Anda di halaman 1dari 31

LAPORAN PENDAHULUAN

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN


DENGAN CHRONIC WOUND (LUKA KRONIS) DI RUANG MAWAR
RSD dr. SOEBANDI-JEMBER

oleh:
Alviolita Nur Septiani, S. Kep
NIM 192311101130

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS JEMBER
2020

i
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan Pendahuluan dan Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan


Chronic wound di Ruang Seruni RSD dr. Soebandi Jember telah disetujui dan
disahkan pada :
Hari, Tanggal :
Tempat: Ruang Mawar

Jember, …. Januari 2020

Pembimbing Akademik Pembimbing Klinik


Fakultas Keperawatan Ruang Seruni
Universitas Jember RSD Soebandi Jember

DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL..................................................................................... i
LEMBAR PENGESAHAN ......................................................................... ii
DAFTAR ISI................................................................................................. iii
LAPORAN PENDAHULUAN.................................................................... 1
A. Anatomi Fisiologi .................................................................................... 1
B. Definisi...................................................................................................... 5
C. Epidemiologi............................................................................................. 6
D. Etiologi...................................................................................................... 6
E. Klasifikasi................................................................................................. 6
F. Patofisiologi/Patologi............................................................................... 7
G. Manifestasi Klinik.................................................................................... 9
H. Pemeriksaan Penunjang.......................................................................... 9
I. Komplikasi............................................................................................... 11
J. Penatalaksanaan...................................................................................... 12
K. Clinical Pathway.................................................................................... 14
L. Konsep Asuhan Keperawatan................................................................ 15
a. Pengkajian ........................................................................................... 15
b.Diagnosa Keperawatan ......................................................................... 24
c. Perencanaan/Nursing Care Plan........................................................... 25
Daftar Pustaka.............................................................................................. 30

iii
1

LAPORAN PENDAHULUAN

Konsep Teori
A. Anatomi Fisiologi Kulit
Kulit merupakan pembatas tubuh dengan lingkungan sekitar karena posisinya
yang terletak di bagian paling luar. Luas kulit dewasa 1,5 m2 dengan berat
kira-kira 15% berat badan (Djuanda, 2007).
Klasifikasi berdasarkan :
1. Warna :
- terang (fair skin), pirang, dan hitam
- merah muda : pada telapak kaki dan tangan bayi
- hitam kecokelatan : pada genitalia orang dewasa
2. Jenisnya :
- Elastis dan longgar : pada palpebra, bibir, dan preputium
- Tebal dan tegang : pada telapak kaki dan tangan orang dewasa
- Tipis : pada wajah
- Lembut : pada leher dan badan
- Berambut kasar : pada kepala

Anatomi kulit secara histopatologik


1. Lapisan Epidermis (kutikel)
1. Stratum Korneum (lapisan tanduk)
lapisan kulit paling luar yang terdiri dari sel gepeng yang mati, tidak berinti,
protoplasmanya berubah menjadi keratin (zat tanduk)
2. Stratum Lusidum
terletak di bawah lapisan korneum, lapisan sel gepeng tanpa inti,
protoplasmanya berubah menjadi protein yang disebut eleidin. Lapisan ini
lebih jelas tampak pada telapak tangan dan kaki.
3. Stratum Granulosum (lapisan keratohialin)
merupakan 2 atau 3 lapis sel gepeng dengan sitoplasma berbutir kasar dan
terdapat inti di antaranya. Butir kasar terdiri dari keratohialin. Mukosa
biasanya tidak mempunyai lapisan ini.
4. Stratum Spinosum (stratum Malphigi) atau prickle cell layer (lapisan
akanta)
terdiri dari sel yang berbentuk poligonal, protoplasmanya jernih karena banyak
mengandung glikogen, selnya akan semakin gepeng bila semakin dekat ke
permukaan. Di antara stratum spinosum, terdapat jembatan antar sel
(intercellular bridges) yang terdiri dari protoplasma dan tonofibril atau keratin.
Perlekatan antar jembatan ini membentuk penebalan bulat kecil yang disebut
nodulus Bizzozero. Di antara sel spinosum juga terdapat pula sel Langerhans.
5. Stratum Basalis
terdiri dari sel kubus (kolumnar) yang tersusun vertikal pada perbatasan
dermo-epidermal berbaris seperti pagar (palisade). Sel basal bermitosis dan
berfungsi reproduktif.
Sel kolumnar : protoplasma basofilik inti lonjong besar, di hubungkan oleh
jembatan antar sel.
3

Sel pembentuk melanin (melanosit) atau clear cell : sel berwarna muda,
sitoplasma basofilik dan inti gelap, mengandung pigmen (melanosomes)
2. Lapisan Dermis (korium, kutis vera, true skin) : terdiri dari lapisan elastik
dan fibrosa pada dengan elemen-elemen selular dan folikel rambut.

a. Pars Papilare: bagian yang menonjol ke epidermis, berisi ujung serabut saraf
dan pembuluh darah.
b. Pars Retikulare: bagian bawah yang menonjol ke subkutan. Terdiri dari
serabut penunjang seperti kolagen, elastin, dan retikulin. Dasar (matriks)
lapisan ini terdiri dari cairan kental asam hialuronat dan kondroitin sulfat,
dibagian ini terdapat pula fibroblas. Serabut kolagen dibentuk oleh fibroblas,
selanjutnya membentuk ikatan (bundel) yang mengandung hidroksiprolin dan
hidroksisilin. Kolagen muda bersifat elastin, seiring bertambahnya usia,
menjadi kurang larut dan makin stabil. Retikulin mirip kolagen muda. Serabut
elastin biasanya bergelombang, berbentuk amorf, dan mudah mengembang
serta lebih elastis.

3. Lapisan Subkutis (hipodermis) : lapisan paling dalam, terdiri dari jaringan


ikat longgar berisi sel lemak yang bulat, besar, dengan inti mendesak ke
pinggir sitoplasma lemak yang bertambah. Sel ini berkelompok dan dipisahkan
oleh trabekula yang fibrosa. Lapisan sel lemak disebut dengan panikulus
adiposa, berfungsi sebagai cadangan makanan. Di lapisan ini terdapat saraf
tepi, pembuluh darah, dan getah bening. Lapisan lemak berfungsi juga sebagai
bantalan, ketebalannya berbeda pada beberapa kulit. Di kelopak mata dan
penis lebih tipis, di perut lebih tebal (sampai 3 cm).

Anatomi forensik kulit


Bagian paling atas adalah lapisan sel keratinisasi stratum korneum yang
ketebalannya bermacam-macam pada bagian-bagian tubuh tertentu. Pada tumit
dan telapak tangan adalah yang paling tebal sementara pada daerah yang
terlindungi seperti skrotum dan kelopak mata hanya pecahan dari millimeter.
Berkaitan dengan forensik pada perkiraan perlukaan penetrasi pada kulit.
Kemudian epidermis yang tidak terdapat pembuluh darah. Lapisan
epidermis umumnya berkerut, permukaan bawahnya terdiri dari papilla yang
masuk ke dalam dermis. Demis (korium) terdiri dari jaringan ikat dengan adneksa
kulit sperti folikel rambut, kelenjar sebasea dan kelenjar keringat. Terdapat
banyak pembuluh darah, saraf pembuluh limfe serta ujung saraf taktil, tekan,
panas. bagian bawah dari dermis terdapat jaringan adiposa dan (tergantung dari
bagian tubuh) fascia, jaringan lemak, dan otot yang berurutan di bawahnya.
Fungsi Kulit (Baroroh, 2011):
1. Proteksi :
a. Melindungi kulit untuk mencegah masuknya microorganisme ke dalam
tubuh
b. Mencegah masuknya substansi asing masuk dalam tubuh
c. Mempertahankan dari bahan kimia yang masuk dalam tubuh
d. Tempat keluar masuknya air dalam tubuh
e. Melindungi lapisan di bawahnya
f. Melindungi dari ultraviolet
g. Bantalan untuk mencegah trauma organ di dalam tubuh
5

h. Memproduksi zat
i. Mengatur regulasi air
2. Termoregulasi
a. Mengontrol suhu badan dengan konveksi, evaporasi, konduksi dan radiasai
b. Membantu tubuh menyesuaikan dengan suhu lingkungan
c. Menghilangkan panas saat beraktivitas
d. Membuat tubuh menggigil dan bulu uduk berdiri, untuk mempertahankan
tubuh tetap hangat walau di suhu dingin
e. Mendinginkan tubuh saat terjadi evaporasi
3. Metabolisme
a. Membantu aktivasi vitamin D dan mengunakan vitamin D
b. Membantu tubuh mengeluarkan zat sisa
c. Menyerap medikasi
d. Menyimpan lemak
e. Berperan dalam regulasi cardiac output dan tekanan darah
4. Sensasi
a. Merasakan adanya sensai : dingin, panas, nyeri, tekanan dan sentuhan
b. Menyalurkan sensai sosial dan seksual
c. Membantu keintiman secara fisik

B. Definisi
Definisi luka adalah terputusnya kontinuitas jaringan karena cedera atau
pembedahan. Luka bisa diklasifi kasikan berdasarkan struktur anatomis, sifat,
proses penyembuhan, dan lama penyembuhan (Kartika, 2015).
Luka kronis adalah luka yang karena beberapa alasan tidak sembuh. Luka
kronis berlangsung selama beberapa minggu atau berbulan-bulan bahkan
tahunan. Anda harus mengevaluasi pasien dan lukanya untuk menentukan
mengapa luka tersebut tidak mau sembuh. Setelah penyebabnya diketahui dan
ditangani, dasar perawatan harus digunakan dan penyembuhan akan
berlangsung (Semer, 2013). Luka kronis didefinisikan sebagai luka yang
belum sembuh setelah 3 bulan (Ariningrum dkk, 2018).

C. Epidemiologi
Tahun 2015 didapatkan ada total 129 pasien baru dengan komposisi 61
pasien laki-laki dan 68 pasien perempuan di Madura yang melakukan
pembedahan untuk perawatan luka kronis yang dialami, dilanjutkan di tahun
2016 jumlah pasien juga mengalami peningkatan sebanyak 34,1% menjadi 173
pasien baru di tahun 2016 dengan komposisi 85 pasien lakilaki dan 88 pasien
perempuan (Primadina, 2017).
D. Etiologi
Luka kronis sering disebabkan oleh luka bakar luas, gangguan sirkulasi,
tekanan yang berlangsung lama (pressure ulcers/ ulkus dekubitus), ulkus
diabetik dan keganasan. Waktu penyembuhan luka yang cenderung lebih lama,
risiko terinfeksi lebih besar (Ariningrum dkk, 2018).

E. Klasifikasi
Berdasarkan penyebabnya, luka dibagi menjadi :
a. Erosi, Abrasi, Excoriasi :
Erosi: Luka hanya sampai stratum corneum
Abrasi: Luka sampai stratum spinosum
Excoriasi: Luka sampai stratum basale
- Merupakan kerusakan epitel permukaan akibat trauma gesek pada epidermis.
- Abrasi luas dapat mengakibatkan kehilangan cairan tubuh.
Luka harus segera dicuci, benda asing dalam luka harus dibersihkan dengan
seksama untuk meminimalkan risiko infeksi dan mencegah “tattooing” (luka
kedalamannya sampai stratum papilare dermis).
b. Kontusio
- Biasanya disebabkan oleh trauma tumpul atau ledakan.
- Dapat mengakibatkan kerusakan jaringan yang luas.
- Pada awalnya, lapisan kulit di atasnya bisa jadi intak, tapi pada akhirnya
dapat menjadi non-viable.
- Hematoma berukuran besar yang terletak di bawah kulit atau atau di dalam
otot dapat menetap.
- Kontusio luas dapat mengakibatkan infeksi dan compartment syndromes.
c. Laserasi :
Laserasi terjadi jika kekuatan trauma melebihi kekuatan regang jaringan,
misalnya: robekan kulit kepala akibat trauma tumpul pada kepala. Laserasi
diklasifikasikan berdasarkan mekanisme terjadinya, yaitu :
1) Insisi :
- Luka sayatan, disebabkan oleh benda tajam.
- Kerusakan jaringan sangat minimal.
- Contoh : luka tusuk, luka pembedahan, terkena pecahan kaca.
- Ditutup dengan bantuan jahitan, klip, staples, adhesive strips (plester) atau
lem. Luka pembedahan dapat terbuka kembali secara spontan (dehisensi) atau
dibuka kembali karena terbentuk timbunan cairan, darah (hematoma) atau
infeksi.
2) Tension laceration :
7

- Disebabkan oleh trauma tumpul, biasanya karena tangential force yang


kekuatannya melebihi daya regang jaringan.
- Akibatnya adalah terjadinya robekan kulit dengan tepi tidak teratur disertai
kontusio jaringan di sekitarnya.
- Contoh : benturan dengan aspal pada kecepatan tinggi, laserasi kulit karena
pukulan tongkat dengan kekuatan tinggi.
3) Crush laceration atau compression laceration :
- Laserasi kulit terjadi karena kulit tertekan di antara objek dan tulang di
bawahnya.
- Laserasi tipe ini biasanya berbentuk stellate dengan kerusakan sedang dari
jaringan di sekitarnya.
- Kejadian infeksi lebih tinggi.
- Hasil kosmetik kurang baik.
- Contoh : laserasi kulit di atas alis seorang anak karena terjatuh dari meja.
d. Kombinasi dari ketiga tipe luka di atas. Berdasarkan tingkat
kontaminasinya, luka diklasifikasikan sebagai :
a. Luka bersih :luka elektif, bukan emergency, tidak disebabkan oleh trauma,
ditutup secara primer tidak ada tanda inflamasi akut, prosedur aseptik dan
antiseptik dijalankan dengan baik, tidak melibatkan traktus respiratorius,
gastrointestinal, bilier dan genitourinarius. Kulit di sekitar luka tampak bersih,
tidak ada tanda inflamasi. Jika luka sudah terjadi beberapa saat sebelumnya,
dapat terlihat sedikit eksudat (bukan pus), tidak terlihat jaringan nekrotik di
dasar luka. Risiko infeksi <2%.
b. Luka bersih terkontaminasi : luka urgent atau emergency tapi bersih, tidak
ada material kontaminan dalam luka. Risiko infeksi <10%
c. Luka terkontaminasi : tampak tanda inflamasi non-purulen; luka terbuka < 4
jam; luka terbuka kronis; luka terbuka dan luas (indikasi untuk skin grafting);
prosedur aseptic dan antiseptic tidak dijalankan dengan baik; risiko infeksi
20%.
d. Luka kotor/ terinfeksi : tampak tanda infeksi di kulit sekitar luka, terlihat
pus dan jaringan nekrotik; luka terbuka > 4 jam; terdapat perforasi traktus
respiratorius, gastrointestinal, bilier atau genitourinarius, risiko infeksi 40%.

Berdasarkan onset terjadinya luka, luka diklasifikasikan menjadi :


a. Luka akut : disebabkan oleh trauma atau pembedahan. Waktu penyembuhan
relatif cepat, dengan penyembuhan secara primer.
b. Luka kronis : luka kronis didefinisikan sebagai luka yang belum sembuh
setelah 3 bulan. Sering disebabkan oleh luka bakar luas, gangguan sirkulasi,
tekanan yang berlangsung lama (pressure ulcers/ ulkus dekubitus), ulkus
diabetik dan keganasan. Waktu penyembuhan cenderung lebih lama, risiko
terinfeksi lebih besar.

F. Patofisiologi
Tubuh biasanya mengabsorbsi kekuatan baik dari elastisitas jaringan atau
kekuatan rangka. Intensitas tekanan mengikuti hukum fisika. Hukum fisika yang
terkenal dimana kekuatan = ½ masa x kecepatan. Sebagai contoh, 1 kg batu bata
ditekankan ke kepala tidak akan menyebabkan luka, namun batu bata yang sama
dilemparkan ke kepala dengan kecepatan 10 m/s menyebabkan perlukaan.
Faktor lain yang penting adalah daerah yang mendapatkan kekuatan.
kekuatan dari masa dan kecepatan yang sama yang terjadi pada dareah yang lebih
kecil menyebabkan pukulan yang lebih besar pada jaringan. Pada luka tusuk,
semua energi kinetik terkonsentrasi pada ujung pisau sehingga terjadi perlukaaan,
sementara dengan energi yang sama pada pukulan oleh karena tongkat pemukul
kriket mungkin bahkan tidak menimbulkan memar.
Efek dari kekuatan mekanis yang berlebih pada jaringan tubuh dan
menyebabkan penekanan, penarikan, perputaran, luka iris. Kerusakan yang terjadi
tergantung tidak hanya pada jenis penyebab mekanisnya tetapi juga target
jaringannya. Contohnya, kekerasan penekanan pada ledakan mungkin hanya
sedikit perlukaan pada otot namun dapat menyebabkan ruptur paru atau intestinal,
sementara pada torsi mungkin tidaka memberikan efek pada jaringan adiposa
namun menyebabkan fraktur spiral pada femur.

G. Manifestasi Klinis
gejala luka (Media Kesehatan Indonesia, 2017):
a. Gejala yang paling umum dari luka adalah nyeri, bengkak, dan
pendarahan. Jumlah rasa sakit, pembengkakan, dan pendarahan dari luka
tergantung pada area cedera dan mekanisme cedera
9

b. Laserasi (luka robek) yang besar mungkin tidak terlalu sakit jika luka
berada di area yang memiliki sedikit persarapan, sementara lecet yang
terjadi di ujung jari (yang memiliki lebih banyak saraf) bisa sangat
menyakitkan.
c. Beberapa luka robek mungkin berdarah lebih banyak jika melibatkan area
yang memiliki banyak pembuluh darah, misalnya, kulit kepala dan wajah.
H. Pemeriksaan Penunjang
Penilaian luka
1. Adanya penyakit lain :
- Anemia
- Arteriosklerosis
- Keganasan
- Diabetes
- Penyakit autoimun
- Penyakit inflamasi
– Gangguan fungsi hati
- Rheumatoid arthritis
- Gangguan fungsi ginjal penyembuhan luka karena :
- Mengganggu deposisi kolagen jaringan
- Berkurangnya vaskularisasi berakibat penurunan suplai oksigen dan
nutrisi
- Berkurangnya mobilitas
- Pengaruh terhadap metabolisme sel
2. Infeksi Respons host terhadap bakteri/ reaksi inflamasi akan memperlambat
penyembuhan luka.
3. Umur dan komposisi tubuh Kapasitas kulit untuk memperbaiki diri semakin
menurun dengan bertambahnya usia.
4. Status nutrisi Penyembuhan luka memerlukan nutrisinutrisi tertentu.
Undernutrition dan overnutrition (obesitas) mempengaruhi penyembuhan luka.
5. Merokok Merokok mengakibatkan vasokonstriksi sehingga suplai oksigen
dan nutrisi ke daerah luka berkurang.
6. Pengobatan Obat-obat steroid, AINS, kemoterapi, imunosupresan dan
antiprostaglandin mengganggu penyembuhan luka dan meningkatkan risiko
terjadinya infeksi.
7. Status psikologis Stress memperlambat penyembuhan luka.
8. Lingkungan sosial dan higiene
9. Akses terhadap perawatan luka

Pemeriksaan diagnostik
1. Pemeriksaan diagnostik yang perlu di lakukan terutama jenis darah
lengkap. Tujuanya untuk mengetahui tentang infeksi yang
terjadi.pemeriksaannya melalui laboratorium.
2. Sel-sel darah putih.leukosit dapat terjadi kecenderungan dengan
kehilangan sel pada lesi luka dan respon terhadap proses infeksi.
3. Hitung darah lengkap.hematokrit mungkin tinggi atau lengkap.
4. Laju endap darah (LED) menunjukkan karakteristik infeksi.
5. Gula darah random memberikan petunjuk terhadap penyakit deabetus
melitus

I. Komplikasi penyembuhan luka


a. Hemoragi
Perdarahan pada area luka merupakan hal yang normal terjadi selama dan
sesaat setelah trauma. Hemostasis terjadi dalam beberapa menit kecuali jika
luka mengenai pembuluh darah besar dan pembekuan darah klien buruk.
Perdarahan setelah hemostasis menunjukkan lepasnya jahitan operasi,
keluarnya bekuan darah, infeksi atau erosi pembuluh darah oleh benda asing.
b. Infeksi
Terjadi bila terdapat tanda-tanda seperti kulit kemerahan, demam atau panas,
rasa nyeri dan timbul bengkak, jaringan di sekitar luka mengeras, serta adanya
kenaikan leukosit.
c. Dehisens
Merupakan pecahnya luka sebagian atau seluruhnya yang dapat dipengaruhi
oleh berbagai factor, seperti kegemukan, kekurangan nutrisi, terjadinya trauma
dan lain-lain. Sering ditandai dengan kenaikan suhu tubuh (demam), takikardia
dan rasa nyeri pada daerah luka
d. Eviserasi
Menonjolnya organ tubuh bagian dalam ke arah luar melalui luka. Hal ini
dapat terjadi jika luka tidak segera menyatu dengan baik atau akibat proses
penyembuhan yang lambat.
e. Fistula
Adalah saluran abnormal yang berada di antara 2 buah organ atau di antara
organ dan bagian luar tubuh. Sebagian besar fistula terbentuk karena
penyembuhan luka yang buruk atau karena komplikasi suatu penyakit seperti
penyakit Chron atau enteritis regional. Fistula meningkatkan resiko terjadinya
infeksi dan ketidakseimbangan cairan dan elektrolit akibat kehilangan cairan.
f. Penundaan Penutupan Luka
11

Adalah tindakan yang sengaja dilakukan oleh dokter bedah agar terjadi
drainase yang efektif dari luka yang terkontaminasi-bersih atau luka yang
terkontaminasi.

J. Penatalaksanaan Medik dan Non Medik


Dalam manajemen perawatan luka ada beberapa tahap yang dilakukan
yaitu evaluasi luka, tindakan antiseptik, pembersihan luka, penjahitan luka,
penutupan luka, pembalutan, pemberian antiboitik dan pengangkatan jahitan.
1. Evaluasi luka meliputi anamnesis dan pemeriksaan fisik (lokasi dan
eksplorasi).
2. Tindakan Antiseptik, prinsipnya untuk mensucihamakan kulit.
Untuk melakukan pencucian/pembersihan luka biasanya digunakan cairan atau
larutan antiseptik seperti:
a. Alkohol, sifatnya bakterisida kuat dan cepat (efektif).
b. Halogen dan senyawanya
c. Oksidansia
d. Logam berat dan garamnya
e. Asam borat, sebagai bakteriostatik lemah (konsentrasi 3%).
f. Derivat fenol
g. Basa ammonium kuartener, disebut juga etakridin (rivanol), merupakan
turunan aridin dan berupa serbuk berwarna kuning dam konsentrasi 0,1%.
Kegunaannya sebagai antiseptik borok bernanah, kompres dan irigasi luka
terinfeksi. Dalam proses pencucian/pembersihan luka yang perlu diperhatikan
adalah pemilihan cairan pencuci dan teknik pencucian luka. Penggunaan cairan
pencuci yang tidak tepat akan menghambat pertumbuhan jaringan sehingga
memperlama waktu rawat dan biaya perawatan. Pemelihan cairan dalam
pencucian luka harus cairan yang efektif dan aman terhadap luka.
Pembersihan luka tujuan dilakukannya pembersihan luka adalah
meninangkatkan, memperbaiki dan mempercepat proses penyembuhan luka;
menghindari terjadinya infeksi; membuang jaringan nekrosis dan debris.
Beberapa langkah yang harus diperhatikan dalam pembersihan luka yaitu:
a. Irigasi dengan sebanyak-banyaknya dengan tujuan untuk membuang
jaringan mati dan benda asing.
b. Hilangkan semua benda asing dan eksisi semua jaringan mati.
c. Berikan antiseptic
d. Bila diperlukan tindakan ini dapat dilakukan dengan pemberian anastesi
lokal
e. Bila perlu lakukan penutupan luka
3. Penjahitan luka
Luka bersih dan diyakini tidak mengalami infeksi serta berumur kurang dari 8
jam boleh dijahit primer, sedangkan luka yang terkontaminasi berat dan atau
tidak berbatas tegas sebaiknya dibiarkan sembuh persekundam atau pertertiam.
4. Penutupan Luka
Penutupan luka adalah mengupayakan kondisi lingkungan yang baik pada luka
sehingga proses penyembuhan berlangsung optimal.
5. Pembalutan
Pertimbangan dalam menutup dan membalut luka sangat tergantung pada
kondisi luka. Pembalutan berfungsi sebagai pelindung terhadap penguapan,
infeksi, mengupayakan lingkungan yang baik bagi luka dalam proses
penyembuhan, sebagai fiksasi dan efek penekanan yang mencegah
berkumpulnya rembesan darah yang menyebabkan hematom.
6. Pemberian Antibiotik
Prinsipnya pada luka bersih tidak perlu diberikan antibiotik dan pada luka
terkontaminasi atau kotor maka perlu diberikan antibiotik.
7. Pengangkatan Jahitan
Jahitan diangkat bila fungsinya sudah tidak diperlukan lagi. Waktu
pengangkatan jahitan tergantung dari berbagai faktor seperti, lokasi
pengangkatan luka, usia, kesehatan, sikap penderita dan adanya infeksi

K. Clinical Pathway

LUKA
13

L. Konsep Asuhan Keperawatan


1. Pengkajian
Anamnesis Aspek anamnesis dalam penilaian luka bertujuan untuk
mengetahui faktor-faktor yang dapat mempengaruhi penyembuhan luka.
a. Anamnesis meliputi :
1. Riwayat luka :
- Mekanisme terjadinya luka.
- Kapan terjadinya luka : setelah 3 jam (golden periode< 6 jam), kolonisasi
bakteri dalam luka akan meningkat tajam.
- Di mana pasien mendapatkan luka tersebut.
- Bila saat pasien datang luka telah dibersihkan tetap harus ditanyakan
adakah kontaminan dalam luka, misalnya logam, kotoran hewan atau karat.
Adanya kontaminan dalam luka meningkatkan risiko terjadinya infeksi dan
tetanus.
- Perdarahan dan jumlah darah yang keluar.
2. Keluhan yang dirasakan saat ini :
- Rasa nyeri Rasa nyeri pada luka kronis dirasakan sebagai nyeri hebat,
persisten dan mengakibatkan pasien sulit tidur, gangguan emosi, rendah diri
serta depresi.
- Gejala infeksi : kemerahan, bengkak, demam, nyeri.
- Gangguan fungsi motorik atau sensorik : menunjukkan kemungkinan
terjadinya kerusakan otot, ligamentum, tendo atau saraf.
3. Riwayat kesehatan dan penyakit pasien secara keseluruhan : Menilai
faktor-faktor yang mempengaruhi penyembuhan luka dan pemilihan regimen
penanganan luka, yaitu :
- Umur
- Dehidrasi : gangguan keseimbangan elektrolit mempengaruhi fungsi
jantung, ginjal, metabolisme seluler, oksegenasi jaringan dan fungsi
endokrin.
- Status psikologis
Status psikologis pasien berpengaruh pada pemilihan regimen terapi yang
tepat bagi pasien tersebut. Pemilihan regimen terapi dengan
mempertimbangkan status psikologis pasien mempengaruhi kepatuhan pasien
terhadap terapi yang ditetapkan dokter.
– Status nutrisi Nutrisi berperan penting dalam proses penyembuhan luka.
Kekurangan salah satu atau beberapa nutrient mengakibatkan penyembuhan
luka terhenti pada tahapan tertentu.
- Berat badan Pada pasien dengan obesitas, adanya lapisan lemak yang tebal
di sekitar luka dapat mengganggu penutupan luka.Selain itu, vaskularisasi
jaringan adiposa tidak optimal sehingga jaringan adiposa merupakan salah
satu jenis jaringan yang paling rentan terhadap trauma dan infeksi.
- Vaskularisasi ke area luka. Penyembuhan luka di kulit paling optimal di
area wajah dan leher karena merupakan area dengan vaskularisasi paling
baik. Sebaliknya dengan ekstremitas. Kondisi-kondisi yang mengakibatkan
gangguan vaskularisasi ke area luka, misalnya diabetes atau arteriosklerosis,
dapat memperlambat atau bahkan menghentikan penyembuhan luka.
- Respons imun.
- Penyakit kronis, seperti penyakit endokrin, keganasan, inflamasi dan infeksi
lokal serta penyakit autoimmun.
- Radioterapi
15

- Riwayat alergi : makanan, obat (anestetik, analgetik, antibiotik, desinfektan,


komponen benang, lateks/plester dan lain-lain).
4. Riwayat penanganan luka yang sudah diperoleh :
- Status vaksinasi tetanus
- Penutupan luka : jahitan, balutan
- Penggunaan ramuan-ramuan topikal : salep, powder, kompres, ramuan
herbal dan lain-lain.
- Penggunaan antibiotika.
5. Konsekuensi luka dan bekas luka bagi pasien : Konsekuensi yang dinilai
meliputi konsekuensi luka terhadap :
- Kemampuan pasien dalam melakukan aktifitas sehari-hari.
- Pekerjaan pasien.
- Aspek kosmetik.
- Kondisi psikologis pasien. Pembentukan jaringan parut sebagai konsekuensi
dari penyembuhan luka juga harus dipertimbangkan dari aspek fungsional
(terjadinya kontraktur) dan pertimbangan kosmetik.

b. Pemeriksaan Fisik
1. Pemeriksaan tanda vital
2. Pemeriksaan fisik umum : bertujuan mencari tanda adanya faktor
komorbid, seperti :
- Inspeksi mukosa konjungtiva dan bibir (mengetahui kemungkinan anemia).
- Menilai status gizi (mengetahui adanya malnutrisi atau obesitas).
- Pemeriksaan neurologi (reflex dan sensasi – mengetahui kemungkinan
neuropati).
- Pemeriksaan kardiovaskuler (menilai oksigenasi jaringan dan kemungkinan
adanya penyakit vaskuler perifer).
3. Penilaian adanya infeksi :
a. Gejala dan tanda umum : demam, malaise, limfadenopati regional
b. Gejala dan tanda lokal : edema, eritema, rasa nyeri, peningkatan suhu
lokal, gangguan fungsi.
4. Penilaian terhadap terjadinya kerusakan struktur di bawah luka (pembuluh
darah, saraf, ligamentum, otot, tulang) :
a. Pembuluh darah :
- Cek pengisian kapiler : adakah pucat atau sianosis, apakah suhu area di
distal luka teraba hangat.
- Cek pulsasi arteri di distal luka.
- Jika terdapat perdarahan, dinilai apakah perdarahan berasal dari kapiler,
vena atau arteri. Dilakukan penanganan sesuai dengan sumber perdarahan.
b. Saraf :
- Lakukan penilaian status motorik (kekuatan otot, gerakan) dan fungsi
sensorik di distal luka.
- Penilaian status sensorik harus selalu dilakukan sebelum tindakan infiltrasi
anestesi.
c. Otot dan tendo :
Kerusakan tendo dapat dinilai dengan inspeksi, akan tetapi tetap harus
dilakukan penilaian terhadap range of motion dan kekuatan dari tiap otot dan
tendo di sekitar luka.
d. Tulang :
- Dinilai adakah fraktur (terbuka atau tertutup) dan dislokasi.

c. Pemeriksaan Sistem B1-B6


Hal-hal yang perlu diingat dalam pemeriksaan fisik adalah :
1. Pemeriksaan fisik dilakukan pada saat pasien masuk, dan diulang kembali
dalam interval waktu tertentu sesuai kondisi pasien.
2. Setiap pemeriksaan harus dikomunikasikan kepada pasien.
3. Privacy pasien harus terus dipertahankan (walaupun pasien dalam keadaan
koma)
4. Tehnik yang digunakan adalah : inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi.
5. Pemeriksaan dilakukan secara “Head to toe”
6. Pemeriksaan dilakukan pada semua sistem tubuh.
1. B 1 : Breathing (Pernafasan/Respirasi)
- Pola napas : Dinilai kecepatan, irama, dan kualitas.
- Bunyi napas: Bunyi napas normal; Vesikuler, broncho vesikuler.
- Penurunan atau hilangnya bunyi napas dapat menunjukan adanya atelektasis,
pnemotorak atau fibrosis pada pleura.
- Rales (merupakan tanda awal adanya CHF. emphysema) merupakan bunyi
yang dihasilkan oleh aliran udara yang melalui sekresi di dalam trakeobronkial
dan alveoli.
- Ronchi (dapat terjadi akibat penurunan diameter saluran napas dan
peningkatan usaha napas)
- Bentuk dada : Perubahan diameter anterior – posterior (AP) menunjukan
adanya COPD
17

- Ekspansi dada : Dinilai penuh / tidak penuh, dan kesimetrisannya.


- Ketidaksimetrisan mungkin menunjukan adanya atelektasis, lesi pada paru,
obstruksi pada bronkus, fraktur tulang iga, pnemotoraks, atau penempatan
endotrakeal dan tube trakeostomi yang kurang tepat.
- Pada observasi ekspansi dada juga perlu dinilai : Retraksi dari otot-otot
interkostal, substrernal, pernapasan abdomen, dan respirasi paradoks (retraksi
abdomen saat inspirasi). Pola napas ini dapat terjadi jika otot-otot interkostal
tidak mampu menggerakan dinding dada.
- Sputum.
Sputum yang keluar harus dinilai warnanya, jumlah dan konsistensinya.
Mukoid sputum biasa terjadi pada bronkitis kronik dan astma bronkiale;
sputum yang purulen (kuning hijau) biasa terjadi pada pnemonia,
brokhiektasis, brokhitis akut; sputum yang mengandung darah dapat
menunjukan adanya edema paru, TBC, dan kanker paru.
- Selang oksigen
Endotrakeal tube, Nasopharingeal tube, diperhatikan panjangnya tube yang
berada di luar.
- Parameter pada ventilator
Volume Tidal
Normal : 10 – 15 cc/kg BB.
Perubahan pada uduma fidal menunjukan adanya perubahan status ventilasi
penurunan volume tidal secara mendadak menunjukan adanya penurunan
ventilasi alveolar, yang akan meningkat PCO2. Sedangkan peningkatan
volume tidal secara mendadak menunjukan adanya peningkatan ventilasi
alveolar yang akan menurunkan PCO2.
Kapasitas Vital : Normal 50 – 60 cc / kg BB
Minute Ventilasi
Forced expiratory volume
Peak inspiratory pressure
2. B 2 : Bleeding (Kardiovaskuler / Sirkulasi)
- Irama jantung : Frekuensi ..x/m, reguler atau irreguler
- Distensi Vena Jugularis
- Tekanan Darah : Hipotensi dapat terjadi akibat dari penggunaan ventilator
- Bunyi jantung : Dihasilkan oleh aktifitas katup jantung
· S1 : Terdengar saat kontraksi jantung / sistol ventrikel. Terjadi akibat
penutupan katup mitral dan trikuspid.
· S2 : Terdengar saat akhir kotraksi ventrikel. Terjadi akibat penutupan katup
pulmonal dan katup aorta.
· S3 : Dikenal dengan ventrikuler gallop, manandakan adanya dilatasi
ventrikel.
- Murmur : terdengar akibat adanya arus turbulansi darah. Biasanya terdengar
pada pasien gangguan katup atau CHF.
- Pengisian kapiler : normal kurang dari 3 detik
- Nadi perifer : ada / tidak dan kualitasnya harus diperiksa. Aritmia dapat
terjadi akibat adanya hipoksia miokardial.
- PMI (Point of Maximal Impuls): Diameter normal 2 cm, pada interkostal ke
lima kiri pada garis midklavikula. Pergeseran lokasi menunjukan adanya
pembesaran ventrikel pasien hipoksemia kronis.
- Edema : Dikaji lokasi dan derajatnya.

3. B 3 : Brain (Persyarafan/Neurologik)
- Tingkat kesadaran
Penurunan tingkat kesadaran pada pasien dengan respirator dapat terjadi akibat
penurunan PCO2 yang menyebabkan vasokontriksi cerebral. Akibatnya akan
menurunkan sirkulasi cerebral.
Untuk menilai tingkat kesadaran dapat digunakan suatu skala pengkuran yang
disebut dengan Glasgow Coma Scale (GCS).
GCS memungkinkan untuk menilai secara obyektif respon pasien terhadap
lingkungan. Komponen yang dinilai adalah : Respon terbaik buka mata, respon
19

motorik, dan respon verbal. Nilai kesadaran pasien adalah jumlah nilai-nilai
dari ketiga komponen tersebut.
Tingkat kesadaran adalah ukuran dari kesadaran dan respon seseorang
terhadap rangsangan dari lingkungan, tingkat kesadaran dibedakan menjadi :
Compos Mentis (conscious), yaitu kesadaran normal, sadar sepenuhnya, dapat
menjawab semua pertanyaan tentang keadaan sekelilingnya..
Apatis, yaitu keadaan kesadaran yang segan untuk berhubungan dengan
sekitarnya, sikapnya acuh tak acuh.
Delirium, yaitu gelisah, disorientasi (orang, tempat, waktu), memberontak,
berteriak-teriak, berhalusinasi, kadang berhayal.
Somnolen (Obtundasi, Letargi), yaitu kesadaran menurun, respon psikomotor
yang lambat, mudah tertidur, namun kesadaran dapat pulih bila dirangsang
(mudah dibangunkan) tetapi jatuh tertidur lagi, mampu memberi jawaban
verbal.
Stupor (soporo koma), yaitu keadaan seperti tertidur lelap, tetapi ada respon
terhadap nyeri.
Coma (comatose), yaitu tidak bisa dibangunkan, tidak ada respon terhadap
rangsangan apapun (tidak ada respon kornea maupun reflek muntah, mungkin
juga tidak ada respon pupil terhadap cahaya).
Perubahan tingkat kesadaran dapat diakibatkan dari berbagai faktor, termasuk
perubahan dalam lingkungan kimia otak seperti keracunan, kekurangan
oksigen karena berkurangnya aliran darah ke otak, dan tekanan berlebihan di
dalam rongga tulang kepala.
Adanya defisit tingkat kesadaran memberi kesan adanya hemiparese serebral
atau sistem aktivitas reticular mengalami injuri. Penurunan tingkat kesadaran
berhubungan dengan peningkatan angka morbiditas (kecacatan) dan mortalitas
(kematian).
Jadi sangat penting dalam mengukur status neurologikal dan medis pasien.
Tingkat kesadaran ini bisa dijadikan salah satu bagian dari vital sign.
GCS (Glasgow Coma Scale) yaitu skala yang digunakan untuk menilai tingkat
kesadaran pasien, (apakah pasien dalam kondisi koma atau tidak) dengan
menilai respon pasien terhadap rangsangan yang diberikan.
Respon pasien yang perlu diperhatikan mencakup 3 hal yaitu reaksi membuka
mata , bicara dan motorik. Hasil pemeriksaan dinyatakan dalam derajat (score)
dengan rentang angka 1 – 6 tergantung responnya.
Eye (respon membuka mata) :
(4) : spontan
(3) : dengan rangsang suara (suruh pasien membuka mata).
(2) : dengan rangsang nyeri (berikan rangsangan nyeri, misalnya menekan
kuku jari)
(1) : tidak ada respon
Verbal (respon verbal) :
(5) : orientasi baik
(4) : bingung, berbicara mengacau ( sering bertanya berulang-ulang )
disorientasi tempat dan waktu.
(3) : kata-kata saja (berbicara tidak jelas, tapi kata-kata masih jelas, namun
tidak dalam satu kalimat. Misalnya “aduh…, bapak…”)
(2) : suara tanpa arti (mengerang)
(1) : tidak ada respon
Motor (respon motorik) :
(6) : mengikuti perintah
(5) : melokalisir nyeri (menjangkau & menjauhkan stimulus saat diberi
rangsang nyeri)
(4) : withdraws (menghindar / menarik extremitas atau tubuh menjauhi
stimulus saat diberi rangsang nyeri)
(3) : flexi abnormal (tangan satu atau keduanya posisi kaku diatas dada & kaki
extensi saat diberi rangsang nyeri).
(2) : extensi abnormal (tangan satu atau keduanya extensi di sisi tubuh, dengan
jari mengepal & kaki extensi saat diberi rangsang nyeri).
(1) : tidak ada respon
21

Hasil pemeriksaan kesadaran berdasarkan GCS disajikan dalam simbol E…


V…M…
Selanjutnya nilai-nilai dijumlahkan. Nilai GCS yang tertinggi adalah 15 yaitu
E4V5M6 dan terendah adalah 3 yaitu E1V1M1.
Refleks pupil
- Reaksi terhadap cahaya (kanan dan kiri)
- Ukuran pupil (kanan dan kiri; 2-6 mm)
- Dilatasi pupil dapat disebabkan oleh : stress/takut, cedera neurologis
penggunaan atropta, adrenalin, dan kokain. Dilatasi pupil pada pasien yang
menggunakan respirator dapat terjadi akibat hipoksia cerebral.
Kontraksi pupil dapat disebabkan oleh kerusakan batang otak, penggunaan
narkotik, heroin.

4. B 4 : Bladder (Perkemihan – Eliminasi Uri/Genitourinaria)


- Kateter urin
- Urine : warna, jumlah, dan karakteristik urine, termasuk berat jenis urine.
- Penurunan jumlah urine dan peningkatan retensi cairan dapat terjadi akibat
menurunnya perfusi pada ginjal.
- Distesi kandung kemih
5. B 5 : Bowel (Pencernaan – Eliminasi Alvi/Gastrointestinal)
- Rongga mulut
Penilaian pada mulut adalah ada tidaknya lesi pada mulut atau perubahan pada
lidah dapat menunjukan adanya dehidarsi.
- Bising usus
Ada atau tidaknya dan kualitas bising usus harus dikaji sebelum melakukan
palpasi abdomen. Bising usus dapat terjadi pada paralitik ileus dan peritonitis.
Lakukan observasi bising usus selama ± 2 menit. Penurunan motilitas usus
dapat terjadi akibat tertelannya udara yang berasal dari sekitar selang
endotrakeal dan nasotrakeal.
- Distensi abdomen
Dapat disebabkan oleh penumpukan cairan. Asites dapat diketahui dengan
memeriksa adanya gelombang air pada abdomen. Distensi abdomen dapat juga
terjadi akibat perdarahan yang disebabkan karena penggunaan IPPV. Penyebab
lain perdarahan saluran cerna pada pasien dengan respirator adalah stres,
hipersekresi gaster, penggunaan steroid yang berlebihan, kurangnya terapi
antasid, dan kurangnya pemasukan makanan.
- Nyeri
- Dapat menunjukan adanya perdarahan gastriintestinal
- Pengeluaran dari NGT : jumlah dan warnanya
- Mual dan muntah.
6. B 6 : Bone (Tulang – Otot – Integumen)
- Warna kulit, suhu, kelembaban, dan turgor kulit.
Adanya perubahan warna kulit; warna kebiruan menunjukan adanya sianosis
(ujung kuku, ekstremitas, telinga, hidung, bibir dan membran mukosa). Pucat
pada wajah dan membran mukosa dapat berhubungan dengan rendahnya kadar
haemoglobin atau shok. Pucat, sianosis pada pasien yang menggunakan
ventilator dapat terjadi akibat adanya hipoksemia. Jaundice (warna kuning)
pada pasien yang menggunakan respirator dapat terjadi akibatpenurunan aliran
darah portal akibat dari penggunaan FRC dalam jangka waktu lama.
Pada pasien dengan kulit gelap, perubahan warna tersebut tidak begitu jelas
terlihat,. Warna kemerahan pada kulit dapat menunjukan adanya demam,
infeksi. Pada pasien yang menggunkan ventilator, infeksi dapat terjadi akibat
gangguan pembersihan jalan napas dan suktion yang tidak steril.
- Integritas kulit
- Perlu dikaji adanya lesi, dan decubitus
2. Diagnosa Keperawatan yang mungkin muncul
1. Nyeri akut berhubungan dengan agen injuri biologis, fisik.
2. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan faktor mekanik
3. Intoleransi Aktivitas berhubungan dengan kelemahan
4. Resiko infeksi berhubungan dengan luka terbuka
25

3. Intervensi Keperawatan
Diagnosa Kriteria Hasil Intervensi
Nyeri akut berhubungan Setelah diberikan perawatan selama 3x24 jam, nyeri Manajemen Nyeri
dengan agen injuri akut menjadi efektif dengan kriteria hasil: 1. Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif
biologis, fisik. Kontrol nyeri termasuk lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi,
Skala kualitas dan faktor presipitasi
Indikator
Awal Akhir 2. Observasi reaksi nonverbal dari
Menggunakan tindakan ketidaknyamanan
pencegahan 3. Gunakan teknik komunikasi terapeutik untuk
Menggunakan tindakan mengetahui pengalaman nyeri pasien
pengurangan nyeri tanpa 4. Evaluasi pengalaman nyeri masa lampau
analgesik 5. Evaluasi bersama pasien dan tim kesehatan lain
Menggunakan analgesik yang tentang ketidakefektifan kontrol nyeri masa
direkomendasikan lampau
Melaporkan gejala yang tidak 6. Kurangi faktor presipitasi nyeri
terkontrol 7. Ajarkan tentang teknik non farmakologi
Mengenali apa yang terkait 8. Kolaborasikan pemberian analgetik
dengan gejala nyeri
Melaporkan nyeri yang
terkontrol
Melaporkan perubahan terhadap
gejala nyeri

Kerusakan integritas kulit Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x Pengecekan Kulit (3590)
24. jam Pasien dapat menunjukkan perubahan 1. Periksa kulit dan selaput lendir terkait dengan
berhubungan dengan
ditandai dengan adanya kemerahan, kehangatan ekstrim, edema,
26

faktor mekanik Integritas Jaringan: Kulit dan membran mukosa atau drainase.
(1101) 2. Amati warna, kehangatan, bengkak, pulsasi,
Skala tekstur, edema, dan ulserasi pada ekstremitas
Indikator
Awal akhir 3. Periksa kondisi luka operasi dengan tepat
Suhu Kulit 4. Gunakan alat pengkajian untuk
Tekstur mengindentifikasi pasien yang berisiko
Pertumbuhan rambut pada mengalami kerusakan integritas kulit (misalnya,
kulit skala braden)
Integritas kulit 5. Monitor warna dan suhu kulit
Pigmentasi abnormal 6. Monitor kulit dan selaput lendir terhadap area
Lesi pada kulit perubahan warna, memar, dan pecah
7. Monitor kulit untuk adanya ruam dan lecet
Pengelupasan kulit 8. Monitor kulit untuk adanya kekeringan yang
Penebalan kulit berlebihan dan kelembapan
9. Monitor infeksi terutama di daerah edema
Eritem 10. Dokumentasikan perubahan membran mukosa
11. Gunakan langkah-langkah untuk mencegah
Nekrosis
kerusakan lebih lanjut (Misal, melapisi kasur,
Pengerasan Kulit
menjadwalkan reposisi)
12. Ajarkan keluarga/pemberi asuhan mengenai
kerusakan kulit dengan tepat.
Perawatan Luka (3660)
1. Monitor karakteristik luka termasuk drainase,
warna, ukuran, dan bau.
2. Ukur luas luka yang sesuai
3. Bersihkan dengan normal saline atau pembersih
yang tidak beracun dengan tepat.
4. berikan perawatan insisi pada luka yang
27

diperlukan
5. Berikan perawatan ulkus pada kulit yang
diperlukan,
6. Olehkan salep yang sesuai dengan jenis luka
7. Berikan balutan yang sesuai dengan jenis luka
8. Perhatikan teknik balutan steril ketika
melakukan perawatan luka yang tepat
9. Ganti balutan sesuai dengan jumlah eksudat dan
drainase
10. bandingkan dan catat setuipa perubahan luka
11. Reposisi pasien setidaknya setiap 2 jam dengan
tepat
12. Dorong cairan yang sesuai
13. rujuk pada ahli diet yang tepat
14. Anjurkan pada pasien dan keluarga untuk
mengenali tanda dan gejala infeksi
15. Dokumentasikan lokasi luka, ukuran dan
tampilan
Perlindungan Infeksi (6550)
1. Monitor adanya tanda dan gejala infeksi
sistemik dan lokal
2. Monitor kerentanan terhadap infeksi
3. Monitor hitung mutlak WBC, Granulosit, dan
hasil diferensial
4. Pertahankan asespsis
5. Berikan perawatan kulit yang tepat
6. Tingkatkan asupan nutrisi yang cukup
7. Ajarkan pasien dan keluarga bagaimana cara
28

menghindari infeksi

Intoleransi aktivitas Setelah dilakukan perawatan 2x24 jam Intoleransi Manajemen Energi (0180)
berhubungan dengan aktivitas klien dapat teratasi 1 Kaji adanya factor yang menyebabkan
kelemahan kelelahan
Indikator Skala 2 Monitor nutrisi dan sumber energi yang
adekuat
Awal Akhir
3 Monitor respon kardivaskuler terhadap
Tanda Vital aktivitas
4 Monitor pola tidur dan lamanya tidur/istirahat
mentoleransi aktivitas pasien
Kemampuan mengelurakan 5 Ajarkan klien mengenai pengelolaan dan
sekret manajemen waktu untuk mencegah kelelahan
Suara nafas tambahan 6 Kolaborasi dengan tenaga medis lain untuk
Batuk mengurangi kelelahan fisik (Farmakologi dan
non farmakologi)
Terapi Aktifitas (4310)
1 Bantu klien untuk mengidentifikasi aktivitas
yang mampu dilakukan
2 Bantu klien untuk membuat jadwal latihan
diwaktu luang
3 Bantu untuk mendpatkan alat bantuan aktivitas
seperti kursi roda, krek
Resiko infeksi Keparahan infeksi (0703) Kontrol infeksi (6540)
berhubungan dengan luka Kontrol resiko (1902) 1. Bersihkan lingkungan dengan baik setelah
terbuka Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 dipakai setiap pasien
jam, tidak terjadi infeksi pada pasien dengan kriteria 2. Ganti perawatan peralatan setiap pasien sesuai
hasil: SOP rumah sakit
29

3. Batasi jumlah pengunjung


Indikator Skala 4. Ajarkan cara mencuci tangan
Perlindungan infeksi (6550)
Awal Akhir
5. Monitor adanya tanda dan gejala infeksi
Luka tidak berbau busuk 6. Berikan perawatan kulit yang tepat
Pasien tidak demam (suhu Manajemen nutrisi (1100)
stabil) 7. Tentukan status gizi pasien
Tidak terdapat nanah pada luka 8. Identifikasi adanya alergi
Identifikasi resiko (6610)
Pasien dapat mengidentifikasi 9. Kaji ulang riwayat kesehatan masa lalu
faktor resiko 10. Identifikasi strategi koping yang digunakan
Mengenali faktor resiko
individu

M. Discharge Planning
a. Konsultasikan tindakan yang akan dilakukan selanjutnya dengan dokter, perawat, fisioterapi
b. Hindari untuk menggunakan produk yang dapat memperparah luka
c. Jika tubuh sudah gemuk konsultasikan untuk melakukan diet
d. Konsumsi makanan yang dapat meningkatkan proses penyembuhan luka
e. Hindari penggunaan alat yang dapat menyebabkan infeksi pada luka
f. Meningkatkan aktivitas fisik
30

DAFTAR PUSTAKA

Ariningrum, d., dkk. 2018. Manajemen Luka. Universitas Sebelas Maret: Fakultas
kedokteran.
Baroroh, D. B. 2011. Konsep Luka. Universitas Muhammadiyah Malang: Basic
Nursing Department PSIK FIKES.

Bulechek, G. M., Howard, K.B., Dochterman, J.M., & Cheryl, M.W. 2013.
Nursing Intervention Classification (NIC). 6th edn. Elsevier.

Bulechek, G. M., Howard, K.B., Dochterman, J.M., & Cheryl, M.W. 2013.
Nursing Outcome Classification (NOC). 6th edn. Elsevier
Djuanda, A, dkk. 2007. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta : Balai Penerbit
FKUI.
Hardman, T. H. and Kamitsuru, S. 2018. NANDA Internasional Inc. Diagnosis
Keperawatan; Definisi dan Klasifikasi 2015-2017. 11th edn. Jakarta: EGC.

Kartika, R. W. 2015. Perawatan luka kronis dengan modern


dressing. Teknik, 42(7), 546-550.

Media Kesehatan Indonesia. 2017. Luka: Gejala dan perawatan Medis.


https://doktersehat.com/tanda-gejala-dan-pertolognan-medis-luka/. Diakses
pada 5 Januari 2020.

Primadina, N. 2017. Epidemiologi Kasus Bedah Plastik Di Rsud Syarifah


Ambami Rato Ebhu Bangkalan, Penelitian Retrospektif Dua
Tahun. Medical and Health Science Journal, 1(2).

Semer, N. B. 2013. Dasar-Dasar Perawatan Luka. Diakses dari http//:global-


help.org tanggal 4 Oktober 2014.

Anda mungkin juga menyukai