Anda di halaman 1dari 15

KONSEP DASAR

A. PENGERTIAN
Osteomielitis adalah infeksi pada sumsum tulang yang dapat disebabkan oleh bakteri,
virus atau proses spesifik (M. Tuberculosa, jamur) (Mansjoer, 2000, hal 358).
Osteomielitis adalah infeksi akut tulang yang dapat terjadi karena penyebaran infeksi
dari darah (osteomielitis hematogen) atau yang lebih sering, setelah kontaminasi fraktur
terbuka atau reduksi (osteomielitis eksogen) (Elizabet J. Coroin, 2001, hal 301).
Osteomielitis adalah infeksi pada tulang yang biasanya menyerang metafisis tulang
panjang (FKUI Jakarta, 1996, hal 131). Osteomielitis adalah radang sumsum tulang
(Ramali, 2002, hal 244).

B. KLASIFIKASI
Pembagian osteomielitis yang lazim menurut Arif Mansjoer (2000, hal 358) :
1. Osteomielitis primer, yang disebabkan penyebaran secara hematogen dari fokus
lain, osteomielitis primer dapat dibagi menjadi osteomielitis akut dan kronik.
2. Osteomielitis sekunder atau osteomielitis perkontinuitanum yang disebabkan
penyebaran kuman dari sekitarnya, seperti bisul dan luka.

Menurut Sjamsuhidajat (1997, hal 1.221-1.222) osteomilitis dibagi menjadi dua, antara
lain

1. Osteomielitis akut, infeksi tulang panjang yang disebabkan oleh infeksi lokal atau
trauma tulang.
2. Osteomielitis kronis, osteomilitis akut yang tidak diterapi secara adekuat

C. ETIOLOGI
Organisme penyebab umum menurut Sachdeva (1996, hal 92) :
1.
2.
3.
4.

Staphylococcus aureus
Streptococcus pyogenes
Pneumococcus
Escherichia coli

D. PATOFISIOLOGI
Faktor-faktor yang berperan dalam menimbulkan penyakit yaitu virulensi organisme dan
kerentanan hospes dengan status imun yang rendah. Penyakit ini lebih terbatas pada
metafisis tulang karena pembuluh darah cenderung melingkari metafisis sehingga
memungkinkan emboli terinfeksi menyangkut di daerah itu dan lapisan epifisis dapat
mencegah penyebaran infeksi ke sendi sehingga infeksi terkoalisir di metafisis. Itulah
sebabnya mengapa infeksi terjadi pada lapisan metafisis tulang yang mengalami
pertumbuhan pada anak-anak. Tetapi pada orang dewasa terjadi di diafisis.. Emboli yang
terinfeksi menyangkut di dalam pembuluh darah, menyebabkan trombosis sehingga
mengakibatkan nekrosis avaskuler pada bagian korteks tulang.

Respons peradangan terhadap infeksi mengakibatkan suhu tubuh meningkat dan terjadi
oedem dan mengakibatkan terangkatnya periosteum dari tulang sehingga memutuskan
lebih banyak suplai darah. Pengangkatan periosteum ini menimbulkan nyeri hebat,
apalagi dengan adanya tegangan eksudat dibawahnya, infeksi dapat pecah ke
subperiosteal kemudian menembus subkutis dan menyebar menjadi selulitis atau
menjalar melalui rongga subperiosteal ke diafisis. Infeksi juga dapat pecah ke bagian
tulang diafisis melalui kanalis medularis, penjalaran subperiosteal ke arah diafisis akan
memasuki pembuluh darah yang ke diafisis sehingga menyebabkan nekrosis tulang.
Tulang yang mengalami nekrosis dikenal sebagai sekuestrum. Tulang dimana
periosteum terangkat melapisi tulang yang mati dikenal dengan involukrum. Pus
mencari jalan keluar dari lapisan tulang baru melalui serangkaian lubang yang dikenal
dengan kloaka. (Sachdeva, 1996. hal 92 dan Sjamsuhidayat, 1997, 1221)

E. MANIFESTASI KLINIK

Menurut Sachdeva (1996, hal 93) gejala penyakit yang paling umum ialah rasa nyeri
yang perlahan-lahan meningkat, keparahannya sehingga menderita demam dan toksik
dalam waktu 48 jam. Tanda fisik yang penting ialah nyeri tekan lokal dekat metafisis.
Menurut Elizabet J Corwin (2001, hal 301) : gejala gejala osteomielitis hematogen
antara lain adalah demam, menggigil dan keengganan menggerakkan anggota badan
yang sakit.
Pada orang dewasa, gejala mungkin samar dan berupa demam, lemah dan malaise.
Infeksi saluran nafas, saluran kemih, telinga atau kulit sering mendahului osteomielitis
hematogen. Osteomielitis eksogen biasanya disertai tanda-tanda cedera dan peradangan
ditempat nyeri. Terjadi demam dan pembesaran kelenjar getah bening regional.
Menurut M.A. Handerson (1997 : 213/215) gejala pada osteomilitis akut yaitu nyeri
tekan akut pada daerah tulang yang sakit, nyeri bila bagian yang sakit digerakkan. Tanda
fisiknya yaitu pembengkakan dan kemerahan, pyrexia, panas tinggi. Sedangkan pada
osteomilitis kronik gejalanya yaitu nyeri pada tulang yang kumat-kumatan selama suatu
jangka waktu yang panjang. Tanda fisiknya pada pemeriksaan sinar memperlihatkan
adanya kavitasi.

F. KOMPLIKASI
Penyakit infeksi dapat menimbulkan komplikasi dini dan lanjut. Komplikasi dini dapat
berupa pembentukan abses jaringan lunak dan arthritis septik, sementara itu komplikasi
lanjutnya berupa osteomielitis kronis, fraktur patologis, kontraktur sendi dan gangguan
pertumbuhan tulang. Smeltzer & Bare (2002 : 2387)
G. PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Pemeriksaan darah : sel darah putih meningkat sampai 30.000 disertai laju endap
darah ; pemeriksaan titer antibody anti-stafilokokus ; pemeriksaan kultur darah
untuk menentukan bakterinya (50% POSITIF) dan di ikuti uji sensetivitas.selain
itu,harus diperiksa adanya penyakit anemia sel sabit yang merupakan jenis
osteomeilitis yang jarang terjadi.
2. Pemerisaan feces : pemeriksaan feces untuk kultur dilakukan bila trdapat
kecurigaaninfeksi oleh bakteri.
3. Pemeriksaan biopsy : pemeriksaan di lakukan pada tempat yang di curigai.
4. Pemeriksaan ultra sound: pemeriksaan ini dapat memperlihatkan efusi pada sendi.
5.
5. Pemeriksaan radiologi: Pada pemeriksaan foto polos sepuluh hari pertama,tidak di
temukan kelainan radiologis yang berarti, dan mungkin hanya di temukan
pembengkakan jaringan lunak.Gambaran destruksi tulang dapat dilihat setelah
sepuluh hari (2 minggu). Pemeriksaan radioisotope akan memperlihatkan
penangkapan isotop pada daerah lesi.

H. PENATALAKSANAAN MEDIS

Beberapa prinsip penataalaksanaan klien osteomielitis yang perlu diketahui perawat


dalam melaksanakan asuhan keperwatan agar mampu melaksanakan tindakan
kolaboratif adalah sebagai berikut :
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Istirahat dan memberikan analgesic untuk menghilangkan nyeri.


Pemberian cairan intravena dan kalau perlu tranfusi darah.
Istirahat local dengan bidai dan traksi.
Pemberian antibiotic secepatnya sesuai dengan penyebab utama yaitu
staphylococcus aureus
sambil menunggu biakan kuman.Antibiotik diberikan selama 3-6 minggu dengan
melihat keadaan umum dan endap darah klien.Antibiotik tetap diberikan hingga 2

minggu setelah endap darah normal


7. Drainase bedah. Apabila setelah 24 jam pengobatan local dan sistemik antibiotic
gagal (tidak ada perbaikan keadaan umum), dapat dipertimbangkan drainase bedah.
Pada draenase bedah, pus periosteal di evakuasi untuk mengurangi tekanan intrauseus. Disamping itu, pus jg di gunakan untuk biakan kuman.Draenase dilakukan
selama beberapa hari dan menggunakan NaCL dan antibiotic.
Daerah yang terkena harus diimobilisasi untuk mengurangi ketidaknyamanan dan
mencegah terjadinya fraktur. Dapat dilakukan rendaman salin hangat selama 20 menit
beberapa kali per hari untuk meningkatkan aliran darah.
Sasaran awal terapi adalah mengontrol dan menghentikan proses infeksi. Kultur darah,
kultur abses dilakukan untuk mengidentifikasi organisme dan memilih antibiotika yang
terbaik. Kadang, infeksi disebabkan oleh lebih dari satu pathogen.
Begitu spesimen kultur diperoleh dimulai terapi antibiotika intravena, dengan asumsi
bahwa dengan infeksi staphylococcus yang peka terhadap peningkatan semi sintetik
atau sefalosporin. Tujuannya adalah mengontrol infeksi sebelum aliran darah ke daerah
tersebut menurun akibat terjadinya trombosis.Pemberian dosis antibiotika terus menerus
sesuai waktu sangat penting untuk mencapai kadar antibiotika dalam darah yang terusmenerus tinggi. Antibiotika yang paling sensitif terhadap organisme penyebab yang
diberikan bila telah diketahui biakan dan sensitivitasnya. Bila infeksi tampak telah
terkontrol antibiotika dapat diberikan per oral dan dilanjutkan sampai 3 bulan. Untuk
meningkatkan absorpsi antibiotika oral, jangan diminum bersama makanan.
Bila pasien tidak menunjukkan respons terhadap terapi antibioka, tulang yang terkena
harus dilakukan pembedahan, jaringan purulen dan nekrotik diangkat dan daerah itu

diirigasi secara langsung dengan larutan salin fisiologis steril. Terapi antibiotika
dilanjutkan.
Pada osteomielitis kronik, antibiotika merupakan ajuvan terhadap debridemen bedah.
Dilakukan sequestrektomi (pangangkatan involukrum secukupnya supaya ahli bedah
dapat mengangkat sequestrum). Kadang harus dilakukan pengangkatan tulang untuk
menjalankan rongga yang dalam menjadi cekungan yang dangkal (saucerization). Semua
tulang dan kartilago yang terinfeksi dan mati diangkat supaya dapat terjadi
penyembuhan yang permanen.
Luka dapat ditutup rapat untuk menutup rongga mati (dead space) atau dipasang tampon
agar dapat diisi oleh jaringan grunulasi atau dilakukan grafting dikemudian hari. Dapat
dipasang drainase berpenghisap untuk mengontrol hematoma dan membuang debris.
Dapat diberikan irigasi larutan salin normal selama 7 sampai 8 hari. Dapat terjadi infeksi
samping dangan pemberian irigasi ini.
Rongga yang didebridemen dapat diisi dengan grafit tulang kanselus untuk merangsang
penyembuhan. Pada defek yang sangat besar, rongga dapat diisi dengan transfer tulang
berpembuluh darah atau flap otot (dimana suatu otot diambil dari jaringan sekitarnya
namun dengan pembuluh darah yang utuh). Teknik bedah mikro ini akan meningkatkan
asupan darah, perbaikan asupan darah kemudian akan memungkinkan penyembuhan
tulang dan eradikasi infeksi. Prosedur bedah ini dapat dilakukan secara bertahap untuk
menyakinkan penyembuhan. Debridemen bedah dapat melemahkan tulang, yang
kemudian memerlukan stabilisasi atau penyokong dengan fiksasi interna atau alat
penyokong eksterna untuk mencegah terjadinya patah tulang (Smeltzer, Suzanne C,
2002).

MANAJEMEN KEPERAWATAN
A. PENGKAJIAN
1. B1 (Breathing) : Pada inspeksi, didapat bahwa klien osteomielitis tidak mengalami
kelainan pernapasan. Pada palpasi toraks, ditemukan taktil fremitus seimbang kanan
dan kiri. Pada auskultasi, tidak didapat suara napas tambahan.
2.

B2 (Blood) : Pada inspeksi, tidak tampak iktus jantung. Palpasi menunjukan nadi
meningkat, iktus tidak teraba. Pada auskultasi, didapatkan S1 dan S2 tunggal, tidak
ada mundur.

3. B3 (Brain) : Tingkat kesadaran biasanya kompos mentis.


a. Kepala : Tidak ada gangguan (normosefalik, simetris, tidak ada penonjolan).
b. Leher : Tidak ada gangguan (simetris, tidak ada penonjolan, reflex menelan ada).
c. Wajah : Terlihat menahan sakit, tidak ada perubahan fungsi atau bentuk.
d. Mata : Tidak ada gangguan, seperti konjungtiva tidak anemis (pada klien patah
tulang tertutup karena tidak terjadi perdarahan). Klien osteomielitis yang desrtai
adanya malnutrisi lama biasanya mengalami konjungtiva anemis.
e. Telinga : Tes bisik atau Weber masih dalam keadaan normal.
f. Hidung : Tidak ada deformitas, tidak ada pernafasan cuping hidung.
g. Mulut dan faring : Tidak ada pembesaran tonsil, gusi tidak terjadi perdarahan,
mukosa mulut pucat.
h. Status mental : Observasi penampilan dan tingkah laku klien. Biasanya status
mental tidak mengalami perubahan.
i. Pemeriksaan saraf cranial :

1) Saraf I. Biasanya tidak ada kelainan fungsi penciuman.


2) Saraf II. Tes ketajaman penglihatan normal.
3) Saraf III,IV,dan VI. Biasanya tidak ada gangguan mengangkat kelopak mata,
pupil isokor. Saraf V. Klien osteomielitis tidak mengalami paralisis pada otot
wajah dan reflex kornea tidak ada kelainan.
4) Saraf VII. Persepsi pengecapan dalam batas normal dan wajah simetris.
5) Saraf VIII. Tidak ditemukan tuli konduktif dan tuli persepsi. Saraf IX dan X.
Kemampuan menelan baik.
6) Saraf XI. Tidak ada atrofi otot sternokleidomastoideus dan trapezius.
7) Saraf XII. Lidah simetris, tidak da deviasi pada satu sisi dan tidak ada
fasikulasi. Indra pengecapan normal.
4.

B4 (Bladder) :Pengkajian keadaan urine meliputi warna, jumlah, karakteristik dan


berat jenis. Biasanya klien osteomielitis tidak mengalami kelainan pada system ini.

5.

B5 (Bowel) :Inspeksi abdomen: Bentuk datar, simetris, tidak ada hernia. Palpasi:
Turgor baik, hepar tidak teraba. Perkusi: Suara timpani, ada pantulan gelombang
cairan. Auskultasi: Peristaltik usus normal (20 kali/menit). Inguinal-genitalia-anus:
Tidak ada hernia, tidak ada pembesaran limfe, tidak ada kesulitan defekasi. Pola
nutrisi dan metabolisme. Klien osteomielitis harus mengonsumsi nutrisi melebihi
kebutuhan sehari-hari, seperti kalsium, zat besi, protein, vitamin C, dan lainnya untuk
membantu proses penyembuhan infeksi tulang. Evaluasi terhadap pola nutrisi klien
dapat membantu menentukan penyebab masalah muskuloskletal dan mengantisipasi
komplikasi dari nutrisi yang tidak adekuat, terauma kalsium atau protein. Masalah
nyeri pada osteomielitis menebabkan klien kadang mual atau muntah sehingga
pemenuhan nutrisi berkurang. Pola eliminasi: Tidak ada gangguan pola eliminasi,
tetapi tetap perlu dikaji frekuensi, konsistensi, warna, serta bau feces. Pada pola
berkemih, dikaji frekuensi, kepekatan, warna, bau, dan jumlah urine.

6.

B6 (Bone) : Adanya oteomielitis kronis dengan proses supurasi di tulang dan


osteomielitis yang menginfeksi sendi akan mengganggu fungsi motorik klien.
Kerusakan integritas jaringan pada kulit karena adanya luka disertai dengan
pengeluaran pus atau cairan bening berbau khas.

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Preoperatif
1. Nyeri yang berhubungan dengan distensi jaringan oleh akumulasi cairan / proses
inflamasi.

2. Gangguan mobilitas fisik yang berhubungan dengan nyeri dan bengkak sendi.
3. Kurang pengetahuan tentang kondisi atau prognosis dan kebutuhan pengobatan
berhubungan dengan tidak mengenal sumber informasi.
Intraoperatif
1. Resiko tinggi perdarahan berhubungan dengan proses pembedahan.
Postoperatif
1. Nyeri yang berhubungan dengan inflamasi, insisi dan drainase.
2. Resiko infeksi berhubungan dengan luka insisi.
3. Gangguan mobilisasi fisik berhubungan dengan nyeri, alat imobilisasi dan
keterbatasan menahan beban berat badan.
C. INTERVENSI KEPERAWATAN
PREOPERATIF
Nyeri yang berhubungan dengan distensi jaringan oleh akumulasi cairan / proses
inflamasi. (Doengoes, 2000, hal. 861).
Tujuan : Nyeri dapat terkontrol atau hilang.
Kriteria hasil : Melaporkan bahwa nyeri hilang / terkontrol, menunjukkan lebih nyaman
dan rileks, waktu istirahat dan aktivitas seimbang
Intervensi :
1. Kaji lokasi, intensitas dan tipe nyeri.
Rasional : Untuk dapat mengidentifikasi rasa nyeri dan ketidaknyamanan yang dapat
berguna dalam penanganan medik dan intervensi keperawatan.
2. Tinggikan dan dukung ekstremitas yang terkena.
Rasional : Meningkatkan aliran balik vena menurunkan edema dan menurunkan
nyeri.
3. Jelaskan prosedur sebelum memulai tindakan keperawatan.
Rasional : Memungkinkan pasien untuk siap secara mental untuk aktivitas juga
berpartisipasi dalam mengontrol ketidaknyamanan.
4. Lakukan dan awasi latihan rentang gerak pasif atau aktif.
Rasional : Mempertahankan kekuatan atau mobilitas otot yang sakit dan
memudahkan resolusi inflamasi pada jaringan yang cedera.
5. Berikan alternatif tindakan kenyamanan, contoh perubahan posisi.
Rasional : Meningkatkan sirkulasi umum, menurunkan area tekanan lokal dan
kelelahan otot.
6. Dorong menggunakan tehnik manajemen stress, latihan nafas dalam.
Rasional : Memfokuskan kembali perhatian, meningkatkan rasa kontrol dan dapat
meningkatkan kemampuan koping dalam manajemen nyeri, yang mungkin
menetapkan untuk periode lebih lama.

7. Berikan obat sesuai indikasi : narkotik dan analgesik non narkotik.


Rasional : Diberikan untuk menurunkan nyeri dan atau spasme otot. 2.
Gangguan mobilitas fisik yang berhubungan dengan nyeri dan bengkak sendi
(Tucker, S.M., 1998, hal 430).
Tujuan : Penggunaan mobilitas dan persendian meningkat.
Kriteria hasil : Keikutsertaan dalam perawatan diri sendiri meningkat, edema
berkurang.
Intervensi :
1. Dorong partisipasi pada aktivitas terapeutik atau rekreasi.
Rasional : Memberikan kesempatan untuk mengeluarkan energi, memfokuskan
kembali perhatian, meningkatkan rasa kontrol diri atau harga diri dan membantu
menurunkan isolasi sosial.
2. Instruksikan pasien untuk bantu dalam rentang gerak pasif atau aktif pada
ekstremitas yang sakit dan yang tak sakit.
Rasional : Meningkatkan aliran darah ke otot dan tulang untuk meningkatkan kontrol
pasien dalam situasi dan meningkatkan kesehatan diri langsung.
3. Berikan atau bantu dalam mobilisasi dengan kursi roda, kruk, tongkat, sesegera
mungkin.
Rasional : Mobilisasi dini menurunkan komplikasi tirah baring (contoh Flebitis) dan
meningkatkan penyembuhan dan normalisasi fungsi organ.
4. Awasi TD dengan melakukan aktivitas.
Rasional : Hipotensi postural adalah masalah umum menyertai tirah baring lama dan
dapat memerlukan intervensi khusus (contoh kemiringan meja dengan peninggian
secara bertahap sampai posisi tegak).
5. Berikan diet tinggi protein, karbohidrat, vitamin dan mineral.
Rasional : Adanya cedera muskuloskeletal, nutrisi yang diperlukan untuk
penyembuhan berkurang dengan cepat.
Kurang pengetahuan tentang kondisi atau prognosis dan kebutuhan pengobatan
berhubungan dengan tidak mengenal sumber informasi (Tucker, S.M., 1998, hal
431).
Tujuan : Pasien dapat mengerti tentang penyakitnya.
Kriteria Hasil : Menyatakan kondisi, prognosis dan pengobatan, melakukan dengan
benar prosedur yang diperlukan dan menjelaskan akan tindakan.
Intervensi :
1. Kaji ulang patologi, prognosis dan harapan yang akan datang.
Rasional : Memberikan dasar pengetahuan dimana pasien dapat membuat pilihan
informasi.

2. Buat daftar aktivitas dimana pasien dapat melakukan secara mandiri.


Rasional : Penyusunan aktivitas sekitar kebutuhan dan yang memerlukan bantuan.
3. Dorong pasien untuk melanjutkan latihan aktif untuk sendi kaku.
Rasional : Mencegah kekakuan sendi, kontraktur dan kelelahan otot, meningkatkan
kembalinya aktivitas sehari-hari secara dini.
4. Kaji ulang perawatan pen atau luka yang tepat.
Rasional : Menurunkan resiko trauma tulang atau jaringan dan infeksi yang dapat
berlanjut menjadi osteomielitis.
5. Diskusikan perlunya keseimbangan kesehatan, nutrisi dan pemasukan cairan yang
adekuat.
Rasional : Memberikan nutrisi optimal dan mempertahankan volume sirkulasi untuk
meningkatkan regenerasi jaringan atau proses penyembuhan.
6. Tekankan perlunya nutrisi yang baik ; meningkatkan diit tinggi kalori tinggi protein
(TKTP) dan vitamin C.
Rasional : Meningkatkan penyembuhan dan mencegah komplikasi, mengurangi
kerusakan jaringan tubuh.
INTRAOPERATIF
Resiko tinggi perdarahan berhubungan dengan proses pembedahan.
Tujuan : Tidak Terjadi perdarahan.
Kriteria hasil : Tidak Terjadi perdarahan, TTV dalam batas normal.
Intervensi :
1. Monitor perdarahan pada daerah pembedahan setelah dilakukan insisi.
Rasional : Mengetahui jumlah perdarahan.
2. Ingatkan operator dan asisten bila terjadi perdarahan hebat.
Rasional : Mencegah perdarahan yang lebih banyak.
3. Monitor vital sign.
Rasional : Mengatahui kondisi pasien secara umum.
4. Monitor cairan.
Rasional : Mengatahui balance cairan.
POST OPERATIF
Nyeri yang berhubungan dengan inflamasi, insisi dan drainase.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan nyeri berkurang.
Kriteria Hasil :Klien akan mengekspresikan perasaan nyerinya, klien dapat tenang dan
istirahat yang cukup, Klien dapat mandiri dalam perawatan dan penanganannya secara
sederhana.
Intervensi :
1. Kaji lokasi, intensitas dan tipe nyeri.

Rasional : Untuk dapat mengidentifikasi rasa nyeri dan ketidaknyamanan yang dapat
berguna dalam penanganan medik dan intervensi keperawatan.
2. Tinggikan dan dukung ekstremitas yang terkena.
Rasional : Meningkatkan aliran balik vena menurunkan edema dan menurunkan
nyeri.
3. Jelaskan prosedur sebelum memulai tindakan keperawatan.
Rasional : Memungkinkan pasien untuk siap secara mental untuk aktivitas juga
berpartisipasi dalam mengontrol ketidaknyamanan.
4. Lakukan dan awasi latihan rentang gerak pasif atau aktif.
Rasional : Mempertahankan kekuatan atau mobilitas otot yang sakit dan
memudahkan resolusi inflamasi pada jaringan yang cedera.
5. Berikan alternatif tindakan kenyamanan, contoh perubahan posisi.
Rasional : Meningkatkan sirkulasi umum, menurunkan area tekanan lokal dan
kelelahan otot.
6. Dorong menggunakan tehnik manajemen stress, latihan nafas dalam.
Rasional : Memfokuskan kembali perhatian, meningkatkan rasa kontrol dan dapat
meningkatkan kemampuan koping dalam manajemen nyeri, yang mungkin
menetapkan untuk periode lebih lama.
7. Berikan obat sesuai indikasi : narkotik dan analgesik non narkotik.
Rasional : Diberikan untuk menurunkan nyeri dan atau spasme otot.
Resiko infeksi berhubungan dengan luka insisi.
Tujuan : Tidak terjadi pesiko perluasan infeksi yang dialami.
Kriteria Hasil : Mencapai waktu penyembuhan.
Intervensi :
1. Berikan perawatan luka.
Rasional : Mencegah pemasukan bakteri dari infeksi/ sepsis lanjut.
2. Ganti balutan dengan sering, pembersihan dan pengeringan kulit sepanjang waktu.
Rasional : Balutan basah menyebabkan kulit iritasi dan memberikan media untuk
pertumbuhan bakteri, peningkatan resiko infeksi luka.
3. Berikan antibiotic sesuai indikasi.
Rasional : Mungkin diberikan secara profilaktik sehubungan dengan peningkatan
resiko infeksi.
Gangguan mobilisasi fisik berhubungan dengan nyeri, alat imobilisasi dan
keterbatasan menahan beban berat badan.
Tujuan : Gangguan mobilitas fisik dapat berkurang setelah dilakukan tindakan
keperawatan. Kriteria Hasil : Meningkatkan mobilitas pada tingkat paling tinggi yang

mungkin, mempertahankan posisi fungsional, menunjukkan teknik mampu melakukan


aktivitas.
Intervensi :
1. Pertahankan tirah baring dalam posisi yang di programkan.
Rasional : Agar gangguan mobilitas fisik dapat berkurang.
2. Tinggikan ekstremitas yang sakit, instruksikan klien / bantu dalam latihan rentang
gerak pada ekstremitas yang sakit dan tak sakit.
Rasional : Dapat meringankan masalah gangguan mobilitas fisik yang dialami klien.
3. Beri penyanggah pada ekstremitas yang sakit pada saat bergerak.
Rasional : Dapat meringankan masalah gangguan mobilitas yang dialami klien.
4. Fisioterapi / auskultasi terapi.
Rasional : Mengurangi gangguan mobilitas fisik

DAFTAR PUSTAKA
Brunner & Suddarth. 1997. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah, Volume 3. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Doenges, Marilynn E, dkk. 1993. Rencana Asuhan Keperawatan, Pedoman Untuk
Perencanaan Dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
Doenges,Marilynn E.1999.Rencana Asuhan Keperawatan Edisi 3.EGC : Jakarta,hal 569
-595. Mansjoer, Arif, dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Edisi 3. Jakarta: Media
Aesculapius
Mutataqin, Arif. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem
Muskuloskeletal. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Smeltzer, Suzanne C. 2002.Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah Volume 2. EGC:


Jakarta

Anda mungkin juga menyukai