Anda di halaman 1dari 40

LAPORAN PENDAHULUAN

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN


DENGAN SPINAL CORD INJURY (SCI) DI RUANG SERUNI
RSD dr. SOEBANDI-JEMBER

oleh:
Alviolita Nur Septiani, S. Kep
NIM 192311101130

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS JEMBER
2019

LEMBAR PENGESAHAN

i
Laporan Pendahuluan dan Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Spinal
Cord Injury (SCI) di Ruang Seruni RSD dr. Soebandi Jember telah disetujui dan
disahkan pada :
Hari, Tanggal :
Tempat: Ruang Seruni

Jember, …. Desember 2019

Pembimbing Akademik Pembimbing Klinik


Fakultas Keperawatan Ruang Seruni
Universitas Jember RSD Soebandi Jember

Ns. Baskoro Setioputro, S.Kep., M.Kep. Ns. Siswoyo, S.Kep


NIP 19830505 200812 1 004 NIP. 19730413 199703 1 007

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL..................................................................................... i
LEMBAR PENGESAHAN ......................................................................... ii
DAFTAR ISI................................................................................................. iii
LAPORAN PENDAHULUAN.................................................................... 1
A. Anatomi Fisiologi .................................................................................... 1
B. Definisi Spinal Cord Injury ................................................................... 7
C. Epidemiologi............................................................................................. 8
D. Etiologi...................................................................................................... 9
E. Klasifikasi................................................................................................. 10
F. Patofisiologi/Patologi............................................................................... 16
G. Manifestasi Klinik.................................................................................... 18
H. Pemeriksaan Penunjang.......................................................................... 20
I. Komplikasi............................................................................................... 20
J. Penatalaksanaan...................................................................................... 22
K. Clinical Pathway.................................................................................... 23
L. Konsep Asuhan Keperawatan................................................................ 24
a. Pengkajian ........................................................................................... 24
b. Diagnosa Keperawatan ......................................................................... 33
c. Perencanaan/Nursing Care Plan........................................................... 34
M. Discharge Planning (Evidence Based).................................................. 36
Daftar Pustaka.............................................................................................. 37

iii
1

LAPORAN PENDAHULUAN SPINAL CORD INJURY

Konsep Teori Spinal Cord Injury


A. Anatomi Fisiologi

Gambar 1. Anatomi Columna Vertebralis


Columna vertebralis terbentang dari cranium sampai ujung os coccygis dan
merupakan unsur utama kerangka aksial (ossa cranii, columna vertebralis, costa
dan sternum). Columna vertebralis terdiri dari 33 vertebra yang teratur dalam 5
daerah, tetapi hanya 24 dari jumlah tersebut (7 vertebra cervicalis, 12 vertebra
thoracica, dan 5 vertebra lumbalis) dapat digerakkan pada orang dewasa. Kelima
vertebra sacralis pada orang dewasa melebur membentuk os sacrum dan keempat
vertebra coccygis melebur membentuk os coccygis. Tulang vertebra memiliki
korpus yang terletak di anterior, yang membentuk bangunan utama sebagai
tumpuan beban. Korpus vertebrae dipisahkan oleh diskus intervetebralis, dan
disangga disebelah anterior dan posterior oleh ligamentum longitudinal anterior
dan posterior. Disebelah posterolateral, dua pedikel membentuk pilar tempat ata
kanalis vertebralis (lamina) berada. Fungsi dari columna vertebralis sebagai
pendukung badan yang kokoh dan sekaligus bekerja sebagai penyangga dengan
perantaraan tulang rawan cakram intervertebralis yang lengkungnya memberikan
fleksibilitas dan memungkinkan membongkok tanpa patah. Cakramnya juga
berguna untuk menyerap goncangan yang terjadi bila menggerakkan berat badan
seperti waktu berlari dan meloncat, dan dengan demikian otak dan sumsum
belakang terlindung terhadap goncangan. Disamping itu juga untuk memikul
berat badan, menyediakan permukaan untuk otot dan membentuk tapal batas
2

pasterior yang kukuh untuk rongga-rongga badan dan memberi kaitan pada iga.
Tulang servikal paling rentan terhadap cedera, karena mobilitas dan paparannya.
Kanalis servikalis melebar di bagian atas yang terbentuk mulai dari foramen
magnum hingga kebagian bawah C2. Mayoritas pasien yang selamat dengan
cedera pada bagian ini tidak mengalami gangguan neurologis.

Medulla Spinalis
Medula Spinalis adalah bagian dari sistem saraf yang membentuk sistem
kontinu dengan batang otak yang keluar dari hemisfer serebral dan
memberikantugas sebagai penghubung otak dan saraf perifer, seperti pada kulit
dan otot. Panjangnya rata-rata 45 cm dan menipis pada jari-jari. Medula spinalis
inimemanjang dari foramen magnum di dasar tengkorak sampai bagian
lumbarkedua tulang belakang, yang berakhir di dalam berkas serabut yang disebut
konusmedullaris. Seterusnya di bawah lumbar kedua adalah akar saraf,
yangmemanjang melebihi konus, dan disebut kauda equina dimana akar saraf
inimenyerupai akar kuda. Saraf-saraf medula spinalis tersusun atas 33 segmen
yaitu7 segmen servikal, 12 torakal, 5 lumbal, 5 sakral, dan 5 segmen koksigius.
Medulas pinalis mempunyai 31 pasang saraf spinal, masing-masing segmen
mempunyaisatu untuk setiap sisi tubuh. Seperti otak, medula spinalis terdiri atas
substansigrisea dan alba. Substansi grisea di dalam otak ada di daerah eksternal
dansubstansi alba ada pada bagian internal. Vertebralis dikelompokkan sebagai
berikut :
a. Vetebrata Thoracalis (atlas).
Vetebrata Thoracalis mempunyai ciri yaitu tidak memiliki corpus tetapihanya
berupa cincin tulang. Vertebrata cervikalis kedua (axis) ini memiliki dens,yang
mirip dengan pasak. Veterbrata cervitalis ketujuh disebut prominan karena
mempunyai prosesus spinasus paling panjang.
b. Vertebrata Thoracalis.
Ukurannya semakin besar mulai dari atas kebawah. Corpus berbentuk jantung,
berjumlah 12 buah yang membentuk bagian belakang thorax.
c. Vertebrata Lumbalis.
3

Corpus setiap vertebra lumbalis bersifat masif dan berbentuk


ginjal, berjumlah 5 buah yang membentuk daerah pinggang, memiliki corpus
vertebra yang besar ukurannya sehingga pergerakannya lebih luas kearah fleksi.
d. Os. Sacrum.
Terdiri dari 5 sacrum yang membentuk sakrum atau tulang kengkang dimana ke 5
vertebral ini rudimenter yang bergabung yang membentuk tulang bayi.
e. Os. Coccygis.
Terdiri dari 4 tulang yang juga disebut ekor pada manusia, mengalami rudimenter.
Medulla spinalis merupakan massa jaringan saraf yang berbentuk silindris
memanjang dan menempati ⅔ atas canalis vertebra yaitu dari batas superior atas
(C1) sampai batas atas vertebra lumbalis kedua (L2), kemudian medulla spinalis
akan berlanjut menjadi medulla oblongata. Pada waktu bayi lahir, panjang
medulla spinalis setinggi ± Lumbal ketiga (L3). Medulla spinalis dibungkus oleh
duramater, arachnoid, dan piamater. Fungsi sumsum tulang belakang adalah
mengadakan komunikasi antara otak dan semua bagian tubuh dan bergerak
refleks. Medulla spinalis berawal dari ujung bawah medulla oblongata di foramen
magnum. Pada dewasa biasanya berakhir disekitar tulang L1 berakhir menjadi
konus medularis. Selanjutnya akan berlanjut menjadi kauda equine yang lebih
tahan terhadap cedera. Dari berbagai traktus di medulla spinalis, ada 3 traktus
yang telah dipelajari secara klinis, yaitu traktus kortikospinalis, traktus
sphinotalamikus, dan kolumna posterior. Setiap pasang traktus dapat cedera pada
satu sisi atau kedua sisinya. Traktus kortikospinalis, yang terletak dibagian
posterolateral medulla spinalis, mengatur kekuatan motorik tubuh ipsilateral dan
diperiksa dengan melihat kontraksi otot volunter atau melihat respon involunter
dengan rangsangan nyeri. Traktus spinotalamikus, yang terletak di anterolateral
medula spinalis, membawa sensasi nyeri dan suhu dari sisi kontralateral tubuh.
Diameter bilateral medulla spinalis bila selalu lebih panjang dibandingkan
diameter ventrodorsal. Hal ini terutama terdapat pada segmen medulla spinalis
yang melayani ekstremitas atas dan bawah. Pelebaran ke arah bilateral ini disebut
intumesens, yang terdapat pada segmen C4-T1 dan segmen L2-S3 (intumesens
lumbosakral). Pada permukaan medulla spinalis dapat dijumpai fisura mediana
4

ventalis, dan empat buah sulkus, yaitu sulkus medianus dorsalis, sulkus
dorsolateralis, sulkus intermediodorsalis dan sulkus ventrolateralis. Pada
penampang transversal medulla spinalis, dapat dijumpai bagian sentral yang
berwarna lebih gelap (abu-abu) yang dikenal dengan istilah gray matter. Gray
matter adalah suatu area yang berbentuk seperti kupu-kupu atau huruf H. Area ini
mengandung badan sel neuron beserta percabangan dendritnya. Di area ini
terdapat banyak serat-serat saraf yang tidak berselubung myelin serta banyak
mengandung kapiler-kapiler darah. Hal inilah yang mengakibatkan area ini
berwarna menjadi lebih gelap. Gray matter dapat dibagi kedalam 10 lamina atau 4
bagian, yaitu :
1. kornu anterior/dorsalis, yang mengandung serat saraf motorik, terdiri atas
lamina VIII, IX, dan bagian dari lamina VII.
2. Kornu posterior/ventralis, yang membawa serat serat saraf sensorik, terdiri atas
lamina I-IV.
3. Kornu intermedium yang membawa serat-serat asosiasi terdiri atas lamina VII.
4. Kornu lateral, merupakan bagian dari kornu intermedium yang terdapat pada
segmen torakal dan lumbal yangmembawa serat saraf simpati

Gambar 2. Jenis saraf pada Tulang Belakang

Setiap segmen medulla spinalis memiliki empat radix, sebuah radix


ventralis dan sebuah radix posterior pada sisi kiri dan sepasang di sisi kanan.
Radix saraf ini keluar dari kolumna vertebralis melalui foramina intervetebralis.
5

Pada spina servikalis, radix keluar melewati bagian atas kolumna vertebralis,
sedangkan pada segmen bawah T1 radix keluar melewati bagian bawah korpus
vertebralis. Radix ventralis berfungsi sebagai traktus motoris yang keluar dari
medula spinalis, sedangkan radix posterior bersifat sensoris terhadap struktur
superfisial dan profunda tubuh. Perjalanan serabut saraf dalam medulla spinalis
terbagi menjadi dua jalur, jalur desenden dan asenden. Jalur desenden terdiri dari:
a. Traktus kortikospinalis lateralis,
b. Traktus kortikospinalis anterior,
c. Traktus vestibulospinalis,
d. Traktus rubrospinalis,
e. Traktus retikulospinalis,
f. Traktus tektospinalis,
g. Fasikulus longitudinalis medianus.

Jalur Asenden terdiri dari :


a. Sistem kolumna vertebralis,
b. Traktus spinothalamikus,
c. Traktus spinocerebellaris dorsalis,
d. Traktus spinocerebellaris ventralis,
e. Traktus spinoretikularis.
Jalur desenden sebagian besar berfungsi untuk mengatur gerakan motorik,
baik yang disadari maupun mengatur derajat refleks. Jalur asenden lebih
merupakan pembawa informasi pada otak seperti rasa nyeri, suhu, getaran, raba,
dan posisi tubuh.

Gambar 3. Traktus Medula Spinalis

Vaskularisasi Medulla Spinalis


Medulla spinalis diperdarahi oleh susunan arteri yang memiliki hubungan
yang erat. Arteri-arteri spinal terdiri dari arteri spinalis anterior dan posterior serta
arteri radikularis. Arteri spinalis anterior dibentuk oleh cabang kanan dan dari
segmen intrakranial kedua arteri vertebralis sebelum membentuk menjadi arteri
6

basilaris. Di peralihan antara medulla oblongata dan medulla spinalis, kedua


cabang tersebut menjadi satu dan meneruskan perjalanan sebagai arteri spinalis
anterior. Sebagai arteri yang tunggal, arteri tersebut berjalan di sulkus anterior
sampai bagian servikal atas saja. Arteri spinalis posterior kanan dan kiri juga
berasal dari kedua arteri vertebralis juga, tetapi pada tempat yang terletak agak
kaudal dan dorsal daripada tempat arteri spinalis berpangkal. Kedua arteri spinalis
posterior bercabang dua. Yang satu melewati lateral medial, dan yang lain
disamping lateral dari radiks dorsalis. Arteri radikularis dibedakan menjadi arteri
radikularis posterior dan anterior. Kedua arteri tersebut merupakan cabang dorsal
dan ventral dari arteria radkularis yang dikenal juga dengan ramus
vertebromedularis arteri interkostalis. Jumlah pada orang dewasa berbeda-beda.
Arteri radikularis posterior berjumlah lebih banyak, yaitu antara 15 sampai 22,
dan paling sedikit 12. Ke atas pembuluh darah tersebut ber anastomose dengan
arteria spinalis posterior dan ke kaudal sepanjang medulla spinalis mereka
menyusun sistem anastomosis arterial posterior. Sistem anastomosis anterior
adalah cabang terminal arteria radikularis anterior. Cabang terminal tersebut
berjumlah dua, satu menuju rostral dan yang lain menuju ke kaudal dan kedua
nya berjalan di garis terngah permukaan ventral medulla spinalis. Dibawah
tingkat servikal kedua cabang terminal tiap arteri radikularis anterior
beranastomose satu dengan yang lain. Anastomose ini merupakan daerah dengan
vaskularisasi yang rawan.

Gambar 4. Vaskularisasi Medulla Spinalis Servikalis

B. Definisi Spinal Cord Injury


Spinal Cord Injury (SCI) didefinisikan sebagai lesi traumatik akut elemen
saraf dari kanal tulang belakang, termasuk sumsum tulang belakang dan cauda
7

equina, yang menghasilkan defisit sensorik, motorik, atau disfungsi kandung


kemih sementara atau permanen (Alaa O. Oteir, Karen Smith, Johannes
Stoelwinder, James W. Middleton, Shelley Cox, 2017). Spinal cord injury
merupakan cedera pada sumsum tulang belakang dari foramen magnum ke cauda
equine yang terjadi akibat trauma (Nas dkk., 2015).
Spinal Cord Injury (SCI) adalah kerusakan atau trauma pada sumsum tulang
belakang yang mengakibatkan kerugian atau gangguan fungsi menyebabkan
mobilitas dikurangi atau perasaan. Penyebab umum dari kerusakan adalah trauma
(kecelakaan mobil, tembak, jatuh, cedera olahraga, dll) atau penyakit (myelitis
melintang, Polio, spina bifida, Ataksia Friedreich, dll). Sumsum tulang belakang
tidak harus dipotong agar hilangnya fungsi terjadi. Pada kebanyakan orang
dengan SCI, sumsum tulang belakang masih utuh, tetapi kerusakan selular untuk
itu mengakibatkan hilangnya fungsi. SCI sangat berbeda dari cedera punggung
seperti disk pecah, stenosis tulang belakang atau saraf terjepit (Klebine, 2015).
Spinal Cord Injury (SCI) adalah cidera yang terjadi karena trauma spinal
cord atau tekanan pada spinal cord karena kecelakaan. Spinal Cord Injury (SCI)
adalah cidera yang terjadi karena trauma spinal cord atau tekanan pada spinal
cord karena kecelakaan. Cidera medulla spinalis adalah suatu kerusakan fungsi
neurologis yang disebabkan oleh benturan pada daerah medulla spinalis (Brunner
& Suddarth, 2001).

C. Epidemiologi
Setiap tahun, sekitar 40 juta orang di seluruh dunia menderita SCI.
Sebagian besar dari mereka adalah laki-laki muda, biasanya berusia 20-35 tahun,
meskipun 1% dari populasi ini adalah anak-anak. Pada anak-anak, kecelakaan
kendaraan bermotor adalah mekanisme cedera yang paling umum dan cedera
yang berhubungan dengan olahraga bertanggung jawab atas jumlah terbesar
cedera tulang belakang. Sepak bola menyebabkan jumlah cedera terbesar di
antara semua jenis olahraga. Sekitar 60%-80% dari cedera tulang belakang pada
anak-anak terjadi di daerah serviks. Sisanya 20%-40% terbagi rata antara daerah
toraks dan lumbar. Anak laki-laki lebih mungkin mengalami trauma tulang
belakang daripada anak perempuan (Nas dkk., 2015).
8

Perbandingan rasio angka kejadian pada pria dan wanita yaitu 4: 1 dan
sebagian besar cedera terjadi antara usia 16 dan 30 tahun. Cedera tulang belakang
biasanya terjadi di segmen spinal yang paling sering bergerak, yaitu: tulang
belakang leher, dan tulang belakang torakolumbalis. Tulang belakang leher 25%
dari semua cedera yang terjadi di tulang belakang leher bagian atas (Oc-C2),
sementara 75% terjadi di daerah subaksial (C3-C7). Beberapa cedera tulang
belakang diperkirakan terjadi pada 4%-20% dari semua kasus. Pada tulang
belakang torakolumbalis, distribusi anatomis cedera yang paling sering terjadi di
sekitar persimpangan torakolumbalis dengan L1 terhitung 16% dari semua
cedera. Sekitar 5%-20% pasien dengan cedera tulang belakang torakolumbalis
memiliki fraktur yang tidak berdekatan (Malhotra dkk., 2010).
Menurut (Furlan dkk., 2018), SCI yang paling banyak terjadi pada level
serviks dengan presentase 25-88%, kemudian diikuti oleh level thorak dengan
presentase sebanyak 24-63%. Pada proporsi cedera lengkap memiliki presentase
18,2-90% hal ini menunjukkan presentase lebih besar dibandingkan proporsi
cedera tidak lengkap yaitu sebesar 10-81,8%.
Data epidemiologis cedera tulang belakang (SCI) di Indonesia pada tahun
2014 tercatat 104 kasus SCI didaftarkan di Rumah Sakit Umum Fatmawati
dimana 37 mengalami trauma dan 67 memiliki SCI non-trauma. Etiologi paling
umum dari SCI traumatis adalah kecelakaan mobil dan jatuh dari ketinggian,
sedangkan penyebab utama SCI nontraumatic adalah infeksi dan neoplasma
(Tulaar dkk., 2017).

D. Etiologi
Cedera medulla spinalis menurut (Evans dkk., 2003) dapat dibagi menjadi
dua jenis:
1. Cedera medulla spinalis traumatic, terjadi karena benturan fisik eksternal
seperti yang diakibatkan oleh kecelakaan bermotor, jatuh atau kekerasan,
merusaka medulla spinalis. Sebagai lesi traumatic pada medulla spinalis dengan
beragam deficit motorik dan sensorik atau paralisis. Sesuai dengan American
board of physical medicine and rehabilitation examination outline for spinal cord
injury medicine, cedera medulla spinalis traumatic mencakup fraktur, dislokasi
dan kontusio dari kolum vertebra.
9

2. Cedera medulla spinalis non traumatic, terjadi kondisi kesehatan seperti


penyakit, infeksi atau tumor mengakibatkan kerusakan pada medulla spinalis atau
kerusakan yang terjadi pada medulla spinalis yag bukan disebabkan oleh gaya
fisik eksternal. Faktor penyebab dari cidera medulla spinalis mencakup penyakit
motor neuron, myelopati spondilotik, penyakit infeksium dan inflamatori,
penyakit neoplastik, penyakit vaskuler, kondisi toksik dan metabolic dan
gangguan congenital dan perkembangan.
Penyebab dari cedera medulla spinalis menurut Batticaca (2008), antara lain:
 Kecelakaan di jalan raya (paling sering terjadi)
 Cedera olahraga
 Menyelam pada air yang dangkal
 Luka tembak atau luka tikam
 Gangguan lain yang dapat menyebabkan cedera medulla spinalis
seperti dalam kasus kanker, infeksi, penyakit cakram
intervertebralis, cedera tulang belakang, penyakit sumsum tulang
belakang vascular, tumor dan multiple sclerosis.

E. Klasifikasi
Klasifikasi SCI bedasarkan penyebabnya terbagi menjadi dua yaitu
traumatik dan non traumatik.Traumatik, yakni SCI yang diakibatkan karena jatuh,
kecelakaan lalu lintas, cedera akibat kerja dan olahraga, serta kekerasan.
Sedangkan Non Traumatik akibat penyakit menular, tumor, penyakit
muskuloskeletal seperti osteoartritis, dan masalah bawaan seperti spina bifda
(cacat tabung saraf yang timbul selama selama perkembangan embrio)
(Bickenbach dkk., 2013). Berdasarkan area cedera, terdapat dua istilah yang
sering ditemui yaitu:
a. Tetraplegia (lebih disukai “quadriplegia”)
Istilah ini mengacu pada gangguan atau kehilangan fungsi motorik dan/atau
sensorik di segmen serviks sumsum tulang belakang karena kerusakan elemen
saraf dalam saluran tulang belakang. Tetraplegia menyebabkan gangguan fungsi
pada lengan dan juga tipikal pada trunkus, tungkai dan organ pelvis, yaitu
10

termasuk empat ekstremitas. Jenis SCI ini tidak termasuk lesi pleksus brakialis
atau cedera pada saraf perifer di luar kanal saraf.
b. Paraplegia
Istilah ini mengacu pada gangguan atau kehilangan fungsi motorik dan/atau
sensorik pada segmen toraks, lumbar atau sakral (tetapi bukan serviks) dari
medula spinalis, sekunder akibat kerusakan elemen saraf dalam kanalis spinalis.
Pada paraplegia, fungsi lengan terhindar tetapi batang, kaki, dan organ panggul
mungkin terlibat tergantung pada tingkat cedera. Istilah ini digunakan untuk
merujuk cedera cauda equina dan conus medullaris, tetapi tidak untuk lesi
pleksus lumbosakral atau cedera saraf perifer di luar kanal saraf.
Sedangkan klasifikasi berdasarkan fungsiolesa, American Spinal Injury
Association (ASIA) mengelompokkan SCI menjadi lima bagian, antara lain (Nas
dkk., 2015):
ASIA-A Lengkap, tidak ada fungsi sensorik atau motorik yang dipertahankan pada
segmen sakral S4-S5
ASIA-B Sensorik tidak lengkap. Defisit motorik tanpa kehilangan sensorik di bawah
level neurologis, termasuk segmen sakral S4-S5 (sentuhan ringan, sensasi pin
atau tekanan anal yang dalam pada S4-S5), dan tidak ada fungsi motorik yang
dilindungi dari tiga level di bawah level motorik di setiap setengah dari tubuh
ASIA-C Motorik tidak lengkap. Fungsi motorik dipertahankan di bawah level neurologis
dan lebih dari setengah otot di bawah level ini memiliki kekuatan lebih rendah
dari 3/5 (0, 1 atau 2)
ASIA-D Motorik tidak lengkap. Fungsi motorik dipertahankan di bawah level neurologis
dan setidaknya setengah dari otot (setengah atau lebih) di bawah level ini
memiliki kekuatan lebih tinggi dari 3/5.
ASIA-E Normal. Fungsi sensorik dan motorik yang dinilai oleh ISNCSC di semua
segmen adalah normal dan pada pasien dengan defisiensi yang sudah ada ada
derajat "E" ASIA. Awalnya satu tanpa cedera medulla spinalis tidak memiliki
derajat ASIA
11

Gambar 5. Jenis-jenis SCI

Cedera umum medulla spinalis dapat dibagi menjadi 2 yaitu komplit dan
tidak komplit berdasarkan ada/tidaknya fungsi yang dipertahankan dibawah lesi.
Terdapat 5 sindrom utama cedera medulla spinalis inkomplit menurut American
spinal cord injury association yaitu
1. Central cord syndrome
Central Cord Syndrome (CCS) biasanya terjadi setelah cedera hiperekstensi.
Sering terjadi pada individu di usia pertengahan dengan spondilosis cervicalis.
Predileksi lesi yang paling sering adalah medula spinalis segmen servikal,
terutama pada vertebra C4-C6. Sebagian kasus tidak ditandai oleh adanya
kerusakan tulang. Mekanisme terjadinya cedera adalah akibat penjepitan
medula spinalis oleh ligamentum flavum di posterior dan kompresi osteofit atau
material diskus dari anterior. Bagian medula spinalis yang paling rentan adalah
bagian dengan vaskularisasi yang paling banyak yaitu bagian sentral. Pada
Central Cord Syndrome, bagian yang paling menderita gaya trauma dapat
mengalami nekrosis traumatika yang permanen. Edema yang ditimbulkan dapat
meluas sampai 1-2 segmen di bawah dan di atas titik pusat cedera. Sebagian besar
kasus Central Cord Syndrome menunjukkan hipo/isointens pada T1 dan
hiperintens pada T2, yang mengindikasikan adanya edema. Gambaran khas
Central Cord Syndrome adalah kelemahan yang lebih prominen pada ekstremitas
12

atas dibanding ektremitas bawah. Pemulihan fungsi ekstremitas bawah biasanya


lebih cepat, sementara pada ekstremitas atas (terutama tangan dan jari) sangat
sering dijumpai disabilitas neurologik permanent. Hal ini terutama disebabkan
karena pusat cedera paling sering adalah setinggi VC4-VC5 dengan kerusakan
paling hebat di medula spinalis C6 dengan ciri LMN.
2. Anterior cord syndrome
Pola dari lesi saraf pada kerusakan anterior dari daerah putih dan abu-abu
medulla spinalis. Fungsi yang mengalami kerusakan pada fungsi motorik dan
sensorik secara komplit.

3. Brown sequard syndrome


Pola dari lesi saraf pada anterior dan posterior hemisection dari medulla
spinalis atau cedera akan menghasilkan medulla spinalis unilateral. Fungsi yang
akan mengalami kerusakan pada ipsilateral proprioseptiv dan kehilangan fungsi
motorik.
4. Cauda equine syndrome
Pola dari lesi saraf kerusakan pada saraf lumbal atau sacral sampai ujung
medulla spinalis. Fungsi yang akan mengalami kerusakan pada ekstremitas bawah
dan kontrol berkemih dan defekasi.
5. Conas medullaris syndrome
Sedangkan secara lebih spesifik lagi, Holdsworth membuat klasifikasi
Spinal Cord Injury (SCI) sebagai berikut :
a. Cedera Fleksi.
Cedera fleksi menyebabkan beban regangan pada ligamentum posterior, dan
selanjutnya dapat menimbulkan kompresi pada bagian anterior korpus vertebra
dan mengakibatkan wedge fracture (teardrop fracture). Cedera semacam ini
dikategorikan sebagai cedera yang stabil.

b. Cedera Fleksi-Rotasi.
Beban fleksi-rotasi akan menimbulkan cedera pada ligamentum posterior
dan kadang juga terdapat pada prosesus artikularis, selanjutnya akan
mengakibatkan terjadinya dislokasi raktur rotasional yang dihubungkan dengan
13

slice fracture korpus vertebra. Cedera ini merupakan cedera yang paling tidak
stabil.
c. Cedera Ekstensi.
Cedera ekstensi biasanya merusak ligamentum longitudinalis anterior dan
menimbulkan herniasi diskus. Biasanya terjadi pada daerah leher. Selama kolum
vertebra dalam posisi fleksi, maka cedera ini masih tergolong stabil. Cedera
kompresi vertical mengakibatkan pembebanan pada korpus vertebra dan dapat
menimbulkan burst fracture. Cedera robek langsung (direct shearing) biasanya
terjadi di daerah torakal dan disebabkan oleh pukulan langsung pada
punggung, sehingga salah satu vertebra bergeser, fraktur prosesus
artikularis serta rupture ligamen. Berdasarkan sifat kondisi fraktur yang terjadi,
Kelly dan Whitesides mengkategorikan cedera spinal menjadi cedera stabil dan
cedera non-stabil. Cedera stabil mencakup cedera kompresi korpus vertebra baik
anterior atau lateral dan burst fracture derajat ringan. Sedangkan cedera yang
tidak stabil mencakup cedera fleksi-dislokasi, fleksi-rotasi, dislokasi-fraktur (slice
injury), dan burst fracture hebat.
d. Cedera Stabil Fleksi.
Cedera fleksi akibat fraktura kompresi baji dari vertebra torakolumbal
umum ditemukan dan stabil. Kerusakan neurologik tidak lazim ditemukan.
Cedera ini menimbulkan rasa sakit, dan penatalaksanaannya terdiri atas
perawatan di rumah sakit selama beberapa hari istirahat total di tempat tidur
dan observasi terhadap paralitik ileus sekunder terhadap keterlibatan
ganglia simpatik. Jika baji lebih besar daripada 50 persen, brace atau gips dalam
ekstensi dianjurkan. Jika tidak, analgetik, korset, dan ambulasi dini
diperlukan. Ketidaknyamanan yang berkepanjangan tidak lazim ditemukan.

e. Fleksi ke Lateral dan Ekstensi.


Cedera ini jarang ditemukan pada daerah torakolumbal. Cedera ini stabil,
dan deficit neurologik jarang. Terapi untuk kenyamanan pasien dapat diberikan
berupa analgetik dan korset.
14

f. Kompresi Vertikal.
Tenaga aksial mengakibatkan kompresi aksial yang terdiri dari 2 jenis : (1)
protrusi diskuske dalam lempeng akhir vertebral, (2) fraktura ledakan. Yang
pertama terjadi pada pasien muda dengan protrusi nukleus melalui lempeng akhir
vertebra kedalam tulang berpori yang lunak. Ini merupakan fraktura yang stabil,
dan defisit neurologik tidak terjadi. Terapi yang dapat diberikan berupa analgetik,
istirahat ditempat tidur selama beberapa hari, dan korset untuk beberapa minggu.
Meskipun fraktura ”ledakan” agak stabil, keterlibatan neurologik dapat
terjadikarena masuknya fragmen ke dalam kanalis spinalis. CT-Scan memberikan
informasi radiologik yang lebih pada cedera. Jika tidak ada keterlibatan
neurologik, pasien ditangani dengan istirahat di tempat tidur sampai gejala-gejala
akut menghilang. Direkomendasikan juga untuk menggunakan brace atau jaket
gips untuk menyokong vertebra yang dapat digunakan selama 3 atau 4 bulan. Jika
ada keterlibatan neurologik, fragmen harus dipindahkan dari kanalis neuralis.
Pendekatan bisa dari anterior, lateral atau posterior. Stabilisasi dengan batang
kawat, plat atau graft tulang penting untuk mencegah ketidakstabilan setelah
dekompresi.
g. Cedera Tidak Stabil Rotasi-Fleksi.
Kombinasi dari fleksi dan rotasi dapat mengakibatkan fraktura dislokasi
dengan vertebra yang sangat tidak stabil. Karena cedera ini sangat tidak stabil,
pasien harus ditangani dengan hati-hati untuk melindungi medula spinalis dan
radiks. Fraktura dislokasi ini paling sering terjadi pada daerah transisional T10
sampai L1 dan berhubungan dengan insiden yang tinggi dari gangguan
neurologik. Setelah radiografik yang akurat didapatkan (terutama CT-
Scan), dekompresi dengan memindahkan unsur yang tergeser dan
stabilisasi spinal menggunakan berbagai alat metalik diindikasikan.

h. Fraktura “Potong”.
Vertebra dapat tergeser ke arah anteroposterior atau lateral akibat trauma
parah. Pedikel atau prosesus artikularis biasanya patah. Jika cedera terjadi pada
daerah toraks, mengakibatkan paraplegia lengkap. Meskipun fraktura ini sangat
15

tidak stabil pada daerah lumbal, jarang terjadi gangguan neurologi karena ruang
bebas yang luas pada kanalis neuralis lumbalis. Fraktura ini ditangani seperti pada
cedera fleksi-rotasi.
i. Cedera Fleksi-Rotasi.
Change fracture terjadi akibat tenaga distraksi seperti pada cedera sabuk
pengaman. Terjadi pemisahan horizontal, dan fraktura biasanya tidak
stabil. Stabilisasi bedah direkomendasikan.

F. Patofisiologi
Banyak sel dimedula spinalis mati seketika secara progresif setelah
terjadinya cidera. Setelah mengalami luka tusuk, sel dari sistem saraf perifer
seringkali menyebabkan daerah yang terkena tusuk membentuk jaringan parut
yang bergabung bersama astrosit, sel progenitor dan microglia. Akson asending
dan desending banyak yang terganggu dan gagal memperbaiki diri. Beberapa
kason membentuk sirkuit baru, akson dapat menembus kedalam trabekula dan
dibentuk oleh sel ependim. Segmen akson bermielin yang terputus difagosit oleh
makrofag. Sebagian remielinasi muncul spontan yang terbanyak dari sel schwan
(Evans dkk., 2003).
Pada umunya, cedera medulla spinalis disertai kompresi dan angulasi
bertebra parah, missal terjadinya hipotensi yang parah akibat infark dari medulla
atau distraksi aksial dari unsure kolumna vertebralis akan mengakibatkan tarikan
pada medulla. Biasanya cedera medulla spinalis disertai subluksasi dengan atau
tanpa rotasi dari vertebrata yang menekan medulla diantara tulang yang dislokasi.
Kompresi aksial tulang belakang jarang menyebabkan kerusakan atau pendesakan
pada vertebra, dan tulang lain atau fragmen diskus intervertebralis dapat menekan
ke dalam kanalis spinalis dan menjepit medulla dan arteri spinalis. Cedera
seringkali terjadi pada orang tua dengan arthritis degenerative dan stenosis
bertebra servikalis, termasuk hiperekstensi leher disertai ligamentum flavum yang
terletak dikanalis vertebra posterior dari medulla. Medulla spinalis terjepit
diantara spurs anterior dari tulang yang mengalami arthritis dan posterior dari
igamentum flavum, sehingga menyebabkan cedera yang dikenal dengan sebutan
sindroma medulla sentral (Manley dkk., 2006).
16

Patofisiologi terjadinya cedera medulla spinalis meliputi mekanisme cidera


primer dan sekunder. Terdapat empat mekanisme cedera primer pada medulla
spinalis. Pertama adalah dampak cedera disertai kompresi persisten, pada
umumnya terjadi akibat fragmen tulang yang menyebabkan kompresi pada spinal,
fraktur dislokasi dan rupture diskus akut. Kedua, dampak cedera disertai
kompresi sementara, dapat terjadi misalnya pada seseorang dengan penyakit
degenerative tulang cervical yang mengalami cidera hiperekstensi. Ketiga adalah
distraksi, terjadi jika kolumna spinalis teregang berlebihan pada bidang aksial
akibat distraksi yang dihasilkan dari gerakan fleksi, ekstensi, rotasi atau adanya
dislokasi yag menyebabkan pergeseran atau peregangan dari medulla spinalis dan
atau asupan darahnya (Klebine, 2015).
Cedera primer yang terjadi cenderung merusak pusat substansia grisea dan
sebagian mengenai substansi alba. Hal tersebut terjadi karena konsistensi
substansia grisea lebih lunak dan banyak vaskularisasi. Pada cedera primer, tahap
awal akan terjadi perdarahan pada medulla spinalis dilanjutkan dengan
tergangguanya aliran darah medulla spinalis yang menyebabkan hipoksia dan
iskemia sehingga terjadi infark local. Hal ini menyebabkan substansia grisea
rusak. Kerusakan terutama pada gray matter karena kebutuhan metaboliknya yang
tinggi. Saraf yang mengalami trauma secara fisik terganggu dan ketebalan
myelinnya berkurang. Perdarahan mikro atau edema disekitar saraf yang
mengalami cidera dapat menyebabkan saraf tersebut semakin terganggu. Hal
tersebut yang mendasari pemikiran bahwa substansia grisea mengalami kerusakan
yang ireversibel selama satu jam pertama. Sedangkan substansia alba mengalami
kerusakan selama 72 jam setelah cedera (Manley dkk., 2006).
Segera setelah terjadi cidera medulla spinalis, fungsi disertai perubahan
patologis akan hilang secara sementara. Pada permulaan terjadinya cedera
memicu timbulnya kaskade yang terdiri dari akumulasi produksi asam amino,
neurotransmitter, eikosanoid vasoaktif, radikal bebasoksigen dan produk dari
peroksidasi lipid. Selama berlangsungnya perdarahan pada medulla, maka suplai
darah menjadi terbatas, sehingga menyebabkan iskemia yang mengakibatkan
kerusakan medulla lebih lanjut sehingga timbul cedera sekunder. Cedera sekunder
meliputi syok neurogenik, gangguan vascular seperti perdarahan dan reperfusi
17

iskemia, eksitotoksisitas, cedera primer yang dimediasi kalsium dan gangguan


cairan elektrolit, trauma imunologik, apoptosis, gangguan fungsi mitokondria dan
proses lainnya.

G. Manifestasi Klinis
Gejala lesi medula spinalis bergantung pada luasnya cedera atau penyebab
non-traumatis, tetapi dapat meliputi hilangnya sensorik atau kontrol motorik pada
tungkai bawah, batang dan tungkai atas, serta hilangnya regulasi otonom tubuh.
Hal ini dapat mempengaruhi pernapasan, detak jantung, tekanan darah, kontrol
suhu, kontrol usus dan kandung kemih, serta fungsi seksual. Secara umum,
semakin tinggi lesi pada medula spinalis, semakin luas kisaran gangguannya.
Seseorang dengan C4 atau lesi yang lebih tinggi mungkin memerlukan ventilator
untuk bernafas karena lesi secara langsung mengganggu kontrol otonom. Lumbar
SCI biasanya menyebabkan kehilangan sensorik dan motorik di pinggul dan kaki.
Semua bentuk SCI juga dapat menyebabkan nyeri kronis (P.M.. Klebine, 2015).
Cedera medulla spinalis akibat luka tembus, penekanan maupun iskemik
dapat menyebabkan berbagai bentuk karakteristik cedera berdasarkan anatomi
dari terjadinya cidera. Deficit neurologis yang timbul (fungsi yang hilang atau
tersisa) dapat digambarkan dari pola kerusakan medulla dan radiks dorsalis
demikian juga sebaliknya antara lain:
1. Lesi Komplit yaitu terjadinya cedera medulla yang luas akibat anatomi dan
fungsi transeksi medulla disertai kehilangan fungsi motorik dan sensorik dibawah
lesi. Mekanisme khasnya adalah trauma vertebra subluksasi yang parah
mereduksi diameter kanalis spinalis dan menghancurkan medulla.
Konsekuensinya bisa terjadi paraplegia, rusaknya fungsi otonomik seperti bowel,
bladder dan sensorik.
2. Lesi inkomplit
a. Sindroma medulla anterior, menyebabkan paralisis motorik dan kehilangan
persepsi nyeri
b. Brown squard’s syndrome, yang menyebabkan kelemahan dan kehilangan
fungsi motorik, perasaan propioseptif ipsilateral serta nyeri.
c. Sindrom medulla sentral, menyebabkan kelemahan ektremitas atas yang lebih
parah daripada ektremitas bawah
18

d. Sindrom konus medularis, menyebabkan kerusakan pada ujung medulla


spinalis rusak yang menjalar ke kortikospinal dan radiks dorsalis lumbosakral
disertai disfungsia Upper Motor Neuron dan Lower Motor Neuron
e. Sindrom kauda ekuina, menyebabkan disfungsia bowel dan bladder, parastesia,
dan paralisis.
Berikut ini adalah manifestasi berdasarkan lokasi trauma:
 Antara C1 sampai C5 Respiratori paralisis dan kuadriplegi, biasanya
pasien meninggal.
 Antara C5 dan C6 Paralisis kaki, tangan, pergelangan; abduksi bahu dan
fleksi siku yang lemah; kehilangan refleks brachioradialis.
 Antara C6 dan C7 Paralisis kaki, pergelangan, dan tangan, tapi pergerakan
bahu dan fleksi siku masih bisa dilakukan; kehilangan refleks bisep.
 Antara C7 dan C8 Paralisis kaki dan tangan.
 C8 sampai T1 Horner's syndrome (ptosis, miotic pupils, facial anhidrosis),
paralisis kaki.
 Antara T11 dan T12 Paralisis otot-otot kaki di atas dan bawah lutut.
 T12 sampai L1 Paralisis di bawah lutut.
 Cauda equine Hiporeflex atau paresis extremitas bawah, biasanya nyeri
dan usually pain and hyperesthesia, kehilangan control bowel dan bladder.
 S3 sampai S5 atau conus medullaris pada L1 Kehilangan kontrol bowel
dan bladder secara total. Bila terjadi trauma spinal total atau complete
cord injury, manifestasi yang mungkin muncul antara lain total paralysis,
hilangnya semua sensasi dan aktivitas refleks.

H. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan yaitu:
a. Sinar X spinal: menentukan lokasi dan jenis cedera tulang;
b. CT scan: untuk menentukan tempat luka/jejas;
c. MRI: untuk mengidentifikasi kerusakan syarat spinal;
d. Foto rongent thorak: mengetahui keadaan paru;
e. AGD: menunjukkan kefektifan pertukaran gas dan upaya ventilasi.

I. Komplikasi
Berikut ini merupakan komplikasi yang sering terjadi pada pasien dengan spinal
cord injury:
1. Ulkus dekubitus. Kondisi ini terjadi karena adanya tekanan umumnya pada
daerah pinggul (ischial tuberositas dan tronchanter pada femur). Pada cedera
19

medulla spinalis tidak hanya terjadi perubahan dari tonus otot dan sensasi saja,
akan tetapi juga karena peredaran darah ke kulit dan jaringan subkutan berkurang.
2. Osteoporosis dan fraktur. Mayoritas pada pasien dengan cedera medulla
spinalis akan mengalami komplikasi osteoporosis, pada orang normal, tulang
akan tetap sehat dan kokoh karena aktifitas tulang dan otot yang menumpu.
Ketika aktivitas otot berkurang atau hilang dan tungkai tidak melakukan aktifitas
menumpu berat badan, maka mulai terjadi penururnan kalsium, phosphor
sehingga kepadatan tulang berkurang.
3. Pneumonia, atelaktasis, aspirasi: pasien dengan cedera medulla spinalis di
bawah Th4, aan beresiko tinggi untuk berkembangnya restriksi fungsi paru.
4. Autonomic dysreflexia yaitu dapat terjadi pada pasien dengan lesi di atas level
T6 atau T7, diduga karena terputusnya otonom yang mengontrol tekanan darah
dan fungsi jantungyang dapat menyebabkan hipertensi;
5. Deep Vein Thrombosis (DVT) atau emboli paru dan Cardiovascular
diseaseakibat terganggunya sirkulasi darah
6. Syringomyela merupakan pembesaran canalis centralis dari medulla spinalis
pasca trauma, terjadi pada 1- 3% pasien SCI;
7. Neuropatic/Spinal Cord Pain yaitu kerusakan dari tulang vertebra, medulla
spinalis, saraf tepi, dan jaringan di sekitarnya. Bisa berupa nyeri pada akar saraf
yang tajam seperti teriris dan menjalar sepanjang perjalanan saraf tepi, bahkan
terjadi phantom limb pain.
8. Cardiovascular disease: komplikasi dari sistem kardiorespirasi merupakan
resiko jangka panjang pada medulla spinalis.
9. Komplikasi sistem respirasi: bila lesi berada diatas C4 akan menimbulkan
paralisis otot inspirasi.
10. Perubahan tonus otot: paralisis akibat dari otot yang dipersyarafi oleh segmen
yang terkena.
11. Kontrol bladder dan bowel; lesi pada conus medullaris menyebabkan tidak
adanya reflex bladder, akibat dari flaccid dan menurunnya tonus otot perineal dn
sphincter uretra.
Menurut Smeltzer (2001), komplikasi yang dapat timbul dari cedera
medulla spinalis yakni:

a. Syok spinal
20

Syok spinal merupakan depresi tiba-tiba aktivitas reflex pada medulla


spinalis (areflexia) dibawah tingkat cedera. Dalam kondidi ini otot-otot yang
disarafin oleh bagian segmen medulla yang ada dibawah tingkat lesi menjadi
parlisis kolplet dan flaksid dan reflex-refleks tidak ada. Tekanan darah
menurun. Karena ada cedera servikal dan medulla spinalis torakal atas,
pernapasan pada otot aksesorius mayor pernapasan hilang dan terjadi
masalah pernapasan : penurunan kapsitas vital, retensi sekresi, peningkatan
tekanan parsial karbondioksida, penururnan PO2, Kegagalan pernapasan dan
edema pulmonal.
b. Trombosis Vena Profunda
Merupaka komplikasi umum dari imobilitas dan umumnya pada pasien
cedera medulla spinalis. Pasien PVT berisiko mengalami embolisme
pulmonal (EP) dengan manifestasi nyeri dada pleuritis, cemas, nafas pendek,
dan nilai gas darah abnormal.
c. Komplikasi lain
Komplikasi lain dapat berupa dekubitus dan infeksi (infeksi urinarius,
pernapasan, dan local pada tempat pin).

J. Penatalaksanaan Medik dan Non Medik


1. Penatalaksaan medis
Tindakan-tindakan untuk imobilisasi dan mempertahankan vertebral
dalam posisi lurus:
a) Pemakaian kollar leher, bantal psir atau kantung IV untuk
mempertahankan agar leher stabil, dan menggunakan papan punggung
bila memindahkan pasien.
b) Lakukan traksi skeletal untuk fraktur servikal, yang meliputi
penggunaan Crutchfield, Vinke, atau tong Gard-Wellsbrace pada
tengkorak.
c) Tirah baring total dan pakaikan brace haloi untuk pasien dengan
fraktur servikal stabil ringan.
d) Pembedahan (laminektomi, fusi spinal atau insersi batang Harrington)
untuk mengurangi tekanan pada spinal bila pada pemeriksaan sinar-x
ditemui spinal tidak aktif.
2. Penatalaksanaan Keperawatan
a) Pengkajian fisik didasarakan pada pemeriksaan pada neurologis,
kemungkinan didapati defisit motorik dan sensorik di bawah area yang
21

terkena: syok spinal, nyeri, perubahan fungsi kandung kemih,


perusakan fungsi seksual pada pria, pada wanita umumnya tidak
terganggu fungsi seksualnya, perubahan fungsi defekasi
b) Kaji perasaan pasien terhadap kondisinya
c) Pemeriksaan diagnostik
d) Pertahankan prinsip C-A-B (Circulation, Airway, Breathing).

K. Clinical Pathway
22

Traumatik Non Traumatik Perdarah-


an Iskemik

Memar
Trauma Vertebra
spinal cord Gg. Sirkulasi

Nyeri Akut Fraktur Syok Hemoragic

Gg.
Neurologispdcor Kematian
daspinalis RisikoAspirasi

Hilangnya fungsi Ketidakseimbangan


motorik - sensorik Mual - muntah nutrisi kurang dari
kebutuhan tubuh

Kelemahan Gangguan Gangguan Kerusakan saraf


otot pernapasan fungsi VU fungsi rektum ekstremitas bawah

↓suplai Oksigen Inkontinensia urin Inkontinensia alvi Kelumpuhan, cacat Harga


diri
rendah
Hipoksia Penurunan
Risiko aktivitas
kerusakan
integritas kulit
Sesak napas ↑ bedrest

Ketidakefektifan
Penurunan
Pola Napas
mobilitas

L. Konsep Asuhan Keperawatan


23

1. Pengkajian
a. Identitas pasien
Identitas pasien terdiri dari, usia (sering terjadi pada orang dewasa, jarang
sekali pada anak-anak), jenis kelamin (rasio laki-laki dan perempuan 4:1),
jenis pekerjaan; pekerjaan (dengan tingkat bahaya yang cukup tinggi), dan
alamat rumah (letak geografis)
b. Keluhan utama
Klien SCIsering mengeluhkan nyeri akut dan penurunan fungsi motorik
serta sensorik
c. Riwayat penyakit sekarang
Kecelakaan atau cedera lainnya
d. Riwayat penyakit dahulu
Riwayat penyakit muskuloskeletal
e. Riwayat penyakit keluarga
Penyakit bawaan
f. Pengkajian Keperawatan:
1) Aktivitas/istrirahat
Kaji tentang pekerjaan yang berhubungan dengan SCI dan hambatan
istirahat/tidur sebelum dan setelah sakit serta mobilisasi di tempat
tidur
2) Sirkulasi
Kaji peningkatan frekuensi pernapasan (RR), adanya syok dan edema
3) Eliminasi
Kaji adanya ketidakmampuan BAK dan BAB
4) Makanan dan cairan
Kaji adanya mual, muntah, anoreksia, dan kebutuhan cairan serta
nutrisi
5) Aman dan nyaman
Kaji kondisi yang menyebabkan tidak nyaman

g. Pemeriksaan Fisik:
1) Sistem Kardiovaskular
PasienSCI dapatmerasakan sesak napas dapat disertai takikardi,
berkeringat, dan nausea.
2) Sistem Respirasi
Frekuensi napas dapat meningkat (takipneu) dan dapat menurun
(dipsneu) pada kondisi tertentu, adanya penggunaan otot bantu napas.
3) Sistem Gastrointestinal
Pola makan dapat terganggu, nafsu makan berkurang, dan mual
muntah. Kemungkinan frekuensi BAB menjadi berkurang dari
24

keadaan sebelumnya. Mukosa bibir kering dapat terjadi sebagai tanda


kurangnya cairan dan nutrisi
4) Sistem Integumen
Suhu tubuh biasanya turun akibat syok
5) Sistem Urinaria
Kaji pola eliminasi urinwarna urin, bau urin dan volume urin output
serta kemampuan BAK
6) Sistem Indra
Klien SCIdapat mengalami penurunan fungsi indra akibat gangguan
saraf.
25

h. Pemeriksaan Sistem B1-B6

Hal-hal yang perlu diingat dalam pemeriksaan fisik adalah :


1. Pemeriksaan fisik dilakukan pada saat pasien masuk, dan diulang kembali
dalam interval waktu tertentu sesuai kondisi pasien.
2. Setiap pemeriksaan harus dikomunikasikan kepada pasien.
3. Privacy pasien harus terus dipertahankan (walaupun pasien dalam keadaan
koma)
4. Tehnik yang digunakan adalah : inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi.
5. Pemeriksaan dilakukan secara “Head to toe”
6. Pemeriksaan dilakukan pada semua sistem tubuh.
1. B 1 : Breathing (Pernafasan/Respirasi)
- Pola napas : Dinilai kecepatan, irama, dan kualitas.
- Bunyi napas: Bunyi napas normal; Vesikuler, broncho vesikuler.
- Penurunan atau hilangnya bunyi napas dapat menunjukan adanya atelektasis,
pnemotorak atau fibrosis pada pleura.
- Rales (merupakan tanda awal adanya CHF. emphysema) merupakan bunyi yang
dihasilkan oleh aliran udara yang melalui sekresi di dalam trakeobronkial dan
alveoli.
- Ronchi (dapat terjadi akibat penurunan diameter saluran napas dan peningkatan
usaha napas)
- Bentuk dada : Perubahan diameter anterior – posterior (AP) menunjukan adanya
COPD
- Ekspansi dada : Dinilai penuh / tidak penuh, dan kesimetrisannya.
- Ketidaksimetrisan mungkin menunjukan adanya atelektasis, lesi pada paru,
obstruksi pada bronkus, fraktur tulang iga, pnemotoraks, atau penempatan
endotrakeal dan tube trakeostomi yang kurang tepat.
- Pada observasi ekspansi dada juga perlu dinilai : Retraksi dari otot-otot
interkostal, substrernal, pernapasan abdomen, dan respirasi paradoks (retraksi
abdomen saat inspirasi). Pola napas ini dapat terjadi jika otot-otot interkostal
tidak mampu menggerakan dinding dada.
26

- Sputum.
Sputum yang keluar harus dinilai warnanya, jumlah dan konsistensinya. Mukoid
sputum biasa terjadi pada bronkitis kronik dan astma bronkiale; sputum yang
purulen (kuning hijau) biasa terjadi pada pnemonia, brokhiektasis, brokhitis
akut; sputum yang mengandung darah dapat menunjukan adanya edema paru,
TBC, dan kanker paru.
- Selang oksigen
Endotrakeal tube, Nasopharingeal tube, diperhatikan panjangnya tube yang
berada di luar.
- Parameter pada ventilator
Volume Tidal
Normal : 10 – 15 cc/kg BB.
Perubahan pada uduma fidal menunjukan adanya perubahan status ventilasi
penurunan volume tidal secara mendadak menunjukan adanya penurunan
ventilasi alveolar, yang akan meningkat PCO2. Sedangkan peningkatan volume
tidal secara mendadak menunjukan adanya peningkatan ventilasi alveolar yang
akan menurunkan PCO2.
Kapasitas Vital : Normal 50 – 60 cc / kg BB
Minute Ventilasi
Forced expiratory volume
Peak inspiratory pressure

2. B 2 : Bleeding (Kardiovaskuler / Sirkulasi)


- Irama jantung : Frekuensi ..x/m, reguler atau irreguler
- Distensi Vena Jugularis
- Tekanan Darah : Hipotensi dapat terjadi akibat dari penggunaan ventilator
- Bunyi jantung : Dihasilkan oleh aktifitas katup jantung
· S1 : Terdengar saat kontraksi jantung / sistol ventrikel. Terjadi akibat penutupan
katup mitral dan trikuspid.
· S2 : Terdengar saat akhir kotraksi ventrikel. Terjadi akibat penutupan katup
pulmonal dan katup aorta.
27

· S3 : Dikenal dengan ventrikuler gallop, manandakan adanya dilatasi ventrikel.


- Murmur : terdengar akibat adanya arus turbulansi darah. Biasanya terdengar
pada pasien gangguan katup atau CHF.
- Pengisian kapiler : normal kurang dari 3 detik
- Nadi perifer : ada / tidak dan kualitasnya harus diperiksa. Aritmia dapat terjadi
akibat adanya hipoksia miokardial.
- PMI (Point of Maximal Impuls): Diameter normal 2 cm, pada interkostal ke
lima kiri pada garis midklavikula. Pergeseran lokasi menunjukan adanya
pembesaran ventrikel pasien hipoksemia kronis.
- Edema : Dikaji lokasi dan derajatnya.

3. B 3 : Brain (Persyarafan/Neurologik)
- Tingkat kesadaran
Penurunan tingkat kesadaran pada pasien dengan respirator dapat terjadi akibat
penurunan PCO2 yang menyebabkan vasokontriksi cerebral. Akibatnya akan
menurunkan sirkulasi cerebral.
Untuk menilai tingkat kesadaran dapat digunakan suatu skala pengkuran yang
disebut dengan Glasgow Coma Scale (GCS).
GCS memungkinkan untuk menilai secara obyektif respon pasien terhadap
lingkungan. Komponen yang dinilai adalah : Respon terbaik buka mata, respon
motorik, dan respon verbal. Nilai kesadaran pasien adalah jumlah nilai-nilai dari
ketiga komponen tersebut.
Tingkat kesadaran adalah ukuran dari kesadaran dan respon seseorang terhadap
rangsangan dari lingkungan, tingkat kesadaran dibedakan menjadi :
Compos Mentis (conscious), yaitu kesadaran normal, sadar sepenuhnya, dapat
menjawab semua pertanyaan tentang keadaan sekelilingnya..
Apatis, yaitu keadaan kesadaran yang segan untuk berhubungan dengan
sekitarnya, sikapnya acuh tak acuh.
Delirium, yaitu gelisah, disorientasi (orang, tempat, waktu), memberontak,
berteriak-teriak, berhalusinasi, kadang berhayal.
28

Somnolen (Obtundasi, Letargi), yaitu kesadaran menurun, respon psikomotor


yang lambat, mudah tertidur, namun kesadaran dapat pulih bila dirangsang
(mudah dibangunkan) tetapi jatuh tertidur lagi, mampu memberi jawaban verbal.
Stupor (soporo koma), yaitu keadaan seperti tertidur lelap, tetapi ada respon
terhadap nyeri.
Coma (comatose), yaitu tidak bisa dibangunkan, tidak ada respon terhadap
rangsangan apapun (tidak ada respon kornea maupun reflek muntah, mungkin
juga tidak ada respon pupil terhadap cahaya).
Perubahan tingkat kesadaran dapat diakibatkan dari berbagai faktor, termasuk
perubahan dalam lingkungan kimia otak seperti keracunan, kekurangan oksigen
karena berkurangnya aliran darah ke otak, dan tekanan berlebihan di dalam
rongga tulang kepala.
Adanya defisit tingkat kesadaran memberi kesan adanya hemiparese serebral atau
sistem aktivitas reticular mengalami injuri. Penurunan tingkat kesadaran
berhubungan dengan peningkatan angka morbiditas (kecacatan) dan mortalitas
(kematian).
Jadi sangat penting dalam mengukur status neurologikal dan medis pasien.
Tingkat kesadaran ini bisa dijadikan salah satu bagian dari vital sign.
GCS (Glasgow Coma Scale) yaitu skala yang digunakan untuk menilai tingkat
kesadaran pasien, (apakah pasien dalam kondisi koma atau tidak) dengan menilai
respon pasien terhadap rangsangan yang diberikan.
Respon pasien yang perlu diperhatikan mencakup 3 hal yaitu reaksi membuka
mata , bicara dan motorik. Hasil pemeriksaan dinyatakan dalam derajat (score)
dengan rentang angka 1 – 6 tergantung responnya.
Eye (respon membuka mata) :
(4) : spontan
(3) : dengan rangsang suara (suruh pasien membuka mata).
(2) : dengan rangsang nyeri (berikan rangsangan nyeri, misalnya menekan kuku
jari)
(1) : tidak ada respon
Verbal (respon verbal) :
29

(5) : orientasi baik


(4) : bingung, berbicara mengacau ( sering bertanya berulang-ulang ) disorientasi
tempat dan waktu.
(3) : kata-kata saja (berbicara tidak jelas, tapi kata-kata masih jelas, namun tidak
dalam satu kalimat. Misalnya “aduh…, bapak…”)
(2) : suara tanpa arti (mengerang)
(1) : tidak ada respon
Motor (respon motorik) :
(6) : mengikuti perintah
(5) : melokalisir nyeri (menjangkau & menjauhkan stimulus saat diberi rangsang
nyeri)
(4) : withdraws (menghindar / menarik extremitas atau tubuh menjauhi stimulus
saat diberi rangsang nyeri)
(3) : flexi abnormal (tangan satu atau keduanya posisi kaku diatas dada & kaki
extensi saat diberi rangsang nyeri).
(2) : extensi abnormal (tangan satu atau keduanya extensi di sisi tubuh, dengan
jari mengepal & kaki extensi saat diberi rangsang nyeri).
(1) : tidak ada respon
Hasil pemeriksaan kesadaran berdasarkan GCS disajikan dalam simbol E…V…
M…
Selanjutnya nilai-nilai dijumlahkan. Nilai GCS yang tertinggi adalah 15 yaitu
E4V5M6 dan terendah adalah 3 yaitu E1V1M1.
Refleks pupil
- Reaksi terhadap cahaya (kanan dan kiri)
- Ukuran pupil (kanan dan kiri; 2-6mm)
- Dilatasi pupil dapat disebabkan oleh : stress/takut, cedera neurologis
penggunaan atropta, adrenalin, dan kokain. Dilatasi pupil pada pasien yang
menggunakan respirator dapat terjadi akibat hipoksia cerebral.
Kontraksi pupil dapat disebabkan oleh kerusakan batang otak, penggunaan
narkotik, heroin.
30

4. B 4 : Bladder (Perkemihan – Eliminasi Uri/Genitourinaria)


- Kateter urin
- Urine : warna, jumlah, dan karakteristik urine, termasuk berat jenis urine.
- Penurunan jumlah urine dan peningkatan retensi cairan dapat terjadi akibat
menurunnya perfusi pada ginjal.
- Distesi kandung kemih

5. B 5 : Bowel (Pencernaan – Eliminasi Alvi/Gastrointestinal)


- Rongga mulut
Penilaian pada mulut adalah ada tidaknya lesi pada mulut atau perubahan pada
lidah dapat menunjukan adanya dehidarsi.

- Bising usus
Ada atau tidaknya dan kualitas bising usus harus dikaji sebelum melakukan
palpasi abdomen. Bising usus dapat terjadi pada paralitik ileus dan peritonitis.
Lakukan observasi bising usus selama ± 2 menit. Penurunan motilitas usus dapat
terjadi akibat tertelannya udara yang berasal dari sekitar selang endotrakeal dan
nasotrakeal.
- Distensi abdomen
Dapat disebabkan oleh penumpukan cairan. Asites dapat diketahui dengan
memeriksa adanya gelombang air pada abdomen. Distensi abdomen dapat juga
terjadi akibat perdarahan yang disebabkan karena penggunaan IPPV. Penyebab
lain perdarahan saluran cerna pada pasien dengan respirator adalah stres,
hipersekresi gaster, penggunaan steroid yang berlebihan, kurangnya terapi
antasid, dan kurangnya pemasukan makanan.
- Nyeri
- Dapat menunjukan adanya perdarahan gastriintestinal
- Pengeluaran dari NGT : jumlah dan warnanya
- Mual dan muntah.
31

6. B 6 : Bone (Tulang – Otot – Integumen)


- Warna kulit, suhu, kelembaban, dan turgor kulit.
Adanya perubahan warna kulit; warna kebiruan menunjukan adanya sianosis
(ujung kuku, ekstremitas, telinga, hidung, bibir dan membran mukosa). Pucat
pada wajah dan membran mukosa dapat berhubungan dengan rendahnya kadar
haemoglobin atau shok. Pucat, sianosis pada pasien yang menggunakan ventilator
dapat terjadi akibat adanya hipoksemia. Jaundice (warna kuning) pada pasien
yang menggunakan respirator dapat terjadi akibatpenurunan aliran darah portal
akibat dari penggunaan FRC dalam jangka waktu lama.
Pada pasien dengan kulit gelap, perubahan warna tersebut tidak begitu jelas
terlihat,. Warna kemerahan pada kulit dapat menunjukan adanya demam, infeksi.
Pada pasien yang menggunkan ventilator, infeksi dapat terjadi akibat gangguan
pembersihan jalan napas dan suktion yang tidak steril.
- Integritas kulit
- Perlu dikaji adanya lesi, dan decubitus
32

2. Diagnosa Keperawatan yang mungkin muncul


a. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera fisik yang ditandai
dengan keluhan tentang karakteristik nyeri, sikap melindungi area
nyeri, perilaku distraksi, putus asa, fokus pada diri sendiri dan
diaforesis
b. Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan cedera medulla
spinalis yang ditandai dengan takipna, penggunaan otot bantu
pernapasa, perubahan ekstruksi dada, dan pernapasan bibir
c. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan kurangnya intake makanan yang ditandai dengan bising usus
hiperaktif, gangguan sensasi rasa dan tonus otot menurun.
d. Harga diri rendah situasional berhubungan dengan gangguan citra
tubuh yang ditandai denganmeremehkan kemampuan menghadapi
situasi, perilaku tidak asertif dan tidak berdaya
e. Risiko kerusakan integritas kulit berhubungan dengan cedera,
gangguan sirkulasi, gangguan turgor kulit, dan nutrisi tidak adekuat
34

3. Intervensi Keperawatan

N
o Diagnosa Kriteria Hasil Intervensi
.
1 Nyeri akut berhubungan Setelah diberikan perawatan selama 3x24 jam, nyeri Manajemen Nyeri
. dengan agen cedera fisik akut menjadi efektif dengan kriteria hasil:
1. Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif
yang ditandai dengan Kontrol nyeri
termasuk lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi,
keluhan tentang Skala
kualitas dan faktor presipitasi
karakteristik nyeri, sikap Indikator Aw Akhir 2. Observasi reaksi nonverbal dari
melindungi area nyeri, al ketidaknyamanan
perilaku distraksi, putus Menggunakan tindakan pencegahan
3. Gunakan teknik komunikasi terapeutik untuk
asa, fokus pada diri sendiri Menggunakan tindakan mengetahui pengalaman nyeri pasien
dan diaforesis pengurangan nyeri tanpa analgesik 4. Evaluasi pengalaman nyeri masa lampau
Menggunakan analgesik yang 5. Evaluasi bersama pasien dan tim kesehatan lain
direkomendasikan tentang ketidakefektifan kontrol nyeri masa
Melaporkan gejala yang tidak lampau
terkontrol 6. Kurangi faktor presipitasi nyeri
Mengenali apa yang terkait dengan 7. Ajarkan tentang teknik non farmakologi
gejala nyeri 8. Kolaborasikan pemberian analgetik
Melaporkan nyeri yang terkontrol
Melaporkan perubahan terhadap
gejala nyeri

2 Ketidakefektifan pola Setelah diberikan perawatan selama 3x24 jam, pola Manajemen jalan napas
. napas berhubungan nafas menjadi efektif dengan criteria hasil: 1. Posisikan pasien semi fowler untuk memaksimal
35

dengan cedera medulla ventilasi


spinalis yang ditandai 2. Ajarkan pasien untuk batuk efektif
dengan takipna, Kepatenan jalan napas 3. Lakukan fisioterapi dada
penggunaan otot bantu No Indikator Skala Kolaborasi pemberian bronkodilator
pernapasa, perubahan
Awal Akhir
ekstruksi dada, dan
pernapasan bibir 1 Frekuensi Pernapasan
2 Kemampuan mengelurakan
sekret
3 Kelelahan
4 Bergerak dengan mudah
3 Ketidakseimbangan Setelah dilakukan tindakan keperawatanselama ... x Manajemen nutrisi
. nutrisi: kurang dari 24 jam pasien menunjukkan hasil: 1. Tentukan status gizi pasien dan kemampuan
kebutuhan tubuh yang Status nutrisi pasien memenuhi kebutuhan gizi
berhubungan dengan No Indikator Skala 2. Tentukan jumlah kalori dan jenis nutrisi yang
kurangnya asupan dibutuhkan untuk memenuhi persyaratan gizi
Awal Akhir
makanan 3. Beri obat-obatan sebelum makan jika diperlukan
1 Asupan makanan 1 5 4. Anjurkan keluarga untuk membawa makanan
favorit pasien
2 Asupan cairan 1 5 5. Monitor kalori dan asupan makanan
3 Energi 1 5
4 Rasio berat badan/tinggi
badan
36

M. Discharge Planning
a. Konsultasikan tindakan yang akan dilakukan selanjutnya dengan dokter,
perawat, fisioterapi
b. Hindari untuk mengangkat beban berat
c. Jika tubuh sudah gemuk konsultasikan untuk melakukan diet sehingga
tulang belakang dalam menahan beban tubuh tidak terlalu berat
d. Konsumsi makanan yang dapat meningkatkan kekuatan tulang
e. Olahraga sesuai instruksi atau cara yang dianjurkan dan hindari olahraga
yang dilarang
f. Hindari penggunaan alat kendaraan bermotor sendiri jika belum
memungkinkan untuk menghindari kecelakaan.
g. Meningkatkan aktivitas fisik
37

DAFTAR PUSTAKA

Alaa O. Oteir, Karen Smith, Johannes Stoelwinder, James W. Middleton, Shelley


Cox, L. N. S. & P. A. J. 2017. Prehospital predictors of traumatic spinal
cordinjury in victoria, australia. National Association of EMS Physicians
Batticaca, F. B. (2008). Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Gangguan
Sistem Persarafan. Jakarta: Salemba Medika.
Bickenbach, J., A. Officer, T. Shakespeare, dan P. von Groote. 2013. Spinal Cord
Injury
Cecep Eli. (2015). Konsep dan Aplikasi Dalam Keperawatan Maternitas.
Bandung: PT. Refika Aditama
Furlan, J. C., S. Gulasingam, dan B. C. Craven. 2018. Epidemiology of war-
related spinal cord injury among combatants : a systematic review. Global
Spine Journal
Klebine. 2015. Understanding spinal cord injury : part 1 — the body before and
after injury. Spinal Cord Injury Model System. (January):1–3.
Klebine, P. M. . 2015. Understanding spinal cord injury : part 1 — the body before
and after injury. Spinal Cord Injury Model System. (January):1–3.
Purwanto, S. (2006).Terapi Relaksasi. Jakarta : Pustaka PelajarSolehati Tetti,
Kokasih
Malhotra, S., B. Bhatoe, dan C. Sudambrekar. 2010. Spinal cord injuries. MJAFI.
66(4):325–328.
Manley, G., R. Guy, A. Papanastasio, dan P. Larry. 2006. Spinal Cord Injury,
Diagnosis & Treatment. California: McGraw-Hill.
Nas, K., L. Yazmalar, V. Şah, A. Aydın, dan K. Öneş. 2015. Rehabilitation of
spinal cord injuries. 6(1):8–16.
Persons, C., S. Cord, I. A. Pilot, W. W. N. Tsang, K. L. Gao, K. M. Chan, S.
Purves, D. J. Macfarlane, dan S. S. M. Fong. 2015. Sitting tai chi improves
the balance control and muscle strength of community-dwelling persons with
spinal cord injuries : a pilot study. Hindawi Publishing Corporation.
(January):1–9.
38

Tulaar, Karyana, K. Wahyuni, Paulus, Tinduh, Anestherita, dan Wangge. 2017.


People with spinal cord i jury in indonesia. Am J Phys Med Rehabil.
96(2):74–77.
Smelzter, suzamne C. 2001. Keperawatan Medical Bedah, ed. 8 Vol. 2. Jakarta :
EGC

Anda mungkin juga menyukai