Anda di halaman 1dari 9

ABSES SUBMANDIBULA

A. Konsep Penyakit

A. Definisi

Abses adalah kumpulan tertutup jaringan cair, yang dikenal sebagai nanah, di
suatu tempat di dalam tubuh. Ini adalah hasil dari reaksi pertahanan tubuh terhadap
benda asing (Mansjoer A, 2005). Abses adalah tahap terakhir dari suatu infeksi jaringan
yang diawali dengan proses yang disebut peradangan (Bambang, 2005).
Abses adalah infeksi kulit dan subkutis dengan gejala berupa kantong berisi
nanah. (Siregar, 2004). Sedangkan abses mandibula adalah abses yang terjadi di
mandibula. Abses dapat terbentuk di ruang submandibula atau salah satu komponennya
sebagai kelanjutan infeksi dari daerah leher. (Smeltzer dan Bare, 2001).

B. Etiologi

Menurut Siregar (2004) suatu infeksi bakteri bisa menyebabkan abses melalui
beberapa cara antara lain:
a. Bakteri masuk kebawah kulit akibat luka yang berasal dari tusukan jarum yang
tidak steril
b. Bakteri menyebar dari suatu infeksi dibagian tubuh yang lain
Lebih lanjut Siregar (2004) menjelaskan peluang terbentuknya suatu abses akan
meningkat jika :
a. Terdapat kotoran atau benda asing di daerah tempat terjadinya infeksi
b. Terdapat gangguan sisitem kekebalan.

Menurut Hardjatmo Tjokro Negoro, PHD dan Hendra Utama, (2001), abses
mandibula sering disebabkan oleh infeksi didaerah rongga mulut atau gigi. Peradangan
ini menyebabkan adanya pembengkakan didaerah submandibula yang pada perabaan
sangat keras biasanya tidak teraba adanya fluktuasi. Sering mendorong lidah keatas
dan kebelakang dapat menyebabkan trismus. Hal ini sering menyebabkan sumbatan
jalan napas.
Infeksi dapat bersumber dari gigi, dasar mulut, faring, kelenjar liur atau kelenjar
limfa submandibula. Mungkin juga sebagian kelanjutan infeksi ruang leher dalam lain.
Kuman penyebab biasanya campuran kuman aerob dan aerob. Abses submandibula
merupakan salah satu bagian dari abses leher dalam. Sebagian besar abses leher
dalam disebabkan oleh campuran berbagai kuman, baik kuman aerob, anaerob,
maupun fakultatif anaerob. Kuman aerob yang sering ditemukan adalah Stafilokokus,
Streptococcus sp, Haemofilus influenza, Streptococcus Pneumonia, Moraxtella
catarrhalis, Klebsiell sp, Neisseria sp. Kuman anaerob yang sering ditemukan pada
abses leher dalam adalah kelompok batang gram negatif, seperti Bacteroides,
Prevotella, maupun Fusobacterium.
Di Bagian THT-KL Rumah Sakit dr. M. Djamil Padang, periode April 2010 sampai
dengan Oktober 2010 terdapat sebanyak 22 pasien abses leher dalam dan dilakukan
kultur kuman penyebab, didapatkan 73% spesimen tumbuh kuman aerob, 27% tidak
tumbuh kuman aerob dan 9% tumbuh jamur yaitu Candida sp.

C. Patofisiologi
Jika bakteri menyusup kedalam jaringan yang sehat, maka akan terjadi infeks.
Sebgian sel mati dan hancur, menigglakan rongga yang berisi jaringan dan se-sel yang
terinfeksi. Sel-sel darah putih yang merupakan pertahanan tubuh dalalm melawan infeksi,
bergerak kedalam rongga tersebut, dan setelah menelan bakteri.sel darah putih kakan
mati, sel darah putih yang mati inilah yang memebentuk nanah yang mengisis rongga
tersebut.
Akibat penimbunan nanah ini, maka jaringan disekitarnya akan terdorong jaringan
pada akhirnya tumbuh di sekliling abses dan menjadi dinding pembatas. Abses hal ini
merupakan mekanisme tubuh mencefah penyebaran infeksi lebih lanjut jka suat abses
pecah di dalam tubuh maka infeksi bisa menyebar kedalam tubuh maupun dibawah
permukaan kulit, tergantung kepada lokasi abses.

D. Manifestasi Klinis

Menurut Smeltzer dan Bare (2001), gejala dari abses tergantung kepada lokasi
dan pengaruhnya terhadap fungsi suatu organ saraf. Gejalanya bisa berupa :
a. Nyeri
b. Nyeri tekan
c. Teraba hangat
d. Pembengakakan
e. Kemerahan
f. Demam
Suatu abses yang terbentuk tepat dibawah kulit biasanya tampak sebagai
benjolan.. Jika abses akan pecah, maka daerah pusat benjolan akan lebih putih karena
kulit diatasnya menipis. Suatu abses di dalam tubuh, sebelum menimbulkan gejala
seringkali terlebih tumbuh lebih besar. Abses dalam lebih mungkin menyebarkan infeksi
keseluruh tubuh. Terdapat demam dan nyeri leher disertai pembengkakan di bawah
mandibula dan atau di bawah lidah, mungkin berfluktuasi. Trismus sering ditemukan.
E. Pemeriksaan
Menurut Siregar (2004), abses dikulit atau di bawah kulit sangat mudah dikenali.
Sedangkan abses dalam sering kali sulit ditemukan. Pada penderita abses, biasanya
pemeriksaan darah menunjukkan peningkatan jumlah sel darah putih. Untuk menetukan
ukuran dan lokasi abses dalam biasanya dilakukan pemeriksaan Rontgen,USG, CT,
Scan, atau MRI.
1. Laboratorium
Pada pemeriksaan darah rutin, didapatkan leukositosis. Aspirasi material yang
bernanah (purulent) dapat dikirim untuk dibiakkan guna uji resistensi antibiotik
2. Radiologis
a. Rontgen jaringan lunak kepala AP
b. Rontgen panoramik
Dilakukan apabila penyebab abses submandibuka berasal dari gigi.
c. Rontgen thoraks
Perlu dilakukan untuk evaluasi mediastinum, empisema subkutis,
pendorongan saluran nafas, dan pneumonia akibat aspirasi abses.
d. Tomografi komputer (CT-scan)
CT-scan dengan kontras merupakan pemeriksaan baku emas pada abses
leher dalam. Berdasarkan penelitian Crespo bahwa hanya dengan pemeriksaan klinis
tanpa CT-scan mengakibatkan estimasi terhadap luasnya abses yang terlalu rendah
pada 70% pasien (dikutip dari Pulungan). Gambaran abses yang tampak adalah lesi
dengan hipodens (intensitas rendah), batas yang lebih jelas, dan kadang ada air fluid
level . 4

F. Penatalaksanaan

Antibiotika dosis tinggi terhadap kuman aerob dan aerob harus diberikan secara
parenteral. Evakuasi abses dapat dilakukan dalam anestesi lokal untuk abses yang
dangkal dan terlokalisasi atau eksplorasi dalam narkosis bila letak abses dalam dan
luas.
Untuk mendapatkan jenis antibiotik yang sesuai dengan kuman penyebab, uji
kepekaan perlu dilakukan. Namun, pemberian antibiotik secara parenteral sebaiknya
diberikan secepatnya tanpa menunggu hasil kultur pus. Antibiotik kombinasi (mencakup
terhadap kuman aerob dan anaerob, gram positip dan gram negatif) adalah pilihan
terbaik mengingat kuman penyebabnya adalah campuran dari berbagai kuman. Secara
empiris kombinasi ceftriaxone dengan metronidazole masih cukup baik. Setelah hasil uji
sensistivitas kultur pus telah didapat pemberian antibiotik dapat disesuaikan.
Berdasarkan uji kepekaaan, kuman aerob memiliki angka sensitifitas tinggi
terhadap terhadap ceforazone sulbactam, moxyfloxacine, ceforazone, ceftriaxone, yaitu
lebih dari 70%. Metronidazole dan klindamisin angka sensitifitasnya masih tinggi
terutama untuk kuman anaerob gram negatif. Antibiotik biasanya dilakukan selama lebih
kurang 10 hari.

Insisi dibuat pada tempat yang paling berfluktuasi atau setinggi os hioid,
tergantung letak dan luas abses. Pasien dirawat inap sampai 1-2 hari gejala dan tanda
infeksireda.

Insisi dan Drainase Abses


G. Komplikasi

Proses peradangan dapat menjalar secara hematogen, limfogen atau langsung


(perkontinuitatum) ke daerah sekitarnya. Infeksi dari submandibula paling sering meluas
ke ruang parafaring karena pembatas antara ruangan ini cukup tipis. 8 Perluasan ini
dapat secara langsung atau melalui ruang mastikor melewati musculus pterygoid medial
kemudian ke parafaring. Selanjutnya infeksi dapat menjalar ke daerah potensial lainnya.
Penjalaran ke atas dapat mengakibatkan peradangan intrakranial, ke bawah
menyusuri selubung karotis mencapai mediastinum menyebabkan mediastinitis. Abses
juga dapat menyebabkan kerusakan dinding pembuluh darah. Bila pembuluh karotis
mengalami nekrosis, dapat terjadi ruptur, sehingga terjadi perdarahan hebat, bila terjadi
periflebitis atau endoflebitis, dapat timbul tromboflebitis dan septikemia.

B. Asuhan Keperawatan

Pengkajian

1. Identitas Pasien :
 Identitas klien :
nama, umur, jenis kelamin, agama, pendidikan, pekerjaan, tanggal MRS, tanggal
pengkajian, diagnostic medic.
 Identitas penanggung :
nama, umur, jenis kelamin, agama, pendidikan, pekerjaan, hubungan dengan klien
2. Keluhan Utama : Biasanya pasien mengeluh bengkak.
3. Riwayat Kesehatan.
 Riwayat Penyakit Sekarang :
Tanyakan sejak kapan pasien merasakan keluhan seperti yang ada pada
keluhan utama dan tindakan apa saja yang dilakukan pasien untuk
menanggulanginya.
 Riwayat Penyakit Dahulu :
Apakah pasien dulu pernah menderita penyakit seperti ini.
 Riwayat Penyakit Keluarga :
Apakah ada keluarga pernah menderita penyakit seperti ini
 Riwayat Psikososial :
Apakah pasien merasakan kecemasan yang berlebihan. Apakah sedang
mengalami stress yang berkepanjangan.
Diagnosa Keperawatan

Menurut T. Heather Herdman, et.al (2007), diagnosa keperawatan yaitu :

1. Nyeri Akut yang berhubungan dengan egen injuri biologi


2. Hipertermi yang berhubungan dengan proses penyakit
3. Kerusakan Intergritas kulit yang berhubungan dengan trauma mekanik.

Rencana Keperawatan

Menurut Johnson, Marion Meridean Maas dan Sue Moorhead, ed (2000) rencana keperawatan
terdiri dari :

1. Nyeri Akut yang berhubungan dengan Agen Injury Biologi


 Tujuan : Level nyaman.
 Kriteria hasil : Melaporkan puas dengan kontrol nyeri
 Intervensi (Joane C, Mc.Closkey, 1996)
 Manajemen Nyeri
a) Kaji nyeri secara komprehensif meliputi lokasi, karakteristik durasi, frekuensi, dan
faktor presipitas

b) Observasi reaksi non verbal dari ketidak nyaman


c) Bantu pasien dan keluarga untuk mencari dan menemukan dukungan
d) Berikan analgesik untuk mengurangi nyeri, kolaborasi dengan dokter jika ada
komplain dan tindakan nyeri yang tidak berhenti
e) Ajarkan teknik relaksasi
f) Tentukan lokasi, karakteristik, kualitas dan derajat nyeri sebelum obat
g) Monitor vital sign sebelum dan sesudah pemberian analgesik pertama kali
h) Berikan analgesik tepat waktu terutama saat nyeri hebat sesuai porgram.

2. Hipertermi yang berhubungan dengan proses penyakit (Johnson, Marion Meridean


Maas dan Sue Moorhead, ed., 2000)
 Tujuan : Status termoregulasi dalam batas normal
 Kriteria hasil : Suhu tubuh dalam batas normal
 Intervensi
a) Monitor temperatur baru sampai stabil
b) Monitor gejala hipertermi
c) Monitor TTV
d) Kolaborasi dalam pemberian antipiretik
e) Atur suhu lingkungan sesuai kebtuhan pasien
f) Berikan pemasukan nutrisi dan cairan yang adekuat.
3. Kerusakan Integritas kulit yang berhubungan dengan abses
 Tujuan : Integritas kulit dan jaringan yang normal setelah dilakukan perawatan
 Kriteria hasil: Integritas kulit membaik
 Intervensi
a) Kaji luas kerusakan akibat abses
b) Berikan perawatan pada daerah yang mengalami abses
c) Gunakan prinsip steril untuk perawatan luka abses
d) Berikan obat sesuai indikasi
DAFTAR PUSTAKA

1. Soetjipto D, Mangunkusumo E. Sinus paranasal. Dalam : Buku Ajar Ilmu Kesehatan


Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher. Edisi ke-6. Jakarta : Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, 2007. 145-48
2. Standring, S. 2004. Grays Anatomy. The Anatomical Basis of Clinical Practise. Churcill
LivingStone: Elsevier
3. Lee, K. J. 1999. Essential Otolaringologi : Head and Neck Surgery Eight Edition.
Chapter 21. McGraw Hill Medical Publishing Division.
4. Dr David Maritz. Deep space infections of the neck and floor of mouth- Hand Out.
5. Ariji Y, Gotoh M, Kimura Y, Naitoh K, Kurita K, Natsume N, et all. Odontogenic infection
pathway to the submandibular space: imaging assessment. Int. J. Oral Maxillofac. Surg.
2002; 31: 165–9
6. Megran, D.W., Scheifele, D.W., Chow, A.W. Odontogenic Infection Disease. 1984. 3:21
7. Pictures of submandibular neck. Otolaryngology Houston. Diunduh dari http://prosites-
otohouston.homestead.com/neckabscess.html
8. Lalwani, A. K. 2007. Neck Masses. Current Diagnosis & Treatment. Otolaryngology
Head and Neck Surgery Second Edition. New York: Mc Graw Hill LANGE
9. Micheau A, Hoa D. ENT anatomy: MRI of the face and neck - interactive atlas of human
anatomy using cross-sectional imaging (updated 24/08/2008 10:51 pm). Diunduh dari
http://www.imaios.com/en/e-Anatomy/Head-and-Neck/Face-and-neck-MRI. [Diakses
tanggal 16 Juni 2011].
10. Calhoun KH. 2001. Head and neck surgery-otolaryngology Volume two. 3nd Edition.
USA: Lippincott Williams and Wilkins. 705,712-3
11. Harrison. Prinsip-prinsip ilmu penyakit dalam. Edisi 13. jakarta : EGC. 1999.
12. Siregar, R,S. Atlas Berwarna Saripati Kulit. Editor Huriawati Hartanta. Edisi 2.
Jakarta:EGC,2004.
13. Suzanne, C, Smeltzer, Brenda G Bare. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah Bruner
and Suddarth. Ali Bahasa Agung Waluyo. ( et,al) Editor bahasa Indonesia :Monica Ester.
Edisi 8

Anda mungkin juga menyukai