1.2 Etiologi
1. Faktor-faktor prenatal
2. Malformasi otak congenital
3. Faktor genetika
4. Penyakit infeksi (ensefalitis, meningitis)
5. Demam
6. Gangguan metabolisme
7. Trauma
8. Neoplasma, toksin
9. Gangguan sirkulasi
10. Penyakit degeneratif susunan saraf.
11. Respon alergi atau keadaan imun yang abnormal
1.4 Patofisiologi
Sumber energi otak adalah glukosa yang melalui proses oksidasi dipecah menjadi
CO2dan air. Sel dikelilingi oleh membran yang terdiri dari permukaan dalam yaitu
lipoid dan permukaan luar yaitu ionik. Dalam keadaan normal membran sel neuron
dapat dilalui dengan mudah oleh ion kalium (K+) dan sangat sulit dilalui oleh ion
natrium (Na+) dan elektrolit lainnya, kecuali ion klorida (Cl–). Akibatnya konsentrasi
ion K+ dalam sel neuron tinggi dan konsentrasi Na+ rendah, sedang di luar sel neuron
terdapat keadaan sebalikya. Karena perbedaan jenis dan konsentrasi ion di dalam dan di
luar sel, maka terdapat perbedaan potensial membran yang disebut potensial membran
dari neuron. Untuk menjaga keseimbangan potensial membran diperlukan energi dan
bantuan enzim Na-K ATP-ase yang terdapat pada permukaan sel. Keseimbangan
potensial membran ini dapat diubah oleh :
a. Perubahan konsentrasi ion di ruang ekstraselular
b. Rangsangan yang datang mendadak misalnya mekanisme, kimiawi atau aliran
listrik dari sekitarnya
c. Perubahan patofisiologi dari membran sendiri karena penyakit atau keturunan
Pada keadaan demam kenaikan suhu 1oC akan mengakibatkan kenaikan metabolisme
basal 10-15 % dan kebutuhan oksigen akan meningkat 20%. Pada anak 3 tahun
sirkulasi otak mencapai 65 % dari seluruh tubuh dibandingkan dengan orang dewasa
yang hanya 15 %. Oleh karena itu kenaikan suhu tubuh dapat mengubah keseimbangan
dari membran sel neuron dan dalam waktu yang singkat terjadi difusi dari ion kalium
maupun ion natrium akibat terjadinya lepas muatan listrik. Lepas muatan listrik ini
demikian besarnya sehingga dapat meluas ke seluruh sel maupun ke membran sel
sekitarnya dengan bantuan “neurotransmitter” dan terjadi kejang. Kejang demam yang
berlangsung lama (lebih dari 15 menit) biasanya disertai apnea, meningkatnya
kebutuhan oksigen dan energi untuk kontraksi otot skelet yang akhirnya terjadi
hipoksemia, hiperkapnia, asidosis laktat disebabkan oleh metabolisme anerobik,
hipotensi artenal disertai denyut jantung yang tidak teratur dan suhu tubuh meningkat
yang disebabkan makin meningkatnya aktifitas otot dan mengakibatkan metabolisme
otak meningkat.
1.5 Pemeriksaan Penunjang
1. Elektro encephalograft (EEG)
Untuk pemeriksaan ini dirasa kurang mempunyai nilai prognostik. EEG abnormal
tidak dapat digunakan untuk menduga kemungkinan terjadinya epilepsi atau kejang
demam yang berulang dikemudian hari. Saat ini pemeriksaan EEG tidak lagi
dianjurkan untuk pasien kejang demam yang sederhana. Pemeriksaan laboratorium
rutin tidak dianjurkan dan dikerjakan untuk mengevaluasi sumber infeksi.
2. Pemeriksaan cairan cerebrospinal
Hal ini dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan adanya meningitis, terutama
pada pasien kejang demam yang pertama. Pada bayi yang masih kecil seringkali
gejala meningitis tidak jelas sehingga harus dilakukan lumbal pungsi pada bayi yang
berumur kurang dari 6 bulan dan dianjurkan untuk yang berumur kurang dari 18
bulan.
3. Darah
a. Glukosa Darah : Hipoglikemia merupakan predisposisi kejang (N < 200 mq/dl)
b. BUN: Peningkatan BUN mempunyai potensi kejang dan merupakan indikasi
nepro toksik akibat dari pemberian obat.
c. Elektrolit : K, Na
Ketidakseimbangan elektrolit merupakan predisposisi kejang
Kalium ( N 3,80 – 5,00 meq/dl )
Natrium ( N 135 – 144 meq/dl )
4. Cairan Cerebo Spinal : Mendeteksi tekanan abnormal dari CCS tanda infeksi,
pendarahan penyebab kejang.
5. Skull Ray :Untuk mengidentifikasi adanya proses desak ruang dan adanya lesi
6. Tansiluminasi : Suatu cara yang dikerjakan pada bayi dengan UUB masih terbuka
(di bawah 2 tahun) di kamar gelap dengan lampu khusus untuk transiluminasi
kepala.
1.6 Komplikasi
Menurut Ngastiyah (2005) risiko terjadi bahaya / komplikasi yang dapat terjadi pada
pasien kejang demam antara lain:
1. Dapat terjadi perlukaan misalnya lidah tergigit atau akibat gesekan dengan gigi.
2. Dapat terjadi perlukaan akibat terkena benda tajam atau keras yang ada di sekitar
anak.
3. Dapat terjadi perlukaan akibat terjatuh.
Selain bahaya akibat kejang, risiko komplikasi dapat terjadi akibat pemberian obat
antikonvulsan yang dapat terjadi di rumah sakit. Misalnya:
1. Karena kejang tidak segera berhenti padahal telah mendapat fenobarbital kemudian
di berikan diazepam maka dapat berakibat apnea.
2. Jika memberikan diazepam secara intravena terlalu cepat juga dapat menyebabkan
depresi pusat pernapasan.
1.7 Penatalaksanaan
1. Pengobatan
a. Pengobatan fase akut
Obat yang paling cepat menghentikan kejang demam adalah diazepam yang
diberikan melalui interavena atau indra vectal.
Dosis awal : 0,3 – 0,5 mg/kg/dosis IV (perlahan-lahan).
Bila kejang belum berhenti dapat diulang dengan dosis yang sama setelah 20
menit.
b. Turunkan panas
Anti piretika : parasetamol / salisilat 10 mg/kg/dosis.
Kompres air PAM / Os
c. Mencari dan mengobati penyebab
Pemeriksaan cairan serebro spiral dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan
meningitis, terutama pada pasien kejang demam yang pertama, walaupun
demikian kebanyakan dokter melakukan pungsi lumbal hanya pada kasus yang
dicurigai sebagai meningitis, misalnya bila aga gejala meningitis atau bila kejang
demam berlangsung lama.
d. Pengobatan profilaksis
Pengobatan ini ada dalam cara : profilaksis intermitten / saat demam dan
profilaksis terus menerus dengan antikanulsa setiap hari. Untuk profilaksis
intermitten diberikan diazepim secara oral dengan dosis 0,3 – 0,5 mg/hgBB/hari.
e. Penanganan sportif
1) Bebaskan jalan napas
2) Beri zat asam
3) Jaga keseimbangan cairan dan elektrolit
4) Pertahankan tekanan darah
2. Pencegahan
a. Pencegahan berkala (intermitten) untuk kejang demam sederhana. Beri diazepam
dan antipiretika pada penyakit-penyakit yang disertai demam.
b. Pencegahan kontinu untuk kejang demam komplikata
Dapat digunakan :
– Fero barbital : 5-7 mg/kg/24 jam dibagi 3 dosis
– Fenitorri : 2-8 mg/kg/24 jam dibagi 2-3 dosis
– Klonazepam : (indikasi khusus)
1.8 Pathway
HIPERTERMI
KEJANG
Spasme Bronkus
Penurunan kesadaran
Resiko cidera
Pola nafas tidak
efektif
Wilkinson, Judith M. 2012. Buku Saku Diagnosa Keperawatan Edisi 9. Jakarta : EGC.
Wong, Donna L. 2009. Buku Ajar Keperawatan Pediatrik, Edisi 6. Jakarta: EGC
(……….……….….………....) (…..…………..….…………….)