FRAKTUR
DI RUANG 13 RSSA MALANG
Disusun untuk memenuhi Tugas Kepaniteraan klinik Departemen Surgikal
Disusun Oleh :
I Ketut Yoga Sedana
140070300011175
c.
Etiologi lain
Degenerasi
3. Klasifikasi
Berikut ini terdapat beberapa klasifikasi Fraktur sebagaimana yang
dikemukakan oleh para ahli (Rasjad, 2008):
A. Berdasarkan luas dan garis traktur meliputi:
1) Fraktur komplit adalah patah atau diskontinuitas jaringan tulang yang luas
sehingga tulang terbagi menjadi dua bagian dan garis patahnya
menyeberang dari satu sisi ke sisi lain serta mengenai seluruh korteks.
2) Fraktur inkomplit adalah patah atau diskontinuitas jaringan tulang dengan
garis patah tidak menyeberang, sehingga tidak mengenai seluruh korteks
(masih ada korteks yang utuh).
B. Berdasarkan hubungan dengan dunia luar, meliputi:
1) Fraktur tertutup yaitu fraktur tanpa adanya komplikasi, kulit masih utuh,
tulang tidak keluar melewati kulit.
2) Fraktur terbuka yaitu fraktur yang merusak jaringan kulit, karena adanya
hubungan dengan lingkungan luar, maka fraktur terbuka potensial terjadi
infeksi. Fraktur terbuka dibagi menjadi 3 grade yaitu:
a) Grade I : Robekan kulit dengan kerusakan kulit dan otot.
b) Grade II : Seperti grade I dengan memar kulit dan otot.
c) Grade III : Luka sebesar 6-8 cm dengan kerusakan pembuluh darah,
syaraf, otot dan kulit.
C. Berdasarkan garis patah tulang, yaitu:
1) Green Stick yaitu pada sebelah sisi dari tulang ( retak dibawah lapisan
periosteum) / tidak mengenai seluruh kortek, sering terjadi pada anakanak dengan tulang lembek.
2) Transverse yaitu patah melintang ( yang sering terjadi ).
3) Longitudinal yaitu patah memanjang.
4) Oblique yaitu garis patah miring.
5) Spiral yaitu patah melingkar.
6) Communited yaitu patah menjadi beberapa fragmen kecil
Apakah
terdapat
luka
pada
kulit
dan
jaringan
lunak
untuk
Perhatikan
adanya
deformitas
berupa
angulasi,
rotasi
dan
kependekan
-
Lakukan survei pada seluruh tubuh apakah ada trauma pada organorganlain
Keadaan vaskularisasi
2. Palpasi (Feel)
Palpasi dilakukan secara hati-hati oleh karena penderita biasanya mengeluh
sangatnyeri.
-
Refilling (pengisian) arteri pada kuku, warna kulit pada bagian distal
daerah trauma , temperatur kulit
3. Pergerakan (Move)
Pergerakan dengan mengajak penderita untuk menggerakkan secara
aktif dan pasif sendi proksimal dan distal dari daerah yang mengalami trauma.
Pada pederita dengan fraktur, setiap gerakan akan menyebabkan nyeri hebat
sehingga uji pergerakan tidak boleh dilakukan secara kasar, disamping itu juga
dapat menyebabkan kerusakan pada jaringan lunak seperti pembuluh darah dan
saraf.
5. Patofisiologi (terlampir)
6. Pemeriksaan Diagnostik.
Pemeriksaan penunjang
untuk
megakan
diagnosa
fraktur
masih
keadaan,
lokasi
serta
eksistensi
fraktur.
Untuk
Dua pandangan
Dua sendi
Pada lengan bawah atau kaki, satu tulang dapat mengalami
fraktur atau angulasi. Tetapi angulasi tidak mungkin terjadi kecuali kalau
tulang yang lain juga patah, atau suatu sendi mengalami dislokasi. Sendisendi diatas dan di bawah fraktur keduanya harus disertakan dalam foto
sinar-X.
Dua tungkai
Pada sinar-X anak-anak epifise dapat mengacaukan diagnosis
fraktur. Foto pada tungkai yang tidak cedera akan bermanfaat.
-
fraktur
dapat
menentukan
prognosis
serta
waktu
sering
bentuk
tulang
dilakukan
dengan
dengan
tindakan
internal
fixasi
akan
mengimmobilisasi
fraktur
dengan
melakukan
b. Skeletal traksi
Adalah traksi yang digunakan untuk meluruskan tulang yang
cedera pada sendi panjang untuk mempertahankan bentuk dengan
memasukkan pins / kawat ke dalam tulang.
4.
Immobilisasi
Adalah berjalan dengan tungkai diberi beban hanya dari beban tungkai itu
sendiri. Dilakukan bila callus telah mulai terbentuk ( 3 6 minggu )
setelah operasi.
3. Full Weight Bearing
Adalah berjalan dengan beban penuh dari tubuh. Dilakukan setelah 3
bulan pasca operasi dimana tulang telah terjadi konsolidasi secara kuat.
Proses penyembuhan
Suatu fraktur dimulai sejak terjadi fraktur sebagai usaha tubuh untuk
memperbaiki kerusakan kerusakan yang dialaminya. Penyembuhan dari fraktur
dipengaruhi oleh beberapa faktor lokal dan faktor sistemik, adapun faktor lokal
yang terjadi pada beberapa fase penyembuhan (Samsuhidayat, 2005; Rasjad,
2008):
a. Lokasi fraktur
b. Jenis tulang yang mengalami fraktur.
c. Reposisi anatomis dan immobilasi yang stabil.
d. Adanya kontak antar fragmen.
e. Ada tidaknya infeksi.
f. Tingkatan dari fraktur.
Adapun faktor sistemik adalah :
a. Keadaan umum pasien
b. Umur
c. Malnutrisi
d. Penyakit sistemik.
1. Fase Inflamasi:
Tahap
inflamasi
berlangsung
beberapa
hari
dan
hilang
dengan
klinis fragmen tulang tidak bisa lagi digerakkan. Regulasi dari pembentukan kalus
selama masa perbaikan fraktur dimediasi oleh ekspresi dari faktor-faktor
pertumbuhan. Salah satu faktor yang paling
dominan dari sekian banyak faktor pertumbuhan adalah Transforming Growth
Factor-Beta
1 (TGF-B1) yang menunjukkan keterlibatannya dalam pengaturan differensiasi
dari osteoblast dan produksi matriks ekstra seluler. Faktor lain yaitu: Vascular
Endothelial Growth Factor (VEGF) yang berperan penting pada proses
angiogenesis selama penyembuhan fraktur. (Sjamsuhidayat, 2005).
Pusat dari kalus lunak adalah kartilogenous yang kemudian bersama
osteoblast akan berdiferensiasi membentuk suatu jaringan rantai osteosit, hal ini
menandakan adanya sel tulang serta kemampuan mengantisipasi tekanan
mekanis. Proses cepatnya pembentukan kalus lunak yang kemudian berlanjut
sampai fase remodelling adalah masa kritis untuk keberhasilan penyembuhan
fraktur.
Jenis-jenis Kalus
Dikenal beberapa jenis kalus sesuai dengan letak kalus tersebut berada
terbentuk kalus primer sebagai akibat adanya fraktur terjadi dalam waktu 2
minggu Bridging (soft) callus terjadi bila tepi-tepi tulang yang fraktur tidak
bersambung. Medullary (hard) Callus akan melengkapi bridging callus secara
perlahan-lahan. Kalus eksternal berada paling luar daerah fraktur di bawah
periosteum periosteal callus terbentuk di antara periosteum dan tulang yang
fraktur. Interfragmentary callus merupakan kalus yang terbentuk dan mengisi
celah fraktur di antara tulang yang fraktur. Medullary callus terbentuk di dalam
medulla tulang disekitar daerah fraktur.
4. Stadium Konsolidasi
Dengan aktifitas osteoklast dan osteoblast yang terus menerus, tulang
yang immature (woven bone) diubah menjadi mature (lamellar bone). Keadaan
tulang ini menjadi lebih kuat sehingga osteoklast dapat menembus jaringan
debris pada daerah fraktur dan diikuti osteoblast yang akan mengisi celah di
antara fragmen dengan tulang yang baru. Proses ini berjalan perlahan-lahan
selama beberapa bulan sebelum tulang cukup kuat untuk
menerima beban yang normal.
5. Stadium Remodelling.
Fraktur telah dihubungkan dengan selubung tulang yang kuat dengan
bentuk yang berbeda dengan tulang normal. Dalam waktu berbulan-bulan
bahkan bertahun-tahun terjadi proses pembentukan dan penyerapan tulang yang
terus menerus lamella yang tebal akan terbentuk pada sisi dengan tekanan yang
tinggi. Rongga medulla akan terbentuk kembali dan diameter tulang kembali
pada ukuran semula. Akhirnya tulang akan kembali mendekati bentuk
semulanya, terutama pada anak-anak. Pada keadaan ini tulang telah sembuh
secara klinis dan radiologi.
Fase Inflamasi
Fase Proliferasi
Fase Pembentukan
Fase Remodelling
8. Komplikasi
Komplikasi awal fraktur maksila dapat berupa pendarahan ekstensif serta
gangguan pada jalan nafas akibat pergeseran fragmen fraktur, edema, dan
pembengkakan soft tissue. Infeksi pada luka maksilari lebih jarang dibandingkan
pada luka fraktur mandibula. Padahal luka terkontaminasi saat tejadi cedera oleh
segmen gigi dan sinus yang juga mengalami fraktur. Infeksi akibat fraktur yang
melewati sinus biasanya
tidak akan
terjadi kecuali
terdapat
obstruksi
sebelumnya. Pada Le Fort II dan III, daerah kribiform dapat pula mengalami
fraktur, sehingga terjadi rhinorrhea cairan serebrospinal. Selain itu, kebutaan juga
dapat terjadi akibat pendarahan dalam selubung dural nervus optikus. Komplikasi
akhir dapat berupa kegagalan penyatuan tulang yang mengalami fraktur,
penyatuan
yang
salah,
obstruksi
sistem
lakrimal,
anestesia/hipoestesia
Terabanya nadi
Kulit hangat
Sensasi normal
Sensori biasa
Ketidaknyamanan hilang.
Intervensi
1. Kaji kulit untuk luka terbuka, benda asing,
kemerahan, perdarahan, perubahan warna
kelabu, memutih
2. Masase kulit dan penonjolan tulang. Pertahankan
tempat tidur kering dan babas kerutan
3. Ubah posisi dengan sering
4. Kaji posisi cincin bebat pada alat traksi
5. Untuk traksi kulit + perawatan
a. Bersihkan kulit dengan air sabun hangat
b. Beri tintur benzoin
c. Gunakan plester traksi kulit
d. Lebarkan plaster sepanjang tungkai
e. Tandai garis dimana plester keluar sepanjang ekstremitas
f.
Bebas iritema
Bebas demam
Intervensi
1. Inspeksi kulit untuk adanya iritasi/ robekan
kontinuitas
2. Kaji keluhan peningkatan nyeri
3. Beri perawatan steril sesuai protocol
4. Kaji tonus otot, reflek tendon
5. Selidiki nyeri tiba-tiba, keterbatasan gerak,
oedema
6. Lakukan prosedur isolasi
7. Kolaborasi: Periksa lab, beri antibiotik sesuai
indikasi
DAFTAR PUSTAKA
Doengoes, Marilynn E., Mary Frances Moorhouse., & Alice C. Murr. 2010.
Nursing Diagnosis Manual : Planning, Individualizing, and Documenting
Client Care. Philadelphia : F.A Davis Company
Lewis at al. 2006. Medical Surgical Nursing Assesment and Management of
Clinical Problem 5th ed. Philadelpia: Mosby
Mansjoer, Arif dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran, Jilid 2. Jakarta: Media
Aesculapius.346-37
Price, S. A. dan Wilson, L. M. 2006. Patofisiologi : Konsep Klinis ProsesProses Penyakit, Edisi 6, Volume 1. Jakarta: EGC
Rasjad, Chairuddin. 2008. Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi,cetakan ke-V.
Jakarta: Yarsif Watampone. 332-334
Sjamsuhidajat R, Jong W. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi 2. Jakarta:
EGC. 840-841
Smeltzer, Suzanne C. dan Bare, Brenda G, 2002, Buku Ajar Keperawatan
Medikal Bedah Brunner dan Suddarth (Ed.8, Vol. 1,2), EGC, Jakarta.