1.1 Definisi
Abses submandibula merupakan salah satu infeksi pada leher bagian dalam
(deep neckinfection), disertai dengan pembentukan pus pada daerah
submandibula. Pada umumnya sumber infeksi pada ruang tersebut berasal
dari proses infeksi dari gigi, dasar mulut, faring, kelenjar limfe
submandibula (Siregar, 2004).
1.2 Etiologi
Menurut Hardjatmo Tjokro Negoro, PHD dan Hendra Utama, (2001) abses
submandibula sering disebabkan oleh infeksi didaerah rongga mulut atau
gigi. Peradangan ini menyebabkan adanya pembengkakan didaerah
submandibula yang pada perabaan sangat keras biasanya tidak teraba
adanya fluktuasi. Sering mendorong lidah keatas dan kebelakang dapat
menyebabkan trismus. Hal ini sering menyebabkan sumbatan jalan napas.
Bila ada tanda-tanda sumbatan jalan napas maka jalan napas hasur segera
dilakukan trakceostomi yang dilanjutkan dengan insisi digaris tengah dan
eksplorasi dilakukan secara tumpul untuk mengeluarkan nanah. Bila tidak
ada tanda- tanda sumbatan jalan napas dapat segera dilakukan eksplorasi
tidak ditemukan nanah, kelainan ini disebutkan Angina ludoviva (Selulitis
submandibula). Setelah dilakukan eksplorasi diberikan antibiotika dsis
tinggi untuk kuman aerob dan anaerob.
1
1.3 Tanda dan Gejala
Abses submandibula meliputi demam tinggi, nyeri leher disertai
pembengkakan di bawah mandibula dan atau di bawah lidah, mungkin
berfluktuasi. Dapat juga terjadi sakit pada dasar mulut, trismus, indurasi
submandibula dan kulit di bawah dagu eritema dan oedem, kebanyakan
kuman penyebab adalah golongan Streptococcus, Staphylococcus, kuman
anaerob Bacteriodes atau kuman campuran. Abses leher dalam dapat
berupa abses peritonsil, abses retrofaring, abses submandibulla, dan ludovici
(Ludwig’s Angina).
1.4 Patofisiologi
Jika bakteri masuk kedalam jaringan yang sehat, maka akan terjadi infeksi.
Sebagian sel mati dan hancur, meninggalkan rongga yang berisi jaringan
dan se-sel yang terinfeksi. Sel-sel darah putih yang merupakan pertahanan
tubuh dalalm melawan infeksi, bergerak kedalam rongga tersebut, dan
setelah menelan bakteri. Sel darah putih akan mati, sel darah putih yang mati
inilah yang memebentuk nanah yang mengisi rongga tersebut. Akibat
penimbunan nanah ini, maka jaringan disekitarnya akan terdorong jaringan
pada akhirnya tumbuh di sekliling abses dan menjadi dinding pembatas.
Abses hal ini merupakan mekanisme tubuh mencegah penyebaran infeksi
lebih lanjut jika suatu abses pecah di dalam tubuh maka infeksi bisa
menyebar kedalam tubuh maupun dibawah permukaan kulit, tergantung
kepada lokasi abses (www.medicastre.com.2004).
2
Pathway
3
1.5.2.4 Tomografi komputer (CT-scan)
CT-scan dengan kontras merupakan pemeriksaan baku
emas pada abses leher dalam. Berdasarkan penelitian
Crespo bahwa hanya dengan pemeriksaan klinis tanpa CT
scan mengakibatkan estimasi terhadap luasnya abses yang
terlalu rendah pada 70% pasien. Gambaran abses yang
tampak adalah lesi dengan hipodens (intensitas rendah),
batas yang lebih jelas, dan kadang ada air fluid level.
1.6 Komplikasi
Proses peradangan dapat menjalar secara hematogen, limfogen atau
langsung (perkontinuitatum) ke daerah sekitarnya. Infeksi dari
submandibula paling sering meluas ke ruang parafaring karena pembatas
antara ruangan ini cukup tipis. Perluasan ini dapat secara langsung atau
melalui ruang mastikor melewati musculus pterygoid medial kemudian ke
parafaring. Selanjutnya infeksi dapat menjalar ke daerah potensial lainnya.
Penjalaran ke atas dapat mengakibatkan peradangan intrakranial, ke bawah
menyusuri selubung karotis mencapai mediastinum menyebabkan
medistinitis. Abses juga dapat menyebabkan kerusakan dinding pembuluh
darah. Bila pembuluh karotis mengalami nekrosis, dapat terjadi ruptur,
sehimgga terjadi perdarahan hebat, bila terjadi periflebitis atau endoflebitis,
dapat timbul tromboflebitis dan septikemia. Faktor-faktor yang
berhubungan dengan timbulnya komplikasi adalah usia yang lebih dari 65
tahun, penderita diabetes mellitus, adanya komorbiditas lainnya, infeksi
submandibular sekunder, pembengkakan submandibular bilateral,
keterlibatan ruang multipel, dan keterlibatan ruang viseral anterior
1.7 Penatalaksanaan
Terapi yang diberikan pada abses submandibula adalah :
4
1.7.1 Antibiotik (parenteral)
Untuk mendapatkan jenis antibiotik yang sesuai dengan kuman
penyebab, uji kepekaan perlu dilakukan. Namun, pemberian antibiotik
secara parenteral sebaiknya diberikan secepatnya tanpa menunggu
hasil kultur pus. Antibiotik kombinasi (mencakup terhadap kuman
aerob dan anaerob, gram positif dan gram negatif) adalah pilihan
terbaik mengingat kuman penyebabnya adalah campuran dari
berbagai kuman. Secara empiris kombinasi ceftriaxone dengan
metronidazole masih cukup baik. Setelah hasil uji sensistivitas kultur
pus telah didapat pemberian antibiotik dapat disesuaikan. Berdasarkan
uji kepekaaan, kuman aerob memiliki angka sensitifitas tinggi
terhadap terhadap ceforazone sulbactam, moxyfloxacine, ceforazone,
ceftriaxone, yaitu lebih dari 70%. Metronidazole dan klindamisin
angka sensitifitasnya masih tinggi terutama untuk kuman anaerob
gram negatif. Antibiotik biasanya dilakukan selama lebih kurang 10
hari.
1.7.2 Bila abses telah terbentuk, maka evakuasi abses dapat dilakukan.
Evakuasi abses (gambar 4) dapat dilakukan dalam anestesi lokal untuk
abses yang dangkal dan terlokalisasi atau eksplorasi dalam narkosis
bila letak abses dalam dan luas. Insisi dibuat pada tempat yang paling
berfluktuasi atau setinggi os hioid, tergantung letak dan luas abses.
Bila abses belum terbentuk, dilakukan panatalaksaan secara
konservatif dengan antibiotik IV, setelah abses terbentuk (biasanya
dalam 48-72 jam) maka evakuasi abses dapat dilakukan.
5
1.7.3Mengingat adanya kemungkinan sumbatan jalan nafas, maka tindakan
trakeostomi perlu dipertimbangkan.
1.7.4 Pasien dirawat inap 1-2 hari hingga gejala dan tanda infeksi reda
6
1.8 Rencana Asuhan Klien dengan abses submandibula
1.8.1 Pengkajian
a. Riwayat Keperawatan
Riwayat keperawatan mencakup riwayat kesehatan sekarang, riwayat
kesehatan dahulu dan riwayat kesehatan keluarga yang berhubungan dengan
penyakit keturunan seperti diabetes mellitus dan penyakit lainnya seperti
kelainan hati, ginjal dan kehamilan.
b. Pemeriksaan fisik: Data fokus
Data yang harus dikumpulkan dalam pengkajian yang dilakukan pada kasus
abses submandibula menurut Doenges, (2001) adalah sebagai berikut :
1) Aktifitas/istirahat
Data Subyektif : Pusing, sakit kepala, nyeri, mulas.
Data Obyektif : Perubahan kesadaran, masalah dalam keseimbangan
cedera (trauma).
2) Sirkulasi
Data Obyektif: kecepatan (bradipneu, takhipneu), pola napas
(hipoventilasi, hiperventilasi, dll).
3) Integritas ego
Data Subyektif: Perubahan tingkah laku/ kepribadian (tenang atau
dramatis)
Data Obyektif : cemas, bingung, depresi.
4) Eliminasi
Data Subyektif : Inkontinensia kandung kemih/usus atau mengalami
gangguan fungsi.
5) Makanan dan cairan
Data Subyektif : Mual, muntah, dan mengalami perubahan selera
makan.
7
Data Obyektif : Mengalami distensi abdomen.
6) Neurosensori.
Data Subyektif : Kehilangan kesadaran sementara, vertigo.
Data Obyektif : Perubahan kesadaran bisa sampai koma, perubahan
status mental, kesulitan dalam menentukan posisi tubuh.
7) Nyeri dan kenyamanan
Data Subyektif : Nyeri pada rahang dan bengkak
Data Obyektif : Wajah meringis, gelisah, merintih.
8) Pernafasan
Data Subyektif : Perubahan pola nafas.
Data Objektif : Pernapasan menggunakan otot bantu pernapasan/ otot
aksesoris.
9) Keamanan
Data Subyektif : Trauma baru akibat gelisah.
Data Obyektif : Dislokasi gangguan kognitif. Gangguan rentang gerak.
8
c. Faktor yang berhubungan
1) Anestesi
2) Penurunan respirasi
3) Dehidrasi
4) Pemajanan lingkungan yang panas
5) Penyakit
6) Pemakaian pakaian yang tidak sesuai dengan suhu lingkungan
7) Peningkatan laju metabolisme
8) Medikasi
9) Trauma
10) Aktivitas berlebihan
9
7) Perilaku distraksi (mis: berjalan mondar-mandir mencari orang lain dan
atau aktifitas lain, aktifitas yang berulang)
8) Mengekspresikan perilaku (mis: gelisah, merengek, menangis)
9) Masker wajah (mis: kurang bercahaya, tampak kacau, gerakan mata
berpencar atau tetap pada satu focus, meringis)
10) Sikap melindungi area nyeri
11) Fokus menyempit (mis: gangguan persepsi nyeri, hambatan proses
berfikir, penurunan interaksi dengan orang dan lingkungan)
12) Indikasi nyeri yang dapat diamati
13) Perubahan posisi untuk menghindari nyeri
14) Sikap tubuh melindungi
15) Dilatasi pupil
16) Melaporkan nyeri secara verbal
17) Gangguan tidur
1.10 Perencanaan
1.10.1 Diagnosa 1: Hipertermi
a. Tujuan dan kriteria hasil (outcomes criteria): berdasarkan NOC :
Thermoregulation
1) Kriteria hasil:
a) Suhu tubuh dalam rentang normal
b) Nadi dan respirasi dalam rentang normal
c) Tidak ada perubahan warna kulit dan tidak ada pusing
2) Intervensi keperawatan dan rasional: berdasarkan NIC
a) Fever treatment
10
b) Monitor suhu sesering mungkin
c) Monitor IWL
d) Monitor warna dan suhu kulit
e) Monitor tekanan darah, nadi dan respirasi
f) Monitor penurunan tingkat kesadaran
g) Monitor WBC, Hb, dan Hct
h) Monitor intake dan output
i) Berikan anti piretik
j) Berikan pengobatan untuk mengatasi penyebab demam
k) Selimuti pasien
l) Lakukan tapid sponge
m) Kolaborasi pemberian cairan intravena
n) Kompres pasien pada lipat paha dan aksila
o) Tingkatkan sirkulasi udara
p) Berikan pengobatan untuk mencegah terjadinya menggigil
3) Temperature regulation
a) Monitor suhu minimal tiap 2 jam
b) Rencanakan monitoring suhu secara kontinyu
c) Monitor TD, nadi dan respirasi
d) Monitor suhu dan warna kulit
e) Monitor tanda-tanda hipertermi dan hipotermi
f) Tingktakan intake cairan dan nutrisi
g) Selimuti pasien untuk mencegah hilangnya kehangatan tubuh
h) Ajarkan pada pasien cara mencegah keletihan akibat panas
i) Diskusikan tentang pentingnya pengaturan suhu dan
kemungkinan efek negatef dari kedinginan
j) Beritahukan tentang indikasi terjadinya keletihan dan
penanganan emergensi yang diperlukan
11
k) Berikan anti piretik jika perlu
4) Vital sign monitoring
a) Monitor TD, suhu, nadi, dan respirasi
b) Catat adanya fluktuasi tekanan darah
c) Monitor VS saat pasien berbaring, duduk atau berdiri
d) Auskultasi TD pada kedua lengan dan bandingkan
e) Monitor TD, suhu, nadi dan respirasi, sebelum, selama dan
sesudah aktifitas
f) Monitor kualitas dari nadi
g) Monitor frekuensi dan irama pernafasan
h) Monitor suara paru
i) Monitor pola pernafasan abnormal
j) Monitor suhu, warna, dan kelembaban kulitMonitor sianosis
perifer
k) Monitor adanya cushing triad (tekanan nadi yang melebar,
brakikardi, peningkatan sistolik)
l) Identifikasi peningkatan dan perubahan vital sign
12
d. Mampu mengenali nyeri (skala, intensitas, frekuensi dan tanda
nyeri)
e. Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri berkurang.
13
1.11.1.16 Kolaborasikan dengan dokter jika ada keluhan dan tindakan nyeri tidak
berhasil
1.11.1.17 Monitor penerimaan pasien tentang manajemen nyeri
1.11.2 Analgesic administration
1.11.2.1.1 Tentukan lokasi, karakteristik, kualitas, dan derajat nyeri sebelum
pemberian obat
1.11.2.1.2 Cek instruksi dokter tentang jenis obat, dosis, dan frekuensi
1.11.2.1.3 Cek riwayat alergi
1.11.2.1.4 Pilih analgetik yang diperlukan atau kombinasi dari analgetik ketika
pemberian lebih dari satu
1.11.2.1.5 Tentukan pilihan analgetik tergantung tipe dan beratnya nyeri
1.11.2.1.6 Tentukan analgetik pilihan, rute pemberian, dan dosis optimal
1.11.2.1.7 Pilih rute secara IV, IM untuk pegobatan nyeri secara teratur
1.11.2.1.8 Monitor vital sign sebelum dan sesudah pemberian analgetik pertama
kali
1.11.2.1.9 Berikan analgetik tepat waktu terutama saat nyeri hebat
1.11.2.1.10 Evaluasi aktifitas analgetik, tanda dan gejala.
Diabetes mellitus merupakan gangguan metabolisme yang secara genetic dan klinis
termasuk heterogen dengan manifestasi berupa hilangnya toleransi karbohidrat.
14
( Price and Wilson, 2000 )
Diabetes mellitus adalah sekelompok kelainan heterogen yang ditandai oleh kenaikan
kadar glukosa dalam darah atau hiperglikemi( Smeltzer and Bare,2000)
Diabetes melitus merupakan peyakit kronis yang berkaitan denan defisiensi atau
resistansi insulin relatif atau absolut dan ditandai dengan ganguan metabolisme
karbohidrat, protein, dan lemak. (Paramita, 2011)
1.2 Etiologi
Etiologi secara umum tergantung dari tipe Diabetes, yaitu :
15
1.2.1.3 Faktor lingkungan
1.3 Klasifikasi
Klasifikasi DM dan gangguan toleransi glukosa adalah sebagai berikut :
16
1.3.1.2.2 DM tipe 2 (tidak tergantung insulin)
1.3.1.2.2.1 Gemuk
1.3.1.2.2.2 Tidak gemuk
1.3.2 DM tipe lain yang berhubungan dengan keadaan atau sindrom tertentu
1.3.2.1 Penyakit pancreas
1.3.2.2 Hormonal
1.3.2.3 Obat atau bahan kimia
1.3.2.4 Kelainan reseptor
1.3.2.5 kelainan genital dan lain-lain
1.3.3 Toleransi glukosa terganggu
1.3.4 Diabetes Gestasional
(Suyono, et al 2001)
17
1.8.2.2.2.1.3 Glikolisis meningkat sehingga cadangan glikogen berkurang dan
glukosa hati dicurahkan ke dalam darah secara terus menerus melebihi
kebutuhan.
1.8.2.2.2.1.4 Glukoneogenesis meningkat dan lebih banyak lagi glukosa hati yang
tercurah ke dalam darah dari pemecahan asam amino dan lemak
( Long ,1996 )
Pada DM tipe 1 terdapat ketidak mampuan menghasikan insulin karena sel-sel beta
telah dihancurkan oleh proses autoimun. Akibat produksi glukosa tidak terukur oleh
hati, maka terjadi hiperglikemia. Jika konsentrasi glukosa dalam darah tinggi, ginjal
tidak dapat menyerap semua glukosa, akibatnya glukosa muncul dalam urine
(glukosuria). Ketika glukosa berlebihan diekskresikan dalam urine disertai
pengeluaran cairan dan elektrolit (diuresis osmotik). Akibat kehilangan cairan
berlebihan, pasien akan mengalami peningkatan berkemih (poli uri) dan rasa haus
(polidipsi). Defisiensi insulin juga mengganggu metabolisme protein dan lemak
yang menyebabkan penurunan berat badan . pasien juga mengalami peningkatan
selera makan (polifagi) akibat penurunan simpanan kalori.gejala lainnya mencakup
kelelahan dan kelemahan
Pada DM tipe 2 terdapat 2 masalah utama yang berhubungan dengan insulin yaitu
resistensi insulin dan ganguan sekresi insulin. Resistensi insulin ini disertai dengan
penurunan reaksi intra sel sehingga insulin menjadi tidak efektif untuk menstimulasi
pengambilan glukosa oleh jaringan. Pada gangguan sekresi insulin berlebihan, kadar
glukosa akan dipertahankan pada tingkat normal atau sedikit meningkat. Namun jika
sel beta tidak mampu mengimbangi peningkatan kebutuhan insulin maka kadar
glukosa darah meningkat. Akibat intoleransi glukosa yang berlangsung lambat dan
progresif maka awitan DM tipe 2 dapat berjalan tanpa terdeteksi. Gejala yang
dialami sering bersifat ringan seperti kelelahan, iritabilitas, poliuri, polidipsi, luka
18
pada kulit yang lama sembuh, infeksi vagina atau pandangan yang kabur ( jika kadar
glukosanya sangat tinggi )
FATWAY
Resiko infeksi
19
Poliuri
Sklerosis mikrovaskuler
Perubahan nutrisi
kurang dari kebutuhan Kekurangan volume cairan Neuron
( Corwin, E.J. 2001 )
20
1.5.6 Jika diabetes tipe 1 tidak dikontrol, pasien mengalami penurunan berat badan
dan selalu lapar, padahal ia sudah makan sangat banyak
(Paramita, 2011)
1.5.7 Gejala klasik :
1.5.7.1 Poliuri
1.5.7.2 Polidipsi
1.5.7.3 Polifagi
1.5.8 Penurunan Berat Badan
1.5.9 Lemah
1.5.10 Kesemutan, rasa baal
1.5.11 Bisul / luka yang lama tidak sembuh
1.5.12 Keluhan impotensi pada laki-laki
1.5.13 Keputihan
1.5.14 Infeksi saluran kemih
(Suyono, et al 2001)
1.6 Komplikasi
1.6.1 Akut
1.6.1.1 Ketoasidosis diabetik
1.6.1.2 Hipoglikemi
1.6.1.3 Koma non ketotik hiperglikemi hiperosmolar
1.6.1.4 Efek Somogyi ( penurunan kadar glukosa darah pada malam hari diikuti
peningkatan rebound pada pagi hari )
1.6.1.5 Fenomena fajar / down phenomenon ( hiperglikemi pada pagi hari
antara jam 5-9 pagi yang tampaknya disebabkan peningkatan sikardian
kadar glukosa pada pagi hari )
21
1.6.2 Komplikasi jangka panjang
1.6.2.1 Makroangiopati
1.6.2.2 Penyakit arteri koroner ( aterosklerosis )
1.6.2.3 Penyakit vaskuler perifer
1.6.2.4 Stroke
1.6.2.5 Mikroangiopati
1.6.2.6 Retinopati
1.6.2.7 Nefropati
1.6.2.8 Neuropati diabetik
( Price and Wilson, 2000 )
1.7.3 HbA1C
22
Pemeriksaan reduksi urin dengan cara Benedic atau menggunakan
enzim glukosa . Pemeriksaan reduksi urin positif jika didapatkan
glukosa dalam urin.
(Carpenito, 2011)
1.8 Penatalaksanaan
Tujuan utama terapi diabetes adalah mencoba menormalkan aktifitas insulin dan
kadar glukosa darah dalam upaya mengurangi terjadi komplikasi vaskuler serta
neuropatik.Tujuan terapetik pada setiap tipe DM adalah mencapai kadar glukosa
darah normal tanpa terjadi hipoglikemia dan gangguan serius pada pola aktifitas
pasien.
23
Latihan penting dalam penatalaksanaan DM karena dapat menurunkan kadar
glukosa darah dan mengurangi faktor resiko kardiovaskuler. Latihan akan
menurunkan kadar glukosa darah dengan meningkatkan pengambilan glukosa
oleh otot dan memperbaiki pemakaian insulin. Sirkulasi darah dan tonus otot
juga diperbaiki dengan olahraga.
1.8.2.1 Pemantauan
Pemantauan glukosa dan keton secara mandiri untuk deteksi dan
pencegahan hipoglikemi serta hiperglikemia
1.8.2.2 Terapi
1.8.2.2.1 Insulin
Dosis yang diperlukan ditentukan oleh kadar glukosa darah
24
1..8.2.2.3.1 Patofisiologi DM sederhana, cara terapi
termasuk efek samping obat, pengenalan dan
pencegahan hipoglikemi / hiperglikemi
1..8.2.2.3.2 Tindakan preventif ( perawatan kaki,
perawatan mata , hygiene umum )
1..8.2.2.3.3 Meningkatkan kepatuhan program diet dan
obat
(Smeltzer and Bare, 2000)
1.9 Pengkajian
1.9.1 Aktivitas / istirahat ;
Lemah, letih, sulit bergerak / berjalan , kram otot, tonus otot menurun,
1.9.2 Sirkulasi ;
Adanya riwayat hipertensi,
25
1.9.4 Eliminasi ;
Poliuri, nokturia, disuria, sulit berkemih, ISK baru atau berulang
Urin encer, pucat, kuning, atau berkabut dan berbau bila ada infeksi
1.9.6 Neurosensori :
Pusing, pening, sakit kepala
1.9.8 Pernafasan ;
Batuk, dan ada purulen, jika terjadi infeksi
1.9.9 Keamanan ;
26
Kulit kering, gatal, ulkus kulit, kulit rusak, lesi, ulserasi, menurunnya
kekuatan umum / rentang gerak, parestesia/ paralysis otot, termasuk otot-
otot pernafasan,( jika kadar kalium menurun dengan cukup tajam)
,demam, diaphoresis
1.9.10 Seksualitas ;
Cenderung infeksi pada vagina.
1.11 INTERVENSI
1.11.1 Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan defisiensi
insulin, penurunan intake oral, status hipermetabolisme
27
Tujuan : klien mendapatkan nutrisi yang adekuat
1.11.1.2.2.2 Kolaborasi :
1.11.1.2.2.1 Pantau kadar gula darah secara berkala
1.11.1.2.2.2 Kolaborasi ahli diet untuk menentukan
diet pasien
1.11.1.2.2.3 Pemberian insulin / obat anti diabetik
28
1.11.2.1.2 Nadi perifer teraba
1.11.2.1.3 Turgor kulit dan pengisian akpiler baik
1.11.2.1.4 Output urin tepat
1.11.2.1.5 Kadar elektrolit dalam batas normal
1.11.2.2 Intervensi :
1.11.1.2.2.1 Mandiri
1.11.1.2.2.1.1 Kaji riwayat muntah dan diuresis berlebihan
1.11.1.2.2.1.2 Monitor TTV, catat adanya perubahan TD
ortostatik
1.11.1.2.2.1.3 Kaji frekuensi, kwalitas dan dan pola
pernafasan, catat adanya penggunaan otot
bantu, periode apnea, sianosis,
1.11.1.2.2.1.4 Kaji suhu, kelembapan, warna kulit
1.11.1.2.2.1.5 Monitor nadi perifer, turgor kulit dan
membran mukosa
1.11.1.2.2.1.6 Monitor intake dan output cairan, catat BJ
urin
1.11.1.2.2.2 Kolaborasi
1.11.1.2.2.2.1 Pemeriksaan Hb, Ht, BUN, Na, K, Gula
Darah
1.11.1.2.2.2.2 Pemberian terapi cairan yang sesuai (Nacl,
RL, Albumin)
1.11.3 Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan hiperglikemi, penurunan fungsi lekosit,
Perubahan sirkulasi
Tujuan : klien terhindar dari infeksi silang
29
1.11.3.1.1 Mengidentifikasi intervensi untuk mencegah / menurunkan
resiko infeksi
1.11.3.1.2 Klien mendemonstrasiakn tehnik gaya hidup untuk
mencegah infeksi
1.11.3.2 Intervensi :
1.11.3.2.1.1 Mandiri
1.11.3.2.1.1.1 Observasi tanda – tanda infeksi seperti
panas, kemerahan, keluar nanah, sputum
purulen
1.11.3.2.1.1.2 Tingkatkan upaya pencegahan dengan cuci
tangan yang baik pada semua orang yang
berhubungan dengan klien, termasuk klien
sendiri
1.11.3.2.1.1.3 Pertahankan tehnik aseptic pada setiap
prosedur invasif
1.11.3.2.1.1.4 Lakukan perawatan perineal dengan baik
dan anjurkan klien wanita untuk
membersihkan daerah perineal dengan dari
depan ke belakang
1.11.3.2.1.1.5 Berikan perawatan kulit secara teratur,
masase daerah yang tertekan , jaga kulit tetap
kering
1.11.3.2.1.1.6 Auskultasi bunyi nafas dan atur posisi tidur
semi fowler
1.11.3.2.1.1.7 Lakukan perubahan posisi dan anjurkan
klien untuk batuk efektif / nafas dalam bila
klien sadar / kooperatif
1.11.3.2.1.1.8 Bantu klien melakukan oral hygiene
30
1.11.3.2.1.1.9 Anjurkan makan dan minum adekuat
1.11.3.3 Kolaborasi
1.11.3.3.1 Pemeriksaan kultur dan sensitivity test
1.11.3.3.2 Pemberian antibiotik yang sesuai
1.11.4 resiko tinggi perubahan persepsi sensori berhubungan dengan perubahan zat
kimia endogen, ketidakseimbangan elektrolit, glukosa, insulin
Tujuan : persepsi sensori klien adekuat
1.11.4.2.1 Kolaborasi
31
1.11.4.2.1.1 Pemeriksaan laboratorium : gula darah,
osmolaritas darah, Hb,Ht, ureum kreatinin
1.11.4.2.1.2 Pemberian obat-obatan yang sesuai
1.11.5 Kurangnya pengetahuan tentang proses penyakit, prognosis dan kebutuhan
pengobatan berhubungan dengan kurang informasi, misinterpretasi pengobatan
Tujuan : klien mengungkapkan pemahaman tentang penyakitnya
32
1.11.5.2.1.7 Diskusikan tentang perlunya program
latihanBerikan informasi tentang perawatan
sehari-hari misal perawatan kaki.
33
DAFTAR PUSTAKA
34
11. Suzanne, C, Smeltzer, Brenda G Bare. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal-
Bedah Bruner and Suddarth. Ali Bahasa Agung Waluyo. ( et,al) Editor bahasa
Indonesia :Monica Ester. Edisi 8 jakarta : EGC.
35