oleh:
Alviolita Nur Septiani, S. Kep
NIM 192311101130
LEMBAR PENGESAHAN
i
Laporan Pendahuluan dan Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Spinal
Cord Injury (SCI) di Ruang Seruni RSD dr. Soebandi Jember telah disetujui dan
disahkan pada :
Hari, Tanggal :
Tempat: Ruang Seruni
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL..................................................................................... i
LEMBAR PENGESAHAN ......................................................................... ii
DAFTAR ISI................................................................................................. iii
LAPORAN PENDAHULUAN.................................................................... 1
A. Anatomi Fisiologi .................................................................................... 1
B. Definisi Spinal Cord Injury ................................................................... 7
C. Epidemiologi............................................................................................. 8
D. Etiologi...................................................................................................... 9
E. Klasifikasi................................................................................................. 10
F. Patofisiologi/Patologi............................................................................... 16
G. Manifestasi Klinik.................................................................................... 18
H. Pemeriksaan Penunjang.......................................................................... 20
I. Komplikasi............................................................................................... 20
J. Penatalaksanaan...................................................................................... 22
K. Clinical Pathway.................................................................................... 23
L. Konsep Asuhan Keperawatan................................................................ 24
a. Pengkajian ........................................................................................... 24
b. Diagnosa Keperawatan ......................................................................... 33
c. Perencanaan/Nursing Care Plan........................................................... 34
M. Discharge Planning (Evidence Based).................................................. 36
Daftar Pustaka.............................................................................................. 37
iii
1
pasterior yang kukuh untuk rongga-rongga badan dan memberi kaitan pada iga.
Tulang servikal paling rentan terhadap cedera, karena mobilitas dan paparannya.
Kanalis servikalis melebar di bagian atas yang terbentuk mulai dari foramen
magnum hingga kebagian bawah C2. Mayoritas pasien yang selamat dengan
cedera pada bagian ini tidak mengalami gangguan neurologis.
Medulla Spinalis
Medula Spinalis adalah bagian dari sistem saraf yang membentuk sistem
kontinu dengan batang otak yang keluar dari hemisfer serebral dan
memberikantugas sebagai penghubung otak dan saraf perifer, seperti pada kulit
dan otot. Panjangnya rata-rata 45 cm dan menipis pada jari-jari. Medula spinalis
inimemanjang dari foramen magnum di dasar tengkorak sampai bagian
lumbarkedua tulang belakang, yang berakhir di dalam berkas serabut yang disebut
konusmedullaris. Seterusnya di bawah lumbar kedua adalah akar saraf,
yangmemanjang melebihi konus, dan disebut kauda equina dimana akar saraf
inimenyerupai akar kuda. Saraf-saraf medula spinalis tersusun atas 33 segmen
yaitu7 segmen servikal, 12 torakal, 5 lumbal, 5 sakral, dan 5 segmen koksigius.
Medulas pinalis mempunyai 31 pasang saraf spinal, masing-masing segmen
mempunyaisatu untuk setiap sisi tubuh. Seperti otak, medula spinalis terdiri atas
substansigrisea dan alba. Substansi grisea di dalam otak ada di daerah eksternal
dansubstansi alba ada pada bagian internal. Vertebralis dikelompokkan sebagai
berikut :
a. Vetebrata Thoracalis (atlas).
Vetebrata Thoracalis mempunyai ciri yaitu tidak memiliki corpus tetapihanya
berupa cincin tulang. Vertebrata cervikalis kedua (axis) ini memiliki dens,yang
mirip dengan pasak. Veterbrata cervitalis ketujuh disebut prominan karena
mempunyai prosesus spinasus paling panjang.
b. Vertebrata Thoracalis.
Ukurannya semakin besar mulai dari atas kebawah. Corpus berbentuk jantung,
berjumlah 12 buah yang membentuk bagian belakang thorax.
c. Vertebrata Lumbalis.
3
ventalis, dan empat buah sulkus, yaitu sulkus medianus dorsalis, sulkus
dorsolateralis, sulkus intermediodorsalis dan sulkus ventrolateralis. Pada
penampang transversal medulla spinalis, dapat dijumpai bagian sentral yang
berwarna lebih gelap (abu-abu) yang dikenal dengan istilah gray matter. Gray
matter adalah suatu area yang berbentuk seperti kupu-kupu atau huruf H. Area ini
mengandung badan sel neuron beserta percabangan dendritnya. Di area ini
terdapat banyak serat-serat saraf yang tidak berselubung myelin serta banyak
mengandung kapiler-kapiler darah. Hal inilah yang mengakibatkan area ini
berwarna menjadi lebih gelap. Gray matter dapat dibagi kedalam 10 lamina atau 4
bagian, yaitu :
1. kornu anterior/dorsalis, yang mengandung serat saraf motorik, terdiri atas
lamina VIII, IX, dan bagian dari lamina VII.
2. Kornu posterior/ventralis, yang membawa serat serat saraf sensorik, terdiri atas
lamina I-IV.
3. Kornu intermedium yang membawa serat-serat asosiasi terdiri atas lamina VII.
4. Kornu lateral, merupakan bagian dari kornu intermedium yang terdapat pada
segmen torakal dan lumbal yangmembawa serat saraf simpati
Pada spina servikalis, radix keluar melewati bagian atas kolumna vertebralis,
sedangkan pada segmen bawah T1 radix keluar melewati bagian bawah korpus
vertebralis. Radix ventralis berfungsi sebagai traktus motoris yang keluar dari
medula spinalis, sedangkan radix posterior bersifat sensoris terhadap struktur
superfisial dan profunda tubuh. Perjalanan serabut saraf dalam medulla spinalis
terbagi menjadi dua jalur, jalur desenden dan asenden. Jalur desenden terdiri dari:
a. Traktus kortikospinalis lateralis,
b. Traktus kortikospinalis anterior,
c. Traktus vestibulospinalis,
d. Traktus rubrospinalis,
e. Traktus retikulospinalis,
f. Traktus tektospinalis,
g. Fasikulus longitudinalis medianus.
C. Epidemiologi
Setiap tahun, sekitar 40 juta orang di seluruh dunia menderita SCI.
Sebagian besar dari mereka adalah laki-laki muda, biasanya berusia 20-35 tahun,
meskipun 1% dari populasi ini adalah anak-anak. Pada anak-anak, kecelakaan
kendaraan bermotor adalah mekanisme cedera yang paling umum dan cedera
yang berhubungan dengan olahraga bertanggung jawab atas jumlah terbesar
cedera tulang belakang. Sepak bola menyebabkan jumlah cedera terbesar di
antara semua jenis olahraga. Sekitar 60%-80% dari cedera tulang belakang pada
anak-anak terjadi di daerah serviks. Sisanya 20%-40% terbagi rata antara daerah
toraks dan lumbar. Anak laki-laki lebih mungkin mengalami trauma tulang
belakang daripada anak perempuan (Nas dkk., 2015).
8
Perbandingan rasio angka kejadian pada pria dan wanita yaitu 4: 1 dan
sebagian besar cedera terjadi antara usia 16 dan 30 tahun. Cedera tulang belakang
biasanya terjadi di segmen spinal yang paling sering bergerak, yaitu: tulang
belakang leher, dan tulang belakang torakolumbalis. Tulang belakang leher 25%
dari semua cedera yang terjadi di tulang belakang leher bagian atas (Oc-C2),
sementara 75% terjadi di daerah subaksial (C3-C7). Beberapa cedera tulang
belakang diperkirakan terjadi pada 4%-20% dari semua kasus. Pada tulang
belakang torakolumbalis, distribusi anatomis cedera yang paling sering terjadi di
sekitar persimpangan torakolumbalis dengan L1 terhitung 16% dari semua
cedera. Sekitar 5%-20% pasien dengan cedera tulang belakang torakolumbalis
memiliki fraktur yang tidak berdekatan (Malhotra dkk., 2010).
Menurut (Furlan dkk., 2018), SCI yang paling banyak terjadi pada level
serviks dengan presentase 25-88%, kemudian diikuti oleh level thorak dengan
presentase sebanyak 24-63%. Pada proporsi cedera lengkap memiliki presentase
18,2-90% hal ini menunjukkan presentase lebih besar dibandingkan proporsi
cedera tidak lengkap yaitu sebesar 10-81,8%.
Data epidemiologis cedera tulang belakang (SCI) di Indonesia pada tahun
2014 tercatat 104 kasus SCI didaftarkan di Rumah Sakit Umum Fatmawati
dimana 37 mengalami trauma dan 67 memiliki SCI non-trauma. Etiologi paling
umum dari SCI traumatis adalah kecelakaan mobil dan jatuh dari ketinggian,
sedangkan penyebab utama SCI nontraumatic adalah infeksi dan neoplasma
(Tulaar dkk., 2017).
D. Etiologi
Cedera medulla spinalis menurut (Evans dkk., 2003) dapat dibagi menjadi
dua jenis:
1. Cedera medulla spinalis traumatic, terjadi karena benturan fisik eksternal
seperti yang diakibatkan oleh kecelakaan bermotor, jatuh atau kekerasan,
merusaka medulla spinalis. Sebagai lesi traumatic pada medulla spinalis dengan
beragam deficit motorik dan sensorik atau paralisis. Sesuai dengan American
board of physical medicine and rehabilitation examination outline for spinal cord
injury medicine, cedera medulla spinalis traumatic mencakup fraktur, dislokasi
dan kontusio dari kolum vertebra.
9
E. Klasifikasi
Klasifikasi SCI bedasarkan penyebabnya terbagi menjadi dua yaitu
traumatik dan non traumatik.Traumatik, yakni SCI yang diakibatkan karena jatuh,
kecelakaan lalu lintas, cedera akibat kerja dan olahraga, serta kekerasan.
Sedangkan Non Traumatik akibat penyakit menular, tumor, penyakit
muskuloskeletal seperti osteoartritis, dan masalah bawaan seperti spina bifda
(cacat tabung saraf yang timbul selama selama perkembangan embrio)
(Bickenbach dkk., 2013). Berdasarkan area cedera, terdapat dua istilah yang
sering ditemui yaitu:
a. Tetraplegia (lebih disukai “quadriplegia”)
Istilah ini mengacu pada gangguan atau kehilangan fungsi motorik dan/atau
sensorik di segmen serviks sumsum tulang belakang karena kerusakan elemen
saraf dalam saluran tulang belakang. Tetraplegia menyebabkan gangguan fungsi
pada lengan dan juga tipikal pada trunkus, tungkai dan organ pelvis, yaitu
10
termasuk empat ekstremitas. Jenis SCI ini tidak termasuk lesi pleksus brakialis
atau cedera pada saraf perifer di luar kanal saraf.
b. Paraplegia
Istilah ini mengacu pada gangguan atau kehilangan fungsi motorik dan/atau
sensorik pada segmen toraks, lumbar atau sakral (tetapi bukan serviks) dari
medula spinalis, sekunder akibat kerusakan elemen saraf dalam kanalis spinalis.
Pada paraplegia, fungsi lengan terhindar tetapi batang, kaki, dan organ panggul
mungkin terlibat tergantung pada tingkat cedera. Istilah ini digunakan untuk
merujuk cedera cauda equina dan conus medullaris, tetapi tidak untuk lesi
pleksus lumbosakral atau cedera saraf perifer di luar kanal saraf.
Sedangkan klasifikasi berdasarkan fungsiolesa, American Spinal Injury
Association (ASIA) mengelompokkan SCI menjadi lima bagian, antara lain (Nas
dkk., 2015):
ASIA-A Lengkap, tidak ada fungsi sensorik atau motorik yang dipertahankan pada
segmen sakral S4-S5
ASIA-B Sensorik tidak lengkap. Defisit motorik tanpa kehilangan sensorik di bawah
level neurologis, termasuk segmen sakral S4-S5 (sentuhan ringan, sensasi pin
atau tekanan anal yang dalam pada S4-S5), dan tidak ada fungsi motorik yang
dilindungi dari tiga level di bawah level motorik di setiap setengah dari tubuh
ASIA-C Motorik tidak lengkap. Fungsi motorik dipertahankan di bawah level neurologis
dan lebih dari setengah otot di bawah level ini memiliki kekuatan lebih rendah
dari 3/5 (0, 1 atau 2)
ASIA-D Motorik tidak lengkap. Fungsi motorik dipertahankan di bawah level neurologis
dan setidaknya setengah dari otot (setengah atau lebih) di bawah level ini
memiliki kekuatan lebih tinggi dari 3/5.
ASIA-E Normal. Fungsi sensorik dan motorik yang dinilai oleh ISNCSC di semua
segmen adalah normal dan pada pasien dengan defisiensi yang sudah ada ada
derajat "E" ASIA. Awalnya satu tanpa cedera medulla spinalis tidak memiliki
derajat ASIA
11
Cedera umum medulla spinalis dapat dibagi menjadi 2 yaitu komplit dan
tidak komplit berdasarkan ada/tidaknya fungsi yang dipertahankan dibawah lesi.
Terdapat 5 sindrom utama cedera medulla spinalis inkomplit menurut American
spinal cord injury association yaitu
1. Central cord syndrome
Central Cord Syndrome (CCS) biasanya terjadi setelah cedera hiperekstensi.
Sering terjadi pada individu di usia pertengahan dengan spondilosis cervicalis.
Predileksi lesi yang paling sering adalah medula spinalis segmen servikal,
terutama pada vertebra C4-C6. Sebagian kasus tidak ditandai oleh adanya
kerusakan tulang. Mekanisme terjadinya cedera adalah akibat penjepitan
medula spinalis oleh ligamentum flavum di posterior dan kompresi osteofit atau
material diskus dari anterior. Bagian medula spinalis yang paling rentan adalah
bagian dengan vaskularisasi yang paling banyak yaitu bagian sentral. Pada
Central Cord Syndrome, bagian yang paling menderita gaya trauma dapat
mengalami nekrosis traumatika yang permanen. Edema yang ditimbulkan dapat
meluas sampai 1-2 segmen di bawah dan di atas titik pusat cedera. Sebagian besar
kasus Central Cord Syndrome menunjukkan hipo/isointens pada T1 dan
hiperintens pada T2, yang mengindikasikan adanya edema. Gambaran khas
Central Cord Syndrome adalah kelemahan yang lebih prominen pada ekstremitas
12
b. Cedera Fleksi-Rotasi.
Beban fleksi-rotasi akan menimbulkan cedera pada ligamentum posterior
dan kadang juga terdapat pada prosesus artikularis, selanjutnya akan
mengakibatkan terjadinya dislokasi raktur rotasional yang dihubungkan dengan
13
slice fracture korpus vertebra. Cedera ini merupakan cedera yang paling tidak
stabil.
c. Cedera Ekstensi.
Cedera ekstensi biasanya merusak ligamentum longitudinalis anterior dan
menimbulkan herniasi diskus. Biasanya terjadi pada daerah leher. Selama kolum
vertebra dalam posisi fleksi, maka cedera ini masih tergolong stabil. Cedera
kompresi vertical mengakibatkan pembebanan pada korpus vertebra dan dapat
menimbulkan burst fracture. Cedera robek langsung (direct shearing) biasanya
terjadi di daerah torakal dan disebabkan oleh pukulan langsung pada
punggung, sehingga salah satu vertebra bergeser, fraktur prosesus
artikularis serta rupture ligamen. Berdasarkan sifat kondisi fraktur yang terjadi,
Kelly dan Whitesides mengkategorikan cedera spinal menjadi cedera stabil dan
cedera non-stabil. Cedera stabil mencakup cedera kompresi korpus vertebra baik
anterior atau lateral dan burst fracture derajat ringan. Sedangkan cedera yang
tidak stabil mencakup cedera fleksi-dislokasi, fleksi-rotasi, dislokasi-fraktur (slice
injury), dan burst fracture hebat.
d. Cedera Stabil Fleksi.
Cedera fleksi akibat fraktura kompresi baji dari vertebra torakolumbal
umum ditemukan dan stabil. Kerusakan neurologik tidak lazim ditemukan.
Cedera ini menimbulkan rasa sakit, dan penatalaksanaannya terdiri atas
perawatan di rumah sakit selama beberapa hari istirahat total di tempat tidur
dan observasi terhadap paralitik ileus sekunder terhadap keterlibatan
ganglia simpatik. Jika baji lebih besar daripada 50 persen, brace atau gips dalam
ekstensi dianjurkan. Jika tidak, analgetik, korset, dan ambulasi dini
diperlukan. Ketidaknyamanan yang berkepanjangan tidak lazim ditemukan.
f. Kompresi Vertikal.
Tenaga aksial mengakibatkan kompresi aksial yang terdiri dari 2 jenis : (1)
protrusi diskuske dalam lempeng akhir vertebral, (2) fraktura ledakan. Yang
pertama terjadi pada pasien muda dengan protrusi nukleus melalui lempeng akhir
vertebra kedalam tulang berpori yang lunak. Ini merupakan fraktura yang stabil,
dan defisit neurologik tidak terjadi. Terapi yang dapat diberikan berupa analgetik,
istirahat ditempat tidur selama beberapa hari, dan korset untuk beberapa minggu.
Meskipun fraktura ”ledakan” agak stabil, keterlibatan neurologik dapat
terjadikarena masuknya fragmen ke dalam kanalis spinalis. CT-Scan memberikan
informasi radiologik yang lebih pada cedera. Jika tidak ada keterlibatan
neurologik, pasien ditangani dengan istirahat di tempat tidur sampai gejala-gejala
akut menghilang. Direkomendasikan juga untuk menggunakan brace atau jaket
gips untuk menyokong vertebra yang dapat digunakan selama 3 atau 4 bulan. Jika
ada keterlibatan neurologik, fragmen harus dipindahkan dari kanalis neuralis.
Pendekatan bisa dari anterior, lateral atau posterior. Stabilisasi dengan batang
kawat, plat atau graft tulang penting untuk mencegah ketidakstabilan setelah
dekompresi.
g. Cedera Tidak Stabil Rotasi-Fleksi.
Kombinasi dari fleksi dan rotasi dapat mengakibatkan fraktura dislokasi
dengan vertebra yang sangat tidak stabil. Karena cedera ini sangat tidak stabil,
pasien harus ditangani dengan hati-hati untuk melindungi medula spinalis dan
radiks. Fraktura dislokasi ini paling sering terjadi pada daerah transisional T10
sampai L1 dan berhubungan dengan insiden yang tinggi dari gangguan
neurologik. Setelah radiografik yang akurat didapatkan (terutama CT-
Scan), dekompresi dengan memindahkan unsur yang tergeser dan
stabilisasi spinal menggunakan berbagai alat metalik diindikasikan.
h. Fraktura “Potong”.
Vertebra dapat tergeser ke arah anteroposterior atau lateral akibat trauma
parah. Pedikel atau prosesus artikularis biasanya patah. Jika cedera terjadi pada
daerah toraks, mengakibatkan paraplegia lengkap. Meskipun fraktura ini sangat
15
tidak stabil pada daerah lumbal, jarang terjadi gangguan neurologi karena ruang
bebas yang luas pada kanalis neuralis lumbalis. Fraktura ini ditangani seperti pada
cedera fleksi-rotasi.
i. Cedera Fleksi-Rotasi.
Change fracture terjadi akibat tenaga distraksi seperti pada cedera sabuk
pengaman. Terjadi pemisahan horizontal, dan fraktura biasanya tidak
stabil. Stabilisasi bedah direkomendasikan.
F. Patofisiologi
Banyak sel dimedula spinalis mati seketika secara progresif setelah
terjadinya cidera. Setelah mengalami luka tusuk, sel dari sistem saraf perifer
seringkali menyebabkan daerah yang terkena tusuk membentuk jaringan parut
yang bergabung bersama astrosit, sel progenitor dan microglia. Akson asending
dan desending banyak yang terganggu dan gagal memperbaiki diri. Beberapa
kason membentuk sirkuit baru, akson dapat menembus kedalam trabekula dan
dibentuk oleh sel ependim. Segmen akson bermielin yang terputus difagosit oleh
makrofag. Sebagian remielinasi muncul spontan yang terbanyak dari sel schwan
(Evans dkk., 2003).
Pada umunya, cedera medulla spinalis disertai kompresi dan angulasi
bertebra parah, missal terjadinya hipotensi yang parah akibat infark dari medulla
atau distraksi aksial dari unsure kolumna vertebralis akan mengakibatkan tarikan
pada medulla. Biasanya cedera medulla spinalis disertai subluksasi dengan atau
tanpa rotasi dari vertebrata yang menekan medulla diantara tulang yang dislokasi.
Kompresi aksial tulang belakang jarang menyebabkan kerusakan atau pendesakan
pada vertebra, dan tulang lain atau fragmen diskus intervertebralis dapat menekan
ke dalam kanalis spinalis dan menjepit medulla dan arteri spinalis. Cedera
seringkali terjadi pada orang tua dengan arthritis degenerative dan stenosis
bertebra servikalis, termasuk hiperekstensi leher disertai ligamentum flavum yang
terletak dikanalis vertebra posterior dari medulla. Medulla spinalis terjepit
diantara spurs anterior dari tulang yang mengalami arthritis dan posterior dari
igamentum flavum, sehingga menyebabkan cedera yang dikenal dengan sebutan
sindroma medulla sentral (Manley dkk., 2006).
16
G. Manifestasi Klinis
Gejala lesi medula spinalis bergantung pada luasnya cedera atau penyebab
non-traumatis, tetapi dapat meliputi hilangnya sensorik atau kontrol motorik pada
tungkai bawah, batang dan tungkai atas, serta hilangnya regulasi otonom tubuh.
Hal ini dapat mempengaruhi pernapasan, detak jantung, tekanan darah, kontrol
suhu, kontrol usus dan kandung kemih, serta fungsi seksual. Secara umum,
semakin tinggi lesi pada medula spinalis, semakin luas kisaran gangguannya.
Seseorang dengan C4 atau lesi yang lebih tinggi mungkin memerlukan ventilator
untuk bernafas karena lesi secara langsung mengganggu kontrol otonom. Lumbar
SCI biasanya menyebabkan kehilangan sensorik dan motorik di pinggul dan kaki.
Semua bentuk SCI juga dapat menyebabkan nyeri kronis (P.M.. Klebine, 2015).
Cedera medulla spinalis akibat luka tembus, penekanan maupun iskemik
dapat menyebabkan berbagai bentuk karakteristik cedera berdasarkan anatomi
dari terjadinya cidera. Deficit neurologis yang timbul (fungsi yang hilang atau
tersisa) dapat digambarkan dari pola kerusakan medulla dan radiks dorsalis
demikian juga sebaliknya antara lain:
1. Lesi Komplit yaitu terjadinya cedera medulla yang luas akibat anatomi dan
fungsi transeksi medulla disertai kehilangan fungsi motorik dan sensorik dibawah
lesi. Mekanisme khasnya adalah trauma vertebra subluksasi yang parah
mereduksi diameter kanalis spinalis dan menghancurkan medulla.
Konsekuensinya bisa terjadi paraplegia, rusaknya fungsi otonomik seperti bowel,
bladder dan sensorik.
2. Lesi inkomplit
a. Sindroma medulla anterior, menyebabkan paralisis motorik dan kehilangan
persepsi nyeri
b. Brown squard’s syndrome, yang menyebabkan kelemahan dan kehilangan
fungsi motorik, perasaan propioseptif ipsilateral serta nyeri.
c. Sindrom medulla sentral, menyebabkan kelemahan ektremitas atas yang lebih
parah daripada ektremitas bawah
18
H. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan yaitu:
a. Sinar X spinal: menentukan lokasi dan jenis cedera tulang;
b. CT scan: untuk menentukan tempat luka/jejas;
c. MRI: untuk mengidentifikasi kerusakan syarat spinal;
d. Foto rongent thorak: mengetahui keadaan paru;
e. AGD: menunjukkan kefektifan pertukaran gas dan upaya ventilasi.
I. Komplikasi
Berikut ini merupakan komplikasi yang sering terjadi pada pasien dengan spinal
cord injury:
1. Ulkus dekubitus. Kondisi ini terjadi karena adanya tekanan umumnya pada
daerah pinggul (ischial tuberositas dan tronchanter pada femur). Pada cedera
19
medulla spinalis tidak hanya terjadi perubahan dari tonus otot dan sensasi saja,
akan tetapi juga karena peredaran darah ke kulit dan jaringan subkutan berkurang.
2. Osteoporosis dan fraktur. Mayoritas pada pasien dengan cedera medulla
spinalis akan mengalami komplikasi osteoporosis, pada orang normal, tulang
akan tetap sehat dan kokoh karena aktifitas tulang dan otot yang menumpu.
Ketika aktivitas otot berkurang atau hilang dan tungkai tidak melakukan aktifitas
menumpu berat badan, maka mulai terjadi penururnan kalsium, phosphor
sehingga kepadatan tulang berkurang.
3. Pneumonia, atelaktasis, aspirasi: pasien dengan cedera medulla spinalis di
bawah Th4, aan beresiko tinggi untuk berkembangnya restriksi fungsi paru.
4. Autonomic dysreflexia yaitu dapat terjadi pada pasien dengan lesi di atas level
T6 atau T7, diduga karena terputusnya otonom yang mengontrol tekanan darah
dan fungsi jantungyang dapat menyebabkan hipertensi;
5. Deep Vein Thrombosis (DVT) atau emboli paru dan Cardiovascular
diseaseakibat terganggunya sirkulasi darah
6. Syringomyela merupakan pembesaran canalis centralis dari medulla spinalis
pasca trauma, terjadi pada 1- 3% pasien SCI;
7. Neuropatic/Spinal Cord Pain yaitu kerusakan dari tulang vertebra, medulla
spinalis, saraf tepi, dan jaringan di sekitarnya. Bisa berupa nyeri pada akar saraf
yang tajam seperti teriris dan menjalar sepanjang perjalanan saraf tepi, bahkan
terjadi phantom limb pain.
8. Cardiovascular disease: komplikasi dari sistem kardiorespirasi merupakan
resiko jangka panjang pada medulla spinalis.
9. Komplikasi sistem respirasi: bila lesi berada diatas C4 akan menimbulkan
paralisis otot inspirasi.
10. Perubahan tonus otot: paralisis akibat dari otot yang dipersyarafi oleh segmen
yang terkena.
11. Kontrol bladder dan bowel; lesi pada conus medullaris menyebabkan tidak
adanya reflex bladder, akibat dari flaccid dan menurunnya tonus otot perineal dn
sphincter uretra.
Menurut Smeltzer (2001), komplikasi yang dapat timbul dari cedera
medulla spinalis yakni:
a. Syok spinal
20
K. Clinical Pathway
22
Memar
Trauma Vertebra
spinal cord Gg. Sirkulasi
Gg.
Neurologispdcor Kematian
daspinalis RisikoAspirasi
Ketidakefektifan
Penurunan
Pola Napas
mobilitas
1. Pengkajian
a. Identitas pasien
Identitas pasien terdiri dari, usia (sering terjadi pada orang dewasa, jarang
sekali pada anak-anak), jenis kelamin (rasio laki-laki dan perempuan 4:1),
jenis pekerjaan; pekerjaan (dengan tingkat bahaya yang cukup tinggi), dan
alamat rumah (letak geografis)
b. Keluhan utama
Klien SCIsering mengeluhkan nyeri akut dan penurunan fungsi motorik
serta sensorik
c. Riwayat penyakit sekarang
Kecelakaan atau cedera lainnya
d. Riwayat penyakit dahulu
Riwayat penyakit muskuloskeletal
e. Riwayat penyakit keluarga
Penyakit bawaan
f. Pengkajian Keperawatan:
1) Aktivitas/istrirahat
Kaji tentang pekerjaan yang berhubungan dengan SCI dan hambatan
istirahat/tidur sebelum dan setelah sakit serta mobilisasi di tempat
tidur
2) Sirkulasi
Kaji peningkatan frekuensi pernapasan (RR), adanya syok dan edema
3) Eliminasi
Kaji adanya ketidakmampuan BAK dan BAB
4) Makanan dan cairan
Kaji adanya mual, muntah, anoreksia, dan kebutuhan cairan serta
nutrisi
5) Aman dan nyaman
Kaji kondisi yang menyebabkan tidak nyaman
g. Pemeriksaan Fisik:
1) Sistem Kardiovaskular
PasienSCI dapatmerasakan sesak napas dapat disertai takikardi,
berkeringat, dan nausea.
2) Sistem Respirasi
Frekuensi napas dapat meningkat (takipneu) dan dapat menurun
(dipsneu) pada kondisi tertentu, adanya penggunaan otot bantu napas.
3) Sistem Gastrointestinal
Pola makan dapat terganggu, nafsu makan berkurang, dan mual
muntah. Kemungkinan frekuensi BAB menjadi berkurang dari
24
- Sputum.
Sputum yang keluar harus dinilai warnanya, jumlah dan konsistensinya. Mukoid
sputum biasa terjadi pada bronkitis kronik dan astma bronkiale; sputum yang
purulen (kuning hijau) biasa terjadi pada pnemonia, brokhiektasis, brokhitis
akut; sputum yang mengandung darah dapat menunjukan adanya edema paru,
TBC, dan kanker paru.
- Selang oksigen
Endotrakeal tube, Nasopharingeal tube, diperhatikan panjangnya tube yang
berada di luar.
- Parameter pada ventilator
Volume Tidal
Normal : 10 – 15 cc/kg BB.
Perubahan pada uduma fidal menunjukan adanya perubahan status ventilasi
penurunan volume tidal secara mendadak menunjukan adanya penurunan
ventilasi alveolar, yang akan meningkat PCO2. Sedangkan peningkatan volume
tidal secara mendadak menunjukan adanya peningkatan ventilasi alveolar yang
akan menurunkan PCO2.
Kapasitas Vital : Normal 50 – 60 cc / kg BB
Minute Ventilasi
Forced expiratory volume
Peak inspiratory pressure
3. B 3 : Brain (Persyarafan/Neurologik)
- Tingkat kesadaran
Penurunan tingkat kesadaran pada pasien dengan respirator dapat terjadi akibat
penurunan PCO2 yang menyebabkan vasokontriksi cerebral. Akibatnya akan
menurunkan sirkulasi cerebral.
Untuk menilai tingkat kesadaran dapat digunakan suatu skala pengkuran yang
disebut dengan Glasgow Coma Scale (GCS).
GCS memungkinkan untuk menilai secara obyektif respon pasien terhadap
lingkungan. Komponen yang dinilai adalah : Respon terbaik buka mata, respon
motorik, dan respon verbal. Nilai kesadaran pasien adalah jumlah nilai-nilai dari
ketiga komponen tersebut.
Tingkat kesadaran adalah ukuran dari kesadaran dan respon seseorang terhadap
rangsangan dari lingkungan, tingkat kesadaran dibedakan menjadi :
Compos Mentis (conscious), yaitu kesadaran normal, sadar sepenuhnya, dapat
menjawab semua pertanyaan tentang keadaan sekelilingnya..
Apatis, yaitu keadaan kesadaran yang segan untuk berhubungan dengan
sekitarnya, sikapnya acuh tak acuh.
Delirium, yaitu gelisah, disorientasi (orang, tempat, waktu), memberontak,
berteriak-teriak, berhalusinasi, kadang berhayal.
28
- Bising usus
Ada atau tidaknya dan kualitas bising usus harus dikaji sebelum melakukan
palpasi abdomen. Bising usus dapat terjadi pada paralitik ileus dan peritonitis.
Lakukan observasi bising usus selama ± 2 menit. Penurunan motilitas usus dapat
terjadi akibat tertelannya udara yang berasal dari sekitar selang endotrakeal dan
nasotrakeal.
- Distensi abdomen
Dapat disebabkan oleh penumpukan cairan. Asites dapat diketahui dengan
memeriksa adanya gelombang air pada abdomen. Distensi abdomen dapat juga
terjadi akibat perdarahan yang disebabkan karena penggunaan IPPV. Penyebab
lain perdarahan saluran cerna pada pasien dengan respirator adalah stres,
hipersekresi gaster, penggunaan steroid yang berlebihan, kurangnya terapi
antasid, dan kurangnya pemasukan makanan.
- Nyeri
- Dapat menunjukan adanya perdarahan gastriintestinal
- Pengeluaran dari NGT : jumlah dan warnanya
- Mual dan muntah.
31
3. Intervensi Keperawatan
N
o Diagnosa Kriteria Hasil Intervensi
.
1 Nyeri akut berhubungan Setelah diberikan perawatan selama 3x24 jam, nyeri Manajemen Nyeri
. dengan agen cedera fisik akut menjadi efektif dengan kriteria hasil:
1. Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif
yang ditandai dengan Kontrol nyeri
termasuk lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi,
keluhan tentang Skala
kualitas dan faktor presipitasi
karakteristik nyeri, sikap Indikator Aw Akhir 2. Observasi reaksi nonverbal dari
melindungi area nyeri, al ketidaknyamanan
perilaku distraksi, putus Menggunakan tindakan pencegahan
3. Gunakan teknik komunikasi terapeutik untuk
asa, fokus pada diri sendiri Menggunakan tindakan mengetahui pengalaman nyeri pasien
dan diaforesis pengurangan nyeri tanpa analgesik 4. Evaluasi pengalaman nyeri masa lampau
Menggunakan analgesik yang 5. Evaluasi bersama pasien dan tim kesehatan lain
direkomendasikan tentang ketidakefektifan kontrol nyeri masa
Melaporkan gejala yang tidak lampau
terkontrol 6. Kurangi faktor presipitasi nyeri
Mengenali apa yang terkait dengan 7. Ajarkan tentang teknik non farmakologi
gejala nyeri 8. Kolaborasikan pemberian analgetik
Melaporkan nyeri yang terkontrol
Melaporkan perubahan terhadap
gejala nyeri
2 Ketidakefektifan pola Setelah diberikan perawatan selama 3x24 jam, pola Manajemen jalan napas
. napas berhubungan nafas menjadi efektif dengan criteria hasil: 1. Posisikan pasien semi fowler untuk memaksimal
35
M. Discharge Planning
a. Konsultasikan tindakan yang akan dilakukan selanjutnya dengan dokter,
perawat, fisioterapi
b. Hindari untuk mengangkat beban berat
c. Jika tubuh sudah gemuk konsultasikan untuk melakukan diet sehingga
tulang belakang dalam menahan beban tubuh tidak terlalu berat
d. Konsumsi makanan yang dapat meningkatkan kekuatan tulang
e. Olahraga sesuai instruksi atau cara yang dianjurkan dan hindari olahraga
yang dilarang
f. Hindari penggunaan alat kendaraan bermotor sendiri jika belum
memungkinkan untuk menghindari kecelakaan.
g. Meningkatkan aktivitas fisik
37
DAFTAR PUSTAKA