.Jamur golongan dermatofita ini dapat menumbulkan infeksi ringan sampai berat
tergantung dari respon imun penderita. Kekebalan terhadap infeksi ini dapat melibatkan
mekanisme imunologis maupun non imunologis. Mekanisme imunologis yang terpenting
adalah adanya aktivitas imunitas selular, melalui mekanisme hipersensitifitas tipe lambat,
sedangkan mekanisme imunologis antara lain melibatkan adaanya asam lemak jenuh berantai
panjang dikulit dan substansi lain yang disebut sebagai serum inhibitory factor.
Namun demikian bergantung dari berbagai faktor dapat terjadi pula suatu resolusi
spontan sehingga gejala klinis menghilang atau jamur hidup persisten selama beberapa tahun
dan kambuh kembali. Radang dermatofitosis mempunyai kolerasi dengan reaktivitas kulit
tipe lambat. Derajatnya sesuai dengan sensitisasi oleh dermatofita dan sejalan pula dengan
derajat hipersensitivitas tipe lambat (HTL).
HTL dimulai dengan penangkapan antigen jamur oleh sel langerhans yang bekerja
sebagai APC (Antigen Presenting Cell) yang mampu melakukan fungsi fagositosit,
memproduksi IL-1, mengekspresikan antigen, reseptor Fc dan reseptor C3. Sel Langerhans
berkumpul di dalam kulit membawa antigen kedalam pembuluh getah bening dan menuju ke
pembuluh getah bening dan mempertemukan dengan limfosit yang spesifik. Selain oleh sel
Langherhans, peran serupa dilakukan oleh sel endotel pembuluh darah, fibroblast dan
keratonitis. Limfosit T yang yang telah aktif ini kemudian menginfiltrasi tempat infeksi dan
melepaskan limfokin. Limfokin inilah yang akan mengaktifkan makrofag sehingga mampu
membunuh jamur pathogen.
Kulit dibersihkan dengan alkohol 70% → kerok skuama dari bagian tepi lesi dengan
memakai scalpel atau pinggir gelas → taruh di obyek glass → tetesi KOH 10-15 % 1-2 tetes
→ tunggu 10-15 menit untuk melarutkan jaringan → lihat di mikroskop dengan pembesaran
10-45 kali, akan didapatkan hifa, sebagai dua garis sejajar, terbagi oleh sekat, dan bercabang,
maupun spora berderet (artrospora) pada kelainan kulit yang lama atau sudah diobati, dan
miselium.
Pemeriksaan ini dilakukan dengan menanamkan bahan klinis pada medium saboraud
dengan ditambahkan chloramphenicol dan cyclohexamide (mycobyotic-mycosel) untuk
menghindarkan kontaminasi bakterial maupun jamur kontaminan. Identifikasi jamur biasanya
antara 3-6 minggu.
c. Punch biopsi
d. Lampu Wood
Penggunaan lampu wood bisa digunakan untuk menyingkirkan adanya eritrasma dimana
akan tampak floresensi merah bata.
2.1.10 Penatalaksanaan
Pada infeksi tinea cruris tanpa komplikasi biasanya dapat dipakai anti jamur topikal
saja dari golongan imidazole dan allynamin yang tersedia dalam beberapa formulasi.
Semuanya memberikan keberhasilan terapi yang tinggi 70-100% dan jarang ditemukan efek
samping. Obat ini digunakan pagi dan sore hari kira-kira 2-4 minggu. Terapi dioleskan
sampai 3 cm diluar batas lesi, dan diteruskan sekurang-kurangnya 2 minggu setelah lesi
menyembuh. Terapi sistemik dapat diberikan jika terdapat kegagalan dengan terapi topikal,
intoleransi dengan terapi topikal. Sebelum memilih obat sistemik hendaknya cek terlebih
19
dahulu interaksi obat-obatan tersebut. Diperlukan juga monitoring terhadap fungsi hepar
apabila terapi sistemik diberikan lebih dari 4 mingggu.
Pengobatan anti jamur untuk Tinea kruris dapat digolongkan dalam empat golongan
yaitu: golongan azol, golongan alonamin, benzilamin dan golongan lainnya seperti siklopiros,
tolnaftan, haloprogin. Golongan azole ini akan menghambat enzim lanosterol 14 alpha
demetylase (sebuah enzim yang berfungsi mengubah lanosterol ke ergosterol), dimana truktur
tersebut merupakankomponen penting dalam dinding sel jamur. Goongan Alynamin
menghambat kerja dari squalen epokside yang merupakan enzim yang mengubah squalene ke
ergosterol yang berakibat akumulasi toksik squalene didalam sel dan menyebabkan kematian
sel. Dengan penghambatan enzim-enzim tersebut mengakibatkan kerusakan membran sel
sehingga ergosterol tidak terbentuk. Golongan benzilamin mekanisme kerjanya diperkirakan
sama dengan golongan alynamin sedangkan golongan lainnya sama dengan golongan azole.
Pengobatan tinea cruris tersedia dalam bentuk pemberian topikal dan sistemik:
1. Golongan Azol
Merupakan obat pilihan pertama yang digunakan dalam pengobatan tinea cruris karena
bersifat broad spektrum antijamur yang mekanismenya menghambat pertumbuhan ragi
dengan mengubah permeabilitas membran sel sehingga sel-sel jamur mati. Pengobatan
dengan clotrimazole ini bisa dievaluasi setelah 4 minggu jika tanpa ada perbaikan klinis.
Penggunaan pada anak-anak sama seperti dewasa. Obat ini tersedia dalam bentuk kream 1%,
solution, lotion. Diberikan 2 kali sehari selama 4 minggu. Tidak ada kontraindikasi obat ini,
namun tidak dianjurkan pada pasien yang menunjukan hipersensitivitas, peradangan infeksi
yang luas dan hinari kontak mata.
Mekanisme kerjanya dengan selaput dinding sel jamur yang rusak akan menghambat
biosintesis dari ergosterol sehingga permeabilitas membran sel jamur meningkat
menyebabkan sel jamur mati. Tersedia dalam bentuk cream 2%, solution, lotio, bedak.
Diberikan 2 kali sehari selama 4 minggu. Penggunaan pada anak sama dengan dewasa. Tidak
dianjurkan pada pasien yang menunjukkan hipersensitivitas, hindari kontak dengan mata.
20
c. Econazole (Spectazole)
Mekanisme kerjanya efektif terhadap infeksi yang berhubungan dengan kulit yaitu
menghambat RNA dan sintesis, metabolisme protein sehingga mengganggu permeabilitas
dinding sel jamur dan menyebabkan sel jamur mati. Pengobatan dengan ecnazole dapat
dilakukan dalam 2-4 minggu dengan cara dioleskan sebanyak 2 kali atau 4 kali dalam sediaan
cream 1%.. Tidak dianjurkan pada pasien yang menunjukkan hipersensitivitas, hindari kontak
dengan mata.
d. Ketokonazole (Nizoral)
Mekanisme kerja ketokonazole sebagai turunan imidazole yang bersifat broad spektrum
akan menghambat sintesis ergosterol sehingga komponen sel jamur meningkat menyebabkan
sel jamur mati. Pengobatan dengan ketokonazole dapat dilakukan selama 2-4 minggu. Tidak
dianjurkan pada pasien yang menunjukkan hipersensitivitas, hindari kontak dengan mata.
e. Oxiconazole (Oxistat)
Mekanisme oxiconazole kerja yang bersifat broad spektrum akan menghambat sintesis
ergosterol sehingga komponen sel jamur meningkat menyebabkan sel jamur mati.
Pengobatan dengan oxiconazole dapat dilakukan selama 2-4 minggu. Tersedia dalam bentk
cream 1% atau bedak kocok. Penggunaan pada anak-anak 12 tahun penggunaan sama dengan
orang dewasa. Tidak dianjurkan pada pasien yang menunjukkan hipersensitivitas dan hanya
digunakan untuk pemakaian luar.
f. Sulkonazole (Exeldetm)
Sulkonazole merupakan obat jamur yang memiliki spektrum luas. Titik tangkapnya yaitu
menghambat sintesis ergosterol yang akan menyebabkan kebocoran komponen sel, sehingga
menyebabkan kematian sel jamur. Tersedia dalam bentuk cream 1% dan solutio. Penggunaan
pada anak-anak 12 tahun penggunaan sama dengan orang dewasa (dioleskan pada daerah
yang terkena selama 2-4 minggu sebanyak 4 kali sehari).
2. Golongan alinamin
21
a. Naftifine (Naftin)
Bersifat broad spektrum anti jamur dan merupakan derivat sintetik dari alinamin yang
mekanisme kerjanya mengurangi sintesis dari ergosterol sehingga menyebabkan
pertumbuhan sel amur terhambat. Pengobatan dengan naftitine dievaluasi setelah 4 minggu
jika tidak ada perbaikan klinis. Tersedia dalam bentuk 1% cream dan lotion. Penggunaan
pada anak sama dengan dewasa ( dioleskan 4 kali sehari selama 2-4minggu).
b. Terbinafin (Lamisil)
Merupakan derifat sintetik dari alinamin yang bekerja menghambat skualen epoxide yang
merupakan enzim kunci dari biositesis sterol jamur yang menghasilkan kekurangan ergosterol
yang menyebabkan kematian sel jamur. Secara luas pada penelitian melaporkan keefektifan
penggunaan terbinafin. Terbenafine dapat ditoleransi penggunaanya pada anak-anak.
Digunakan selama 1-4 minggu
3. Golongan Benzilamin
a. Butenafine (mentax)
Anti jamur yang poten yang berhuungan dengan alinamin. Kerusakan membran sel jamur
menyebabkan sel jamur terhambat pertumbuhannya. Digunakan dalam bentuk cream 1%,
diberikan selama 2-4 minggu. Pada anak tidak dianjurkan. Untuk dewasa dioleskan sebanyak
4 kali sehari.
4. Golongan lainnya
a. Siklopiroks (Loprox)
Memiliki sifat broad spektrum anti fungal. Kerjanya berhubunan dengan sintesi DNA
b. Haloprogin (halotex)
Tersedia dalam bentuk solution atau spray, 1% cream. Digunakan selama 2-4 minggu dan
dioleskan sebanyak 3 kali sehari.
c. Tolnaftate
Tersedia dalam cream 1%,bedak,solution. Dioleskan 2kali sehari selama 2-4 minggu
Pengobatan secara sistemik dapat digunakan untuk untuk lesi yang luas atau gagal dengan
22
pengobatan topikal, berikut adalah obat sistemik yang digunakan dalam pengobatan tinea
kruris:
a. Ketokonazole
b. Itrakonazole
Sebagai turunan triazole, itrakonazole merupakan obat anti jamur oral yang
berspektrum luas yang menghambat pertumbuhan sel jamur dengan menghambat sitokrom
P-450 dependent sintetis dari ergosterol yang merupakan komponen penting pada selaput
sel jamur.Pada penelitian disebutkan bahwa itrakonazole lebih baik daripada griseofulvin
dengan hasil terbaik 2-3 minggu setelah perawatan. Dosis dewasa 200mg po selam 1
minggu dan dosis dapat dinaikkan 100mg jika tidak ada perbaikan tetpi tidak boleh
melebihi 400mg/hari.Untuk anak-anak 5mg/hari PO selama 1 minggu. Obat ini
dikontraindikasikan pada penderita yang hipersensitivitas, dan jangan diberikan bersama
dengan cisapride karena berhubunngan dengan aritmia jantung.
c. Griseofulfin
Termasuk obat fungistatik, bekerja dengan menghambat mitosis sel jamur dengan
mengikat mikrotubuler dalam sel. Obat ini lebih sedikit tingkat keefektifannya dibanding
itrakonazole. Pemberian dosis pada dewasa 500mg microsize (330-375 mg ultramicrosize)
PO selama 2-4 minggu, untuk anak 10-25 mg/kg/hari Po atau 20 mg microsize /kg/hari.
d. Terbinafine
Pemberian secara oral pada dewasa 250g/hari selama 2 minggu). Pada anak pemberian
secara oral disesuaikan dengan berat badan: 12-20kg :62,5mg/hari selama 2 minggu; 20-
40kg :125mg/ hari selama 2 minggu; >40kg:250mg/ hari selama 2 minggu.
8) Rasa Nyaman
Observasi adanya keluhan yang mengganggu kenyamanan pasien.
9) Rasa Aman
Kaji pasien apakah merasa cemas atau gelisah dengan sakit yang dialaminya
10) Sosialisasi dan Komunikasi
Observasi apakan pasien dapat berkomunikasi dengan perawat dan keluarga atau
temannya.
11) Bekerja
25
2.3.5 Evaluasi
Evaluasi merupakan langkah terakhir dalam proses keperawatan, dimana evaluasi
adalah kegiatan yang dilakukan secara terus menerus dengan melibatkan pasien, perawat dan
anggota tim kesehatan lainnya.
Tujuan dari evaluasi ini adalah untuk menilai apakah tujuan dalam rencana keperawatan
tercapai dengan baik atau tidak dan untuk melakukan pengkajian ulang (US. Midar H, dkk,
1989).
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Pasien mengeluh gatal-gatal yang dirasakan tiba-tiba sejak 2 minggu yang lalu di
bagian pinggul sebelah kiri yang berawal dari kemerahan kecil dan meluas menimbulkan
skuama. Gatal dirasakan lebih beraat saat berkeringat. Bentuk dari lesi tersebut adalah central
healing dengan tepi yang lebih aktif. Sebelumnya tidak ada riwayat penyakit yang sama dan
tidak ada riwayat pengobatan untuk keluhan saat ini. Pasien memiliki riwayat penyakit
diabetes mellitus, tidak ada riwayat alegrgi apapun dan tidak ada menderita penyakit yang
sama di keluarga. Berdasarkan hasil pemeriksaan dapat disimpulkan pasien menderita tinea
kruris.
4.2 Saran
Pasien disarankan menjaga daerah lesi tetap kering terhhindar dari keringan dan
kelembaban. Bila berkeringat keringkan dengan handuk dan mengganti pakaian yang telah
lembab. Jangan digaruk karena garukan dapat menyebabkan luka dan akan menyebabkan
infeksi. Gunakan pakaian yang terbuat dari bahan yang dapat menyerap keringat seperti
katun, tidak ketat dan ganti setiap hari atau setiap habis berkeringat. Untuk menghindari
penularan penyakit, pakaian dan handuk harus dipakai secara pribadi tanpak digunakan juga
oleh orang lain.
DAFTAR PUSTAKA
https://zoom.us/j/99928750158?
pwd=K3dWMEpUZDNmNHAw
aS9WRlgyeXdoZz09Meeting ID:
999 2875 0158
Passcode: 1HMf6k