Anda di halaman 1dari 29

LAPORAN PENDAHULUAN KEPERAWATAN TRAUMA KEPALA

OLEH :
RAKHMAT HIDAYAT, S.Kep
NIM : 19.31.1445

UNIVERSITAS CAHAYA BANGSA BANJARMASIN


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN NERS
TAHUN 2019/2020
LEMBAR PENGESAHAN
LAPORAN PENDAHULUAN KEPERAWATAN TRAUMA KEPALA

I I

S T I K E S

A
E

OLEH :
RAKHMAT HIDAYAT, S.Kep
NIM : 19.31.1445

Banjarmasin, 21/10/2020
Mengetahui,
Preseptor Akademik Preseptor Klinik

Fadhil Al Mahdi, S.Kep.,Ns.,M.MKes ( )


LAPORAN PENDAHULUAN TRAUMA KEPALA

A. KONSEP DASAR PENYAKIT


1. Pengertian
Trauma kepala adalah (terbuka dan tertutup) terdiri dari : fraktur
tengkorak, komusio (gegar) serebri, kontusio (memar)/laserasi dan
perdarahan serebral (subarakhnoid, subdural, epidural, intraserebral,
batang otak). (Doenges, 2000: 270)
Cedera kepala mengacu pada trauma kepala. Hal ini mungkin atau
mungkin tidak termasuk trauma pada otak. Namun, istilah cedera otak
dan cedera kepala sering digunakan secara bergantian dalam literatur
kedokteran. (Wikipedia, 2009)
Cedera kepala dapat didefinisikan sebagai segala perubahan dalam
fungsi mental atau fisik yang berkaitan dengan pukulan ke kepala.
(Medscape, 2009)

Gambar 1. Fraktur tengkorak pada trauma kepala


2. Klasifikasi
Cedera kepala dapat diklasifikasikan berdasarkan mekanisme,
keparahan, dan morfologi cedera (Mansjoer, 2000: 3)
a. Mekanisme : berdasarkan adanya penetrasi durameter
1) Trauma Tumpul
Contohnya : Trauma akibat kecepatan tinggi (tabrakan mobil)
dan kecepatan rendah (terjatuh, dipukul)
2) Trauma Tembus
Contohnya : luka tembus peluru, dan cedera tembus lainnya
b. Keparahan Cedera : berdasarkan skala koma Glasgow (GCS)
1) Ringan : GCS 14-15
2) Sedang : GCS 9-13
3) Berat : GCS 3-8
c. Morfologi
1) Fraktur Tengkorak
a) Kranium : linear/stelatum; depresi/nondepresi;
terbuka/tertutup.
b) Basis : dengan/tanpa kebocoran cairan serebrospinal;
dengan/tanpa kelumpuhan nervus VII
2) Lesi Intrakranial
a) Fokal : epidural, subdural, intraserebral
b) Difus : konkusi ringan, konkusi klasik, cedera aksonal
difus
Menurut Doenges (2000: 270) klasifikasi cedera kepala dibagi menjadi
2 yaitu:
a. Trauma otak primer terjadi karena benturan langsung atau tak
langsung (akselerasi/deselerasi otak).
b. Trauma otak sekunder merupakan akibat dari trauma saraf (melalui
akson) yang meluas, hipertensi intrakranial, hipoksia, hiperkapnea
atau hipotensi sistemik.
Sementara menurut Price (2003:1174) cedera kepala diklasifikasikan
sebagai berikut:
a. Hematoma Epidural
Hematoma epidural paling sering terjadi di daerah parietotemporal
akibat robekan arterial mengineal media. Tanda dan gejala tampak
bervariasi, penderita hematoepidural yang khas memiliki riwayat
cedera kepala dengan periode tidak sadar dalam jangka waktu
pendek, diikuti periode lusid.

Gambar 3. Hematoma epidural dalam fosa temporalis (Price, 2006:1174)


b. Hematoma Subdural
Pada umumnya hematoma subdural berasal dari vena. Hematoma
ini timbul akibat ruptur vena yang terjadi dalam ruangan subdural.
Hematoma subdural dibagi lagi menjadi tipe akut, subakut dan
kronik yang memiliki gejala dan prognosis yang berbeda-beda.

Gambar 4. Hematoma subdural (Price, 2006: 1174)


1) Hematoma subdural akut
Hematoma subdural akut menimbulkan gejala neurologik yang
penting dan serius dalam 24-48 jam setelah cedera. Hematoma
subdural akut terjadi pada pasien yang meminum obat
antikoagulan terus menerus yang tampaknya mengalami trauma
kepala minor dan sering kali berkaitan dengan cedera deselerasi
akibat kecelakaan bermotor. Defisit neurologik progresif
disebabkan oleh tekanan pada jaringan otak dan herniasi batang
otak ke dalam foramen magnum yang selanjutnya
menimbulkan tekanan. Keadaan ini cepat menimbulkan henti
nafas dan hilangnya kontrol atas denyut nadi dan tekanan
darah.
2) Hematoma subdural subakut
Hematoma subdural subakut menyebabkan defisit neurologik
bermakna dalam jangka waktu lebih dari 48 jam tetapi kurang
dari 2 minggu setelah cedera. Hematoma ini disebabkan oleh
pendarahan vena kedalam ruang subdural. Riwayat klinis yang
khas pada penderita hemotoma subdural subakut adalah adanya
trauma kepala yang menyebabkan ketidakkesadaran,
selanjutnya diikuti perbaikan status neurologik yang bertahap.
3) Hematoma subdural kronik
Trauma otak yang menjadi penyebab dapat sangat sepele atau
terlupakan dan sering kali akibat cedera ringan. Tanda dan
gejala dari Hematoma subdural kronik biasanya tidak spesifik,
tidak terlokalisasi dan dapat disebabkan oleh banyak proses
penyakit lain.
Gambar 5. Brain Hematoma (Wikipedia, 2009)

3. Etiologi
Penyebab cedera kepala adalah tabrakan lalu lintas kendaraan
bermotor, rumah dan kecelakaan kerja, jatuh, dan serangan.
Kecelakaan sepeda juga merupakan penyebab umum cedera kepala
yang berhubungan dengan kematian dan cacat, terutama di kalangan
anak-anak. (Wikipedia, 2009)
Cedera kepala merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan
utama pada kelompok usia produktif dan sebagian besar terjadi pada
kecelakaan lalu lintas. (Mansjoer, 2000:3)

4. Patofisiologi
Mekanisme cedera memegang peranan yang sangat besar dalam
menentukan berat ringannya trauma kepala yang terjadi. Ada 2 mekanisme
cedera yang bisa terjadi, yaitu cedera percepatan (aselerasi) dan cedera
perlambatan (deselerasi). Cedera percepatan (aselerasi) terjadi ketika
benda yang bergerak membentur kepala yang diam. Sedangkan, cedera
perlambatan (deselerasi) terjadi ketika kepala membentur objek yang
relatif tidak bergerak, misalnya tanah (Gallo, 1996:226).
Kombinasi mekanisme ini mengakibatkan terjadinya cedera pada
jaringan otak dan menimbulkan kerusakan pada sawar darah otak (Blood
Brain Barrier). Cedera jaringan tersebut mengakibatkan degranulasi sel-
sel mast yang terdapat dalam jaringan otak. Degranulasi ini memacu
pelepasan histamin yang menimbulkan efek vaskuler berupa peningkatan
vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas kapiler (Price, 2005:62).
Peningkatan permeabilitas kapiler memicu terjadinya eksudasi
cairan dari intravaskuler ke jaringan interstisiil otak dan menimbulkan
edema serebral (Price, 2005:1168).
Selain itu, trauma yang terjadi menimbulkan destruksi pada
vaskuler di daerah kepala. Destruksi ini menimbulkan hematoma.
Hematoma dan edema serebral dapat berpengaruh pada peningkatan TIK.
Peningkatan TIK didefinisikan sebagai peningkatan tekanan dalam rongga
kranialis. Ruang intrakranial ditempati oleh jaringan otak (1400 gram),
darah (sekitar 75ml), dan cairan serebrospinal (sekitar 75ml). Keseluruhan
volume tersebut menghasilkan suatu tekanan intrakranial normal sebesar
4-15 mmHg. Peningkatan volume pada salah satu dari ketiga komponen
ini mengakibatkan desakan pada ruang dan menaikkan tekanan
intrakranial (Price, 2005:1167).
Peningkatan TIK yang terjadi mempengaruhi kecepatan aliran
darah ke otak dan penekanan pada pusat pernafasan medulla oblongata dan
pons. Penurunan kecepatan aliran darah ke otak (Cerebral Blood Flow)
mengakibatkan berkurangnya suplai darah ke otak, sehingga
memunculkan masalah perfusi jaringan serebral tidak efektif (Nanda,
2005:233). Sedangkan, penekanan pada medulla oblongata dan pons
menyebabkan terjadinya gangguan pada fungsi pernafasan (Guyton,
2007:539). Gangguan ini menimbulkan masalah keperawatan berupa pola
nafas tidak efektif (Nanda, 2005:27). Kombinasi antara gangguan suplai
O2 ke otak dan gangguan pada fungsi pernafasan akibat penekanan fungsi
pernafasan membutuhkan tindakan pemasangan intubasi ETT dan mayo
yang bertujuan untuk mempertahankan kepatenan jalan nafas dan
membantu pemenuhan kebutuhan oksigen secara adekuat. Keadaan ini
dapat mengurangi respon batuk pada pasien, dan membuat sekret
menumpuk pada saluran pernafasan. Penumpukan sekret ini menimbulkan
masalah keperawatan berupa bersihan jalan nafas tidak efektif (Nanda,
2005:4).
Selain itu, trauma kepala juga mengakibatkan terjadinya destruksi
vaskuler. Destruksi ini mengakibatkan hilangnya/ berkurangnya cairan
dalam intravaskuler. Keadaan ini menimbulkan masalah keperawatan
berupa kekurangan volume cairan tubuh (Nanda, 2005:89). Selain itu,
trauma kepala juga menimbulkan lesi pada daerah kepala. Lesi ini dapat
menjadi pintu masuk bagi agen infeksius untuk menyerang pertahanan
tubuh. Keadaan ini menimbulkan masalah keperawatan berupa risiko
infeksi (Nanda, 2005:121).

5. Manifestasi Klinik
Gangguan tanda vital, apatis, letargi, berkurangnya perhatian, menurunnya
kemampuan untuk mempergunakan percakapan kognitif yang tinggi,
hemiparesis, kelainan pupil, pusing menetap, sakit kepala, gangguan tidur,
gangguan bicara, hipoksia, hipotensi sistemik, hilangnya autoregulasi
aliran darah, inflamsi, edema, peningkatan tekanan intrakranial yang
terjadi dalam waktu singkat (Price. 2003:1177).
Gambar 2. Tanda dan Gejala Cedera Kepala

6. Pemeriksaan Diagnostik
MRI : sama dengan CT scan dengan/tanpa menggunakan kontras.
Angiografi serebral menunujukan kelainan serkulasi serebral, seperti
pergeseran jaringan otak akibat edema, perdarahan, trauma.
EEG untuk memperlihatkan keberadaan atau berkembangnya
gelombang patologis.
Sinar X mendeteksi adanya perubahaan struktur tulang (fraktur),
pergeseran struktur dari garis tengah (karena perdarahan, edema)
adanya fragmen tulang.
Pungsi lumba, CSS : Dapat menduga kemungkinan adanya perdarahan
subarakhnoid.
GDA (Gas Darah Arteri) : mengetahui adanya masalah arteri atau
oksigenasi yang akan dapat meningkatkan TIK.
Kimia/Elaktrolit darah : mengetahui ketidakseimbangan yang berperan
dalam meningkatkan TIK/perubahan mental.
Pemeriksaan toksikologi : mendeteksi obat yang mungkin bertanggung
jawab terhadap penurunan kesadaran. (Doenges, 2000:272)
7. Penatalaksanaan
Pasien harus diberikan 100% oksigen, dan monitoring jantung serta 2
IV line harus diberikan bagi pasien dengan TBI (trauma brain injury)
berat, intubasi endotracheal (melalui intubasi cepat) untuk
mengamankan jalan napas dan mencegah hipoksemia. Jika
dilaksanakan dengan tepat, intubasi cepat akan mencegah peningkatan
TIK dan mengurangi terjadinya komplikasi. Saat melakukan intubasi
cepat, sangat penting untuk mengimobilisasi tulang leher dengan
adekuat dan menggunakan sedasi kuat atau agen induksi.
Karena hipotensi dapat mengakibatkan menurunnya perfusi serebral,
sangatlah penting untuk dilakukan pengontrolan tekanan darah.
Pemberian resusitasi cairan dengan cairan kristaloid. CT scan juga
dilakukan dengan berkonsultasi dengan bagian medis neurologi untuk
menentukan dilakukannya suatu operasi. Semua pasien dengan
indikasi trauma intrakranial, posisi tempat tidur harus ditinggikan
sebesar 30°.(Jhon: 2004;778)

Penatalaksanaan cedera kepala menurut Plantz (1998;526)


Jika pasien dengan GCS kurang dari 8 harus dilakukan intubasi.
Dengan diberikan tekanan PCO2 sebanyak 25-30 mmHg dapat
mengakibatkan vasokontriksi cerebral dan membantu menurunkan
TIK. Namun bila hiperventilasi ini diberikan secara berlebihan dapat
mengakibatkan penurunan perfusi cerebral
Penanganan kejang : kejang biasanya diberikan phenytoin dengan atau
tanpa benzoidiazepines
Penanganan luka pada kulit kepala: berikan irigasi yang berlebih,
penekanan harus diberikan untuk mengontrol perdarahan dan luka
ditutup dengan jaritan.
8. Komplikasi
Komplikasi cedera kepala berat menurut Mansjoer (2000:7) sebagai
berikut:
Kebocoran cairan serebrospinal dapat disebabkan oleh rusaknya
leptomeningen dan terjadi pada 2-6 pasien dengan cedera kepala
tertutup.
Fistel karotis kavernosus ditandai oleh trias gejala: eksolftalmos,
kemosis dan bruit orbital, dapat timbul segera atau beberapa hari
setelah cedera.
Diabetes insipidus dapat disebabkan oleh kerusakan traumatik pada
tangkai hipofisis, menyebabkan penghentian sekresi hormon
antideuretik.
Kejang pasca trauma dapat terjadi segera (dalam 24 jam pertama), dini
(minggu pertama) atau lanjut (setelah satu minggu). Kejang segera
tidak merupakan predisposisi untuk kejang lanjut; kejang dini
menunjukan resiko meningkat untuk kejang lanjut dan pasien ini harus
dipertahankan dengan antikonvulsan.

9. Prognosis
Prognosis setelah cedera kepala sering mendapat perhatian besar,
terutama pada pasien dengan cedera berat. Skor GCS waktu masuk rumah
sakit memiliki nilai prognostik yang besar. Skor pasien 3-4
memungkinkan meninggal 85% atau tetap dalam kondisi vegetatif,
sedangkan pada pasien dengan GCS 12 atau lebih kemungkinan
meninggal hanya 5-10%. Sindrom pasca konkusi berhubungan dengan
sindrom kronis nyeri kepala, keletihan, pusing, ketidakmampuan
berkonsentrasi, iritabilitas, dan perubahan kepribadian yang banyak
berkembang pada pasien cedera kepala.
10. Pengkajian
a. Survey Primer
Pengkajian ini dibuat dengan cepat selama pertemuan pertama dengan
pasien yang meliputi ABC (Airway, Breathing, Circulation)
Pengkajian Data Masalah

Airway Terdapat sumbatan atau penumpukan secret Bersihan jalan nafas


Adanya suara nafas tambahan : terdengar tidak efektif
adanya suara snoring (+)
Breathing Perubahan frekuensi nafas (Takipnea) Pola nafas tidak efektif
Irama nafas abnormal (cepat dan dangkal)
Nafas spontan tetapi tidak adekuat

Circulation Perubahan tekanan darah Risiko kekurangan


Perubahan frekuensi jantung (takikardia) volume cairan
Akral dingin
Hidung dan mulut mengeluarkan darah atau
perdarahan masif
Anemis (+)
Disability Mata : pupil anisokor Perfusi jaringan
Reaksi cahaya menurun (serebral) tidak
Penurunan GCS efektif
Peningkatan TIK Nyeri akut
Kerusakan system saraf pusat atau Mual
neuromuskular Gangguan
mobilitas fisik
Gangguan
komunikasi verbal
Gangguan persepsi
sensori
Risiko cedera
Eksposure Kepala terdapat lesi Risiko Infeksi

b. Survey Sekunder
Menurut Doengoes (2000: 270-272) tanda dan gejala dari cedera kepala
yaitu:
a. Aktivitas/istirahat
Gejala : Perasaan tidak enak (malaise), keterbatasan yang
ditimbulkan oleh kondisinya.
Tanda : Ataksia, masalah berjalan, kelumpuhan, gerakan
involunter. Kelemahan secara umum, keterbatasan
dalam rentang gerak, hipotonia.
b. Sirkulasi
Gejala : Adanya riwayat kardiopatologi, seperti endokarditis,
beberapa penyakit jantung kongenital (abses otak).
Tanda : Tekanan darah meningkat, nadi menurun dan tekanan
nadi berat (berhubungan dengan peningkatan TIK dan
pengaruh pada pusat vasomotor). Takikardi, disritmia
(pada fase akut).
c. Makanan/cairan
Gejala : Kehilangan nafsu makan, kesulitan menelan (pada
periode akut).
Tanda : Anoreksia, muntah, turgor kulit jelek, membran mukosa
kering.
d. Higiene
Tanda : Ketergantungan terhadap semua kebutuhan perawatan
diri (pada periode akut).
e. Neurosensori
Gejala : Sakit kepala (mungkin merupakan gejala pertama dan
biasanya berat), parestesia, terasa kaku pada semua
pernafasan yang terkena, kehilangan sensasi (kerusakan
pada saraf kranial), gangguan dalam penglihatan seperti
diplopia (fase awal dari beberapa infeksi).
Tanda : Status mental/tingkat kesadaran, letargi sampai
kebingungan yang berat sehingga menjadi koma, delusi
dan halusinasi/psikosis organik (ensefalitis).
f. Nyeri/kenyamanan
Gejala : Sakit kepala (berdenyut dengan hebat, frontal) mungkin
akan diperburuk oleh ketegangan leher/punggung kaku,
nyeri pada gerakan okular, fotosensitivitas, sakit
tenggorok nyeri.
Tanda : Tampak terus terjaga, perilaku distraksi/ gelisah,
menangis/ mengaduh/ mengeluh.
g. Pernafasan
Gejala : Adanya riwayat infeksi sinus atau paru (abses otak).
Tanda : Peningkatan kerja pernapasan (episode awal), perubahan
mental (letargi sampai koma) dan gelisah.

11. Diagnosa Keperawatan


1. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan pembentukan
lendir/sekret
2. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan disfungsi neuromuscular
karena penurunan aliran darah otak dan penekanan pusat pernafasan di
medulla oblongata dan pons
3. Perfusi jaringan serebral tidak efektif berhubungan dengan kerusakan
transportasi oksigen melewati membran kapiler atau alveolar karena
peningkatan TIK
4. Risiko Kekurangan volume cairan berhubungan dengan dengan
kehilangan volume cairan tubuh secara aktif
5. PK: Shock hipovolemi
6. Nyeri akut berhubungan dengan peningkatan tekanan intracranial
7. Mual berhubungan dengan depresi sistem saraf pusat/ trauma kepala
8. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan
neuromuskular
9. Kerusakan komunikasi verbal berhubungan dengan kerusakan fungsi
motoris otot-otot bicara
10. Gangguan persepsi sensori berhubungan dengan kesalahan interpretasi
sekunder tehadap cedera serebrovaskular
11. Risiko infeksi brehubungan dengan tempat masuknya organisme
sekunder terhadap trauma
12. Risiko cedera berhubungan dengan perubahan fungsi serebral sekunder
akibat hipoksia
12. Intervensi Keperawatan
RENCANA KEPERAWATAN
DIAGNOSA
NO. TUJUAN &
KEPERAWATAN INTERVENSI RASIONAL
KRITERIA HASIL
1 Bersihan jalan nafas tidak Setelah diberikan asuhan Mandiri : Mandiri :
efektif berhubungan keperawatan selama 3 X 15 menit 1. Kaji kepatenan jalan nafas 1. Obstruksi dapat disebabkan oleh
dengan pembentukan diharapkan pasien dapat akumulasi sekret, perlengketan
lendir/sekret mempertahankan kepatenan jalan mukosa, perdarahan, spasme bronkus,
nafas dengan kriteria hasil : dan/atau masalah dengan posisi
Tidak terdapat suara nafas trakeostomi/selang endotrakeal
tambahan (rales, ronchi,
wheezing, crakels, snoring) 2. Evaluasi gerakan dada dan auskultasi 2. Gerakan dada simetris dengan bunyi
Frekuensi nafas dalam untuk bunyi nafas bilateral nafas melalui area paru menunjukkan
batas normal (RR 16- letak selang tepat/ tak menutup jalan
24x/menit) nafas. Obstruksi jalan nafas bawah
Irama nafas regular (mis. Pneumonia/atelektasis)
Tidak terdapat produksi menghasilkan perubahan pada bunyi
sekret/sputum nafas seperti ronchi, mengi
Ekspansi dada simetris,
tidak terdapat penggunaan 3. Awasi letak selang endotrakeal 3. Selang endotrakeal dapat masuk ke
otot bantu pernafasan, tidak bronkus kanan, sehingga menghambat
ada retraksi dada aliran udara ke paru kiri dan pasien
Tidak ada dispnea, berisiko untuk pneumothorak tegangan
orthopnea
4. Pasien intubasi biasanya mengalami
4. Catat peningkatan dispnea, sekret reflek batuk tak efektif atau pasien
terlihat pada selang dapat mengalami gangguan
endotrakeal/trakeostomi, suara nafas neuromuskuler atau neurosensori
tambahan (rales, ronchi, wheezing,
crakels, snoring)
5. Penghisapan tidak harus rutin, dan
5. Hisap sekret sesuai kebutuhan, batasi lamanya harus dibatasi untuk
penghisapan 15 detik atau kurang menurunkan bahaya hipoksia.

6. Meningkatkan drainase sekret dan


6. Ubah posisi/berikan cairan dalam ventilasi pada semua segmen paru,
kemampuan individu menurunkan risiko atelektasis

7. Meningkatkan ventilasi pada semua


7. Ubah posisi/berikan cairan dalam segmen paru dan alat drainase sekret
kemampuan individu
Kolaborasi :
Kolaborasi : 8. Meningkatkan ventilasi dan
8. Berikan bronkodilator IV dan aerosol membuang sekret dengan relaksasi
sesuai indikasi otot halus/spasme bronkus
2 Pola nafas tidak efektif Setelah diberikan asuhan Mandiri : Mandiri :
berhubungan dengan keperawatan selama 3 X 15 menit 1. Pantau frekuensi, irama, kedalaman 1. Intubasi, ventilasi mekanik lama,
disfungsi neuromuscular diharapkan pola nafas pasien pernapasan ketidakmampuan umum, malnutrisi,
karena penurunan aliran efektif dengan kriteria hasil : usia, dan prosedur invansif adalah
darah otak dan penekanan Tidak terdapat suara nafas factor dimana pasien potensial
pusat pernafasan di tambahan (rales, ronchi, mengalami infeksi dan lama sembuh
medulla oblongata dan wheezing, crakels, snoring)
pons Frekuensi nafas dalam 2. Auskultasi suara napas dan adanya 2. Untuk mengidentifikasi adanya
batas normal (RR 16- suara-suara tambahan yang tidak masalah paru atau obstruksi jalan napas
24x/menit) normal yang membahayakan oksigenasi
Irama nafas regular serebral
Refleks gag dan reflex
menelan (+) 3. Kaji reflex yang penting untuk 3. Kemampuan memobilisasi atau
bernapas “gag” reflek dan reflex membersihkan sekresi penting untuk
menelan pemeliharaan jalan napas.

4. Pertahankan ketinggian bagian 4. Untuk memudahkan ekspansi


kepala tempat tidur paru/ventilasi paru dan dapat
menurunkan adanya kemungkinan lidah
jatuh dan menyumbat saluran
pernapasan serta menghindari risiko
peningkatan TIK

5. Pantau penggunaan dari obat- 5. Dapat meningkatkan gangguan/


obatan depresan pernapasan, seperti komplikasi pernapasan
sedative
3 Perfusi jaringan jaringan Setelah diberikan asuhan Mandiri : Mandiri :
serebral tidak efektif keperawatan selama 3 X 15 menit 1. Kaji tanda-tanda vital : 1. Pengkajian tanda – tanda vital
berhubungan dengan diharapkan perfusi jaringan mengindikasikan :
kerusakan transportasi serebral efektif dengan kriteria Pantau tekanan darah, catat adanya Peningkatan tekanan darah
oksigen melewati hasil : hipertensi sistolik dan tekanan nadi sistemik yang diikuti oleh
membran kapiler atau Reaksi pupil positif, penurunan tekanan darah diastolik
alveolar karena isokor (nadi yang membesar) merupakan
peningkatan TIK GCS 9 - 13 tanda terjadinya peningkatan TIK
TTV normal (TD 120 - Frekuensi jantung, catat adanya Perubahan pada ritme (paling
90/ 90 - 70 mmHg; Nadi 80 - bradikardia, takikardia, atau bentuk sering bradikardia) dan disritmia
100x/menit regular) disritmia lainnya dapat timbul yang mencerminkan
BGA dalam batas normal adanya depresi/trauma batang otak
(pH 7,35 – 7,40; PaCO2 35- pada pasien yang tidak mempunyai
45mmHg; PaO2 95 - kelainan jantung sebelumnya
100mmHg)
Saturasi O2 : 95 - 100%
2. Kaji tingkat kesadaran dengan GCS 2. Mengkaji adanya kecenderungan
pada tingkat kesadaran dan potensial
peningkatan TIK dan bermanfaat dalam
menentukan lokasi, perluasan, dan
perkembangan kerusakan SSP.

3. Evaluasi keadaan pupil, catat 3. Reaksi pupil diatur oleh saraf


ukuran, ketajaman, kesamaan antara kranial III (okulomotor) dan berguna
kiri dan kanan, dan reaksinya terhadap untuk menentukan apakah batang otak
cahaya masih baik. Ukuran/kesamaan
ditentukan oleh keseimbangan antara
persarafan simpatis dan parasimpatis.
Respon terhadap cahaya mencerminkan
fungsi yang terkombinasi dari saraf
kranial optikus dan okulomotor.

4. Kepala yang miring pada salah


4. Pertahakan kepala/leher pada posisi satu sisi menekan vena jugularis
tengah atau pada posisi netral, hindari menghambat aliran darah vena, yang
pemakaian bantal besar pada kepala selanjutnya akan meningkatkan TIK

5. Meningkatkan aliran balik vena


5. Tinggikan kepala pasien 15-450 dari kepala sehingga akan mengurangi
sesuai indikasi/yang dapat ditolerir kongesti dan edema atau risiko
terjadinya peningkatan TIK

6. Menentukan kecukupan
6. Monitor BGA dan/atau saturasi O2 pernapasan (kemunculan dari
hipoksia/asidosis) dan mengindikasikan
kebutuhan akan terapi; adekuatnya
oksigen sangat penting dalam
mempertahankan metabolisme otak

Kolaborasi :
Kolaborasi : 7. Memberikan obat sesuai indikasi :
7. Berikan obat sesuai indikasi : Diuretik dapat digunakan pada fase
Diuretik, mis. manitol, furosemid akut untuk menurunkan TIK
Menurunkan inflamasi
Steroid, mis. deksametason, metil
prednisolon, Obat pilihan untuk mengatasi dan
Antikonvulsan, mis. fenitoin mencegah terjadinya aktivitas kejang
Dapat diindikasikan untuk
menghilangkan nyeri dan dapat
Analgesik berakibat negatif pada TIK tetapi
harus digunakan dengan hati-hati
untuk mencegah gangguan
pernapasan
Dapat digunakan untuk
mengendalikan kegelisahan, agitasi
Sedatif Menurunkan atau mengendalikan
demam dan meningkatakan
Antipiretik metabolisme serebral atau
peningkatan kebutuhan terhadap
oksigen

8. Menurunkan hipoksemia, yang


8. Kolaborasi pemberian oksigen mana dapat meningkatkan vasodilatasi
dan volume darah serebral yang
meningkatkan TIK
4 Risiko ekurangan volume Setelah diberikan asuhan Mandiri : Mandiri :
cairan berhubungan keperawatan selama 3 X 6 jam 1. Kaji tanda-tanda vital (terutama 1. Perubahan dapat menunjukkan
dengan dengan diharapkan volume cairan tekanan darah dan frekuensi efek hipovolemia
kehilangan volume cairan adekuat dengan kriteria hasil : jantung/nadi) (perdarahan/dehidrasi). Penurunan
tubuh secara aktif TTV normal (TD 120- sirkulasi darah dapat terjadi dari
90/90-70 mmHg, Nadi 80- peningkatan kehilangan cairan
100x/menit) mengakibatkan hipotensi dan
GCS 8-13 takikardia
Hematokrit : 42-50%
Hb : 13-18 gr/dl 2. Observasi demam, perubahan 2. Gejala-gejala tersebut
Tidak terjadi tanda-tanda tingkat kesadaran , turgor kulit buruk, menunjukkkan
anemis kulit dan membran mukosa kering, akral dehidrasi/hemokonsentrasi dan tanda
Turgor kulit normal/baik dingin, konjungtiva pucat – tanda anemis
(elastis)
Akral hangat 3. Monitor dan pertahankan intake
dan output cairan 3. Pamasukan pasien dapat menurun
selama periode krisis. Dehidrasi dapat
menurunkan haluaran urin
Kolaborasi:
4. Berikan cairan IV sesuai indikasi Kolaborasi :
4. Mempertahankan keseimbangan
cairan/elektrolit pada tak adanya
pemasukan melalui oral. Cairan harus
diberikan segera (khususnya pada
keterlibatan SSP) untuk menurunkan
hemokonsentrasi dan mencegah
infark
5. Berikan tranfusi darah sesuai
indikasi 5. Memperbaiki/menornalkan
kapasitas pembawa oksigen untuk
memperbaiki anemia, dan berguna
untuk mengatasi perdarahan.
Penggantian cairan/darah tergantung
pada derajat hipovolemia dan
lamanya perdarahan (akut atau
kronis)

6. Monitor hasil laboratorium 6. Peningkatan menunjukkan


(pemeriksaan hematokrit, Hb, elektrolit hemokonsentrasi. Kehilangan
serum, dan urine) kemampuan ginjal untuk
mengkonsentrasikan urine dapat
mengakibatkan penrunan elektrolit
serum.
5 Risiko infeksi Setelah diberikan asuhan Mandiri : Mandiri :
berhubungan dengan port keperawatan selama 3 X 24 jam 1. Berikan perawatan aseptik dan 1. Untuk menghindari terjadinya
entry kuman (destruksi diharapkan tidak terjadi infeksi antiseptik, pertahankan tehnik cuci infeksi nosokomial dari petugas
jaringan di daerah frontal dengan kriteria hasil : tangan yang baik kesehatan kepada pasien
dan peningkatan paparan TTV normal (Tax 36,50 –
lingkungan) 37,20C) 2. Observasi daerah kulit yang mengalami 2. Deteksi dini perkembangan infeksi
Hasil pemeriksaan kerusakan, catat karakteristik dari memungkinkan untuk melakukan
laboratorium normal drainase dan adanya inflamasi tindakan dengan segera dan
(Leukosit 5.000 – 10.000/ µl) pencegahan terhadap komplikasi
Tidak terjadi tanda – tanda selanjutnya.
infeksi pada lesi/ luka (color,
dolor, rubor, dan tumor) 3. Kaji tanda-tanda vital, terutama suhu 3. Mengkaji keadaan umum pasien;
Tidak terdapat produksi peningkatan suhu merupakan salah
sekret/sputum satu indikator terjadinya infeksi
Mulut pasien tampak
bersih 4. Batasi pengunjung yang dapat 4. Menurunkan pemajanan terhadap
menularkan infeksi pembawa kuman penyebab infeksi

5. Lakukan perawatan luka pada lesi 5. Menghindari terjadinya infeksi


yang lebih luas
6. Lakukan oral hygiene 6. Menurunkan kemungkinan
terjadinya pertumbuhan bakteri pada
mulut akibat penggunaan ETT

Kolaborasi Kolaborasi
7. Berikan antibiotik sesuai indikasi 7. Terapi profilaktik dapat digunakan
pada psien yang mengalami trauma
(perlukaan), kebocoran CSS, atau
setelah dilakukan pembedahan untuk
menurunkan risioko terjadinya infeksi
nosokomial

8. Ambil bahan pemeriksaan laboratorium 8. Peningkatan/ penurunan nilai


sesuai indikasi (khususnya leukosit) leukosit mastikan adanya infeksi dan
mengidentifikasi organism penyebab
dan untuk menentukan obat pilihan
yang sesuai.
DAFTAR PUSTAKA

Campbell, J.E. 2004. BTLS: Basic Trauma Life Support for EMT-B and the First Responden, 4th Ed. New Jersey: Pearson Education
Doenges, Marilynn E. 2007. Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan
Pasien Edisi 3. Jakarta : EGC
Gallo, Hudak. 1996. Keperawatan Kritis : Pendekatan Holistik. Jakarta : EGC
Guyton. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11. Jakarta : EGC
Mansjoer, Arif. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media Aesculapius
Nanda. 2005. Panduan Diagnosa Keperawatan. Jakarta : Prima Medika
Price. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis Penyakit Volume 1 dan 2. Jakarta : EGC

Anda mungkin juga menyukai