Anda di halaman 1dari 15

ANATOMI FISIOLOGI

Tulang belakang tersusun dari tulang-tulang pendek berupa ruas-ruas


tulang sejumlah lebih dari 30 buah. Tulang-tulang tersebut berjajar dari
dasar tengkorak sampai ke tulang ekor dengan lubang di tengah-tengah
setiap ruas tulang (canalis vertebralis), sehingga susunannya menyerupai
seperti terowongan panjang. Saraf dan pembuluh darah tersebut berjalan
melewati canalis vertebralis dan terlindung oleh tulang belakang dari
segala ancaman yang dapat merusaknya.
Antara setiap ruas tulang belakang terdapat sebuah jaringan lunak
bernama diskus intervertebra, yang berfungsi sebagai peredam kejut
(shock absorption) dan menjaga fleksibilitas gerakan tulang belakang,
yang cara kerjanya mirip dengan shock breaker kendaraan kita. Di setiap
ruas tulang juga terdapat 2 buah lubang di tepi kanan dan kiri belakang
tulang bernama foramen intervertebra, yaitu sebuah lubang tempat
berjalannya akar saraf dari canalis vertebra menuju ke seluruh tubuh.
Saraf-saraf tersebut keluar melalui lubang itu dan mempersarafi seluruh
tubuh baik dalam koordinasi gerakan maupun sensasi sesuai daerah
persarafannya.
Tulang belakang terdiri dari 4 segmen, yaitu segmen servikal (terdiri
dari 7 ruas tulang), segmen torakal (terdiri dari 12 ruas tulang), segmen
lumbal (terdiri dari 5 ruas tulang) serta segmen sakrococygeus (terdiri dari
9 ruas tulang). Diskus intervertebra terletak mulai dari ruas tulang servikal
ke-2 (C2) hingga ruas tulang sakrum pertama (S1).
Di luar susunan tulang belakang, terdapat ligamen yang menjaga posisi
tulang belakang agar tetap kompak dan tempat melekatnya otot-otot
punggung untuk pergerakan tubuh kita. Ligamen dan otot tulang belakang
berfungsi sebagai koordinator pergerakan tubuh.
Posisi tulang belakang yang normal akan terlihat lurus jika dilihat dari
depan atau belakang. Jika dilihat dari samping, segmen servikal akan
sedikit melengkung ke depan (lordosis) sehingga kepala cenderung
berposisi agak menengadah. Segmen torakal akan sedikit melengkung ke
belakang (kyphosis) dan segmen lumbal akan melengkung kembali ke
depan (lordosis).
Kelainan dari susunan anatomis maupun perbedaan posisi tulang
belakang yang normal tersebut, dapat berakibat berbagai keluhan dan
gangguan yang bervariasi. Keluhan dan gangguan tersebut akan berakibat
terganggunya produktivitas dan kualitas hidup seseorang. Tidak jarang
keluhan tersebut berakibat nyeri yang hebat, impotensi, hilangnya rasa
(sensasi) hingga kelumpuhan.
LAPORAN PENDAHULUAN
FRAKTUR CERVICAL

1. Definisi
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis
dan luasnya. (Brunner & Suddarth,2010).
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang yang umumnya
disebabkan oleh rudapaksa (Mansjoer, Arif, et al, 2007).
Trauma servikal adalah suatu keadaan cedera pada tulang belakang
servikal dan medulla spinalis yang disebabkan oleh dislokasi, subluksasi, atau
fraktur vertebra servikalis dan ditandai dengan kompresi pada medula spinalis
daerh servikal. Dislokasi servikal adalah lepasnya salah satu struktur dari
tulang servikal. Subluksasi servikal merupakan kondisi sebagian dari tulang
servikal lepas. Fraktur servikal adalah terputusnya hubungan dari badan tulang
vertebra servikalis (Muttaqin, 2011).
Cedera tulang belakang adalah cedera mengenai cervicalis, vertebralis dan
lumbalis akibat trauma, jatuh dari ketinggian, kecelakakan lalu lintas,
kecelakakan olah raga dsb (Sjamsuhidayat, 2006)
2. Etiologi
Cedera medulla spinalis servikal disebabkan oleh trauma langsung yang
mengenai tulang belakang di mana tulang tersebut melampaui kemampauan
tulang belakang dalam melindungi saraf-saraf belakangnya. Menurut Emma,
(2011) Trauma langsung tersebut dapat berupa :
1. Kecelakaan lalulintas
2. Kecelakaan olahraga
3. Kecelakaan industry
4. Jatuh dari pohon/bangunan
5. Luka tusuk
6. Luka tembak
7. Kejatuhan benda keras

3. Klasifikasi
Fraktur dapat sangat bervariasi tetapi untuk alasan yang praktis , dibagi
menjadi beberapa kelompok, yaitu:
a. Berdasarkan sifat fraktur.
1) Faktur Tertutup (Closed), bila tidak terdapat hubungan antara fragmen
tulang dengan dunia luar, disebut juga fraktur bersih (karena kulit
masih utuh) tanpa komplikasi.
2) Fraktur Terbuka (Open/Compound), bila terdapat hubungan antara
hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar karena adanya
perlukaan kulit.
b. Berdasarkan komplit atau ketidakklomplitan fraktur.
1) Fraktur Komplit, bila garis patah melalui seluruh penampang tulang
atau melalui kedua korteks tulang seperti terlihat pada foto.
2) Fraktru Inkomplit, bila garis patah tidak melalui seluruh penampang
tulang seperti:
a) Hair Line Fraktur (patah retidak rambut).
b) Buckle atau Torus Fraktur, bila terjadi lipatan dari satu korteks
dengan kompresi tulang spongiosa di bawahnya.
c) Green Stick Fraktur, mengenai satu korteks dengan angulasi
korteks lainnya yang terjadi pada tulang panjang.
c. Berdasarkan bentuk garis patah dan hubungannya dengan mekanisme
trauma
1) Fraktur Transversal: fraktur yang arahnya melintang pada tulang dan
merupakan akibat trauma angulasi atau langsung.
2) Fraktur Oblik: fraktur yang arah garis patahnya membentuk sudut
terhadap sumbu tulang dan meruakan akibat trauma angulasijuga.
3) Fraktur Spiral: fraktur yang arah garis patahnya berbentuk spiral yang
disebabkan trauma rotasi.
4) Fraktur Kompresi: fraktur yang terjadi karena trauma aksial fleksi
yang mendorong tulang ke arah permukaan lain.
5) Fraktur Avulsi: fraktur yang diakibatkan karena trauma tarikan atau
traksi otot pada insersinya pada tulang.
d. Berdasarkan jumlah garis patah.
1) Fraktur Komunitif: fraktur dimana garis patah lebih dari satu dan
saling berhubungan.
2) Fraktur Segmental: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak
berhubungan.
3) Fraktur Multiple: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak
pada tulang yang sama.
e. Berdasarkan pergeseran fragmen tulang.
1) Fraktur Undisplaced (tidak bergeser): garis patah lengkap ttetapi
kedua fragmen tidak bergeser dan periosteum nasih utuh.
2) Fraktur Displaced (bergeser): terjadi pergeseran fragmen tulang yang
juga disebut lokasi fragmen, terbagi atas:
a) Dislokai ad longitudinam cum contractionum (pergeseran searah
sumbu dan overlapping).
b) Dislokasi ad axim (pergeseran yang membentuk sudut).
c) Dislokasi ad latus (pergeseran dimana kedua fragmen saling
menjauh).
d) Fraktur Kelelahan: fraktur akibat tekanan yang berulang-ulang.
e) Fraktur Patologis: fraktur yang diakibatkan karena proses
patologis tulang.
(Suddarth, 2008:2354-2356)
f. Lesi spesifik dan penanganannya :
1) Occipital condyle fractures
Termasuk fracture yang jarang, klinis pasien datang dengan
penurunan kesadaran atau gangguan kranial nerve.
2) Condylar fracture terbagi 3 tipe:
a) Tipe I : fracture dikarenakan beban axial dari tengkorak ke tulang
atlas, fracture terjadi di occipital condyle tanpa/minimal
displacement ke foramen magnum
b) Tipe II : fracture dari condylus sampai foramen magnum. Tampak
fracture linien CT-Scan merupakan fracture stabil
c) Tipe III : Condyle fracture avulsi Mekanisme trauma biasanya
rotasi atau lateral bending atau keduanya merupakan fracture
unstable dan harus dilakukan craniocervical fusion
3) Atlanto occipital dislocation
Pasien datang dengan quadri-plegia dan respiratory arrest Diagnosa
ditegakkan dari
perhitungan lateral skull X-ray : >1 Normal: 0.7-0.009 Cervical traksi
merupakan kontra indikasi. Halo vest, atlanto occipital fusion.
Occipital fusion merupakan pilihan.

4. Patofisiologi
Patah tulang biasanya terjadi karena benturan tubuh, jatuh atau trauma.
Baik itu karena trauma langsung misalnya: tulang kaki terbentur bemper
mobil, atau tidak langsung misalnya: seseorang yang jatuh dengan telapak
tangan menyangga. Juga bisa karena trauma akibat tarikan otot misalnya:
patah tulang patela dan olekranon, karena otot trisep dan bisep mendadak
berkontraksi. (Doenges, 2000:629)
Sewaktu tulang patah perdarahan biasanya terjadi di sekitar tempat patah
dan ke dalam jaringan lunak sekitar tulang tersebut, jaringan lunak juga
biasanya mengalami kerusakan. Reaksi peradangan biasanya timbul hebat
setelah fraktur. Sel-sel darah putih dan sel mast berakumulasi menyebabkan
peningkatan aliran darahketempat tersebut. Fagositosis dan pembersihan sisa-
sisa sel mati dimulai. Di tempat patah terbentuk fibrin (hematoma fraktur) dan
berfungsi sebagai jala-jala untuk melekatkan sel-sel baru. Aktivitas osteoblast
terangsang dan terbentuk tulang baru imatur yang disebut callus. Bekuan
fibrin direabsorbsi dan sel-sel tulang baru mengalami remodeling untuk
membentuk tulang sejati Carpenito (2000:50)
Terjadinya trauma pada daerah tulang leher mengakibatkan fraktur. Akibat
kondisi seperti ini, pusat-pusat persarapan akan terjadi gangguan. Gangguan
ini diakibatkan karena terjepitnya saraf-saraf yang melalui daerah vertebra.
Karena vertebra merupakan pusat persarapan bagi berbagai organ, maka
kerja organ-organ tersebut akan terganggu atau bahkan mangalami
kelumpuhan, akibat fraktur ini pula, akan mengakibatkan blok saraf
parasimpasi dan pasien akan mengalami iskemia dan hipoksemia. Dan
akhirnya akan mengalami gangguan kebutuhan oksigen. Cedera yang terjadi
juga akan mengakibatkan pelepasan mediator-mediator kima yang akan
menimbulkan nyeri hebat dan akut selanjutnya terjadi syok spinal dan pasien
akan merasa tidak nyaman.
Gangguan sistem saraf spinal akan mengakibatkan kelumpuhan pada
organ-organ pencernahan dan sistem perkemihan. Dan masalh yang akan
terjadi adalah gangguan eliminasi.
5. Manifestasi klinis
1. Nyeri kepala
2. Nyeri yang menjalar ke bahu atau lengan
3. Memar dan bengkak di bagian belakang leher
4. Kelumpuhan organ-organ terutama
Hal ini terjadi karena adanya gangguan atau bahkan putusnya sitem
saraf pada daerah spinal yang terjepit oleh tulang yang patah pada daerah
tersebut.
6. Pemeriksaan penunjang
Setelah primary survey, pemeriksaan neurologis dan pemeriksaan
external, tahap berikutnya adalah evaluasi radiographic tercakup didalamnya,
plain foto fluoroscopy, polytomography, CT-Scan tanpa atau dengan
myelography dan MRI.
1. Plain foto
Cervical foto series dilakukan atas indikasi pasien dengan keluhan nyeri
lokal, deformitas, krepitasi atau edema, perubahan status mental, gangguan
neurologis atau cedera kepala, pasien dengan multiple trauma yang
potensial terjadi cervical spine injury. Komplit cervical spine seri terdiri
dari AP, lateral view, open mount dan oblique. Swimmer dan fleksi
ekstensi dilakukan bila diperlukan.

2. Computer tomography
Pada saat ini CT-Scan merupakan metode yang terbaik untuk akut spinal
trauma, potongan tipis digunakan untuk daerah yang dicurigai pada plain
foto. CTScan juga dilakukan bila hasil pemeriksaan radiologis tidak sesuai
dengan klinis, adanya defisit neurologis, fraktur posterior arcus canalis
cervicalis dan pada setiap fraktur yang dicurigai retropulsion fragmen
tulang ke kanal saat ini CT dapat dilakukan paad segital, coroval atau oblig
plane. 3 dimensi CT imaging memberikan gambaran yang lebih detail
pada fraktur yang tidak dapat dilihat oleh plain foto.
3. Myelografi
Pemberian kontras dengan water soluber medium diikuti dengan plain atau
CT dapat melihat siluet dari spinal cord, subarachnoid space, nerve root,
adanya lesi intra meduler, extrameduler, obstruksi LCS, robekan
duramater, tetapi dalam kasus trauma pemeriksaan ini masih
kontraversial.
4. Magentic Resonance Imaging (MRI)
MRI banyak digunakan untuk mengidentifikasi kerusakan syaraf spinal,
mendiagnosis akut spinal cord dan cervical spinal injury karena spinal
cord dan struktur sekitarnya dapat terlihat.
7. Penatalaksanaan
1. Pertolongan Pertama untuk Fraktur Servikal
Setiap cedera kepala atau leher harus dievaluasi adanya fraktur
servikalis. Sebuah fraktur servikal merupakan suatu keadaan darurat medis
yang membutuhkan perawatan segera. Spine trauma mungkin terkait
cedera saraf tulang belakang dan dapat mengakibatkan kelumpuhan,
sehingga sangat penting untuk menjaga leher. Jika ada kemungkinan patah
tulang leher, leher pasien tidak boleh digerakkan sampai tindakan medis
diberikan dan X-ray dapat diambil. Itu jalan terbaik untuk mengasumsikan
adanya cedera leher bagi siapa saja yang terkena benturan, jatuh atau
tabrakan. Gejala fraktur servikal termasuk parah dengan rasa sakit pada
kepala, nyeri yang menjalar ke bahu atau lengan,memar dan bengkak di
bagian belakang leher.
2. Penanganan Operasi
Goal dari penanganan operasi adalah: Reduksi mal aligment,
decompresi elemen neural dan restorasi spinal stability. Operasi anterior
dan posterior Anterior approach, indikasi:
- ventral kompresi
- kerusakan anterior collum
- kemahiran neuro surgeon
Posterior approach, indikasi:
- dorsal kompresi pada struktur neural
- kerusakan posterior collum
Keuntungan:
- dikenal banyak neurosurgeon
- lebih mudah
- medan operasi lebih luas dapat membuka beberapa segmen
- minimal morbility
3. Pembatasan aktivitas
Studi spesifik yang membandingkan keluaran dengan atau tanpa
pembatasan aktivitas belum ada. Jadi toleransi terhadap respon pengobatan
yang bersifat individual sebaiknya menjadi panduan bagi praktisi. Pada
tahap akut sebaiknya hindari pekerjaan yang mengharuskan gerak leher
berlebihan. Pemberian edukasi mengenai posisi leher yang benar sangatlah
membantu untuk menghindari iritasi radiks saraf lebih jauh. Seperti
contohnya : penggunaan telepon dengan posisi leher menekuk dapat
dikurangi dengan menggunakan headset, menghindari penggunaan
kacamata bifokal dengan ekstensi leher yang berlebihan, posisi tidur yang
salah. Saat menonton pertandingan pada lapangan terbuka , maupun layar
lebar sebaiknya menghindari tempat duduk yang menyebabkan kepala
menoleh/berotasi ke sisi lesi.
4. Penggunaan collar brace
Ada banyak jenis kolar yang telah dipelajari untuk membatasi
gerak leher. Kolar kaku/ keras memberikan pembatasan gerak yang lebih
banyak dibandingkan kolar lunak (soft collars ), kecuali pada gerak fleksi
dan ekstensi. Kelebihan kolar lunak : memberikan kenyamanan yang lebih
pada pasien. Pada salah satu studi menunjukkan bahwa tingkat kepatuhan
pasien untuk menggunakan kolar berkisar 68-72%. Penggunaan kolar
sebaiknya selama mungkin sepanjang hari. Setelah gejala membaik, kolar
dapat digunakan hanya pada keadaan khusus , seperti saat menyetir
kendaraan dan dapat tidak digunakan lagi bila gejala sudah menghilang.
Sangatlah sulit untuk menyatakan waktu yang tepat kolar tidak perlu
digunakan lagi, namun dengan berpatokan : hilangnya rasa nyeri,
hilangnya tanda spurling dan perbaikan defisit motorik dapat dijadikan
sebagai petunjuk.
5. Modalitas terapi lain
Termoterapi dapat digunakan untuk membantu menghilangkan
nyeri. Modalitas terapi ini dapat digunakan sebelum atau pada saat traksi
servikal untuk relaksasi otot. Kompres dingin dapat diberikan selama 15-
30 menit, 1 sampai 4 kali sehari, atau kompres panas /pemanasan selama
30 menit , 2 sampai 3 kali sehari jika dengan kompres dingin/pendinginan
tidak efektif. Pilihan antara modalitas panas atau dingin sangatlah
pragmatik tergantung pada persepsi pasien terhadap pengurangan nyeri.
Traksi leher merupakan salah satu terapi yang banyak digunakan
meskipun efektifitasnya belum dibuktikan dan dapat menimbulkan
komplikasi sendi temporomandibular. Ada beberapa jenis traksi, namun
yang dapat dilakukan di rumah adalah door traction. Traksi dapat
dilakukan 3 kali sehari selama 15 menit , dan dapat dilakukan dengan
frekuensi yang lebih sedikit selama 4 sampai 6 minggu. Setelah keluhan
nyeri hilang pun traksi masih dapat dianjurkan. Traksi dikontraindikasikan
pada pasien dengan spondilosis berat dengan mielopati dan adanya
arthritis dengan subluksasi atlanto-aksial. Latihan yang menggerakan leher
maupun merangsang nyeri sebaiknya dihindari pada fase akut. Saat nyeri
hilang latihan penguatan otot leher isometrik lebih dianjurkan.
Penggunaan terapi farmakologik dapat membantu mengurangi rasa
nyeri dan mungkin mengurangi inflamasi di sekitar radiks saraf (meskipun
inflamasi sebenarnya tidak pernah dapat dibuktikan di radiks saraf maupun
diskus). Jika gejala membaik dengan berbagai modalitas terapi di atas ,
aktivitas dapat secara progresif ditingkatkan dan terapi dihentikan atau
kualitas diturunkan. Jika tidak ada perbaikan atau justru mengalami
perburukan sebaiknya dilakukan eksplorasi yang lebih jauh termasuk
pemeriksaan MRI dan dipertimbangkan dilakukan intervensi seperti
pemberian steroid epidural maupun terapi operatif. Tidak ada patokan
sampai berapa lama terapi non-operatif dilanjutkan sebelum tindakan
operatif. Defisit neurologis pada herniasi diskus daerah lumbal yang cukup
besar dilaporkan bisa terjadi perbaikan tanpa operasi
8. Komplikasi
Menurut Emma, (2011) komplikasi pada fraktur servikal adalah :
1. Syok neurogenik
Syok neurogenik merupakan hasil dari kerusakan jalur simpatik
yang desending pada medulla spinalis. Kondisi ini mengakibatkan
kehilangan tonus vasomotor dan kehilangan persarafan simpatis pada
jantung sehingga menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah visceral serta
ekstremitas bawah maka terjadi penumpukan darah dan konsekuensinya
terjadi hipotensi.
2. Syok spinal
Syok spinal adalah keadaan flasid dan hilangnya refleks, terlihat
setelah terjadinya cedera medulla spinalis. Pada syok spinal mungkin akan
tampak seperti lesi komplit walaupun tidak seluruh bagian rusak.
3. Hipoventilasi
Hal ini disebabkan karena paralisis otot interkostal yang merupakan hasil
dari cedera yang mengenai medulla spinalis bagian di daerah servikal
bawah atau torakal atas.
4. Hiperfleksia autonomic
Dikarakteristikkan oleh sakit kepala berdenyut, keringat banyak, kongesti
nasal, bradikardi dan hipertensi.
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
FRAKTUR CERVICAL

1. Pengkajian
a. Identitas
Meliputi identitas klien yaitu : nama lengkap, tempat tanggal lahir, jenis
kelamin, agama, pendidikan, pekerjaan, status perkawinan, suku/bangsa,
golongan darah, tanggal masuk RS, tanggal pengkajian, No. RM,
diagnose medis, dan alamat.
b. Identitas penanggung jawab : nama, umur, jenis kelamin, agama,
pendidikan, pekerjaan, hubungan dengan klien, dan alamat.
c. Keluahan utama
Kapan keluhan mulai berkembang, bagaimana terjadinya, apakah secara
tiba-tiba atau berangsur-angsur, apa tindakan yang dilakukan untuk
mengurangi keluhan, obat apa yang digunakan. Keluhan utama yang
sering adalah nyeri kepala, Nyeri kepala, Nyeri yang menjalar ke bahu
atau lengan, Memar dan bengkak di bagian belakang leher.
d. Riwayat Kesehatan Sekarang ( PQRST )
Mengkaji keluhan kesehatan yang dirasakan pasien pada saat di anamnesa
meliputi palliative, provocative, quality, quantity, region, radiaton,
severity scala dan time.
e. Riwayat Penyakit Dahulu
Kaji adanya terjadinya trauma sebalumnya.
f. Riwayat Kesehatan Keluarga
Kaji ada atau tidak salah satu keluarga yang mengalami penyakit yang
sama.
g. Riwayat Psikososial
Adanya perubahan fungsi struktur tubuh menyebabkan penderita
mengalami gangguan pada gambaran diri. Lamanya perawatan,
banyaknya biaya perawatan dan pengobatan menyebabkan pasien
mengalami kecemasan, gangguan konsep diri ( gambaran diri ) dan
gangguan peran pada keluarga.
h. Lingkungan dan tempat tinggal
Mengkaji lingkungan tempat tinggal klien, mengenai kebersihan
lingkungan tempat tinggal, area lingkungan rumah, dll.
 Pre Operasi
a. Pola persepsi kesehatan-pemeliharaan kesehatan
- Kegiatan yang beresiko cidera.
- Riwayat penyakit yang menyebabkan jatuh.
- Kebiasaan beraktivitas tanpa pengamanan.
b. Pola nutrisi metabolik
- Adanya gangguan pola nafsu makan karena nyeri.
- Observasi terjadinya perdarahan pada luka dan perubahan warna
kulit di sekitar luka, edema.
c. Pola eliminasi
- Konstipasi karena imobilisasi
d. Pola aktivitas dan latihan
- Kesemutan, baal
- Ada riwayat jatuh atau terbentur ketika sedang beraktivitas
- Tidak kuat menahan beban berat
- Keterbatasan mobilisasi
- Berkurangnya atau tidak terabanya denyut nadi pada daerah distal
injury, lambatnya kapiler refill tim
e. Pola tidur dan istirahat
- Tidak bisa tidur karena kesakitan
- Sering terbangun karena kesakitan
f. Pola persepsi kognitif
- Nyeri pada daerah fraktur
- Kesemutan dan baal pada bagian distal fraktur
- Paresis, penurunan atau kehilangan sensasi
g. Pola persepsi dan konsep diri
- Rasa khawatir akan dirinya karena tidak dapat beraktivitas seperti
keadaan sebelumnya
h. Pola peran dan hubungan dengan sesama
- Merasa tidak ditolong
- Kecemasan akan tidak melakukan peran seperti biasanya

 Post Operasi
a. Pola persepsi kesehatan-pemeliharaan kesehatan
- Kegiatan yang beresiko cidera.
- Pengetahuan pasien tentang perawatan luka di rumah
b. Pola nutrisi metabolik
- Adanya gangguan pola nafsu makan karena nyeri.
c. Pola eliminasi
- Konstipasi karena imobilisasi
d. Pola aktivitas dan latihan
- Keterbatasan beraktivitas
- Hilangnya gerakan atau sensasi spasme otot
- Baal atau kesemutan
- Pembengkakan jaringan atau masa hematoma pada sisi cedera
- Perdarahan, perubahan warna
e. Pola tidur dan istirahat
- Tidak bisa tidur karena kesakitan luka operasi
- Sering terbangun karena kesakitan
f. Pola persepsi kognitif
- Keluhan lokasi, intensitas dan karakteristik nyeri
- Nyeri pada luka operasi
- Tidak adanya nyeri akibat kerusakan saraf
- Pembengkakan, perdarahan, perubahan warna
g. Pola persepsi dan konsep diri
- Rasa khawatir akan dirinya Karena tidak dapat beraktivitas seperti
keadaan sebelumnya
h. Pola peran dan hubungan dengan sesama
- Merasa tidak tertolong
- Kecemasan akan tidak melakukan peran seperti

2. Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri akut berdasarkan spasme otot, gerakan fragmen tulang, edema,
cedera aringan lunak, pemasangan fraksi, stress/ansietas, luka operasi.
2. Gangguan pertukaran gas berdasarkan perubahan aliran darah, emboli,
perubahan membrane alveolar/kapiler (interstisial, edema paru, kongestif)
3. Gangguan mobiitas fisik berdasarkan kerusakan rangka neuromuskuler,
nyeri restriktif (timobilisasi).
4. Gangguan integritas kulit berdasarkan fraktur terbuka, pemasangan traksi
(pen kawat, sekrup)
5. Resiko infeksi berdasarkan ketidakadekuatan pertahaman primer
(kerusakan kulit, trauma jaringan lunak, procedure invasive/fraksi tulang)

3. Intervensi Keperawatan
DAFTAR PUSTAKA
Brunner and Suddarth, 2010, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Edisi 8,
Vol. 3, EGC, Jakarta
Corwin, Elizabeth J., 2007. Buku Saku Patofisiologi, EGC, Jakarta
Mansjoer, Arif., 2007, Kapita Selekta Kedokteran, Edisi ketiga, Jilid 2, Media
Aesculapiu, Jakarta
Sutedjo, AY., 2008, Buku Saku Mengenal Penyakit Melalui Hasil Pemeriksaan
Laboratarium, Amara Books, Jakarta

Anda mungkin juga menyukai