ABSES LEHER
Disusun Oleh :
OKFIANTO
NPM. 220103116
1. Definisi
Leher terbagi atas dua bagian utama yang berbentuk segitiga yaitu
anterior dan posterior oleh otot sternomastoid yang berjalan
menyerong dari prosesus mastoid tulang pelipis ke sebelah depan klavikula dan
dapat diraba disepanjang tulang itu. Klavikula terletak pada dasar leher dan memisahkan
dari thorax.
Segitiga posterior leher disebelah depan dibatasi oleh otot sternomastoid dan
dibelakang oleh tepi anterior otot trapezius. Bagian iniberisi sebagian dari plexus saraf
servikal dan plexus brakhialis.
Serangkaian kelenjar limfe yang terletak posterior dari sternomastoid dan
urat-urat saraf dan pembuluh darah. Diatas segitiga ini terletak iga
pertama dan diatas iga ini berjalan arteri subklavia. Di tempat inilah
penekanan arteri subklavia dengan jari dapat dilakukan.
3. Etiologi
Infiltrasi kelenjar submandibula terjadi sebagai akibat komplikasi
tonsilitis akut atau infeksi yang bersumber dari kelenjar mucus weber di
kutub atas tonsil. Proses ini terjadi karena komplikasi tonsilitis akut atau
infeksi yang bersumber dari kelenjar mucus weber di kutub atas tonsil.
Biasanya kuman penyebab sama dengan penyebab tonsilitis dapat
ditemukan kuman aerob dan anaerob. Organisme aerob yang paling
sering menyebabkan abses adalah Streptococcus pyogenes (Group A
beta-hemolitik streptoccus), Staphylococcus aureus dan haemophilus
influenzae. Sedangkan organisme anaerob yang berperan adalah Fusobacterium,
Prevotella,Porphyromonas,Fusobacterium dan Peptostreptococcus spp.
Untuk kebanyakan abses peritonsiler didugadisebabkan karena kombinasi antara
organisme aerobic dan anaerobic
.
4. Manifestasi Klinis
Menurut Smeltzer dan Bare (2013), gejala dari abses tergantung
kepada lokasi dan pengaruhnya terhadap fungsi suatu organ saraf.
Gejalanya bisa berupa :
a. Nyeri
b. Nyeri tekan
c. Teraba hangat
d. Pembengakakan
e. Kemerahan
f. Demam
5. Patofisiologi
Jika bakteri menyusup kedalam jaringan yang sehat, maka akan terjadi
infeksi. Sebagian sel mati dan hancur, meninggalkan rongga yang berisi
jaringan dan sel-sel yang terinfeksi. Sel-sel darah putih yang merupakan
pertahanan tubuh dalam melawan infeksi, bergerak kedalam rongga
tersebut dan setelah menelan bakteri, sel darah putih akan mati, sel darah
putih yang mati inilah yang membentuk nanah yang mengisi rongga
tersebut. Akibat penimbunan nanah ini, maka jaringan disekitarnya akan
terdorong jaringan pada akhirnya tumbuh di sekeliling abses dan menjadi
dinding pembatas. Abses hal ini merupakan mekanisme tubuh mencegah
penyebaran infeksi lebih lanjut jika suatu abses pecah di dalam tubuh maka
infeksi bisa menyebar kedalam tubuh maupun dibawah permukaan kulit,
tergantung kepada lokasi abses (Corwin & Elizabeth, 2015).
6. Pathway
Skema 2.1
(Sumber : Corwin & Elizabeth, 2015)
7. Komplikasi
Komplikasi mayor dari abses adalah penyebaran abses ke jaringan
sekitar atau jaringan yang jauh dan kematian jaringan setempat yang
ekstensif (gangren). Pada sebagian besar bagian tubuh, abses jarang dapat
sembuh dengan sendirinya sehingga tindakan medis secepatnya
diindikasikan ketika terdapat kecurigaan akan adanya abses. Satu abses
dapat menimbulkan konsekuensi yang fatal. Meskipun jarang, apabila
abses tersebut mendesak struktur yang vital misalnya abses leher
dalam yang dapat menekan trakea (Siregar, 2014).
8. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan laboratorium : Peningkatan jumlah sel darah putih.
b. Untuk menentukan ukuran dan lokasi abses dilakukan pemeriksaan
rontgen, USG, CT Scan atau MRI.
9. Penatalaksanaan Medis
Abses kulit biasanya tidak membutuhkan penanganan menggunakan
antibiotik. Namun demikian, kondisi tersebut butuh ditangani dengan
intervensi bedah dan debridement. Satu abses harus diamati dengan teliti
untuk mengidentifikasi penyebabnya terutama apabila disebabkan oleh
benda asing karena benda asing tersebut harus diambil. Apabila tidak
disebabkan oleh benda asing, biasanya hanya perlu dipotong dan diambil
absesnya bersamaan dengan pemberian obat analgetik dan antibiotik.
Drainase abses dengan menggunakan pembedahan diindikasikan
apabila abses telah berkembang dari peradangan serosa yang keras
menjadi tahap nanah yang lebih lunak. Drain dibuat dengan tujuan
mengeluarkan cairan abses yang senantiasa diproduksi bakteri. Apabila
menimbulkan risiko tinggi misalnya pada area-area yang kritis, tindakan
pembedahan dapat ditunda atau dikerjakan sebagai tindakan terakhir yang
perlu dilakukan. Memberikan kompres hangat dan meninggikan posisi
anggota gerak dapat dilakukan untuk membantu penanganan abses kulit.
Karena sering kali abses disebabkan oleh bakteri Staphylococcus
aureus, antibiotic antistafilokokus seperti flucloxacillin atau
dicloxacillin sering digunakan. Dengan adanya kemunculan
Staphylococcus aureus resisten Methicillin (MRSA) yang didapat melalui
komunitas, antibiotik biasa tersebut menjadi tidak efektif. Untuk
menangani MRSA yang didapat melalui komunitas, digunakan antibiotik
lain : clindamycin, trimethoprim- sulfamethoxazole dan doxycycline.
Adapun hal yang perlu diperhatikan bahwa penanganan hanya dengan
menggunakan antibiotik tanpa drainase pembedahan jarang merupakan
tindakan yang efektif. Hal tersebut terjadi karena antibiotik sering
tidak mampu masuk ke dalam abses, selain itu antibiotik tersebut
seringkali tidak dapat bekerja dalam pH yang rendah.
10. Pencegahan
Menjaga kebersihan kulit dengan sabun cair yang mengandung
zat anti-bakteri merupakan cara terbaik untuk mencegah terjadinya infeksi
atau mencegah penularan.
11. Asuhan Keperawatan
a. Pengkajian
Dalam melakukan asuhan keperawatan, pengkajian merupakan
dasar utama dan hal yang penting dilakukan baik saat pasien pertama
kali masuk rumah sakit maupun selama pasien dirawat di rumah sakit
(Widyorini et al, 2017).
1) Identitas
Abses bisa menyerang siapa saja dan dari golongan usia berapa
saja, namun yang paling sering diserang adalah bayi dan anak-
anak.
2) Riwayat Kesehatan
a) Keluhan utama
b) Nyeri, panas, bengkak, dan kemerahan pada area abses
3) Riwayat Kesehatan Sekarang
a) Abses di kulit atau dibawah kulit sangat mudah dikenali,
sedangkan abses dalam seringkali sulit ditemukan.
b) Riwayat trauma seperti tertusuk jarum yang tidak steril atau
terkena peluru, dll.
c) Riwayat infeksi (suhu tinggi) sebelumnya yang secara cepat
menunjukkan rasa sakit diikuti adanya eksudat tetapi tidak
bisa dikeluarkan.
4) Riwayat Kesehatan Keluarga
Riwayat penyakit menular dan kronis, seperti TBC dan
diabetes mellitus.
5) Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik ditemukan :
a) Luka terbuka atau tertutup
b) Organ / jaringan terinfeksi
c) Massa eksudat dengan bermata
d) Peradangan dan berwarna pink hingga kemerahan
e) Abses superficial dengan ukuran bervariasi
f) Rasa sakit dan bila dipalpasi akan terasa fluktuaktif.
6) Pemeriksaan Laboratorium dan Diagnostik
a) Hasil pemeriksaan leukosit menunjukkan peningkatan
jumlah sel darah putih.
b) Untuk menentukan ukuran dan lokasi abses
dilakukan pemeriksaan rontgen, USG, CT, Scan, atau MRI.
b. Diagnosa Keperawatan
Tahap selanjutnya yang harus dilakukan setelah memperoleh data
melalui pengkajian adalah merumuskan diagnosa. Pengertian dari
diagnosa keperawatan itu sendiri adalah sebuah pernyataan singkat
dalam pertimbangan perawat menggambarkan respon klien pada
masalah kesehatan aktual dan resiko. Menurut Herdman (2017),
diagnosa keperawatan untuk abses yaitu :
1) Pre operasi
a) Nyeri Akut berhubungan dengan agen pencedera
fisik (abses) (D.0077)
b) Hipertermia berhubungan dengan proses penyakit
(infeksi) (D.0130)
c) Ansietas berhubungan dengan kurang terpapar
informasi (D.0080)
2) Post Operasi
a) Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisik (prosedur
operasi) (D.0077)
b) Risiko infeksi berhubungan dengan efek prosedur invasif
(D.0142)
c) Gangguan integritas kulit/jaringan berhubungan dengan
penurunan mobilitas (D.0129)
c. Perencanaan Keperawatan
Berdasarkan diagnosa keperawatan dengan menetapkan tujuan, kriteria
hasil dan menentukan rencana tindakan yang akan dilakukan adalah :
1) Pre-operasi
a) Nyeri berhubungan dengan agen pencedera fisik (abses)
(D.0077)
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan tingkat
nyeri menurun dengan kriteria hasil :
1. Keluhan nyeri menurun
2. Gelisah menurun
3. Kesulitan tidur menurun
Intervensi :
Observasi :
1. Lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas, intensitas
nyeri
2. Identifikasi skala nyeri
3. Identifikasi respon nyeri non verbal
4. Identifikasi faktor yang memperberat dan memperingan
nyeri
Terapeutik :
1. Berikan teknik non farmakologis untuk mengurangi rasa
nyeri (Mis. Terapi musik, kompres hangant/dingin, terapi
bermain)
2. Kontrol lingkungan yang memperberat rasa nyeri (Mis.
Suhu ruangan, pencahayaan, kebisingan)
3. Fasilitasi istirahat dan tidur
Edukasi :
1. Jelaskan penyebab, periode dan pemicu nyeri
2. Jelaskan strategi meredakan nyeri
3. Anjurkan memonitor nyeri
4. Anjurkan memonitor nyeri secara mandiri
5. Anjurkan menggunakan analgetik secara tepat
6. Ajarkan teknik non farmakologis untuk mengurangi rasa
nyeri
b) Hipertermia berhubungan dengan proses penyakit (D.0130)
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan
termoregulasi klien membaik dengan kriteria hasil :
1. Menggigil menurun
2. Kulit merah menurun
3. Suhu tubuh membaik
4. Tekanan darah membaik
Intervensi :
Observasi :
1. Identifikasi penyebab hipertermia (Mis. Dehidrasi, terpapar
lingkungan panas, penggunaan inkubator)
2. Monitor suhu tubuh
3. Monitor komplikasi akibat hipertermia
Terapeutik :
1. Sediakan lingkungan yang dingin
2. Longgarkan atau lepaskan pakaian
3. Basahi dan kipasi permukaan tubuh
4. Berikan cairan oral
5. Lakukan pendinginan eksternal (kompres hangat/dingin)
6. Hindari pemberian antipiretik atau aspirin
Edukasi :
Anjurkan tirah baring
Kolaborasi :
Kolaborasi pemberian cairan dan elektrolit intravena, jika perlu
Edukasi :
1. Jelaskan prosedur, termasuk sensasi yang mungkin akan
dialami
Kolaborasi :
Kolaborasi pemberian obat antiansietas, jika perlu
2) Post-operasi
a) Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisik (prosedur
operasi) (D.0077)
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan tingkat nyeri
menurun dengan kriteria hasil :
1. Keluhan nyeri menurun
2. Gelisah menurun
3. Kesulitan tidur menurun
Intervensi :
Observasi :
1. Lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas, intensitas nyeri
2. Identifikasi skala nyeri
3. Identifikasi respon nyeri non verbal
4. Identifikasi faktor yang memperberat dan memperingan
nyeri
Terapeutik :
1. Berikan teknik non farmakologis untuk mengurangi rasa
nyeri (Mis. Terapi musik, kompres hangant/dingin, terapi
bermain)
2. Kontrol lingkungan yang memperberat rasa nyeri (Mis.Suhu ruangan,
pencahayaan, kebisingan)
3. Fasilitasi istirahat dan tidur
Edukasi :
1. Jelaskan penyebab, periode dan pemicu nyeri
2. Jelaskan strategi meredakan nyeri
3. Anjurkan memonitor nyeri
Edukasi :
1. Jelaskan tanda dan gejala infeksi
2. Anjurkan mengkonsumsi makanan tinggi kalori dan protein
3. Ajarkan prosedur perawatan luka mandiri
Kolaborasi :
Kolaborasi pemberian antibiotik, jika perlu
d. Implementasi Keperawatan
Implementasi dimulai setelah rencana tindakan disusun dan ditujukan
untuk membantu klien mencapai tujuan yang diharapkan.
Tujuan dari pelaksanaan yaitu mencapai tujuan yang telah ditetapkan,
peningkatan kesehatan, pencegahan penyakit, pemulihan kesehatan dan
memfasilitasi koping. Implementasi keperawatan untuk abses adalah drainase
abses dengan menggunakan pembedahan diindikasikan apabila abses telah
berkembang dari peradangan serosa yang keras menjadi tahap nanah yang lebih
lunak. Karena sering kali abses disebabkan oleh bakteri Staphylococcus aureus,
antibiotik
antistafilokokus seperti flucloxacillin atau dicloxacillin sering digunakan, kompres
hangat bisa membantu mempercepat penyembuhanserta mengurangi peradangan
dan pembengkakan.
e. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi adalah tindakan intelektual untuk melengkapi proses keperawatan
yang menandakan seberapa jauh diagnosa keperawatan,rencana tindakan dan
implementasi sudah berhasil.
Evaluasi keperawatan pada klien dengan abses adalah :
1) Klien melaporkan rasa nyeri berkurang
2) Rasa nyaman klien terpenuhi
3) Daerah abses tidak terdapat pus
4) Tidak ditemukan adanya tanda-tanda infeksi (pembengkakan,
demam, kemerahan).
5) Tidak terjadi komplikasi
DAFTAR PUSTAKA
Brunner and Suddarth’s. 2013 Buku Ajar Keperawatan Medical Bedah Edisi 8
volume 2. Jakarta : EGC.
Buku Kedokteran EGC, Jakarta, 2012
Carpenito, Lynda Juall & Moyet, Buku Saku; Diagnosis Keperawatan,
th13
Siregar, R,S. Atlas Berwarna Saripati Kulit. Editor Huriawati Hartanta. Edisi
2.
Jakarta:EGC. (2014)
PPNI. (2017). Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia. Edisi 1 Cetakan ke-
3. Jakarta: DPP PPNI
PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia. Edisi 1 Cetakan ke-
2. Jakarta: DPP PPNI.
PPNI. (2018). Standar Luaran Keperawatan Indonesia. Edisi 1 Cetakan ke-2.
Jakarta: DPP PPNI
Setiadi. (2012). Konsep & Penulisan Dokumentasi Asuhan Keperawatan Teori
dan Praktik. Yogyakarta : Graha Ilmu
Suzanne, C, Smeltzer, Brenda G Bare. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah
Bruner and Suddarth. Ali Bahasa Agung Waluyo. ( et,al) Editor bahasa
Indonesia :Monica Ester. Edisi 8 jakarta : EGC,2017.
Kusuma hardi (2015). Asuhan keperawatan berdasarkan diagnosa medis dan
NANDA Nic-Noc edisi revisi jilid 2. Mediaction. Yogyakarta
46