Disusun oleh:
KELOMPOK 3A
1. AMIR SYAIFUL AMRI
2. ADITYA ANANG JATMIKO
3. RESTU KUSUMANINGTYAS
4. SEPTI EPRIYANTI
5. DEWI YUNI LESTARI
C. PATOFISIOLOGI
Kolumna vertebralis tersusun atas seperangkat sendi antara korpus vertebra yang
saling berdekatan. Diantaranya korpus vertebra mulai dari vertebra sevikalis kedua
sampai vertebra sakralis terdapat discus intervertebralis. Discus-discus ini membentuk
sendi fibrokartilago yang lentur antara korpus pulposus ditengah dan annulus fibrosus di
sekelilingnya. Nucleus pulposus merupakan rongga intervertebralis yang terdiri dari
lapisan tulang rawan dalam sifatnya semigelatin, mengandung berkas-berkas serabut
kolagen, sel sel jaringan penyambung dan sel-sel tulang rawan. Zat-zat ini berfungsi
sebagai peredam benturan antara korpus vertebra yang berdekatan, selain itu juga
memainkan peranan penting dalam pertukaran cairan antara discus dan pembuluh-
pembuluhkapiler. Apabila kontuinitas tulang terputus, hal tersebut akan mempengaruhi
berbagai bagian struktur yang ada disekelilingnya seperti otot dan pembuluh darah.
Akibat yang terjadi sangat tergantung pada berat ringannya fraktur, tipe, dan luas fraktur.
Pada umumnya terjadi edema pada jaringan lunak, terjadi perdarahan pada otot dan
persendian, ada dislokasi atau pergeseran tulang, ruptur tendon, putus persyarafan,
kerusakan pembuluh darah dan perubahan bentuk tulang dan deformitas. Bila terjadi
patah tulang, maka sel sel tulang mati. Perdarahan biasanya terjadi disekitar tempat
patah dan kedalaman jaringan lunak disekitar tulang tersebut dan biasanya juga
mengalami kerusakan. Reaksi peradangan hebat timbul setelah fraktur.
Cedera medulla spinalis paling sering terjadi karena trauma/cedera pada vertebra.
Adanya kompresi tulang menyebabkan diskontinuitas jaringan tulang dan atau tulang
rawan lumbal serta dapat merusak system saraf otonom (saraf parasimpatis). Pada area
kornu lateralis medulla spinalis bagian sacral yang erat kaitannya dengan status miksi
dan defekasi. Kompresi juga dapat merusak fleksus saraf utama terutama F. lumbalis
yang tergabung dalam fleksus lumbosakralis yang berpengaruh pada persarafan
ekstrimitas bawah. Dapat dijelaskan secara terinci:
1. Saraf lumbal I dan II membentuk nervus genitor femoralis yang mensyarafi kulit
daerah genetalia dan paha atas bagian medial.
2. Saraf lumbal II - IV bagian dorsal membentuk nervus femoralis mensarafi
muskulus quadriceps femoralis lateralis yang mensyarafi kulit paha lateralis.
3. Saraf lumbal IV - sacral III bagian vebtral membentuk nervus tibialis.
4. Saraf lumbal IV- sacral II bagian dorsal bersatu menjadi nervus perokus atau
fibula komunis.
Pathway Fraktur Lumbal :
D. MANIFESTASI KLINIS
Secara klinis pasien mengeluh nyeri pinggang bawah dan sangat hebat, mendadak
sebelah gerakan fleksi dan adanya spasme otot para vertebrata. Terdapat nyeri tekan
yang jelas pada tingkat prolapsus diskus bila dipalpasi. Terdapat nyeri pada daerah
cedera, hilang mobilitas sebagian atau total atau hilang sensasi di sebelah bawah dari
tempat cedera dan adanya pembengkakan, memar disekitar fraktur jauh lebih mendukung
bila ada deformitas (gibbs) dapat berupa angulasi (perlengkungan). Berubahnya
kesegarisan atau tonjolan abnormalitas dari prosesus spinalis dapat menyarankan adanya
lesi tersembunyi. Lesi radiks dapat ditandai dengan adanya defisit sensorik dan motorik
segmental dalam distribusi saraf tepi, perlu diperiksa keadaan neurologist serta
kemampuan miksi dan defekasi seperti adanya inkontinensia uri et alvi paresthesia.
Selama 24 jam pertama setelh trauma, suatu lesi partikel dari medulla spinalis
dimanifestasikan paling sedikit dengan masih berfungsinya daerah sacral sensori perianal
dan suatu aktifitas motorik volunteer fleksor kaki.
E. KOMPLIKASI
Komplikasi yang dapat terjadi :
1) Syok
Syok hipovolemik akibat perdarahan dan kehilangan cairan ekstrasel ke jaringan
yang rusak sehingga terjadi kehilangan darah dalam jumlah besar akibat trauma.
2) Mal union, gerakan ujung patahan akibat imobilisasi yang jelek menyebabkan mal
union, sebab-sebab lainnya adalah infeksi dari jaringan lunak yang terjepit diantara
fragmen tulang, akhirnya ujung patahan dapat saling beradaptasi dan membentuk
sendi palsu dengan sedikit gerakan (non union).
3) Non union
Non union adalah jika tulang tidak menyambung dalam waktu 20 minggu. Hal ini
diakibatkan oleh reduksi yang kurang memadai.
4) Delayed union
Delayed union adalah penyembuhan fraktur yang terus berlangsung dalam waktu
lama dari proses penyembuhan fraktur.
F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Diantara pemeriksaan penunjang antaralain :
1. Rontgen : Pemeriksaan dengan sinar X atau fluoroskopik dari kolumna vertebralis
dan ekstrimitas dapat membantu menegakkan diagnosa awal.
2. Laminografi atau tomografi terkomputerisasi : Dapat memperlihatkan lesi tulang
yang tersembunyi terutama di kanalis spinalis.
3. Ct Scan atau MRI : Merupakan satu-satunya cara untuk menunjukkan apakah ada
fraktur vertebra mengancam akan menekan medula spinalis.
G. PENATALAKSANAAN
Bila tidak ada keluhan neurologik :
1. Istirahat di tempat tidur : terlentang dengan dasar keras, posisi
defleksi 3-4 minggu
2. Beri analgetik bila nyeri
3. Pada fraktur stabil, setelah 3-4 minggu kalau tidak merasa sakit lagi,
latih otot-otot punggung 1-2 minggu, kemudian mobilisasi, belajar duduk jalan dan
bila tidak ada apa-apa klien boleh pulang. Pada fraktur yang tidak stabil ditunggu 6-8
minggu.
Bila kelainan neurologik didapatkan:
Jika dalam observasi membaik, tergantung dari stabil/tidak, tindakan seperti pada
fraktur tanpa kelainan neurologik. Jika dalam observasi keadaan memburuk, maka
harus segera dilakukan operasi dekompresi, sama halnya bila kelainan karena
kompresi fraktur. Tekanan dihilangkan dengan operasi misalnya laminektomi.
Kemudian dibantu dari luar misalnya dengan gips broek, gips korset, jaket minerva,
tergantung dari tempat fraktur. Pada pemasangan gips korset: harus meliputi sampai
manubrium sterni, simpisis daerah fraktur dan di bawah ujung skapula.
H. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Pre operasi
1. Nyeri akut berhubungan dengan agen injuri fisik
2. Cemas berhubungan dengan krisis situasional
Intra operasi
3. Nyeri akut berhubungan dengan proses pembedahan
4. Kerusakan intergritas jaringan berhubungan dengan faktor mekanik.
5. Resiko infeksi dengan faktor resiko prosedur invasif
6. PK: perdarahan
7. PK: syok
Post operasi
8. Resiko aspirasi dengan faktor resiko penurunan kesadaran
9. Resiko cedera posisi perioperatif dengan faktor resiko gangguan persepsi sensori
karena anestesi.
10. Resiko infeksi dengan faktor resiko prosedur invasif
DAFTAR PUSTAKA
Brunner & suddarth (2002). Keperawatan Medikal Bedah. Edisi 3. Volume 2. Jakarta : EGC.
Price S.A., Wilson L.M. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi
6. Jakarta; EGC
Smelter, S.C., & Bare, B.G. (2006), Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta : EGC.
Weiner, Howard L, Lawrence P.Levitt. 2001. Buku Saku Neurologi. Edisi 5. Jakarta; EGC