Anda di halaman 1dari 22

LAPORAN PENDAHULUAN

FRAKTUR
DI RUANG 13 RSSA MALANG
Disusun untuk memenuhi Tugas Kepaniteraan klinik Departemen Surgikal

Disusun Oleh :
I Ketut Yoga Sedana
140070300011175

PROGRAM PROFESI NERS


JURUSAN ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2016
1. Pengertian
Fraktur adalah terputusnya kontuinitas tulang yang ditentukan sesuai
jenis dan luasnya, fraktur terjadi jika tulang dikenai stress yang lebih besar dari
yang dapat diabsorbsinya (Smelzter & Bare, 2002).

Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang, kebanyakan fraktur akibat


dari trauma, beberapa fraktur sekunder terhadap proses penyakit seperti
osteoporosis, yang menyebabkan fraktur yang patologis (Mansjoer, 2001).
Fraktur adalah setiap patah tulang, biasanya disebabkan oleh trauma
atau tenaga fisik (Price & Wilson, 2006).
Fraktur terbuka merupakan suatu fraktur dimana terjadi hubungan dengan
lingkungan luar melalui kulit sehingga terjadi kontaminasi bakteri sehingga timbul
komplikasi berupa infeksi. luka pada kulit dapat berupa tusukan tulang yang
tajam keluar menembus kulit atau dari luar oleh karena tertembus misalnya oleh
peluru atau trauma langsung (Rasjad,2008).
Fraktur terbuka merupakan suatu keadaan darurat yang memerlukan
penanganan yang terstandar untuk mengurangi resiko infeksi. selain mencegah
infeksi juga diharapkan terjadi penyembuhan fraktur dan restorasi fungsi anggota
gerak. beberapa hal yang penting untuk dilakukan dalam penanggulangan fraktur
terbuka yaitu operasi yang dilakukan dengan segera, secara hati-hati,
debrideman yang berulang-ulang, stabilisasi fraktur, penutupan kulit dan bone
grafting yang dini serta pemberian antibiotik yang adekuat. Patah tulang terbuka
adalah patah tulang dimana fragmen tulang yang bersangkutan sedang atau
pernah berhubungan dunia luar (Rasjad,2008).
Fraktur tibia, pedis dan manus adalah rusaknya kontunuitas tulang tibia
paroksimal, pedis phalanx paroksimal digiti 1, ujung distal metatarsal 1, oblique
phalanx paroksimal digiti 2, ujung distal metatarsal 2 dan manus paroksimal digiti
4,5 yang dapat disebabkan oleh trauma baik secara langsung atau tidak
langsung.
2. Etiologi Fraktur
Menurut Mansoer (2002) penyebab fraktur dibedakan atas proses terjadinya
trauma, yaitu :
a. Trauma langsung
Benturan pada lengan bawah yang menyebabkan patah tulang radius
b.

dan ulna, patah tulang pada tempat benturan.


Trauma tidak langsung
Jatuh bertumpu pada lengan yang menyebabkan patah tulang klavikula,
patah tulang tidak pada tempat benturan melainkan oleh karena
kekuatan trauma diteruskan oleh sumbu tulang dan terjadi fraktur di
tempat lain

c.

Etiologi lain

Trauma tenaga fisik ( Tabrakan, benturan )

Penyakit pada tulang ( proses penuaan, kanker tulang)

Degenerasi
3. Klasifikasi
Berikut ini terdapat beberapa klasifikasi Fraktur sebagaimana yang
dikemukakan oleh para ahli (Rasjad, 2008):
A. Berdasarkan luas dan garis traktur meliputi:
1) Fraktur komplit adalah patah atau diskontinuitas jaringan tulang yang luas
sehingga tulang terbagi menjadi dua bagian dan garis patahnya
menyeberang dari satu sisi ke sisi lain serta mengenai seluruh korteks.
2) Fraktur inkomplit adalah patah atau diskontinuitas jaringan tulang dengan
garis patah tidak menyeberang, sehingga tidak mengenai seluruh korteks
(masih ada korteks yang utuh).
B. Berdasarkan hubungan dengan dunia luar, meliputi:
1) Fraktur tertutup yaitu fraktur tanpa adanya komplikasi, kulit masih utuh,
tulang tidak keluar melewati kulit.
2) Fraktur terbuka yaitu fraktur yang merusak jaringan kulit, karena adanya
hubungan dengan lingkungan luar, maka fraktur terbuka potensial terjadi
infeksi. Fraktur terbuka dibagi menjadi 3 grade yaitu:
a) Grade I : Robekan kulit dengan kerusakan kulit dan otot.
b) Grade II : Seperti grade I dengan memar kulit dan otot.
c) Grade III : Luka sebesar 6-8 cm dengan kerusakan pembuluh darah,
syaraf, otot dan kulit.
C. Berdasarkan garis patah tulang, yaitu:
1) Green Stick yaitu pada sebelah sisi dari tulang ( retak dibawah lapisan
periosteum) / tidak mengenai seluruh kortek, sering terjadi pada anakanak dengan tulang lembek.
2) Transverse yaitu patah melintang ( yang sering terjadi ).
3) Longitudinal yaitu patah memanjang.
4) Oblique yaitu garis patah miring.
5) Spiral yaitu patah melingkar.
6) Communited yaitu patah menjadi beberapa fragmen kecil

D. Berdasarkan kedudukan fragmen yaitu:


1) Tidak ada dislokasi.
2) Adanya dislokasi, yang dibedakan menjadi:
a. Disklokasi at axim yaitu membentuk sudut.
b. Dislokasi at lotus yaitu fragmen tulang menjauh.
c. Dislokasi at longitudinal yaitu berjauhan memanjang.
d. Dislokasi at lotuscum controltinicum yaitu fragmen tulang menjauh dan
over lapp ( memendek ).
4. Manifestasi Klinis
Lewis (2006) menyampaikan manifestasi klinik fraktur adalah sebagai
berikut:
A. Nyeri
Nyeri dirasakan langsung setelah terjadi trauma. Hal ini dikarenakan
adanya spasme otot, tekanan dari patahan tulang atau kerusakan jaringan
sekitarnya.
B. Bengkak / edema.
Edema muncul lebih cepat dikarenakan cairan serosa (protein plasma)
yang terlokalisir pada daerah fraktur dan extravasi daerah di jaringan
sekitarnya.
C. Memar / ekimosis
Merupakan perubahan warna kulit sebagai akibat dari extravasi daerah di
jaringan sekitarnya.
D. Spame otot

Merupakan kontraksi otot involunter yang terjadi disekitar fraktur.


E. Penurunan sensasi
Terjadi karena kerusakan syaraf, tertekannya syaraf karena edema.
F. Gangguan fungsi
Terjadi karena ketidakstabilan tulang yang fraktur, nyeri atau spasme otot,
paralysis dapat terjadi karena kerusakan syaraf.
G. Mobilitas abnormal
Adalah pergerakan yang terjadi pada bagian-bagian yang pada kondisi
normalnya tidak terjadi pergerakan. Ini terjadi pada fraktur tulang panjang.
H. Krepitasi
Merupakan rasa gemeretak yang terjadi jika bagian-bagaian tulang
digerakkan.
I. Deformitas
Abnormalnya posisi dari tulang sebagai hasil dari kecelakaan atau trauma
dan pergerakan otot yang mendorong fragmen tulang ke posisi abnormal,
akan menyebabkan tulang kehilangan bentuk normalnya.
J. Gambaran X-ray menentukan fraktur
Gambaran ini akan menentukan lokasi dan tipe fraktur
Anamnesis
Biasanya penderita datang dengan suatu trauma (traumatik, fraktur), baik
yang hebat maupun trauma ringan dan diikuti dengan ketidakmampuan untuk
menggunakan anggota gerak. Anamnesis harus dilakukan dengan cermat,
karena fraktur tidak selamanya terjadi di daerah trauma dan mungkin fraktur
terjadi pada daerah lain.
Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan awal penderita, perlu diperhatikan adanya:
1. Syok, anemia atau perdarahan
2. Kerusakan pada organ-organ lain, misalnya otak, sumsum tulang belakang
atau organ-organ dalam rongga toraks, panggul dan abdomen
3. Fraktur predisposisi, misalnya pada fraktur patologis
Pemeriksaan lokal
1. Inspeksi (Look)

Bandingkan dengan bagian yang sehat

Perhatikan posisi anggota gerak

Keadaan umum penderita secara keseluruhan

Ekspresi wajah karena nyeri

Lidah kering atau basah

Adanya tanda-tanda anemia karena perdarahan

Apakah

terdapat

luka

pada

kulit

dan

jaringan

lunak

untuk

membedakan fraktur tertutup atau fraktur terbuka


-

Ekstravasasi darah subkutan dalam beberapa jam sampai beberapa


hari

Perhatikan

adanya

deformitas

berupa

angulasi,

rotasi

dan

kependekan
-

Lakukan survei pada seluruh tubuh apakah ada trauma pada organorganlain

Perhatikan kondisi mental penderita

Keadaan vaskularisasi

2. Palpasi (Feel)
Palpasi dilakukan secara hati-hati oleh karena penderita biasanya mengeluh
sangatnyeri.
-

Temperatur setempat yang meningkat

Nyeri tekan; nyeri tekan yang bersifat superfisial biasanya disebabkan


oleh kerusakan jaringan lunak yang dalam akibat fraktur pada tulang

Krepitasi; dapat diketahui dengan perabaan dan harus dilakukan


secara hati-hati

Pemeriksaan vaskuler pada daerah distal trauma berupa palpasi arteri


radialis, arteri dorsalis pedis, arteri tibialis posterior sesuai dengan
anggota gerak yang terkena

Refilling (pengisian) arteri pada kuku, warna kulit pada bagian distal
daerah trauma , temperatur kulit

Pengukuran tungkai terutama pada tungkai bawah untuk mengetahui


adanya perbedaan panjang tungkai

3. Pergerakan (Move)
Pergerakan dengan mengajak penderita untuk menggerakkan secara
aktif dan pasif sendi proksimal dan distal dari daerah yang mengalami trauma.
Pada pederita dengan fraktur, setiap gerakan akan menyebabkan nyeri hebat
sehingga uji pergerakan tidak boleh dilakukan secara kasar, disamping itu juga
dapat menyebabkan kerusakan pada jaringan lunak seperti pembuluh darah dan
saraf.
5. Patofisiologi (terlampir)
6. Pemeriksaan Diagnostik.
Pemeriksaan penunjang

untuk

megakan

diagnosa

fraktur

masih

menggunakan foto x-ray dengan berbagai posisi (Lewis, 2006)


- Sinar X
Dengan pemeriksaan klinik kita sudah dapat mencurigai adanya
fraktur. Walaupun demikian pemeriksaan radiologis diperlukan untuk
menentukan

keadaan,

lokasi

serta

eksistensi

fraktur.

Untuk

menghindari nyeri serta kerusakan jaringan lunak selanjutnya, maka


sebaiknya kita mempergunakan bidai yang bersifat radiolusen untuk
imobilisasi sementara sebelum dilakukan pemeriksaan radiologis.
Tujuan pemeriksaan radiologis:

Untuk mempelajari gambaran normal tulang dan sendi.

Untuk konfirmasi adanya fraktur.

Untuk mengetahui sejauh mana pergerakan dan konfigurasi


fragmen serta pergerakannya.

Untuk mengetahui teknik pengobatan.

Untuk menentukan apakah fraktur itu baru atau tidak.

Untuk menentukan apakah fraktur intra-artikuler atau ekstraartikuler.

Untuk melihat adanya keadaan patologis lain pada tulang.

Untuk melihat adanya benda asing.

Pemeriksaan dengan sinar-X harus dilakukan dengan ketentuan


Rules of Two:

Dua pandangan

Fraktur atau dislokasi mungkin tidak terlihat pada film sinar-X


tunggal dan sekurang-kurangnya harus dilakukan 2 sudut pandang (AP &
Lateral/Oblique).

Dua sendi
Pada lengan bawah atau kaki, satu tulang dapat mengalami
fraktur atau angulasi. Tetapi angulasi tidak mungkin terjadi kecuali kalau
tulang yang lain juga patah, atau suatu sendi mengalami dislokasi. Sendisendi diatas dan di bawah fraktur keduanya harus disertakan dalam foto
sinar-X.

Dua tungkai
Pada sinar-X anak-anak epifise dapat mengacaukan diagnosis
fraktur. Foto pada tungkai yang tidak cedera akan bermanfaat.
-

Pencitraan Khusus : Umumnya dengan foto polos kita dapat


mendiagnosis fraktur, tetapi perlu dinyatakan apakah fraktur terbuka
atau tertutup, tulang mana yang terkena dan lokalisasinya, apakah
sendi juga mengalami fraktur serta bentuk fraktur itu sendiri.
Konfigurasi

fraktur

dapat

menentukan

prognosis

serta

waktu

penyembuhan fraktur, misalnya penyembuhan fraktur transversal


lebihlambat dari fraktur oblik karena kontak yang kurang. Kadangkadang fraktur atau keseluruhan fraktur tidak nyata pada sinar-X
biasa.Tomografi mungkin berguna untuk lesi spinal atau fraktur
kondilus tibia. CT atau MRI mungkin merupakan satu-satunya cara
yang dapat membantu, sesungguhnya potret transeksional sangat
penting untuk visualisasi fraktur secara tepat pada tempat yang sukar.
Radioisotop scanning berguna untuk mendiagnosis fraktur-tekanan
yang dicurigai atau fraktur tak bergeser yang lain
7. Penatalaksanaan fraktur
Terdapat beberapa tujuan penatalaksanaan fraktur menurut Sjamsuhidajat
(2005), yaitu mengembalikan atau memperbaiki bagian-bagian yang patah ke
dalam bentuk semula (anatomis), imobilisasi untuk mempertahankan bentuk dan
memperbaiki fungsi bagian tulang yang rusak.
A. Reposisi / reduksi
Jenis-jenis fracture reduction ( reposisi ) yaitu:

1. Manipulasi atau close reduction


Adalah tindakan non bedah untuk mengembalikan posisi,
panjang dan bentuk. Close reduksi dilakukan dengan local
2.

anesthesia ataupun umum.


Open reduction
Adalah perbaikan
pembedahan.

sering

bentuk

tulang

dilakukan

dengan

dengan

tindakan

internal

fixasi

menggunakan kawat, screws, pins, plate, intermedullary rods atau


nail. Kelemahan tindakan ini adalah kemungkinan infeksi dan
komplikasi berhubungan dengan anesthesia. Jika dilakukan open
reduksi internal fixasi pada tulang (termasuk sendi) maka akan
ada indikasi untuk melakukan ROM.
Salah satunya adalah tindakan ORIF(Open Reduction
Internal Fixation) atau fiksasi internal dengan pembedahan
terbuka

akan

mengimmobilisasi

fraktur

dengan

melakukan

pembedahan dengan memasukan paku, sekrup atau pin ke dalam


tempat fraktur untuk memfiksasi bagian-bagian tulang yang fraktur
secara bersamaan.
a) Indikasi ORIF
- Fraktur yang tak bisa sembuh
- Fraktur yang tidak bisa direposisi tertutup
- Fraktur yang dapat direposisi tapi sulit dipertahankan
- Fraktur yang memberikan hasil baik dengan operasi.
3. Traksi
Alat traksi diberikan dengan kekuatan tarikan pada anggota yang
fraktur untuk meluruskan bentuk tulang. Ada 2 macam yaitu:
a. Skin Traksi
Skin traksi adalah menarik bagian tulang yang fraktur dengan
menempelkan plester langsung pada kulit untuk mempertahankan
bentuk, membantu menimbulkan spasme otot pada bagian yang
cedera, dan biasanya digunakan untuk jangka pendek (48-72 jam).

b. Skeletal traksi
Adalah traksi yang digunakan untuk meluruskan tulang yang
cedera pada sendi panjang untuk mempertahankan bentuk dengan
memasukkan pins / kawat ke dalam tulang.
4.

Immobilisasi

Setelah dilakukan reposisi dan posisi fragmen tulang sudah


dipastikan pada posisi baik hendaknya di immobilisasi dan gerakkan
anggota badan yang mengalami fraktur diminimalisir untuk mencegah
fragmen tulang berubah posisi.
PENANGANAN FISIOTERAPI PADA FRAKTUR
A. Latihan fisiologis otot
Mengikuti imobilisasi, otot disekitar bagian yang fraktur akan kehilangan
volume, panjang dan kekuatannya. Adalah penting jika program latihan yang
aman ditentukan dan dievaluasi dibawah pengawasan fisioterapi untuk
mengembalikan panjang dan fisiologis otot. Dan mencegah komplikasi
sekunder yang biasanya mengikuti. Latihan untuk menjaga fisiologis otot
dilakukan sedini mungkin.
B. Mobilisasi sendi
Kekakuan sendi sering terjadi dan menjadi masalah utama ketika anggota
gerak badan tidak digerakkan dalam beberapa minggu. Focus fisioterapi
adalah melatih dengan teknik dimana dapat menambah dan mengembalikan
lingkup gerak sendi yang terpengaruh ketika fraktur sudah sembuh.
Jangan menggunakan teknik Force Passive, karena bisa menyebabkan
Reflex Sympathetic Diystrophy dan Heterotopic Ossification. Gunakan waktu
dan gravitasi atau berat badan pasien sendiri.
Bila di gips, mobilisasi sendi mulai diberikan secara hati hati pada
minggu kedua. Sedangkan bila dengan internal fixasi, bisa diberikan sedini
mungkin.
C. Edukasi jalan
Jika fraktur memerlukan penggunaan alat bantu jalan, fisioterapi dapat
menunjukkan alat yang paling sesuai dan cara jalannya untuk mendukung
kesembuhan optimal dan aman.

Demi amannya, Latihan jalan dilakukan secara bertahap, yaitu :


1. Non Weight Bearing
Adalah berjalan dengan tungkai tidak diberi beban ( menggantung ).
Dilakukan selama 3 minggu setelah di operasi.
2. Partial Weight Bearing

Adalah berjalan dengan tungkai diberi beban hanya dari beban tungkai itu
sendiri. Dilakukan bila callus telah mulai terbentuk ( 3 6 minggu )
setelah operasi.
3. Full Weight Bearing
Adalah berjalan dengan beban penuh dari tubuh. Dilakukan setelah 3
bulan pasca operasi dimana tulang telah terjadi konsolidasi secara kuat.
Proses penyembuhan
Suatu fraktur dimulai sejak terjadi fraktur sebagai usaha tubuh untuk
memperbaiki kerusakan kerusakan yang dialaminya. Penyembuhan dari fraktur
dipengaruhi oleh beberapa faktor lokal dan faktor sistemik, adapun faktor lokal
yang terjadi pada beberapa fase penyembuhan (Samsuhidayat, 2005; Rasjad,
2008):
a. Lokasi fraktur
b. Jenis tulang yang mengalami fraktur.
c. Reposisi anatomis dan immobilasi yang stabil.
d. Adanya kontak antar fragmen.
e. Ada tidaknya infeksi.
f. Tingkatan dari fraktur.
Adapun faktor sistemik adalah :
a. Keadaan umum pasien
b. Umur
c. Malnutrisi
d. Penyakit sistemik.
1. Fase Inflamasi:
Tahap

inflamasi

berlangsung

beberapa

hari

dan

hilang

dengan

berkurangnya pembengkakan dan nyeri. Terjadi perdarahan dalam jaringan yang


cidera dan pembentukan hematoma di tempat patah tulang. Ujung fragmen
tulang mengalami devitalisasi karena terputusnya pasokan darah terjadi hipoksia
dan inflamasi yang menginduksi ekpresi gen dan
mempromosikan pembelahan sel dan migrasi menuju tempat fraktur untuk
memulai penyembuhan. Produksi atau pelepasan dari faktor pertumbuhan
spesifik, Sitokin, dapat membuat kondisi mikro yang sesuai untuk :

(1) Menstimulasi pembentukan periosteal osteoblast dan osifikasi intra membran


pada tempat fraktur,
(2) Menstimulasi pembelahan sel dan migrasi menuju tempat fraktur, dan
(3) Menstimulasi kondrosit untuk berdiferensiasi pada kalus lunak dengan
osifikasi endokondral yang mengiringinya.
Berkumpulnya darah pada fase hematom awalnya diduga akibat robekan
pembuluh darah lokal yang terfokus pada suatu tempat tertentu. Namun pada
perkembangan selanjutnya hematom bukan hanya disebabkan oleh robekan
pembuluh darah tetapi juga berperan faktor-faktor inflamasi yang menimbulkan
kondisi pembengkakan lokal. Waktu terjadinya proses ini dimulai saat fraktur
terjadi sampai 2 3 minggu.
2. Fase proliferasi
Kira-kira 5 hari hematom akan mengalami organisasi, terbentuk benangbenang fibrin dalam jendalan darah, membentuk jaringan untuk revaskularisasi,
dan invasi fibroblast dan osteoblast. Fibroblast dan osteoblast (berkembang dari
osteosit, sel endotel, dan sel periosteum) akan menghasilkan kolagen dan
proteoglikan sebagai matriks kolagen pada patahan tulang. Terbentuk jaringan
ikat fibrous dan tulang rawan (osteoid). Dari periosteum, tampak pertumbuhan
melingkar. Kalus tulang rawan tersebut dirangsang oleh gerakan mikro
minimal pada tempat patah tulang. Tetapi gerakan yang berlebihan akan
merusak struktur kalus. Tulang yang sedang aktif tumbuh menunjukkan potensial
elektronegatif. Pada fase ini dimulai pada minggu ke 2 3 setelah terjadinya
fraktur dan berakhir pada minggu ke 4 8.
3. Fase Pembentukan Kalus
Merupakan fase lanjutan dari fase hematom dan proliferasi mulai
terbentuk jaringan tulang yakni jaringan tulang kondrosit yang mulai tumbuh atau
umumnya disebut sebagai jaringan tulang rawan. Sebenarnya tulang rawan ini
masih dibagi lagi menjadi tulang lamellar dan wovenbone. Pertumbuhan jaringan
berlanjut dan lingkaran tulang rawan tumbuh mencapai sisi lain sampai celah
sudah terhubungkan. Fragmen patahan tulang digabungkan dengan jaringan
fibrous, tulang rawan, dan tulang serat matur. Bentuk kalus dan volume
dibutuhkanuntuk menghubungkan efek secara langsung berhubungan dengan
jumlah kerusakan dan pergeseran tulang. Perlu waktu tiga sampai empat minggu
agar fragmen tulang tergabung dalam tulang rawan atau jaringan fibrous. Secara

klinis fragmen tulang tidak bisa lagi digerakkan. Regulasi dari pembentukan kalus
selama masa perbaikan fraktur dimediasi oleh ekspresi dari faktor-faktor
pertumbuhan. Salah satu faktor yang paling
dominan dari sekian banyak faktor pertumbuhan adalah Transforming Growth
Factor-Beta
1 (TGF-B1) yang menunjukkan keterlibatannya dalam pengaturan differensiasi
dari osteoblast dan produksi matriks ekstra seluler. Faktor lain yaitu: Vascular
Endothelial Growth Factor (VEGF) yang berperan penting pada proses
angiogenesis selama penyembuhan fraktur. (Sjamsuhidayat, 2005).
Pusat dari kalus lunak adalah kartilogenous yang kemudian bersama
osteoblast akan berdiferensiasi membentuk suatu jaringan rantai osteosit, hal ini
menandakan adanya sel tulang serta kemampuan mengantisipasi tekanan
mekanis. Proses cepatnya pembentukan kalus lunak yang kemudian berlanjut
sampai fase remodelling adalah masa kritis untuk keberhasilan penyembuhan
fraktur.
Jenis-jenis Kalus
Dikenal beberapa jenis kalus sesuai dengan letak kalus tersebut berada
terbentuk kalus primer sebagai akibat adanya fraktur terjadi dalam waktu 2
minggu Bridging (soft) callus terjadi bila tepi-tepi tulang yang fraktur tidak
bersambung. Medullary (hard) Callus akan melengkapi bridging callus secara
perlahan-lahan. Kalus eksternal berada paling luar daerah fraktur di bawah
periosteum periosteal callus terbentuk di antara periosteum dan tulang yang
fraktur. Interfragmentary callus merupakan kalus yang terbentuk dan mengisi
celah fraktur di antara tulang yang fraktur. Medullary callus terbentuk di dalam
medulla tulang disekitar daerah fraktur.

4. Stadium Konsolidasi
Dengan aktifitas osteoklast dan osteoblast yang terus menerus, tulang
yang immature (woven bone) diubah menjadi mature (lamellar bone). Keadaan
tulang ini menjadi lebih kuat sehingga osteoklast dapat menembus jaringan
debris pada daerah fraktur dan diikuti osteoblast yang akan mengisi celah di

antara fragmen dengan tulang yang baru. Proses ini berjalan perlahan-lahan
selama beberapa bulan sebelum tulang cukup kuat untuk
menerima beban yang normal.
5. Stadium Remodelling.
Fraktur telah dihubungkan dengan selubung tulang yang kuat dengan
bentuk yang berbeda dengan tulang normal. Dalam waktu berbulan-bulan
bahkan bertahun-tahun terjadi proses pembentukan dan penyerapan tulang yang
terus menerus lamella yang tebal akan terbentuk pada sisi dengan tekanan yang
tinggi. Rongga medulla akan terbentuk kembali dan diameter tulang kembali
pada ukuran semula. Akhirnya tulang akan kembali mendekati bentuk
semulanya, terutama pada anak-anak. Pada keadaan ini tulang telah sembuh
secara klinis dan radiologi.

Fase Inflamasi

Fase Proliferasi

Fase Pembentukan

Fase Remodelling
8. Komplikasi
Komplikasi awal fraktur maksila dapat berupa pendarahan ekstensif serta
gangguan pada jalan nafas akibat pergeseran fragmen fraktur, edema, dan
pembengkakan soft tissue. Infeksi pada luka maksilari lebih jarang dibandingkan
pada luka fraktur mandibula. Padahal luka terkontaminasi saat tejadi cedera oleh

segmen gigi dan sinus yang juga mengalami fraktur. Infeksi akibat fraktur yang
melewati sinus biasanya

tidak akan

terjadi kecuali

terdapat

obstruksi

sebelumnya. Pada Le Fort II dan III, daerah kribiform dapat pula mengalami
fraktur, sehingga terjadi rhinorrhea cairan serebrospinal. Selain itu, kebutaan juga
dapat terjadi akibat pendarahan dalam selubung dural nervus optikus. Komplikasi
akhir dapat berupa kegagalan penyatuan tulang yang mengalami fraktur,
penyatuan

yang

salah,

obstruksi

sistem

lakrimal,

anestesia/hipoestesia

infraorbita, devitalisasi gigi, ketidakseimbangan otot ekstraokuler, diplopia, dan


enoftalmus. Kenampakan wajah juga dapat berubah (memanjang, retrusi)
(Mansjoer, 2002).
9. Asuhan Keperawatan Pada Fractur
1. Resiko tinggi terhadap trauma (tambahan) sehubungan dengan kehilangan
integritas kulit/fraktur
Tujuan: Mempertahankan stabilisasi dan posisi fraktur dengan kriteria:
-

Stabilitas pada sisi fraktur

Pembentukan kalus atau mulai penyatuan fraktur dengan tepat.


Intervensi
1. Pertahankan tirah baring/ekstremitas sesuai
indikasi. Beri sokongan sendi di atas dan di
bawah fraktur bila bergerak/membalik
2. Letakan papan di bawah tempat tidur atau
tempatkan pasien pada tempat tidur ortopedik
3. Sokong fraktur dengan bantal/ gulungan selimut,
pertahankan posisi netral pada bagian yang sakit
dengan bantal pasir, papan kaki
4. Evaluasi pembebat ekstremitas terhadap resolusi
oedema
5. Pertahankan posisi/integritas traksi
6. Kaji integritas alat traksi eksternal

2. Nyeri akut sehubungan dengan spasme otot/imobilisasi

Tujuan: Nyeri hilang dengan kriteria: Rilek; mampu berpartisipasi dalam


aktivitas/tidur/ istirahat dengan tepat.
Intervensi
1. Pertahankan bagian yang sakit dengan
tirah baring
2. Tinggikan dan dukung ekstremitas yang
terluka
3. Hindari penggunaan sprei/bantal plastik di
bawah ekstremitas dalam gips
4. Tinggikan penutup tempat tidur,
pertahankan linen terbuka pada ibu jari
kaki
5. Evaluasi keluhan nyeri/ketidaknyaman,
perhatikan lokasi dan karakteristik,
termasuk intensitas (skala 0 10).
Perhatikan petunjuk nyeri non verbal
6. Dorong pasien untuk mendiskusikan
masalah sehubungan dengan cedera
7. Jelaskan prosedur sebelum memulai
8. Beri obat sebelum perawatan aktivitas
9. Lakukan dan awasi latihan rentang gerak
pasif/aktif
10. Berikan alternatif tindakan kenyamanan,
contoh pijatan-pijatan punggung,
perubahan posisi
11. Dorong/ajari teknik manajemen nyeri,
latihan nafas dalam, sentuhan teraupeti
selidiki keluhan nyeri yang tidak biasa/tibatiba
3. Resiko tinggi terhadap disfungsi neurovaskular perifer sehubungan dengan
penurunan aliran darah
Tujuan: Mempertahankan perfusi jaringan dengan kriteria:
-

Terabanya nadi

Kulit hangat

Sensasi normal

Sensori biasa

Tanda-tanda vital stabil

Haluaran urian adequate untuk situasi individu


Intervensi
1. Lepaskan segala perhiasan/aksesoris yang ada
pada ekstremitas yang sakit
2. Evaluasi adanya kualitas nadi perifer distal
terhadap cedera melalui palpasi. Bandingkan
dengan ekstremitas yang sakit
3. Kaji aliran kapiler, warna kulit dan kehangatan
distal pada fraktur
4. Lakukan pengkajian neuromuskuler. Perhatikan
perubahan fungsi motorik/ sensorik untuk
melokalisasi nyeri/ ketidaknyamanan
5. Kaji jaringan sekitar akhir gips untuk titik yang
kasar/tekan. Selidiki rasa terbakar di bawah gips
6. Perhatikan keluhan nyeri ekstremitas untuk tipe
cedera atau peningkatan nyeri pada gerakan pasif
ekstremitas
7. Perhatikan tanda iskemia ekstremitas tiba-tiba,
contoh Penurunan suhu kulit dan peningkatan
nyeri
8. Latih pasien untuk secara rutin latihan jari/sendi
distal cedera. Ambuilasi sesegera mungkin
9. Observasi nyeri tekan, pembengkakan pada
dorsofleksi kaki
10. Awasi tanda-tanda vital, perhatikan tanda-tanda
sianosis umum, kulit dingin, perubahan mental
11. Kolaborasi: kompres es sekitar fraktur sesuai
indikasi

4. Resiko tinggi terhadap gangguan pertukaran gas sehubungan dengan


perubahan aliran darah/emboli lemak
Tujuan: Mempertahankan fungsi pernafasan adequate dengan kriteria:

Tidak adanya dispnea/sianosis

Frekuensi pernafasan dalam batas normal

GDA dalam batas normal


Intervensi dan rasional
1. Awasi frekuensi pernafasan dan upayanya.
Perhatikan stridor penggunaan otot bantu, retraksi
terjadinya seanosisi sentral
2. Auskultrasi bunyi nafas, perhatikan terjadinya
ketidaknyamanan, bunyi hiperesonan juga adanya
gomericik/tonki
3. Atasi jaringan cedera tulang dengan lembut,
khususnya selama beberapa hari pertama
4. Beri motivasi dan bantu dalam latihan nafas
dalam dan batuk. Reposisi dengan sering
5. Perhatikan peningkatan kegelisahan, kacau,
letargi, stupor
6. Observasi sputum untuk tanda adanya darah
7. Insfeksi kulit untuk ptekie pada axila
8. Kolaborasi: Beri O2, awasi hasil lab, beri obat
sesuai indikasi; kortikosteroid, heparin dosis
rendah

5. Gangguan mobilitas fisik sehubungan dengan nyeri daerah fraktur


Tujuan: Meningkatkan atau mempertahankan mobilitas fisik dengan kriteria:
mampu melakukan aktivitas.
Intervensi
1. Kaji derajat immobilitas yang dihasilkan
oleh cedera atau pengobatan dan
memperhatikan persepsi pasien terhadap
immobilisasi
2. Dorong partisipasi pada aktivitas terapiotik
atau relaksasi. Pertahankan rangsangan
lingkungan, contoh; radio, TV, barang milik
pribadi, jam, kalender, kunjungan keluarga
atau teman

3. Instruksikan pasien untuk/bantu dalam


rentang gerak pasien/aktif pada
ekstremitas yang sakit dan yang tidak sakit
4. Dorong penggunaan latihan isometric
mulai dengan tungkai yang tak sakit
5. Berikan papan kaki, bebat pergelangan,
gulungan trokanter/ tangan yang sesuai
6. Tempatkan dalam posisi telentang secara
periodik bila mungkin, bila traksi digunakan
menstabilkan fraktur tungkai bawah
7. Instruksikan/dorong menggunakan trapeze
dan Pasca posisi untuk fraktur tungkai
bawah
8. Bantu.dorong perawatan diri/ kebersihan
(contoh; mandi, mencukur)
9. Berikan/bantu dalam mobilisasi dengan
kursi roda, kruk, tingkat, sesegera
mungkin. Instruksikan keamanan dalam
menggunakan alat mobilitas,
10. Awasi TD dengan melakukan aktivitas.
Perhatikan keluhan pusing
11. Ubah posisi secara periodik dan dorong
untuk latihan batuk/nafas dalam
12. Auskultasi bising usus. Awasi kebiasaan
eliminasi dan berikan keteraturan defekasi
runin. Tempatkan pada pispot, bila
mungkin, atau menggunakan bedpan
fraktur. Berikan privasi
13. Dorong peningkatan masukan cairan
sampai 2000 3000 ml/hari termasuk air
asam/jus
14. Berikan diet tinggi protein, karbohidrat,
vitamin dan mineral. Pertahankan
Penurunan kandungan protein sampai
setelah defekasi pertama

15. Tingkatkan jumlah diet kasar. Batasi


makanan pembentukan gas
16. Kolaborasi
a. Konsul dengan ahli terapi fisik/okupasi
dan/atau rehabilitasi spesialis
b. Lakukan program defekasi (pelunak feses,
edem, lakstif) sesuai indikasi
c. Rujuk ke perawat spesialis psikiatrik
klinikal/ahli terapi sesuai indikasi
6. Resiko tinggi terhadap kerusakan integritas kulit sehubungan dengan
pemasangan traksi pen, kawat, sekrup
Tujuan: Mencegah kerusakan integritas kulit dengan kriteria:
-

Mencapai penyembuhan sesuai waktu

Ketidaknyamanan hilang.
Intervensi
1. Kaji kulit untuk luka terbuka, benda asing,
kemerahan, perdarahan, perubahan warna
kelabu, memutih
2. Masase kulit dan penonjolan tulang. Pertahankan
tempat tidur kering dan babas kerutan
3. Ubah posisi dengan sering
4. Kaji posisi cincin bebat pada alat traksi
5. Untuk traksi kulit + perawatan
a. Bersihkan kulit dengan air sabun hangat
b. Beri tintur benzoin
c. Gunakan plester traksi kulit
d. Lebarkan plaster sepanjang tungkai
e. Tandai garis dimana plester keluar sepanjang ekstremitas
f.

Letakan bantalan pelindung di bawah kaki dan di atas tonjolan


tulang

g. Balut lingkar tungkai


h. Palpasi jaringan yang diplester tiap hari
i.

Lepaskan traksi kulit tiap 24 jam

7. Resiko tinggi terhadap infeksi sehubungan dengan kerusakan kulit


Tujuan: Tidak terjadi infeksi dengan kriteria:
-

Penyembuhan luka sesuai waktu

Bebas drainase porulen

Bebas iritema

Bebas demam
Intervensi
1. Inspeksi kulit untuk adanya iritasi/ robekan
kontinuitas
2. Kaji keluhan peningkatan nyeri
3. Beri perawatan steril sesuai protocol
4. Kaji tonus otot, reflek tendon
5. Selidiki nyeri tiba-tiba, keterbatasan gerak,
oedema
6. Lakukan prosedur isolasi
7. Kolaborasi: Periksa lab, beri antibiotik sesuai
indikasi

(Doengoes et al, 2010)

DAFTAR PUSTAKA
Doengoes, Marilynn E., Mary Frances Moorhouse., & Alice C. Murr. 2010.
Nursing Diagnosis Manual : Planning, Individualizing, and Documenting
Client Care. Philadelphia : F.A Davis Company
Lewis at al. 2006. Medical Surgical Nursing Assesment and Management of
Clinical Problem 5th ed. Philadelpia: Mosby
Mansjoer, Arif dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran, Jilid 2. Jakarta: Media
Aesculapius.346-37
Price, S. A. dan Wilson, L. M. 2006. Patofisiologi : Konsep Klinis ProsesProses Penyakit, Edisi 6, Volume 1. Jakarta: EGC
Rasjad, Chairuddin. 2008. Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi,cetakan ke-V.
Jakarta: Yarsif Watampone. 332-334
Sjamsuhidajat R, Jong W. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi 2. Jakarta:
EGC. 840-841
Smeltzer, Suzanne C. dan Bare, Brenda G, 2002, Buku Ajar Keperawatan
Medikal Bedah Brunner dan Suddarth (Ed.8, Vol. 1,2), EGC, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai